Jumat, 27 Februari 2009

Langgam Sarkawi

Langgam Sarkawi



Aura senja mulai menyergap langit sore Pulogadung


Bersiap melengserkan siang, mendudukkan malam di singgasana waktu


 


Dan dari keremangan cahaya


Muncul sosok yang tak asing bagi petualang kota


Menyeruak di antara rakyat republik aspal


Yang menyemut di ujung jalan Perintis Kemerdekaan


 


Makhluk jalan raya berbalur warna ungu la viola


Tubuhnya molek nian, menyembunyikan sisi maskulin


Smiling facenya perlambang sikap legowo menjalani tugas


Lelah menempuh  ribuan kilo bukanlah keluh kesah


Jalanan berlubang dan penuh debu sebentuk pertemanan sejati


 


Kian lama  dia semakin mendekat


Segera kulambaikan tangan


Terunggah bahasa sandi, agar dia memahamiku


Samar di balik kaca pria paruh baya menatap


Teettt…teettt…dia membalas pengharapanku


Lalu  menepi dan berhenti


 


Dan seorang penjaga gerbang tanggap kendali


Dilongoknya kepala keluar jendela


Siapa tahu ini jalan datangnya rejeki


Dia pun bertanya, “Kemana Mas?”


Ngetan (ke timur)”, jawabku singkat.


 


Bergegas dibuka pintu utama dengan semangat bergelora


Secepat kilat kutapakki alas permadani kerajaan armada


“Mari Mas, masih banyak yang kosong”


Sapaan lembut dara ayu dengan ramah menyambutku


 


Hmm…aroma  kegirangan terpancar dari rona wajah mereka


 


Kulangkahkan kaki mencari lapak punggung yang tersisa


Sembari diikuti tatapan tajam dan nanar belasan penduduk resmi


Bahasa tubuh jauh dari sikap pemuliaan


Tak acuh akan hadirnya pengemis rasa iba


Senyum menjadi barang mahal bagi warga baru


Yang ada guratan kecurigaan di benak mereka


Setiap gerikku tak luput dari perhatian


Seolah aku ini seorang pesakitan


Salahkah aku?


Apakah aku ini seorang pendosa?


 


Kusandarkan letihku di tampuk ala kadarnya


Di pojok belakang, menempel pada dinding ruang


 


“Kemana Mas?”, tiba-tiba gadis tadi menghampiri


“Rembang Mbak, berapa?”


“Delapan Mas…”


“Tujuh ya Mbak!”, tawarku sambil kukerlingkan mata


Berharap dia mengerti dan mengasihaniku


Kepalanya mengangguk, meluluskan permintaan


 


Tanpa kugenggam tiket, tanpa ada jaminan perlindungan


Hanya berasas rasa percaya dan saling membutuhkan


Secuil transaksi “haram” di pasar gelap


 


Dan di tampuk ini pula aku  tercenung


Sungguh…sekian lama menjalani ritual hidup di atas roda


Hampir menjelang sewindu mengarungi samudra pantura


Inilah awal pertamaku mempertaruhkan diri


Menyandang status penumpang tak resmi


 


Namun, apa yang aku rengkuh?


Dua sisi pandang yang saling bertolak belakang mengemuka


Ibarat kutub utara dan selatan magnet yang diadu


 


Aku diharap, sekaligus ditolak


Aku dibutuhkan, sekaligus dikucilkan


Aku dicitrakan sejumput pendapatan, sekaligus disimbolkan syak wasangka


Aku membawa keberkahan, sekaligus mendatangkan kebencian


Aku disanjung laksana emas berlian, namun mereka menahbisku seonggok sampah


 


Aku penyambung nafas bagi kru


Yang bergaji kecil, tak sepadan dengan tanggung jawab nan besar


 


Aku penyesak nafas bagi penumpang berduit


Yang berharap pelayanan istimewa, bak seorang maha diraja


 


Aku tak menyalahkan yang berbaju legal


Nilaiku tak lebih dari benalu transportasi, aku terima apa adanya


 


Andai mereka mau mengerti


Wira wiri kampung-ibukota setiap minggu


Hanya untuk sesuap nasi, menggugurkan kewajiban


Dan tidak setiap perjalanan lembar rupiah menyokongku


 


Namun, siapa yang berani menghalangi arti pertemuan?


Siapa yang dapat mencairkan gumpalan kerinduan?


Bersua orang-orang tercinta, pengisi kebahagiaan relung jiwa


 


Deminya…


Kenyamanan perjalanan terpaksa kukorbankan


Kantong sempit tak lagi kurasa mencekik


Suaka keselamatan menjadi piranti mahal


Anggapan miring keberadaanku tak membuat panas telinga


  


Harga diri tak malu kurendahkan


Harkat martabat kukerdilkan


Melangkah ke dalam lembah hitam yang berjuluk “Sarkawi”


 


tsu


 


Sepenggal kisah pengalaman pertama menjadi seorang sarkawi.


Latar : Perjalanan Pulogadung-Rembang (20/2) bersama PO Tri Sumber Urip Nopol K 1548 AD, Hino R260, New Travego Morodadi Prima.

Kamis, 26 Februari 2009

Negeri Kerajaan PO

Tertulis dalam kitab RAMAYANA karangan Mpu SANJAYA terbitan tahun WOLU PATMO (845), alkisah terdapat kerajaan KRAMAT DJATI yang MEGAH dan JAYA, terletak di lembah PARAHYANGAN di lereng bukit SINDORO SATRIA MAS. Negeri PERTIWI yang  kaya SUMBER ALAM, MAJU MAKMUR, AKAS, SANTOSO serta SUBUR JAYA, dalam tlatah BUMI NUSANTARA, INDONESIA. Diperintah raja AGUNG dan SABAR SUBUR namun sejatinya SUMEH, bernama EZRI HARYANTO, seorang PRIBUMI RAYA dengan garwa (istri) pendamping, PUTRI LURAGUNG ASLI, yakni ZENA SHANTIKA.


 


Permaisuri mendapat gelar sang HARUM PUSPA JAYA, karena kegemarannya akan KEMBANG.  Flora hias kesayangannya pun beragam, semacam ROSALIA INDAH, ANGGREK CEMPAKA, MUSTIKA LILY, CENDANA, SERUNI, MAWAR dan DAHLIA INDAH. Sedangkan raja sendiri penyuka ANEKA JAYA satwa, mulai GAJAH ASRI RAYA, GARUDA MAS, CENDRAWASIH, WALET BIRU, RAJAWALI dan DALI MAS. Raja mempunyai PUSAKA ampuh berbentuk LIMAS, bernama TRI SULATAMA PUTRA NUSA. Raja sendiri menyebutnya TRI SAKTI TRI MULIA.


 


Untuk menunjukkan RASA SAYANG, raja menyematkan TIARA MAS sebagai MUSTIKA untuk sang PUTRI JAYA, dan tak lupa limpahan ARTHA JAYA dan HARTA SANJAYA. Sedang sang Permaisuri,  menghadiahkan PAHALA KENCANA berupa pesawat APOLLO dan sebuah KARYA JAYA dari designer rancang bangun kondang Mr. BAGONG SUHARNO, yakni candi BOROBUDUR buat kekasihnya.


 


Raja diANUGRAHi tiga PUTRA REMAJA calon pewaris tahta. Yang pertama adalah EKA DHARMA PUTRA, adiknya DWI JAYA SETIAWAN, dan  anak bungsu TRI KUSUMA MANDALA.  Raja memberi julukan ketiganya TRI GAYA PUTRA. Berkat RESTU MULYA, PERMATA BUNDA dan DOA IBU, mereka tumbuh menjadi TARUNA yang BUDIMAN serta PERKASA, seakan menjadi SURYA LANGIT dan DUTA KARTIKA bagi negerinya. Sifat yang diturunkan dari pendahulunya, Eyang Kakung TINGOK dan Simbah Putri MADONA.


