Selasa, 31 Maret 2009

Lontong Tahu, Blora tak Sekedar Sate dan Soto Ayam

lontong-tahu1Selain soto dan sate ayam yang cukup kondang seantero tanah jawa, Blora memiliki satu lagi khasanah kuliner yang menjadi foodmark kota kelahiran budayawan Pramoedya Ananta Tour, yakni Lontong Tahu.


 


Salah satu kedai makan yang menjual Lontong Tahu adalah warung tenda “Arumdalu”. Posisinya terletak di ujung jalan Arumdalu, di pojok pertigaan Kantor Dipenda,  kira-kira 500 m di sebelah timur alun-alun Kota Blora. Warung yang buka mulai jam 17.00 ini selalu ramai pengunjung yang ingin menikmati kelezatan masakan nusantara.  Meski tempatnya sederhana, namun memiliki penggemar fanatik. Rentang waktu 8 tahun semenjak warung ini pertama dibuka adalah bukti “kepintaran” penjualnya dalam memaintain kepuasaan pelanggan. 


 


Komposisi utama seporsi menu lontong tahu adalah potongan tahu goreng dan telur dadar, di atas potongan lontong nasi. Ditambahkan irisan kol mentah, tauge dan kacang tanah goreng, ditaburi cacahan daun seledri dan bawang goreng, dan terakhir disiram bumbu kacang. Cara penyajiannya, cabe merah (jumlahnya sesuai kadar pedas yang diinginkan pembeli), kencur, garam dan bawang putih dihancurkan/ diuleg hingga setengah hancur. Kemudian dicampur dengan  bumbu kacang yang telah ditumbuk halus hingga benar-benar merata, dicairkan dengan air kecap manis, sembari diberi tetes jeruk nipis untuk mendapatkan rasa sedikit asam. Dijamin segar dan tasty. Dan konon rahasia dapur Lontong Tahu  asli Blora, sehingga rasanya berbeda dengan daerah lain, adalah citarasa kecap yang dipakai. Para penjual hanya menggunakan satu merek kecap dari sebuah home industry, tak mau berpaling dengan merek dari pabrik, yang terbukti kemurnian bahan-bahan yang digunakan serta bebas media pengawet. Sebagai pelengkap hidangan, disediakan tempe goreng dan krupuk ikan agar sewaktu menyantapnya terasa gurih di lidah.


 


Ditemani teh hangat atau minuman istimewa warung ini, yaitu wedang kacang ijo, cukup untuk mengisi perut kita sambil menikmati nuansa sore langit Kota Blora, sekaligus mengecap pesona wisata kuliner kota pemilik blok minyak Cepu ini.

Sok Tau itu Boleh, Asalkan…

[gallery columns="2"]

Kisah mengesankan penuh sindiran sosial ini saya dapatkan dari teman seperjalanan di dalam HS 206 NS 39 Cepu-Pulogadung Hari Minggu (29/03) kemarin. Cerita tentang kekritisan, ke-sok tau-an, dan fanatisme daerah yang sempit dari penumpang Jepara dalam memilih bis yang akan dinaiki, yang terkadang menjadi boomerang kekonyolan bagi dirinya sendiri.

 


Kelucuan ini terjadi ketika awal-awal bis Shantika membuka trayek Rawamangun-Jepara.


Lazimnya pemain baru, PO Shantika belum banyak dikenal dan mesti agresif dalam menjaring calon penumpang.


 


Ceritanya saat itu ada seorang ibu setengah baya yang hendak melakukan perjalanan pulang ke Jepara. Dilihat dari wajah, cara berbusana, dialek bahasa dan tingkahnya, jelas si ibu ini orang dusun (ndeso) yang jarang melakukan perjalanan jarak jauh ke ibukota. Ketika turun dari angkot dengan barang bawaan yang bejibun di tangan kanan kirinya, para calopun tanggap bahwa ibu ini hendak keluar kota. 


 


Datanglah pertama calo bis Shantika menghampiri.


Calo I   : “Mau kemana Bu?”


Ibu       : “(n)Jeporo Mas.”


Calo II : “Naik itu saja nggih Bu!”


 


Sambil diraihnya barang bawaan si ibu menuju armada Shantika yang telah di jalur pemberangkatan. Saat lewat di depan bis…


 


Ibu       : “Lho…lhopiye iki Mas. Ini bukan bis Jepara. Sampeyan jangan bohong sama aku ya!. Dikira saya ndak tahu ya!”


Calo I   : “Bu, ini bis Jepara, kok ibu bilang saya berbohong?”, jawabnya penuh keheranan.


 


Ibu       : ”Bis Jepara piye? Platnya saja Semarang (H) kok bilang ke Jepara”


Calo I   : ”Ini tiketnya Bu, sampai Jepara kan?”


 


Si calo tak mau kalah beragumentasi dengan menunjukkan selembar tiket.


 


Ibu       : ”Bis Jepara itu KaCe Mas (maksudnya berplat nomor K xxxx C). Aku ndak percaya sama sampeyan!”         


Calo I   :  “Sumpah Bu, ini bis ke Jepara juga!”, jawabnya dengan sumpah segala sembari menahan rasa geram.


Ibu       : ”Pokoknya ndak, bis Jepara itu KaCe…”, ngeyel si ibu tak kalah gertak.


 


Beruntung pembicaraan ini sampai di telinga calo bis Muji Jaya, yang bisnya sedang mengantri di sebelah bis Shantika. Melihat adegan ini, didekatinya si calo dan si ibu yang sedang berdebat kusir.