 


Raja memiliki tiga selir untuk meLANGGENG MAJUkan kekuasaan yang dipimpinnya, masing-masing SRI LESTARI, WIDJI ITA HAFANA dan MIRA LORENA. Meski begitu, semua hidup TENTREM dan MULYO, BERSAMA sebagai FAMILY RAYA CERIA dalam TALI JAYA BERSAUDARA JAYA di lingkungan keraton BIANGLALA METROPOLITAN istana raja.


 


Tak ketinggalan, raja juga mengangkat COYO BIMO TJIPTO dan SELAMET MADU KISMO sebagai penasehat kerajaan, agar LADJU pemerintahan terus MAJU LANCAR. Dua-duanya adalah PUTRA RAFFLESIA. Raja RELA melanglang BUANA secara LANGSUNG ANTAR ARAH,  mengembara ANTAR LINTAS SUMATRA naik OMAH MLAKU, ARMADA JAYA PERKASA kerajaan, yakni kereta SENJA FURNINDO buatan karoseri LAKSANA ANDA, demi menjalin kedekataan dengan WARGA BARU. Dikunjunginya kota-kota besar, MEDAN JAYA, JAMBI TRANSPORT dan BENGKULU KITO. Dilanjutkan berSAFARI DHARMA RAYA ke pulau JAWA INDAH, berturut-turut menyinggahi daerah BANDUNG EXPRESS, TEGAL INDAH, JOGJA CEPAT, PACITAN JAYA PUTRA, MALANG INDAH serta JEMBER INDAH. Berlanjut menuju pulau BALI PERDANA, mampir di desa MALINO PUTRA, menyeberang hingga SUMBA PUTRA serta FLORES dan terakhir bertamu di negri jiran, MANILA JAYA.  Sebuah wujud sikap SEDYA MULYA seorang PATRIOT, SETIA BHAKTI kepada negara.


 


 


Meski penduduknya berBHINEKA, penuh warna PELANGI adat istiadatnya, namun dalam hidup kesehariaannya tetap berlaku SIDO RUKUN ,GEMBIRA RIA, GOTONG ROYONG JAYA dan menjunjung IKHA JAYA. Rakyatnya MAKMUR, RAHARJA, BAROKAH, SERBA MULYA, JAYA UTAMA dan penuh HARAPAN JAYA, di bawah naungan penguasa kahyangan MILA SEJAHTERA, yaitu DEWI SRI dan dewa KERUB. Tercukupinya TRI SUMBER URIP, yakni sandang, pangan dan papan adalah buktinya. SUMBER REJEKI utama penduduk negeri adalah mendulang MUTIARA INDAH MURNI di GUNUNG HARTA. Semua penduduk SETIA NEGARA dan meMUJI JAYA rajanya, yang disanjung bak PELITA INDAH di jagad RAYA.


 


Sayang, rentetan bencana alam letusan GUNUNG SEMBUNG dan banjir dahsyat KALISARI, diikuti serangan sporadis kerajaan tetangga yang sedang berSINAR JAYA, SILIWANGI ANTAR NUSA yang dikomandoi panglima perang PANGERAN BAKER SARGEDE yang bersekongkol dengan penjajah asing dari negara MENGGALA serta keMUNCULan ajaran NEW ISMO versi PUTRO WIDODO, semakin meluluhlantakkan dan selanjutnya menghapus kerajaan ini dari peta DUNIA MAS.


 

Bakso Balungan, “Sentuhan Baru” Menu Bakso

Mencari jajanan bakso di persada tanah air relatif mudah. Meski masakan ini asal muasalnya dari daratan Cina, namun cukup “meng-Indonesia” dan “menyatu di lidah”  segala lapisan masyarakat. Tak terkecuali bagi kota kecil di ujung timur pantai utara Jawa Tengah, Rembang. Ada beberapa warung makan yang menyediakan bakso sebagai obyek dagangannya. Tentu saja dengan citarasa dan rahasia dapur yang unik dari setiap penjualnya.


 


Yang populer adalah bakso “Goyang Lidah” di seputaran Tugu Lilin dan bakso “Pak Joko”, yang menempati kios di Jalan RA. Kartini. Sekilas memang sama saja dengan menu bakso di tempat lain. Ada pentol daging, mie bihun atau mie kuning, serta kuah  dengan taste hasil kolaborasi bumbu rempah-rempah khas nusantara. 


 


Namun, ada satu yang lain daripada yang lain. Di warung  lesehan nan sederhana di Jalan HOS Cokroaminoto, bakal kita jumpai sebuah sentuhan baru dari menu bakso, yakni bakso balungan.


 


Mengapa  dinamai balungan? Karena di dalam penyajiannya ditambahkan tulang (balung; jawa). Tulang yang dimaksud bukan glondongan tulang keras dan utuh. Melainkan tulang sapi muda, dengan sedikit sisaan daging yang menempel,-yang kerap disebut tetelan. Dijamin tekstur dagingnya lunak dan kenyal setelah melalui proses perebusan.


 


Dengan semangkok bakso balungan, yang terdiri dari pentol daging, tahu goreng,  tetelan, mie kuning, mie bihun, ditaburi irisan daun seledri dan bawang goreng serta diguyur kuah panas aroma rasa bawang putih dipadu lemak sapi yang “tipis”, sangat cocok dan nikmat disantap di siang hari yang terik.


 


Apalagi  di kedai makan “Istana Bakso Balungan” ini menawarkan berbagai macam minuman pelengkapnya. Mulai dari jus buah, es soda gembira, sup buah, es kelapa muda, dan minuman kemasan. Ada minuman yang menjadi identitas “istana” di sebelah gerbang belakang pendopo Kabupaten Rembang, ini yaitu es teh buah eksotik. Minuman ini cukup menarik, karena es teh dikombinasikan dengan potongan buah segar, seperti apel, nanas, lecy, klengkeng, pepaya dan jambu. Sedang satu lagi adalah es siwalan, buah langka identitas kota garam.


 


 bakso-balungan


Dengan harga Rp6.000,00-Rp8.000,00 per porsi, bakso balungan “sanggup” menggoyang lidah dan memberi kesegaran di tengah terpaan hawa panas Kota Rembang. Layak untuk dicoba!

Rabu, 18 Februari 2009

Waduk Tempuran, “Oase Buatan” Di Bumi Tandus

42Blora, -sebuah kabupaten di sisi timur tenggara Propinsi Jawa Tengah-, merupakan daerah berhawa panas dengan karakteristik tanah yang relatif tandus. Posisi geografis kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah selatan Kota Rembang ini berada di dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 20-300 m dpal, sehingga turut mempengaruhi iklim kehidupan alam Blora yang  terkenal keras. Meskipun topografi daerah kaya minyak ini didominasi  hutan jati, namun faktanya Blora berstatus “pelanggan tetap” korban derita alam akibat degradasi fungsi dan kualitas lingkungan, ulah  tangan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Belitan krisis air di saat musin kemarau serta ancaman banjir dan longsor seakan menjadi sahabat tahunan warga Blora. Sungguh ironis.


 


Curah hujan yang rendah, rata-rata “hanya” 105 hari atau 1566 mm per tahun cukup membuat “kewalahan” pihak terkait untuk menyediakan kebutuhan air bersih. Salah satu solusi yang digagas adalah pembangunan tandon-tandon air, semisal embung, waduk ataupun kolam penampungan air, memanfaatkan air hujan yang biasanya turun di rentang bulan November hingga bulan Februari.


 


Dan salah satu karya “masterpiece”  Pemda Kabupaten Blora adalah Waduk Tempuran. Wadah air raksasa ini terletak Desa Tempuran, Kecamatan Blora Kota, berjarak 15 km arah utara jantung Kota Blora. Luasan air yang menggenang seolah-olah melingkari Dusun Juwet sehingga kampung kecil nan permai ini tampak mengapung di tengah-tengah waduk. Sebuah miniatur Danau Toba dihiasi Pulau Samosir di tengahnya.