 


Calo II : “Bu, ini yang benar, bis ke Jepara. Lihat platnya, KaCe kan?”


Ibu       : “Nah, ini baru bis Jepara. Masak saya mau dibohongi orang ini Mas…”


 


Sambil ujung jari telunjuknya mengarah ke wajah calo PO Shantika. Si calo apes ini hanya diam termangu, kehilangan kata-kata untuk menjelaskan lagi. Dan akhirnya hanya bisa menyesal serta pasrah, calon penumpangnya digaet PO tetangganya secara mudah gara-gara masalah plat nomor kendaraan.


 


Oalah…alah…

Selasa, 24 Maret 2009

Sate Srepeh, Mutiara Terpendam Kuliner Kota Rembang

11Tak kalah dengan Kota Blora yang “bangga” dengan sate ayam-nya, Rembang pun memiliki sajian sate khas pesisir yang tak kalah lezatnya, yang akrab di lidah masyarakat Rembang dengan sebutan sate srepeh.


 


Salah satu tempat makan yang menyuguhkan menu sate srepeh adalah warung “Bu Slamet”, yang berlokasi di Jl. Dr. Wahidin No. 9 Rembang. Warungnya boleh dibilang sangat sederhana, bahkan tak ada papan nama yang mencolok. Hanya spanduk kain usang bertuliskan daftar menu sebagai penanda bahwa Bu Slamet masih setia berjualan sate srepeh, profesi yang digelutinya selama lebih dari 60 tahun.


 


Kendati tidak begitu luas,-hanya terdiri dari tiga bangku kursi panjang-, namun warung ini selalu ramai pengunjung, sehingga mereka harus rela antre bila ingin makan di tempat. Jam buka warung yang “nangkring” di tengah hutan beton daerah Pecinan Rembang ini dimulai sejak jam 06.00 WIB, menawarkan jasa bagi warga yang mencari makan pagi atau sarapan. Saking larisnya, sebelum jam 09.00 WIB, jatah jualannya telah ludes tak tersisa. Sebagian besar pelangganannya adalah masyarakat Rembang sendiri, khususnya etnis Tiongha, dan para penggiat kuliner dari luar kota Rembang, yang “jatuh hati” pada menu andalan kota yang memiliki pantai terpanjang di Pulau Jawa ini.


 


Uniknya, warung ini hanya menyediakan 500 tusuk setiap harinya. Meski sedang berlangsung momen-momen ramai di Kota Rembang, semisal lebaran dan tradisi syawalan, Bu Slamet tidak pernah menambah jumlah dagangannya. Jika ada pengunjung yang datang ketika tusuk terakhir telah disajikan, dengan ramah ia mengatakan permohonan maaf karena dagangannya telah habis. "Tenang, besok kita buka lagi kok Mas," rajuknya dengan tersenyum manis khas simbok-simbok Jawa.


 


Berbeda dengan menu ayam lainnya, sate srepeh buatan Bu Slamet ini menggunakan bumbu kacang, dikombinasikan dengan saus santan dan gula merah, sehingga berwarna merah kecoklatan dan lebih encer, dengan citarasa yang gurih, asin dan pedas. Konon,  dari warna merah bumbu ini kemudian dinamakan srepeh. Sebagai pendampingnya adalah nasi tahu lengkap dengan kecambah, yang diguyur bumbu kacang. Tak ketinggalan, sayur lodeh dengan isi labu sebagai pelengkapnya, menjadikan menu ini lezat dijadikan santapan pembuka hari. Akan lebih nikmat lagi jika dimakan dengan krupuk ikan atau udang yang digoreng dengan pasir, sehingga mereduksi kadar kolesterol.


 


Untuk penyajiannya juga masih “primitif”. Bila nasi gandul khas Pati cara penyuguhannya dengan piring beralas daun pisang, untuk sate srepeh cukup dilembari dengan daun jati. Sehingga terasa kita menikmati makan pagi layaknya manusia djaman doeleo.  Menurut Bu Slamet, aroma yang dimunculkan oleh daun jati akan menambah selera makan penyantapnya. Boleh dipercaya boleh tidak.





Di warung ini, Bu Slamet -yang diambil dari nama suaminya Slamet Gunarso-  dibantu satu orang karyawannya yang bernama Lasmi. Kedua wanita berusia 60-an tahun itu selalu memakai kostum kebaya, sehingga mengesankan sebagai warung tradisional. Meski demikian, gerakan kedua wanita itu tetap lincah dan terampil melayani para tamu-tamu pengunjungnya.

 


Kelezatan sate srepeh ala Bu Slamet sendiri telah diakui Pak Bondan Winarno. "Mak nyuuuus!!!" kata Bondan ketika menikmati sate itu beberapa waktu lalu, ketika beliau napak tilas perjalanan RA Kartini. Bila sang maestro kuliner telah mem”fatwa”kan kelezatan sate srepeh, siapa yang berkehendak menyanggahnya?

Srambang (3)

Perjalanan ke Srambang Ngawi (3)


Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat


 


Baru beberapa langkah…


 


Subhanallah…gambaran alam nan eksotik menghampar di depan mata. Hutan pinus, kabut tipis, udara dingin, ladang ketela, kampuang nan jauh di mato dan semburat tipis cahaya siang menembus mendung di atas langit Srambang menggenapkan kesempurnaan “masterpiece” ciptaan-Nya. Terucap syukur dan tafakur-ku sembari kususuri setiap sisi lereng Lawu, berharap air terjun terlihat dari tempatku berdiri. Nihil, hanya vegetasi hutan tropis yang merajai.


31



 


Kulangkahkan kaki menuruni jalan terjal dan berbatu. Terlihat sepasang muda mudi bersiap pulang. Nuansa Srambang saat itu sangat sepi dari hiruk pikuk kehidupan manusia, hanya terdengar lengkingan serangga hutan dan gemericik air bening di hilir sungai, sesekali diiringi gelegar petir. Tampak sebuah loket di kejauhan, dan dari sanalah sebenarnya kawasan wisata air terjun Srambang ini dimulai. Rute kembali menanjak menuju loket masuk, di sela-sela hutan pinus yang lebat dan tinggi menjulang. Akupun terengah-engah, tak beda saat hiking naik gunung Gede tahun 2002 silam. Semula aku kira posisi air terjun tak jauh dari loket, namun tak terdengar debur air menghujam. Dugaanku meleset.


 


“Pak, mau masuk ke air terjun!”, kataku kepada penjaga loket


“Berapa orang Mas?”


“Cuma satu Pak”


“Berapa Mas?”


“Cuma satu.”


 


Duh, aku ini dianggap orang mencurigakan atau gimana sih, lha wong cuma sendirian masak ngga percaya. Atau dinilai orang aneh, hujan-hujan malah nekat ke air terjun.


 


“Berapa jauh ke lokasi Pak?”


“Kira-kira 1 km Mas”


 


Ha??? 1 km??? Kalau 1 km di kota itu dekat. Lha ini, menjelajah daerah baru dan asing dalam rimba belantara, 1 km serasa 10 km. Hmmkok sesusah ini cuma untuk melihat air terjun. Loket masuk Tawangmangu dan air terjun yang berjarak 300 m bagiku sudah menyiksa, apalagi ini…


 


Ah…sudah kepalang tanggung. Setelah menebus dengan Rp2.500,00, kususuri jalan setapak di bibir jurang yang dalam. Jalannya licin dan berbatu, sehingga perlu ekstra kehati-hatian. Tidak banyak pengunjung, sunyi, serasa hidup di kota mati. Langkah demi langkah kutapak, sambil melambungkan asa, banyak pengunjung yang memiliki rencana sama denganku,  mendaratkan kaki di area air terjun.


 


Namun, tak satupun pelancong kutemui. Padahal aku sudah “menebar” ratusan langkah. Tampak dua atau tiga penjual makanan dan minuman yang membuka lapak di tengah jalan, mencoba mengadu nasib, menjemput jatah rejeki.


 


“Maaf Mas, air terjun masih jauh?”, tanyaku pada salah seorang pedagang


“Masih Mas.”


 


Kok aku jadi pengecut begini ya? Mengapa aku mulai ragu untuk menembus lebatnya hutan Srambang. Ah…aku tak boleh kalah dengan perasaan yang menghantuiku.


 


Kulanjutkan langkah kembali. Lonely road, serasa berjalan di tengah areal pemakaman. Andai muncul  hewan buas, atau diganggu hantu penunggu hutan Srambang, atau kena tuah negatif yang Mbahurekso kawasan ini, ihh…seram membuatku bergidik. Bismillah (telat ya bacanya!) …aku tak boleh menyerah.


 


Pohon-pohon tua berusia ratusan tahun, batu-batu raksasa, sungai kecil berkelok-kelok, dan kabut tipis seakan menjadi pagar ayu yang menyambut kedatanganku. Berkali-kali rute setapak tak selamanya mulus. Ketika terhalang batu besar atau batang pohon tumbang, terpaksa menyeberang sungai, yang airnya deras mengalir, dengan menapak di batu-batu alam yang licin serta konon banyak pacet (lintah) hidup berkoloni di dalam sungai. Hi…jijik!


4


 


“Mas, mau ke air terjun ya?”.


Aku kaget ketika seorang ibu-ibu dengan bakul dagangan yang tengah turun dari atas membuyarkan lamunanku.


 


“Iya Bu, kemana lagi!”


“Buat apa Mas, masih jauh. Sepi di atas dan sekarang lagi hujan Mas. Hati-hati Mas, rawan longsor. Baiknya balik saja Mas”, ingatnya.


Ah, ngga Bu, pengen sekali ke air terjun”


 


Siapa dia ya? Jangan-jangan dia jelmaan peri Srambang? Eh, kok malah menghayal.Hehehe…


 


Kembali aku teringat dengan papan peringatan di dekat loket masuk. “Dilarang Masuk ketika Hujan, Rawan Longsor”.  Ah…aku sudah maju sejauh ini, masak harus mundur kembali. “Lanjut Gan!!!”, hardik kata hatiku.


 


Langkah demi langkah kugulirkan kembali. Semakin dalam, semakin jauh arah yang susuri. Sampai akhirnya di satu tempat yang redup sinarnya, karena kanan kiri diapit oleh tebing tinggi, setinggi hampir 50 m. Duh…bergidik bulu roma ini, andai yang aku khawatirkan terjadi longsor, tamat riwayat perjalananku di sini. “Ya Allah, lindungilah aku dalam perjalanan ini. Hidup dan matiku ada di kuasa-Mu.” , terucap doa tulus sebagai pengakuan aku ini hamba yang lemah, hanya noktah kecil di luasnya jagad raya.


 


Alhamdullilah, doaku langsung terkabul. Di titik ini kutemui lima anak muda yang hendak menuju air terjun. Lumayan, ada temannya. Kalau sekiranya terjadi apa-apa dan aku butuh bantuan, aku bisa menyandarkan bantuan kepada mereka.