 


Waduk yang dibangun di awal tahun 2000 ini seakan menjadi “obat pintar” menyiasati gersangnya alam bumi Blora. Selain memainkan peran utama sebagai sumber ketersediaan air bersih, air waduk dimanfaatkan pula sebagai sarana irigasi pertanian, tempat budidaya ikan air tawar, arena pemancingan, sarana even olahraga dayung tingkat lokal hingga nasional, serta dikreasikan menjadi tempat wisata berkonsep “duo tourism objects”, yaitu paket wisata alam digabung dengan wisata kuliner.   


 


Rute utama yang ditempuh untuk mencapai lokasi adalah jalan raya Rembang-Blora. Bila kita dari arah Rembang, sesampai di perempatan Pasar Medang  langsung berbelok kiri, menyusuri jalan sempit di tengah areal persawahan. Sewaktu kami sekeluarga ke sana, kami bertiga disuguhi pemandangan nan eksotis di kanan kiri jalan. Tunas muda pucuk-pucuk batang padi yang sedang  tumbuh mengembang menghampar laksana permadani hijau royo-royo yang menyejukkan. Rimbunnya daun-daun jati seakan menjadi “kamuflase” untuk menyembunyikan ketidakramahan iklim kering daerah ini. Jajaran perbukitan kapur semakin menggenapi panorama indah lukisan alam,  memanjakan setiap mata untuk meliriknya.


 


Sebelum memasuki kawasan wisata, kita akan menjumpai sebuah stasiun klimatologi kecil, yang dipakai untuk memantau keadaan cuaca di sekitar waduk. Stasiun ini mencatat setiap perubahan kecil dari temperatur udara, kelembaban udara, dan curah hujan. Data-data ini sangat penting untuk pengaturan air waduk.


 


Melihat animo masyarakat yang cukup tinggi untuk berkunjung, Dinas Pariwisata Kabupaten Blora pun menggandeng mitra swasta untuk mengelola secara profesional keberadaan Waduk Tempuran. Bukan sekedar untuk memanfaatkan pesona air waduk, namun dipadukan dengan wisata kuliner. Maka dibangunlah semacam kedai makan, -yang lebih cocok disebut cafĂ©-, yang menyajikan wisata kuliner khas Waduk Tempuran, yaitu ikan bakar. Untuk menjaring lebih banyak wisatawan, disediakan fasilitas tambahan berupa taman bermain plus kolam renang bagi anak-anak, wahana bebek air, homestay, gedung pertemuan dan panggung live music khusus hari Minggu dan  libur besar.


 


Di cafe yang dinamai “ CafĂ© In” ini, menu utama yang ditawarkan adalah ikan bakar, dengan pilihan ikan bawal ataupun gurami.  Dengan paduan bahan rempah-rempah bawang putih, garam dan merica dengan komposisi yang klop sewaktu memasaknya, dilumuri kecap manis, bumbunya pun terasa meresap sampai ke dalam tekstur daging ikan. Dicocolkan ke dalam sambal terasi pedas yang menyengat indra perasa, dengan lalapan segar daun kemangi, irisan mentimun, sayuran kol dan terong ungu, serta nasi pulen yang mengepul hangat, semakin pas untuk menyempurnakan salah satu hidangan khasanah dunia boga nusantara. Menghabiskan acara bersantap siang  bareng keluarga di saung-saung yang mengapung di atas air yang melimpah ruah, menjanjikan nafsu makan kian bergelora dan semakin menambah kenikmatan mengecap hidangan identitas Waduk Tempuran ini. Selembar uang 50 ribu-an pun masih tersisa untuk menebus 1 kg ikan gurami bakar, komplit dengan kondimennya, sebakul nasi putih dan minuman teh manis.   Sepadan dengan kepuasaan mencumbui keindahan wisata alam sekaligus menuntaskan demam kerinduan mencicipi wisata kuliner .




201


 


Siapa yang tidak tergoda untuk mencobanya?


 

Selasa, 17 Februari 2009

Subur Jaya MB XBC-1518, 2nd Angel

Rembang, 16 November 2008, ketika sore menjelang senja.


 


Sewaktu berkendara dalam perjalanan pulang dari JJS (Jalan-jalan Sore) dari alun-alun kota. Selintas tampak di depan relung mata si kembang perawan  sedang tergolek berbaring diri di atas hamparan permadani yang membujur di sepanjang Jalan Pemuda, baru saja pulang ke rumah dari pergi bersolek di Kota Malang. Meski terlihat lelah menempuh perjalanan nun jauh Malang-Rembang, tapi tak mengurangi sosok manis, bertenaga dan low profile yang bernama lengkap Miss Mercedes Benz XBC-1518 ini untuk selalu memancarkan pesonanya nan anggun. Berbalut baju “royal platinum class’ ala New Travego dari designer terkenal Mr. Morodadi Prima. Dengan setelan busana depan berkelir warna merah marron dipadu buritan dengan polesan warna biru kalem dihias gravity triwarna, kuning, hijau tosca dan abu-abu, semakin membuat terkesima siapa pun yang memandangnya.


dsc001491


 


Inilah calon primadona baru kota garam, setelah sang kakak Miss Mercedes Benz OH 1525 mengorbit di awal tahun 2008, memeragakan adi busana model Setra dari designer Mr. Adi Putro. Ibarat kata, sang adik, XBC-1518 inilah bidadari kedua yang turun ke bumi Rembang.


 


Lengkaplah sudah kebahagiaan Koh Kenang dan Koh Ari, sang owner Subur Jaya menghadirkan model-model cantik dari Jerman, memeragakan pentas busana dari perancang mode lokal di ‘panggung catwalk’ sepanjang Kaliori, Sarang hingga Blora, meramaikan dunia selebritis bis-bis pujaan Kota Rembang.


 


Aku ini termasuk hamba yang merugi andai melewatkan kesempatan untuk memerawani bunga desa ini meski hanya lewat jepretan kamera telepon genggam. Untuk sementara lupakan dahulu permaisuri dan putri kecilnya. Bergegas kuturun dari balik kemudi, diiringi nada keheranan dan penuh tanya dari penghuni surga kecilku di dunia tentang tabiat bapaknya melihat barang baru.


 


Tangan yang gatal, lirikan nakal penuh nafsu, mata yang takjub terkesima memandang, desiran hati untuk merengkuh cintanya bercampur aduk dalam sanubari. Akhirnya tak kuasa membendung hasrat menggebu-gebu diri ini untuk menikmati malam pertama untuk kali kedua dalam hidup ini. Andai aku sang pemilik waktu, putaran jarum detik akan kuhentikan agar tiada istilah waktu berlalu berdua dengannya.


 


Tapi apa daya. Lembayung senja telah menyemburat, temaram malam kian pekat. Dari kejauhan tampak lambaian ‘maut’ permaisuri yang penuh kecemburuan akan perasaan tidak terima diduakan. Pertanda saat bermasyuk ria menikmati pesona Miss Maria Mercedes ini mesti berakhir. Hiks

Selasa, 10 Februari 2009

Is This the Oldest Travego in Indonesia?

Alkisah, pas saya nongkrong sembari hunting foto bis di tempat embarkasi/debarkasi angkutan dalam kota Terminal Tanjung Priok, tiba-tiba di depan saya melintas dua orang backpacker dari Kanada. Sebenarnya saya tidak merasakan ada hal yang luar biasa dengan kehadiran wisman yang mengadakan ‘wisata generik’ ini. Namun sewaktu mereka berhenti dan mengamati secara seksama sebuah bis kota P89 jurusan Tanjung Priok-Blok M, saya pun menjadi tertarik melihat gerak-geriknya. Saya menduga pastilah bus lover, terlebih  setelah mendengar obrolan mereka berdua. Ini percakapan yang samar saya dengar.


 


Bule A  : Hey Man, it’s great!!! An unique bus!


Bule B  : Hmm…what makes ‘ugly bus’ looks so special, Brother?(Sambil garuk-garuk kepala)


Bule A : Man, see details this coach! It’s a travego…Even, the oldest travego in Indonesia I guess.


Bule B : Wow…!!!Oh yeah… that’s right Brother! The Oldest model of travego ! Before we find this one, I think Adi Putro is  the pioneer. Factually, Rahayu Santosa  was the first had.


 


Sontak batin saya berteriak “Fitnaaahhh…!!!”.  Namun seketika pangkal lidah saya tercekat, mulut terasa terkunci serta otak mati ide. Menyesal, saya ngga pandai cas cis cus ngomong English seperti Mas  Haris, Mas Karnoto atau Mas Alone. Keinginan saya untuk meluruskan kesimpulan sumir mereka, akhirnya tak kesampaian.


 


Nah, ujung permasalahannya, saya pun menjadi ragu dengan kapasitas saya sendiri sebagai seorang bismania, apakah benar bis PO Agung Bhakti ini pemegang rekor Travego Tertua di Indonesia? Saya yang not well educated soal bus ataukah  bule itu yang sok keminter?


agung-bhakti2


 

Filosofi Agung Petak 64

petak-64Membaca salah satu buku catur "Taktik Jitu Babak Tengah" karangan Mr. Suwaji terbitan “Terbit Terang” Surabaya, kutemukan satu artikel menarik, lebih tepatnya opini tentang "keindahan" permainan petak 64 yang disebut orang, Catur, yang dilihat dalam cara pandang sisi filosofi. 


 


Ini kutipannya :


 


 


Catur adalah lukisan sebuah kontes, peperangan tak berdarah, sebuah gambaran, tidak hanya operasi militer sesungguhnya, tetapi perang yang lebih besar dimana setiap insan di bumi, dari ayunan hingga ke liang lahat, terus berjuang dalam hidupnya.


 


Kebaikannya laksana pasir di Gurun Sahara yang tak terhingga jumlahnya. Catur menyembuhkan jiwa yang sakit dan memberi terapi agar menjadi sehat. Catur juga tempat istirahat bagi intelek yang kelebihan kerja. dan memberikan rasa santai bagi badan yang lelah. Catur mengurangi kesedihan bagi jiwa yang murung, dan menambah kebahagiaan bagi yang lagi bersuka cita. Catur juga mengajari orang marah untuk mengendalikan emosinya, jiwa "cengengesan" menjadi serius, penakut menjadi gagah berani, ceroboh menjadi lebih hati-hati. Ia memberi rona keceriaan pada pemuda, kebahagiaan yang penuh wibawa terhadap kemanusiaan, dan pelipur lara bagi yang berumur tua. Catur merayu si miskin agar tak selalu ingat kemiskinannya, yang kaya agar tidak ceroboh dengan kekayaannya.


 


Catur mengingatkan raja agar mencintai dan menghormati rakyatnya, dan menyuruh rakyatnya agar patuh dan tunduk pada rajanya. Ia menunjukkan bagaimana orang rendahan, dengan kerja dan usaha keras bisa menduduki posisi yang mulia, dan raja yang kikir dan sombong, yang memelihara watak jelek dan menyalahgunakan jabatan bisa tersungkur dari kursi keagungannya.


 


Catur merupakan hiburan dan sebuah karya seni, olahraga serta ilmu. Yang terpelajar dan yang kurang terdidik, yang tinggi dan yang rendah, yang kuat dan yang lemah, mengakui kemolekannya, terpana akan bujukannya. Mula-mula kita belajar untuk menyukainya, tetapi setelah dekat keindahannya mulai bertambah, dan saat ia mulai mengurai pelajarannya, semangat semakin kuat, dan kecintaan kita semakin lekat.


 


 


 


This is one of an answer, why I love this game…


Gens Una Sumus = Kita Satu Keluarga

PO Agung, When The Life is Going Down…

agungMenatap armada-armada lawas PO Agung yang masih “mampu” bersliweran di jalanan dengan kondisi asal jalan, body penuh karat, dijejali dempulan tanpa ada peremajaan mesin maupun karoseri, beradu beragam perasaan dalam lubuk hati, antara haru, bangga, dan kepiluan.  


Haru


Sebab  PO Agung lah yang berjasa besar mengenalkanku  arti  cinta kepada obyek “unique” yang dinamai bis.  


Masih jelas terbayang, awal mengenal bis, aku dibuat takjub terkesima melihat sosok PO dari Jepon, Blora. Sebagai anak kampung yang terletak di jalur Rembang-Blora, dan  jarang ke kota besar, bagiku kemunculan makhluk bernama PO Agung merupakan bintang baru. The Rokie of the year… 


Bila kebetulan sedang di pinggir jalan, dan setiap kali  PO Agung lewat, tanpa malu-malu aku dan teman-teman kecilku seketika bertepuk sorak, berjingkrak-jingkrak, melambaikan tangannya, serasa kedatangan artis idolanya kala itu, Si Unyil.  He he… norak banget ya?  


Anak-anak pun begitu menyukainya dan rela serta setia menunggu di depan rumah menunggu jadwal kapan PO Agung lewat. Selama ini hanya bisa membayangkan bagaimana sosok bis mutakhir yang pernah dilihat di televisi ataupun berkreasi membuat bis mainan dari kulit jeruk bali ataupun tanah padas, sekarang melihat sendiri sosok bis kinyis-kinyis di depan mata. Maklumlah cah ndeso, tersentuh sedikit arus modernisasi, langsung tergagap-gagap. Jangan anggap dunia jaman itu seperti sekarang, di mata orang-orang kampung, kala itu bis Agung dinobatkan angkutan umum paling ngetren, trendy dan bepergian dengannya dianggap wah dan bergengsi.  


Apalagi kala itu PO Agung tampil dengan armada baru, gres,  dengan corak livery yang benar-benar fresh dan berani beda kala itu. Meski hanya sketsa garis-garis, tetapi kombinasi warna dan permainan grafisnya sungguh-sungguh eyecatching. Ditambah suaranya yang menggelegar dan menderu oleh aksi si raja jalanan memburu waktu dan penumpang, bersaing sengit head to head dengan PO Semar Agung, PO Ria dan PO Patmo di jalur Cepu-Blora-Rembang-Semarang . Kala itu armada yang dipakai PO Agung adalah Hino AK 174 LA. Aku ingat karena kode seri mesin ini terpampang di badan samping, dengan model karoseri ala Anputraco Morodadi.  


Setidaknya setahun sekali aku dan keluarga bepergian dengan bis ini, meretas jalan hingga tujuan akhir, Kota Semarang bila hendak mengunjungi kakek di Jogja. Tak puas rasanya menikmati perjalanan hanya duduk manis, dijadikan kursi sebagai pijakan kaki sebagai tempat berdiri agar pandangan luas ke depan, melihat aksi pak sopir mengendara, dengan lihainya meliuk-liuk membelah keramaian jalan. Hmm…begitu asyik menikmati perjalanan, sampai-sampai terbersit obsesi untuk bercita-cita menjadi sopir bis.


 


Saking terobsesinya, terkadang angan-angan dan imajinasi hanya dituangkan dalam lukisan. Aku paling gemar melukis bis sewaktu duduk di bangku SD. Setiap ada pelajaran dan tugas menggambar asal temanya bebas, pasti obyek inilah yang kupilih untuk mengekspresikan kecintaanku terhadap bis.  Jangankan guru-guru sekolah , bapak dan ibu sendiri pun terheran-heran dengan hobiku melukis bis.  


Itulah awal aku mencintai bis. 


Bangga


Sebab PO Agung menjadi barometer dan trendsetter bisnis transportasi di pantura timur dan tenggara Jateng dalam rentang waktu tahun 80-an hingga awal tahun 90-an.  Andai boleh berandai-andai, PO Agung boleh disamakan  dengan PO Shantika, Jepara, sekarang ini. Meski hanya PO kampung, karena home base-ya ada di Jepon, kota kecamatan antara Blora-Cepu, tetapi cukup disegani oleh PO-PO yang notabene berasal dari kota. Sebagai pencitraan diri, puluhan armada Hino baru didatangkan dengan model karoseri yang selalu up to date, dan dalam bentuk pelayanan dibentuklah image kepada penumpang sebagai bis banter dan tidak suka ngetem. Bisa dibilang bis patas ekonomi. Kala itu setiap 30 menit sekali diberangkatkan PO Agung dari terminal Cepu tujuan Semarang, diseling PO Semar Agung, PO yang akhirnya diakuisisi oleh PO Agung karena tak kuasa bertahan di bawah bayang-bayang kebesaran PO Agung. Ownernya begitu total memenej bisnisnya.  