 


Mulai dari sini, rute jalan sudah tak ramah lagi. Batu-batu besar, aliran air yang deras dan tebing di kanan kiri tanpa menyisakan jalan setapak di pinggir kali. Kita perlu berjalan di tengah sungai dengan menapak batu-batu hitam yang seolah telah tersusun rapi secara alami. Gemuruh air sayup-saypu terdengar, pertanda air terjun sudah dekat. Kuikuti jejak para anak-anak muda di depanku, meski aku tidak sampai bertegur sapa. Mereka asyik bercengkerama dan bercanda dengan temannya, tak mengindahkan ada orang lain yang sebenarnya butuh teman untuk menemani dalam perjalanan. Hehehe…


 


Akhirnya, tampak di depan mata air terjun deras mengalir dari ketinggian. Meski harus bersusah payah menaiki tangga kayu buatan agar bisa mendekat ke air terjun, tapi tak akan sia-sia pengorbanan, tekat dan aksi nekad, memuaskan dahaga penasaran untuk melihat air terjun kebanggaan Ngawi ini. Rasa khawatir, takut, terasing dan merinding terbayar sudah melihat keelokan pemandangan air di sisi utara lereng Lawu. So amazing, so exciting, so exotic… tak ada ibarat yang dapat melukiskannya. Aku yakin, air terjun ini pesona nan amat sangat mahal, karena tak mudah untuk menggapainya. Hanya orang yang teguh baja dan bermental kuat yang bisa mencumbuinya.


 


Kupuaskan hasil perjuangan dengan mengabadikan keindahan air terjun Srambang. Setiap sudut jangan sampai terlewatkan. Namun, tampias air terjun menghalang lensa kameraku. Tidak banyak gambar bagus yang bisa kurekam. Tak apalah, yang penting aku punya bukti bahwa aku pernah menaklukkan Srambang.


5


 


Kutadabur-i gemilang karya Yang Kuasa yang digoreskan di kanvas lereng Lawu. “Tuhan, sebagian keindahan alam abadi-Mu kau hadirkan dunia. Seakan engkau menyajikan iming-iming kepada umat-Mu, bahwa ada puncak kesempurnaan keindahan di arsy-Mu. Engkau telah menunjukkan jalan untuk meraihnya. Karena engkau begitu menyanyangi hamba-Mu. Semoga kelak, aku menjadi salah satu insan yang engkau ijinkan meraihnya. Amin…”


 


Hari beranjak sore. Kabut tebal mulai turun dan hujan semakin deras membahasi bumi Srambang. Secepatnya kutinggalkan air terjun, menyusuri kembali jalan tempatku mendaki. Aku tak mau terlambat tiba kembali di Kota Ngawi, pasti istri dan anakku sudah tak sabar menanti kedatanganku.


 


Terima kasih Srambang, untuk elok alammu dan pelajaran tentang kehidupan yang telah kau ajarkan. Bila ada ruang waktu, akan kutengok kembali pesonamu…    


 


 


 

Srambang (3)

Perjalanan ke Srambang Ngawi (3)


Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat


 


Baru beberapa langkah…


 


Subhanallah…gambaran alam nan eksotik menghampar di depan mata. Hutan pinus, kabut tipis, udara dingin, ladang ketela, kampuang nan jauh di mato dan semburat tipis cahaya siang menembus mendung di atas langit Srambang menggenapkan kesempurnaan “masterpiece” ciptaan-Nya. Terucap syukur dan tafakur-ku sembari kususuri setiap sisi lereng Lawu, berharap air terjun terlihat dari tempatku berdiri. Nihil, hanya vegetasi hutan tropis yang merajai.


 


Kulangkahkan kaki menuruni jalan terjal dan berbatu. Terlihat sepasang muda mudi bersiap pulang. Nuansa Srambang saat itu sangat sepi dari hiruk pikuk kehidupan manusia, hanya terdengar lengkingan serangga hutan dan gemericik air bening di hilir sungai, sesekali diiringi gelegar petir. Tampak sebuah loket di kejauhan, dan dari sanalah sebenarnya kawasan wisata air terjun Srambang ini dimulai. Rute kembali menanjak menuju loket masuk, di sela-sela hutan pinus yang lebat dan tinggi menjulang. Akupun terengah-engah, tak beda saat hiking naik gunung Gede tahun 2002 silam. Semula aku kira posisi air terjun tak jauh dari loket, namun tak terdengar debur air menghujam. Dugaanku meleset.


 


“Pak, mau masuk ke air terjun!”, kataku kepada penjaga loket


“Berapa orang Mas?”


“Cuma satu Pak”


“Berapa Mas?”


“Cuma satu.”


 


Duh, aku ini dianggap orang mencurigakan atau gimana sih, lha wong cuma sendirian masak ngga percaya. Atau dinilai orang aneh, hujan-hujan malah nekat ke air terjun.


 


“Berapa jauh ke lokasi Pak?”


“Kira-kira 1 km Mas”


 


Ha??? 1 km??? Kalau 1 km di kota itu dekat. Lha ini, menjelajah daerah baru dan asing dalam rimba belantara, 1 km serasa 10 km. Hmmkok sesusah ini cuma untuk melihat air terjun. Loket masuk Tawangmangu dan air terjun yang berjarak 300 m bagiku sudah menyiksa, apalagi ini…


 


Ah…sudah kepalang tanggung. Setelah menebus dengan Rp2.500,00, kususuri jalan setapak di bibir jurang yang dalam. Jalannya licin dan berbatu, sehingga perlu ekstra kehati-hatian. Tidak banyak pengunjung, sunyi, serasa hidup di kota mati. Langkah demi langkah kutapak, sambil melambungkan asa, banyak pengunjung yang memiliki rencana sama denganku,  mendaratkan kaki di area air terjun.