Meski hanya pendatang di jalur yang dirintis oleh PO Patmo, laksana seorang jagoan, dialah yang akhirnya menjadi penguasa jalur Cepu-Rembang-Semarang.  Jalur Cepu-Rembang pun menggeliat, yang akhirnya menginspirasi PO Artha Jaya membuka jalur Cepu-Jakarta di kelas bis malam. Dan lagi-lagi PO Agung pun tak mau kalah berlomba, menyusul membuka jalur Cepu-Jakarta via Purwodadi dengan armada Mercedes Benz jaman Mesin Mercy OH Prima. Tidak cukup hanya melayani jalur Cepu-Rembang-Semarang, gebrakan selanjutnya melebarkan jalur bumel ke Purwodadi-Solo dan Purwodadi-Semarang.  


Benar-benar fantastis kehadiran PO Agung, dalam waktu sekejap menjelma menjadi raksasa penguasa jalur Jateng tenggara. Dialah satu-satunya PO dari Blora yang pernah menunjukkan keperkasaan eksistensinya.  


Pilu


Pilu hati menyaksikan puing-puing sisa kebesaran PO Agung sekarang ini. Sangat disayangkan, mengapa sang owner cepat berpuas diri dan mulai terjerat oleh godaan dunia yang bernama judi. Kejayaan begitu melenakan, hidup diperbudak oleh uang, bujuk rayu dunia  susah ditepis dan akhirnya menggerogoti kekuatan bangunan kebesaran yang susah payah dibangun dari bawah. Selangkah demi selangkah  PO Agung terus mengalami kemunduran sampai saat ini.   


Hanya bis-bis yang tersisa di jalanan, yang melukiskan kondisi PO Agung yang carut marut, centang perenang dan digelayuti mendung kelabu sampai saat ini. Hidup segan matipun tak mau. Bangkai-bangkai bis yang berserak di pool, armada  yang sudah renta, minim perawatan tanpa pernah ada peremajaan, dengan perfoma asal tampil, dan badan penuh luka seolah mengguratkan kepahitan hidup PO Agung. Jangan bertanya soal pelayanan untuk penumpang, armada bisa berjalan dan mampu mengepulkan dapur kru bis sudah merupakan prestasi hebat.  


Dan aku pun rela dan berlapang dada meski di hati terasa perih, sang cinta pertamaku kepada bis ini disebut bis elek, panu-an dan tidak pandai bersolek. Bagiku ini juga sudah merupakan prestasi kecil, sebagai bukti bahwa Mas Agung masih punya aware soal estetika dan kecantikan armada dengan menyisihkan dana operasional buat membeli “bedak premium” untuk memoles wajah, meski aib badan PO Agung juga akan sulit dihilangkan dengan taburan dempul setebal apapun. 


 


Sejuta rasa beribu gejolak batin mengikuti jejak rekam perjalanan PO Agung.


 


 

Di Tanganmu Kau Genggam Keabadian

kamera



kenapa manusia menciptakan fotografi?


karena manusia mencintai keabadian


 


Dari setiap momen-momen kehidupan yang aku abadikan lewat jepretan foto, yang nantinya (semoga!) akan kekal  memprasastikan kejadian-kejadian di masa silam, terucap kalimat terima kasih dan penghargaan nan tinggi kepada kamera-ku ini, Kodak seri V570.


 


Sudah tiga tahun kamera 5 Mega Pixels ini berada di tanganku, untuk menggambarkan bahwa usianya boleh dibilang tidak lagi muda untuk ukuran sebuah gadget, yang dalam hitungan bulan selalu terjadi pembaruan produk, keluar model-model terbaru, yang lebih fashionic, mengikuti tren dan selera pasar, dengan kecanggihan teknologi yang satu trap di atas  keunggulan pendahulunya.


 


Aku juga bukan tukang foto profesional, yang well educated soal kaidah ilmu per-fotografi-an serta njlimet untuk setiap kali hendak mengambil gambar. Aku cuma seneng “jeprat-jepret”, apapun yang aku anggap menarik, berharga, dan bermakna, sehingga sayang untuk dilewatkan. Andai kualitas gambar yang kuhasilkan pas-pasan, bagiku itu hanyalah masalah remeh, “ngga penting banget”, justru menjadikan challenge untuk semakin terlecut menghasilkan foto yang lebih baik lagi. Bukan bermaksud mengesampingkan suatu keindahan hasil foto, aku sudah cukup terpuaskan, terhibur dan bangga bila hasil bidikanku yang ala kadarnya seolah bisa membawaku menuju romantisme masa lalu. Biarlah momen-momen indah yang kuabadikan dalam foto menggugah hatikuku untuk merenung dan mengingat kembali sejauh mana capaian 'prestasi'ku meniti rel kehidupan, daripada sekedar mengagumi mutu dan kualitas gambar yang dihasilkan.


 


Masih lekat dalam ingatan, awal terbesit keinginan untuk membeli kamera, kuambil keputusan untuk cukuplah membeli yang bertipe pocket camera. Praktis, user friendly, easy handling…itulah alasanku. Yang penting, bagaimana aku bisa menangkap pelbagai peristiwa yang menurutku indah, touching heart dan pantas dikenang nantinya, lewat perantara sebuah media perekam.


 


Setelah melalui proses timbang pilih yang tak perlu rumit, akhirnya Kodak seri V750 Dual Lens inilah yang mematri hatiku untuk meminangnya.


 


Dari jasa kamera yang aku beli di Dusit Mangga Dua, telah lahir ratusan karya-karya gambar yang mulai menjejali album fotoku. Yang tampak indah, mempesona, abadi dan berkesan, aku arrange sesuai tema dan pesan yang tersirat dari sebuah foto.


 


Tak pandang gambarnya nge-blur, buram, momen pengambilannya kurang pas dan angle jepretannya ngasal, no problemo bagiku.


 


Dan selama kameraku masih "mampu" bekerja dan berkarya, belum terpikir olehku untuk mempensiunkannya, sebab aku sangat menyanyanginya.


 


 


Thanks my camera...

Senin, 09 Februari 2009

Eksotisme di Lereng Lawu

[gallery]



Berawal dari Sebuah Angan-Angan

Mengisi libur panjang Natal tahun ini, kuputuskan untuk menjelajah rute Magetan-Cemoro Sewu-Karanganyar yang konon menantang skill dan adrenalin para adventurer dengan jalurnya yang sempit, terjal, curam, dan penuh kelokan yang berbahaya di lereng Gunung Lawu. Sekaligus ingin mencicipi pesona wisata air Telaga Sarangan dan Air Terjun Tawangmangu.


Sebenarnya angan-angan ini sudah lama kupendam dalam hati. Apalagi setelah membaca testimoni dan kesan-kesan para pendahulu yang pernah mencumbui indahnya pesona lereng Lawu, membuat hati ini menggebu-gebu dan tidak bersabar lagi untuk membuktikannya.  Dan Dewi Fortuna memihakku, liburan di penghujung tahun 2008 adalah momen yang pas untuk mewujudkannya.