 


Namun, tak satupun pelancong kutemui. Padahal aku sudah “menebar” ratusan langkah. Tampak dua atau tiga penjual makanan dan minuman yang membuka lapak di tengah jalan, mencoba mengadu nasib, menjemput jatah rejeki.


 


“Maaf Mas, air terjun masih jauh?”, tanyaku pada salah seorang pedagang


“Masih Mas.”


 


Kok aku jadi pengecut begini ya? Mengapa aku mulai ragu untuk menembus lebatnya hutan Srambang. Ah…aku tak boleh kalah dengan perasaan yang menghantuiku.


 


Kulanjutkan langkah kembali. Lonely road, serasa berjalan di tengah areal pemakaman. Andai muncul  hewan buas, atau diganggu hantu penunggu hutan Srambang, atau kena tuah negatif yang Mbahurekso kawasan ini, ihh…seram membuatku bergidik. Bismillah (telat ya bacanya!) …aku tak boleh menyerah.


 


Pohon-pohon tua berusia ratusan tahun, batu-batu raksasa, sungai kecil berkelok-kelok, dan kabut tipis seakan menjadi pagar ayu yang menyambut kedatanganku. Berkali-kali rute setapak tak selamanya mulus. Ketika terhalang batu besar atau batang pohon tumbang, terpaksa menyeberang sungai, yang airnya deras mengalir, dengan menapak di batu-batu alam yang licin serta konon banyak pacet (lintah) hidup berkoloni di dalam sungai. Hi…jijik!


 


“Mas, mau ke air terjun ya?”.


Aku kaget ketika seorang ibu-ibu dengan bakul dagangan yang tengah turun dari atas membuyarkan lamunanku.


 


“Iya Bu, kemana lagi!”


“Buat apa Mas, masih jauh. Sepi di atas dan sekarang lagi hujan Mas. Hati-hati Mas, rawan longsor. Baiknya balik saja Mas”, ingatnya.


Ah, ngga Bu, pengen sekali ke air terjun”


 


Siapa dia ya? Jangan-jangan dia jelmaan peri Srambang? Eh, kok malah menghayal.Hehehe…


 


Kembali aku teringat dengan papan peringatan di dekat loket masuk. “Dilarang Masuk ketika Hujan, Rawan Longsor”.  Ah…aku sudah maju sejauh ini, masak harus mundur kembali. “Lanjut Gan!!!”, hardik kata hatiku.


 


Langkah demi langkah kugulirkan kembali. Semakin dalam, semakin jauh arah yang susuri. Sampai akhirnya di satu tempat yang redup sinarnya, karena kanan kiri diapit oleh tebing tinggi, setinggi hampir 50 m. Duh…bergidik bulu roma ini, andai yang aku khawatirkan terjadi longsor, tamat riwayat perjalananku di sini. “Ya Allah, lindungilah aku dalam perjalanan ini. Hidup dan matiku ada di kuasa-Mu.” , terucap doa tulus sebagai pengakuan aku ini hamba yang lemah, hanya noktah kecil di luasnya jagad raya.


 


Alhamdullilah, doaku langsung terkabul. Di titik ini kutemui lima anak muda yang hendak menuju air terjun. Lumayan, ada temannya. Kalau sekiranya terjadi apa-apa dan aku butuh bantuan, aku bisa menyandarkan bantuan kepada mereka.


 


Mulai dari sini, rute jalan sudah tak ramah lagi. Batu-batu besar, aliran air yang deras dan tebing di kanan kiri tanpa menyisakan jalan setapak di pinggir kali. Kita perlu berjalan di tengah sungai dengan menapak batu-batu hitam yang seolah telah tersusun rapi secara alami. Gemuruh air sayup-saypu terdengar, pertanda air terjun sudah dekat. Kuikuti jejak para anak-anak muda di depanku, meski aku tidak sampai bertegur sapa. Mereka asyik bercengkerama dan bercanda dengan temannya, tak mengindahkan ada orang lain yang sebenarnya butuh teman untuk menemani dalam perjalanan. Hehehe…


 


Akhirnya, tampak di depan mata air terjun deras mengalir dari ketinggian. Meski harus bersusah payah menaiki tangga kayu buatan agar bisa mendekat ke air terjun, tapi tak akan sia-sia pengorbanan, tekat dan aksi nekad, memuaskan dahaga penasaran untuk melihat air terjun kebanggaan Ngawi ini. Rasa khawatir, takut, terasing dan merinding terbayar sudah melihat keelokan pemandangan air di sisi utara lereng Lawu. So amazing, so exciting, so exotic… tak ada ibarat yang dapat melukiskannya. Aku yakin, air terjun ini pesona nan amat sangat mahal, karena tak mudah untuk menggapainya. Hanya orang yang teguh baja dan bermental kuat yang bisa mencumbuinya.


 


Kupuaskan hasil perjuangan dengan mengabadikan keindahan air terjun Srambang. Setiap sudut jangan sampai terlewatkan. Namun, tampias air terjun menghalang lensa kameraku. Tidak banyak gambar bagus yang bisa kurekam. Tak apalah, yang penting aku punya bukti bahwa aku pernah menaklukkan Srambang.


 


Kutadabur-i gemilang karya Yang Kuasa yang digoreskan di kanvas lereng Lawu. “Tuhan, sebagian keindahan alam abadi-Mu kau hadirkan dunia. Seakan engkau menyajikan iming-iming kepada umat-Mu, bahwa ada puncak kesempurnaan keindahan di arsy-Mu. Engkau telah menunjukkan jalan untuk meraihnya. Karena engkau begitu menyanyangi hamba-Mu. Semoga kelak, aku menjadi salah satu insan yang engkau ijinkan meraihnya. Amin…”


 


Hari beranjak sore. Kabut tebal mulai turun dan hujan semakin deras membahasi bumi Srambang. Secepatnya kutinggalkan air terjun, menyusuri kembali jalan tempatku mendaki. Aku tak mau terlambat tiba kembali di Kota Ngawi, pasti istri dan anakku sudah tak sabar menanti kedatanganku.


 


Terima kasih Srambang, untuk elok alammu dan pelajaran tentang kehidupan yang telah kau ajarkan. Bila ada ruang waktu, akan kutengok kembali pesonamu…    


 


 


 

Srambang (2)

Perjalanan ke Srambang Ngawi (2)


Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat


 “Ma, aku berangkat ke Srambang ya, Mama dan Naura ngga usah ikut.”, pintaku sewaktu berpamitan, selepas waktu dhuhur saat telah tiba di rumah Bulik di daerah Karangasri, Ngawi. Memang sih, rencanaku berubah. Mulanya aku pengen mengajak keluarga, tapi mendung gelap di sisi selatan Ngawi dan kerepotan istriku membantu persiapan acara keluarga, membuatku me-revisi planning awal.


 


Setelah permit terucap, kupacu kendaraanku ke  jantung kota Ngawi untuk menuju ke arah Sragen. Hanya solorun, sorangan wae. Setelah lampu merah perempatan Kertonyono, kupelankan laju si Aquablue, karena aku bersiap berbelok ke arah kiri, menyusuri jalan ke arah Kec. Jogorogo. Sebuah papan penunjuk jalan ke arah Paron, -daerah yang dilalui jalur menuju Jogorogo-, aku temukan. Dapat juga akhirnya jalan utama menuju lokasi air terjun Srambang. Jalannya relatif mulus dan lebar meski kontur tanah agak bergelombang. Suasana lalu lintas juga sepi, karena hujan gerimis sedari tadi turun, sehingga membuat malas orang untuk bepergian. Hawa gunung yang sejuk segar mulai terasa. Di kejauhan tampak Gunung Lawu kokoh membenam di permukaan bumi. Mendung gelap beringsut pergi, meski hujan kecil tidak juga kunjung berhenti. Untung, kabut di atas gunung masih tipis, sehingga guratan lereng Lawu masih jelas tertangkap di relung mata. 


 


Selepas Paron menuju Jogorogo, jalan mulai menyempit. Pemandangan di kanan kiri jalan dipenuhi areal persawahan padi yang sedang menguning dan kebun tebu rakyat yang sedang tumbuh mengisi, pertanda daerah ini subur dan mendekatkan berkah bagi para petani. 1



Sampai akhirnya tiba di pusat kota Kecamatan Jogorogo, yang hampir berjarak 25 km dari Kota Ngawi. Cukup jauh juga. Jalan yang mulus berakhir di pertigaan Pasar Jogorogo. Di sini aku sempat bingung, kok tidak ada plang nama petunjuk ke arah Srambang. Akupun bimbang, apabila lurus, jalannya berkualitas murahan, hanya beraspal curah, bukan hotmix lagi, sedang belok ke kiri (sesuai papan petunjuk) adalah jalur alternatif ke Maospati. Coba berspekulasi ambil jalan lurus, percaya saja sama instingku.


 


Mulai dari sini, medan mulai berat, naik turun penuh kelokan tajam. Apalagi kondisi jalan yang rusak, penuh lubang akibat perbuatan air hujan dan mengelupasnya aspal jalan, membuat kendaraan semakin kesulitan untuk melaju. Jalur ini tepat berada di tengah-tengah perkampungan yang (maaf), istilah kami ndeso, jauh dari hingar bingar kehidupan modern. Rumah-rumah wargapun sangat sederhana dan wajah-wajah penghuninya bersahaja.


 


Dalam batinku, “Kok tidak sampai-sampai ya, padahal kaki Gunung Lawu sudah kudaki.” Bahkan timbul keraguan, jangan-jangan bukan jalan ini yang dimaksud. Malu bertanya, sesat di jalan. Itulah peribahasa yang tepat bila aku terjerumus oleh sikap sok tau. Akhirnya aku bertanya kepada pemilik warung makan kecil-kecil di pinggir jalan. “Inggih Mas, leres niki redine. Kirang langkung 4 km malih,” ujar seorang kakek. (Iya Mas, benar ini jalannya. Kurang lebih 4 km lagi).



Kulanjutkan kembali perjalanku. Ah…mengapa aku tidak membeli penganan di warung kakek tadi? Belaiu sudah banyak membantu, semestinya aku berterima kasih dengan cara membeli jualannya. Duh…menyesal, ternyata aku belum ngeh cara halus untuk membalas budi. 


 


Jalanan semakin parah, sempit dan terjal. Ditambah hujan yang turun semakin deras, seakan mencurahkan semua isi langit. Ugh…kalau hanya untuk bersenang-senang, pasti akan kuputar balik kendaraanku menuju Ngawi. Bagiku, daerah ini terlalu asing dan serasa di ujung dunia. Buat apa sengsara seperti ini?