 


26 Desember 2008, Bendera Start pun Dikibarkan


Perjalanan bersama putri kecil dan permaisuriku kali ini kuawali dari rumah Eyang Putri di Kota Ngawi. Selesai menunaikan sholat Jumat, akhirnya perjalanan liburan kali ini kumulai. Menyusuri jalan Ngawi-Maospati-Magetan, tampak di kejauhan mata biru dan teduhnya Gunung Lawu seolah-olah melambaikan tangan untuk menyambut kedatangan kami. Kabut tebal seakan menjadi selimut sementara untuk menyembunyikan pesona alam di kaki gunung, agar kami semakin penasaran dan berdebar hati untuk menyibak apa yang terkandung di dalamnya.. Hawa semilir angin gunung pun tak luput menyapa kami dengan belaian lembut di ujung rambut dan menerpa dengan mesra permukaan kulit tubuh, yang jarang kami rasakan di gersangnya tempat alam kami tinggal.   Tampak kanan kiri  hijaunya daun padi dan kemuning bulirnya seperti dekorasi nan indah di hamparan permadani alam ciptaan-Nya. Hutan pinus dan cemara yang tinggi menjulang di perbukitan lereng Gunung Lawu memberi kesan merekalah para punggawa kerajaan Lawu yang siap menjaga perjalanan waktu gunung tertinggi keenam di Pulau Jawa ini. Jalan raya nan mulus berkelok-kelok seirama kontur alam pegunungan, terlihat belasan kendaraan roda dua maupun empat seolah merangkak kepayahan mendaki bukit untuk menaklukan ketinggian yang dipunyainya. Sungguh, pesona alam yang sayang untuk tidak dilirik.


 


Sarangan, I’m Coming…


Setelah satu jam lebih perjalanan, tampaklah papan nama besar besar bertuliskan “Telaga Sarangan”. Tepat pukul 14.15, tibalah kami di komplek wisata yang berjarak 17 km dari Kota Magetan. Setelah membayar tiket yang per orang dikenakan bea masuk sebesar Rp5.000,00, tampak sebuah telaga nan hijau dengan air yang melimpah ruah. Hmm…ini ternyata yang dimaksud Telaga Pasir Sarangan.


 


Situasi telaga cukup ramai oleh pengunjung yang menghabiskan liburan panjang di telaga yang terletak di tengah perbukitan Sidoramping. Area parkir tampak penuh sesak oleh jumlah besar kendaraan pengunjung. Ratusan keluarga dengan membawa banyak ‘pasukan’ dan perbekalan tampak bercengkerama, nongkrong, berlesehan dan bersendau gurau di tepian telaga menikmati pesona air telaga yang bersumber dari Air Terjun Tirtosari. Puluhan calo hotel/ losmen dengan agresif menawarkan kamar bagi pengunjung yang baru saja tiba yang membutuhkan tempat menginap. Tak kalah juga para  penyewa kuda dan speedboat menawarkan jasanya bagi pengunjung untuk berkeliling rawa dengan obyek jualannya. Para tukang foto amatiran namun tak kalah profesional dengan tukang foto media massa pun tak bosan-bosannya merayu pengunjung untuk mengabadikan momen indah berwisata di telaga yang berluas 30 ha dan berkedalaman 28 m ini.  Ratusan pedagang cinderamata, sayur-sayuran  dan buah-buahaan turut mengadu nasib, menjejali setiap lorong jalan menggelar lapak jualan, bertaruh siapa tahu liburan kali ini membawa berkah dengan memberi sedikit keuntungan kepada mereka. 


 


Segera kuparkir kendaraanku-ku, untuk turun menikmati riuhnya ombak telaga oleh sibakan lambung speedboat yang disewa pengunjung untuk menikmati melimpahnya air telaga, yang sebagian besar dimanfaatkan untuk irigasi areal sawah di sekitarnya. Tampak Pulau Putri di tengah telaga nan rimbun oleh vegetasi hutan, yang di dalamnnya terdapat punden sebagai tempat sesaji dalam acara larung tahunan yang diselenggarakan tiap Jumat Pon di Bulan Ruwah. Terlihat pula anak-anak dan orang tuanya dengan dipandu “pawang kuda” menunggang kendaraan hidup ini mengitari telaga, menjadikan liburan di telaga ini akan berkesan baginya. Sebuah dinamika kehidupan di sore nan cerah di lereng Lawu, di ketinggian 1.267 m dpal.


 


Segera terpikir olehku untuk mencicipi kuliner khas Sarangan, yaitu sate kelinci. Kebetulan di dekat tempat parkir ada tukang sate kelinci lesehan, karena memang banyak tukang sate kelinci bertebaran di pinggir telaga, baik yang berjualan keliling maupun menetap. Kupesan 2 porsi sate kelinci dan 1 porsi sate ayam dengan lontong sebagai pengganti nasinya (he he…maruk amat yak). Tidak perlu menunggu lama, menu sate kelinci pun terhidang. Setelah kucicipi…hmm, maknyuss tenan, begitu kata Pak Bondan. Dengan tekstur daging yang lembut, disiram bumbu kacang yang manis, dengan irisan bawang merah dan cabe kuning sebagai pelengkapnya, terasa khas citarasa yang ditawarkan oleh salah satu keanekaragaman menu masakan daerah Sarangan. Perlu enam lembar uang seribuan untuk menebus satu porsinya. Cukup murah bukan?


 


Karena berbahaya dan sangat riskan menembus tebalnya kabut sepanjang jalan tembus ke Tawangmangu di malam hari dan akupun belum menguasai medan, kuputuskan untuk bermalam di Sarangan. Banyak penginapan yang tersedia berikut dengan kelasnya. Berbekal referensi dari teman, kupilih hotel Telaga Mas. Meski musim liburan anak sekolah, masih banyak kamar yang tersedia. Dan kupesan kamar yang menghadap langsung ke arah telaga. Bertarif Rp350.000,00 semalam, dengan fasilitas double bed, TV, Shower, Bathup, view telaga, non-AC (dingin-dingin kok minta AC?), kuhabiskan malam bersama keluarga di tepian telaga yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini.


Malam hari di Sarangan kutemukan kehidupan nan damai, tentram dan nyaman. Riak-riak kecil air telaga, dinginnya tiupan angin gunung yang bersuhu di bawah 20 derajat Celcius, segar dan sejuknya semilir udara, nyala redup lampu malam di tepian telaga, tebalnya kabut putih bukit Sidoramping, suasana malam yang hening serta tenang, dan keramahan penduduk asli Sarangan sungguh-sungguh memberi makna bagi hidup ini. Betapa semua ini menjadi barang langka dan mahal untuk ditemukan di kehidupan perkotaan.  Kuhabiskan malamku dalam peraduan, dalam dinginnya hawa gunung yang berhembus di awal musim penghujan di lereng Lawu.


Esoknya, menikmati sunrise di Sarangan, semakin menambah kesan mendalam terhadap obyek wisata yang terletak di Kecamatan Plaosan, Magetan ini. Dari tempat parkir hotel, tampak di kejauhan mata kota Magetan yang tertata rapi yang bersiap menjalani hari bersama warganya. Puncak Gunung Lawu begitu jelas terlihat, karena tiadanya kabut penghalang. Jajaran perbukitan Sidoramping di sekeliling rawa seolah menjadi tebing raksasa bagi telaga ini agar air bisa tertahan dan bisa dikaryakan keberadaannya.


Mengisi pagi sebelum melanjutkan perjalanan, kuajak bidadari kecilku naik kuda yang dinamai oleh empunya “Hunter” untuk berkeliling telaga. Puas memang naik kuda sejauh 3,2 km dikawal oleh pawangnya, meski awalnya terasa tak nyaman. Mirip naik kendaraan tanpa shock absorber, keras sekali goncangannya. He he …


Dengan membayar Rp30.000,00 untuk sekali berkeliling, terasa tak sepadan dengan kepuasan dan sensasi menaiki si kuda gagah perkasa yang berbalutkan kulit coklat muda ini. 


Selesai berkuda, karena kasihan sama permaisuriku yang belum mencicipi fasilitas yang disediakan pengelola obyek wisata Sarangan, kuajak naik kapal cepat. Awalnya putri kecilku takut, tetapi setelah dibujuk-bujuk nanti dibelikan kaos bergambar kuda, akhirnya dia luluh juga. Wah…ternyata asyik juga naik kapal cepat dengan nama “Compaq” dan bermesin Yamaha S-25 ini sambil diombang-ambing ombak telaga yang ternyata cukup lumayan juga deburan ombaknya. Untuk fasilitas ini, kami mesti merelakan Rp40.000,00 untuk membayar jasanya.


Terasa kurang puas menikmati pagi tanpa mencicipi nasi pecel Madiun yang berjualan mangkal di depan hotel. Sip…betapa nikmatnya menikmati sarapan pagi di tepian telaga dengan lezatnya pecel Madiun yang kondang seantero bumi Jawa, dengan lauk bakwan jagung dan peyek kacang. Sudah enak, murah meriah lagi. Andai aku memiliki waktu panjang buat berlibur, pastilah akan kuurungkan perjalanan ke Tawangmangu hari ini. Masih banyak tawaran kuliner Sarangan yang belum sepenuhnya aku nikmati.


Sebelum beranjak pulang, tak lupa permaisuriku berbelanja cinderamata berupa kaos “Sarangan”, sayur-sayuran dan penganan khas daerah ini, seperti carang, brem, rengginan, keripik ubi rambat dan enting-enting kacang. Yah, itung-itung wisata alam sekaligus wisata belanja.


Tapi apa dikata, waktu terus bergulir. Tepat pukul 10 pagi, saatnya aku sekeluarga check out untuk meneruskan perjalanan.


Terima kasih Sarangan atas segala elok dan pesona keindahanmu, atas keramahtamahan pendudukmu, atas kesan yang engkau berikan, bahwa kita ini kecil, tak ada apa-apanya di muka jagad alam ini,  atas semua pelajaran yang engkau sampaikan, bahwa engkau sebagai alam adalah bagian dari kehidupan kami, engkau adalah ‘soulmate’ kami.


 


Cemoro Sewu, Serasa Begitu Dekat dengan Puncak Lawu


Selepas pintu keluar dari Telaga Sarangan, kami langsung berhadapan dengan tanjakan curam nan panjang hampir 45 derajat. Jalanan yang lebar hingga pintu masuk area Telaga Serangan, langsung menyempit, penuh kelokan tajam dan mesti ekstra hati-hati dengan efek blind spot. Tanjakan sepanjang 5 km membujur hingga daerah Cemoro Sewu. Dan menurut informasi dari tukang speedboat yang kami sewa, sedang dibangun jalur baru yang lebih landai dan lebar, hanya saja kemarin sewaktu kami melihatnya kondisinya masih dalam tahap pembangunan.


Pesona alam semakin indah di sepanjang jalan ini. Hutan pinus dan cemara, jurang-jurang terjal yang dalam, kabur putih nan tebal dan seolah hidup, jalan berkelok-kelok naik turun, dan puncak Gunung Lawu yang gagah menjulang adalah pemandangan abadi di jalur Sarangan-Cemoro Sewu.


Mesin 1.300 cc-ku pun meraung-raung, hanya bisa bermain di gigi persneling 1 dan 2 dengan jarum rpm mesin yang hampir menyentuh redline di tachometer. Dibutuhkan ketrampilan mengemudi yang memadai untuk menaklukannya. Jangan sedetikpun lengah apalagi sembrono membawa kendaraan. Beratnya medan membuat sebuah Mitsubishi Kuda dan dua unit angkudes terkapar di tanjakan karena overheat. Pantas saja, di papan peringatan sebelum masuk jalur ini terpampang jelas peringatan “Sehat Mobil, Sehat Pengemudi”. Ck ck ck… jangan coba-coba menundukkan jalur ini tanpa kedua syarat ini terpenuhi.


Kuberhentikan kendaraanku, melepas penat (baru sebentar kok penat!) sambil memandang salah satu sudut alam di Cemoro Sewu, yang masih masuk wilayah Kabupaten Magetan. Wuih..wuih…mantap benar dengan segar dan hawa dinginnya. Pantas saja banyak pasangan muda-mudi bercengkerama duduk-duduk di tebing jalan mencari kehangatan. Hmm…jadi mupeng deh!


Di ketinggian kurang lebih 1.600 m dpal ini serasa kita  melayang di angkasa di puncak ketinggian alam raya. Tampak kota Karanganyar dan Solo di sisi barat yang terlihat kecil di luasnya hamparan Pulau Jawa.  Di areal perbukitan terlihat ladang sayuran, mulai dari selada, kubis, kol, sawi dan wortel yang dibudidayakan oleh petani gunung, yang tampak menunggu waktu untuk dipanen. Antena Pemancar TVRI terlihat menjulang di antara hamparan bukit, sebagai penanda titik balik pendakian dari puncak menuju Cemorosewu. Menghadap ke atas sisi utara, puncak Lawu terasa so close so real, seolah tinggal beberapa langkah lagi untuk menggapainya. Padahal menurut para pendaki gunung, masih dibutuhkan waktu enam jam pendakian dari Cemorosewu. Batuan gunung hasil lelehan magma yang membeku begitu jelas menandakan bahwa gunung Lawu pernah aktif berpijar. Kabut pekat yang bergerak dan berlari naik turun nyata begitu dekat, seolah bermain-bermain di depan pandangan kita. Rombongan para pendaki gunung dan pecinta alam dengan backpacker yang sarat perbekalan tampak bernafsu untuk meraih puncak Lawu yang konon katanya waktu jaman baheula adalah kawah candra dimuka bagi jawara dan pendekar di Pulau Jawa untuk menggodok ilmu dan olah kanuragan.


 


Sebuah  lukisan alam nan eksotik tanpa campur tangan manusia, yang tak kalah indahnya dengan Telaga Sarangan.


 


Tawangmangu, Refreshing Sekaligus Uji Stamina


Perjalanan kulanjutkan ke Air Terjun Tawangmangu, yang berjarak 12 km dari Cemoro Sewu. Sebenarnya ini bukan kali pertama ke Tawangmangu, hanya saja kunjungan terakhir saat masih duduk di bangku SD seakan merupakan rentang waktu yang lama untuk tidak ‘membezuknya’ kembali.


Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp6.000,00 per kepala, kami langsung disambut puluhan ekor monyet yang hidup bebas dan terawat di komplek air terjun yang dipangku oleh Pemkab Karanganyar ini. Kawanan monyet tampak asyik bermain-main di tengah pengunjung dan sesekali mencoba merebut bekal makanan yang dibawanya. Tak ketinggalan, para pengunjung ‘berbagi kasih’ dengannya dengan memberikan makanan yang dipunyainya, mencoba menjadi sahabat sesaat bagi monyet-monyet liar ini. Sebuah sinergi indah antara manusia, alam dan margasatwa.


Area air terjun alami ini terletak kurang lebih 300 m dari pintu masuk. Itupun mesti menuruni tebing terjal yang telah dibuatkan jalan berundak oleh pengelolanya. Berkali-kali si kecilku terpaksa aku gendong, karena memang rute ke tempat air terjun ini kurang cocok buat anak kecil. Terlalu curam. (Hmm…air terjun saja belum sampai, sudah terpikir kuat tidak naiknya nanti. Sudah susah membawa badan sendiri, harus ditambah beban memanggul anakku. He…he…Demi anak kok  perhitungan).


Setelah menuruni jalan berbatu, sampailah di lokasi air terjun. Butir-butir tetesan air jatuh menderu dari derasnya aliran air di ketinggian 81 m, membuih di dasar sungai di antara bebatuan solid sebesar badan gajah di tengah rimbunnya pohon-pohon besar seperti beringin, bendo dan cemara yang berumur ratusan tahun, memberi warna dan corak tersendiri bagi obyek wisata yang terletak di lereng barat Gunung Lawu. Banyak pengunjung bermain-main di bawah air terjun, berbasah-basah ria menikmati segar dan dinginnya air pegunungan. Inilah daya tarik dan nilai jual obyek wisata yang kerap disebut Grojogan Sewu ini.


Kubiarkan putri kecilku bermain-main air, berbasah-basah ria, kecek di sungai yang bersumber dari air terjun ini. Begitu enjoy-nya dia, menikmati dunia kecil yang indah dan penuh keceriaan.