2


 


But…apa yang kulihat di depan? Hore!!! Empat buah medium bus PO Widji Lestari membawa rombongan anak-anak SMP di Tuban siap berpas-pasan denganku. Pasti mereka perjalanan pulang dari Srambang. Hehehe…masak aku kalah sama anak-anak sekolah.


 


Akhirnya tiba di satu perempatan jalan dengan tugu kecil, monumen kelompok persilatan Setia Hati Teratai, di tengahnya. Alamat bingung kembali. Celingak celinguk, tak ada arah petunjuk ke arah air terjun Srambang. Bertanya lagi kepada ibu-ibu penjaga warung kelontong. “Belok ke kiri Mas, 100 m lagi,” jelasnya. “Ya ampun, gimana orang mau ke Srambang, papan penunjuk jalan dan penanda lokasi air terjun Srambang aja ngga ada. Belum lagi jalan yang amburadul, pasti orang malas untuk berkunjung”, gumamku.


 


Setelah membayar pass masuk sebesar Rp5.000,00 untuk mobil (mahal bener ya???), langsung turunan tajam menghadang. Jalan aspal telah berakhir, yang tersisa hanya jalan makadam. Kuparkir kendaraanku di sebuah rumah penitipan, yang di dalamnya tampak beberapa buah motor pengunjung. Segera kukunci sambil berpesan kepada pemilik rumah untuk menjaganya. Tapi herannya, Pak Penjaga Mobil ini orangnya cool, jaim banget dan jauh dari keramahan. Hanya ngomong ketika ditanya, itupun hanya satu dua patah kata.


 


Buktinya, ketika aku tanya,


 


“Pak, air terjun masih jauh?”


“Masih”


“Seberapa jauh Pak?”


“Pokoknya jauh Mas.”


 


Duh…kalau sudah bilang ‘pokoknya’, susah deh…Sudahlah. Semoga itu hanya karakter dia saja, bukan keseluruhan masyarakat Srambang.


 


Namun, apakah sikap demikian yang seharusnya ditunjukkan kepada orang yang baru pertama hendak menginjak bumi Srambang?  Jadinya memberi kesan kepada pengunjung bahwa Srambang hutan larangan dan penuh misteri.


 


 


Hujan mulai reda, meski masih gerimis kecil. Untung, di dalam mobil tersedia payung, sehingga banyak membantuku agar nantinya tidak berbasah-basahan dengan air hujan. Kukembang piranti pelindung hujan, bersiap-siap memulai petualangan baru.

Srambang (1)

Perjalanan ke Srambang Ngawi (1)


Saat Tekad dan Aksi Nekat Berjabat Erat


 


Awalnya, di dalam benakku, Ngawi bukanlah daerah yang kaya akan wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Meski rajin bertandang ke kota keripik tempe ini, belum pernah sekalipun aku menemukan daerah  yang “sedikit layak” dijadikan pilihan untuk merengkuh aura kesegaran baru buat membebaskan pikiran.


 


Apalagi selama ini seringkali melalui jalur Cepu-Ngawi, yang didominasi lahan tandus, tanah berkapur dan sengatan cuaca panas, yang membuat silau dan kurang sedap dipandang mata. Kalaupun ada sedikit keindahan, bagiku hanyalah alas Mantingan, yang memberi warna hijau oleh rindangnya daun-daun jati yang menjadi pagar hidup jalur selatan, penghubung Kota Sragen dan Kota Ngawi. Pernah sekali waktu melewati jalur Ngawi-Karangjati, hmm….sama saja. Hanya hamparan persawahan diseling perkampungan penduduk. Standar-standar saja tanpa keistimewaan, mudah menemukan panorama model beginian di tempat lain.


 


Tapi aku yakin, di setiap kota yang pernah aku singgahi, pasti ada daya tarik unik. Yang entah karena kurang promosi atau kekurangpedulian dinas terkait untuk mengorbitkannya di jajaran obyek wisata unggulan, sehingga jarang terpublish di ranah  wisata nusantara.


 


Mendengar akan ada acara keluarga di Ngawi, bergegas aku minta tolong Paman Google mencari informasi obyek wisata kota Ngawi. Toh acaranya digelar malam hari, siangnya aku punya waktu leluasa untuk menggelorakan jiwa petualangku. Searching…searching…benar kan, ternyata lumayan ada juga. Mulai  Waduk Pondok, Pemandian Tawun, Kebun Teh Jamus, Air Terjun Srambang, situs purbakala Trinil, dan Gunung Liliran. Tapi kuputuskan men”centrang” Srambang sebagai target yang aku bidik. Hanya alasan simpel, aku ingin mengkomparasikan dengan air terjun Tawangmangu, yang akhir tahun kemarin aku sambangi.


 


Namun sayang, berita “keberadaan” tentang air terjun ini sangatlah minim. Bahkan sampai aku mengkorek-korek blog-blog pribadi para netters, tidak banyak kutemukan. Kesimpulanku, tempat ini memang kurang laku jual. Ibarat kata, bukan karena Srambang tidak punya nilai, melainkan  “orang marketingnya” kurang greget menawarkan barang dagangannya. Untuk informasi rute ke arah obyek ini saja juga kurang memadai bagi yang buta peta Kabupaten Ngawi. Sampai-sampai kupasang satus “Didik, butuh petunjuk jalan ke Srambang, Ngawi” di Facebook, siapa tau ada FBers yang bisa meng-assist. Untunglah, Mas Habib, anggota komunitas Bismania yang asli orang Ngawi, merespon “peluit SOS”-ku. Akhirnya lewat chatting di room privacy, dia memberi ancer-ancer ke arah Srambang dan sedikit berbagi cerita bahwa dia pernah ke sono sewaktu masih bersekolah di SMA. 