Kesempatan ini aku gunakan untuk rehat, menghimpun tenaga menjaga stamina untuk mendaki pulang sembari menikmati elok alam bumi Tawangmangu. Sayup-sayup terdengar klonengan gamelan uyon-uyon khas Surakarta mengalun dari perkampungan di sekitar obyek wisata Tawangmangu. Kuhirup dalam-dalam hawa segar gunung, agar paru-paruku kuat mengikat senyawa oksigen sebagai bekal tenaga untuk pulang.


Tak terasa perut lapar mendera. Segera kupesan sate kelinci (lagi-lagi sate kelinci…), untuk menganjal perut sekaligus sumber tenaga karena perjalanan berat sudah di depan mata. Makan siang di tengah alam, sungguh memberi satu kenikmatan sendiri.


Berhubung awan tebal telah menggantung, kuputuskan untuk segera pulang. Dengan sisa-sisa tenaga, aku harus menaklukan jalur pendakian yang terjal sambil memanggul putri kecilku. Memang mesti stop go agar bisa sampai pintu keluar. Tak apalah, alon-alon waton kelakon, begitu prinsipku. Tiap mendapat 20 m, mesti berhenti ambil nafas, lanjut berjalan kembali, ambil nafas mengatur ritme lagi, setapak demi setapak naik…dan akhirnya, sampai juga di pelataran parkir tempat mobil kami berada. Benar-benar menguras tenaga dan menguji ketangguhan stamina. Hugh…sungguh-sungguh melelahkan.


 


Pukul satu siang, di titik Tawangmangu akhirnya perjalanan Magetan-Cemoro Sewu-Tawangmangu ini kuakhiri. Untuk segera melanjutkan perjalanan pulang ke kotaku tercinta, Rembang.


 


Tutur Penutup


Begitu banyak hikmah dan pembelajaran yang kupetik dari perjalanan Magetan-Cemoro Sewu-Tawangmangu ini. Tentang rasa syukur kepada Pencipta Alam Semesta, tentang arti penting keberadaan alam bagi eksistensi kehidupan manusia, tentang arti cinta lingkungan, dan bagaimana kita memperlakukan alam dengan selayaknya.  Alam tercipta bukan untuk dieksploitasi tanpa batas, namun jadikanlah dia sahabat, karena alam akan menawarkan manfaat yang tak terhingga selama kita bijak dan santun mengakrabinya.


 


 


 


 


 

Wartawan Gadungan Beraksi di Terminal Pulogadung

Terminal Pulogadung kerap identik dengan suasana yang tidak nyaman dan menakutkan, terlebih bagi para calon penumpang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di  terminal bis AKAP tertua di Jakarta ini. Posisi terminal yang berdekatan dengan keramaian pasar, di pinggiran kawasan industri dan di tengah padatnya pemukiman warga, serta keterbatasan lahan yang tersedia, menyulitkan petugas terminal dan pihak keamanan untuk menata dan men-steril-kan area terminal dari jamahan kaki-kaki pihak yang tidak berkepentingan dengan keberadaan terminal. Dampaknya, terminal di ujung timur daerah Jakarta Timur ini terlihat kotor, becek, kumuh, tak nyaman, sumpek, semrawut dan rawan aksi kriminalitas.


 


Menurut petugas terminal Pulogadung, dalam sebulan tak kurang puluhan korban tindak kejahatan melapor ke bagian keamanan terminal. Belum lagi sejumlah korban yang disinyalir enggan melapor. Sebuah angka empiris yang memperjelas tingkat kerawanan terminal Pulogadung. Di mata pelaku kejahatan, penumpang bis luar kota dipastikan membawa barang berharga atau bernilai, sehingga menjadi incaran empuk target bidikannya. Bermacam-macam aksi kejahatan yang menimpa para korban, mulai dari kecopetan, aksi gendam dan hipnotis, penjambretan, pemalakan, pemaksaan dari calo-calo fiktif hingga kekerasan berdarah.


 


Kondisi terminal Pulogadung yang tidak kondusif ini men-trigger terminal-terminal lain untuk memperbaiki diri, menambahkan berbagai macam fasilitas dan kemudahan bagi para penumpang, terutama dari aspek kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Tercatat terminal Lebakbulus, Rawamangun, Kalideres dan Kampung Rambutan, yang dulu hanya terminal bis dalam kota bermetamorfosis menjadi terminal bis AKAP, sebagai terminal bayangan dan alternatif bagi para penumpang yang malas dan lokasi tinggalnya jauh dari Pulogadung.


 


Namun itu dulu. Sekarang Pulogadung mulai bersolek merias diri dan seolah tak mau kalah berkompetisi dengan terminal lain. Terlebih banyak bis AKAP mulai hengkang dan berpindah tujuan akhir ke terminal lain, yang berarti jika didiamkan akan terjadi penurunan pendapatan di sektor perhubungan bagi Pemerintah Kodya Madya Jakarta Timur.  Apalagi Pulogadung dijadikan salah satu sentra pemberangkatan busway koridor Pulogadung-Dukuh Atas dan Pulogadung-Kalideres, menuntut ditingkatkannya perfoma terminal yang sekarang dikomandoi Bapak H. Pardiman. Mau tak mau, Terminal Pulogadung harus berbenah.


 


Sedikit demi sedikit wajah Pulogadung mulai berubah, menjadi terminal yang ramah dan tidak seseram cerita dulu. Penataan ulang titik keberangkatan dan kedatangan, penambahan petugas kebersihan, pembinaan terhadap calo-calo bis, reformasi di tubuh kepengurusan terminal, penempatan personel kepolisian di area terminal yang siaga 24 jam dan suksesnya pemberantasan aksi premanisme, menjadikan penumpang melirik kembali Terminal Pulogadung ini sebagai tempat embarkasi debarkasi perjalanannya. Apalagi harga tiket dengan kelas dan armada yang sama, yang ditawarkan PO yang bermarkas di Pulogadung lebih murah dibanding terminal lain, jadwal bis yang boleh dibilang hampir ada setiap saat dengan tujuan ke daerah paling komplit, posisi strategis terminal yang terletak antara ibukota dan daerah penyangga (Bekasi) dan kemudahan akses busway, menjadikan nilai plus tersendiri bagi Pulogadung, sehingga menjadi tantangan dan keharusan pihak terkait untuk menghadirkan kembali “pesona” terminal Pulogadung.


Namun bukan berarti Terminal Pulogadung telah bersih dari tindak pelanggaran peraturan dan undang-undang yang berlaku. Seperti yang dijumpai penulis, sewaktu menunggu pemberangkatan Bis Nusantara Pulogadung-Cepu, Hari Jumat sore, 23 Januari 2009 silam. Salah seorang wartawan gadungan terjaring operasi dadakan oleh petugas keamanan terminal. Pelaku berinisial FR ini menenteng kamera high end merek Nikon seri D40 dan sedang beraksi bak kamerawan media, disergap karena tertangkap basah sedang mengambil gambar bis-bis yang berjajar dan berderet di Terminal Pulogadung, baik yang datang, hendak berangkat, ngetem dan perpal di dalam terminal, tanpa ijin tertulis maupun lisan. Sewaktu diinterograsi, tersangka mengaku wartawan dari Trans TV meski dia sendiri tak dapat menunjukkan surat tugas dari kantor. Alhasil, pelaku yang tergabung dalam komplotan geng Kudus ini mesti berurusan dengan pihak berwajib.


Namun tidak sampai 10 menit diamankan, pelaku telah dilepaskan dan menghirup udara bebas kembali. “Tidak ada pasal-pasal yang dilanggar, pelaku hanya iseng mengambil gambar bis karena memiliki hobi fotografi dan tergabung dalam komunitas bismania. Jadi tak ada dalih apapaun untuk menjerat pelaku ke dalam masalah hukum. Namun ke depannya, bagi siapapun yang mengambil dokumentasi tentang terminal Pulogadung, harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pihak terminal”, ujar Coyo Bimo Madukismo, salah seorang petugas terminal yang menahan si pelaku, yang ternyata bernama asli Fathur Rozaq.


fathur


 


 



















To Mas Fathur :  Peace ya Mas Fathur…kapan-kapan hunting foto bis lagi di Pulogadung