 


Yup, tekadku mulai membuncah. Aku harus sampai di kompleks air terjun Srambang. Dunia ini luas untuk dijelajahi, tetapi akan terasa sempit bagi tekad seorang petualang.


 


 

Ferry Johan, Menyalurkan Hobi sebagai Profesi

Bagi sebagian orang, berprofesi sebagai pengemudi bis masih dianggap sebagai pekerjaan kasar, rendahan dan paksaan, karena tiada pilihan hidup yang lebih menjanjikan. Seringkali istilah sopir diakronimkan “ngaso mampir” (jika beristirahat pasti mampir), seolah demikianlah kelakuan dan tabiat negatif para pemburu rejeki di atas roda. Stigma miring ini semakin membuat pekerjaan duduk di belakang kemudi dipandang sebelah mata dan dijauhi. Padahal, dilihat dari sisi tanggung jawab dan skill, semestinya sopir bis mendapat kedudukan yang terhormat dan mulia, layaknya pilot pesawat udara, nakhoda kapal laut mapun masinis kereta api.


 


Namun tidak demikian bagi Ferry Johan, sopir bis Bejeu K 1744 BC yang penulis temui sedang membawa armada kebanggaannya, Galaxy Tentrem, melayani trayek Pulogadung-Jepara, Hari Jumat (20/03) kemarin. Anak Betawi ini justru bangga, penuh dedikasi dan total menjalani profesi sebagai sopir bis. Meski berijazah sarjana teknik elektro dari salah satu perguruan tinggi di Semarang, tak menghalangi niat mantap dan tekat bulatnya terjun dalam dunia bermain stir kemudi. Baginya, meliuk-liuk di antara kerumunan lalu lintas dengan kendaraan yang dibawanya mendatangkan kenikmatan tersendiri. Mengantarkan penumpang dengan selamat, aman dan tepat waktu, adalah tantangan yang mengasyikkan


 


“Saya dari kelas empat SD sudah bisa membawa mobil Mas. Itu sebuah tuntutan. Dahulu ibu saya punya bisnis catering. Ketika SMP, saya sering mengantar ibu berbelanja di pasar sehabis shubuh. Saya tidak takut kena tilang Mas, karena Bapak saya polisi. Hahaha…” ungkapnya sambil tertawa, membuka rahasia mengapa dirinya jatuh hati mengemudikan kendaraan.  Dari sinilah, pria kelahiran 32 tahun silam ini terobsesi dan bercita-cita kelak menjadi sopir profesional.


 


Sewaktu duduk di bangku kuliah, Mas Ferry sering mengisi waktu senggang perkuliahan dengan menjadi sopir tembak truk-truk angkutan barang.  Apalagi pria ramah ini mudah bergaul, sehingga banyak teman-teman kenalannya. Bila ada yang membutuhkan pengemudi, tak jarang dia sering mendapat tawaran. Bukan sekedar uang yang dicari, tetapi tujuan utama adalah menyalurkan  hobi  tercintanya.


 


“Jujur saja, saya ini berasal dari keluarga berada. Semua kebutuhan dicukupi orang tua. Tapi sebagai anak pertama, saya tak mau hanya menengadah tangan. Saya ingin mandiri dan merasakan betapa susahnya mencari duit.”,imbuhnya bijak. 


 


Meski pernah bekerja di kantor, tangan gatalnya tak bisa menahan berlama-lama berstatus karyawan swasta. Ijazah pendidikan baginya bukan sarana untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan  selembar bukti bahwa dirinya telah memenuhi kewajiban menuntut ilmu.


 


“Saya sempat ditentang keras bapak dan ibu Mas, melihat anaknya hanya menjadi sopir. Untung, kehidupan keras di jalanan mendidik saya menjadi laki-laki yang tegar, memegang teguh prinsip dan keras dalam pendirian. Terlebih, istri saya berlapang dada menerima suaminya bergaji pas-pasan, jauh dari pendapatan orang kantoran. Sehingga saya semakin yakin, kebahagiaan hidup datang saat saya mengemudi dan bisa menafkahi keluarga,” papar ayah dua anak ini berterus terang. 


 


Pria yang sekarang tinggal di Kudus ini baru dua minggu bekerja di PO Bejeu. Semenjak lulus kuliah, Mas Ferry telah malang melintang, mengembara menjalani profesi sebagai sopir bis. Awal pertaruhan hidupnya dimulai dari salah satu PO pariwisata dari Kota Kudus. Dua tahun membawa bis charter-an, kemudian pindah ke PO Gajah Asri Raya. Di sini kemampuan dan keterampilannya membawa bis terasah dan semakin piwai. Berkali-kali dia ditugaskan membawa bis dengan tujuan Sumatra.


 


“Saya pernah mengemudikan bis hampir 20 jam tanpa berhenti. Sewaktu saya engkel membawa bis menyeberang hingga Sumatra”. Sebuah rekor pencapaian yang sampai saat ini masih dipegangnya.   


 


“Setelah Gajah Asri Raya semakin redup, nasib saya juga kian tak menentu Mas. Kadang seminggu tak pernah sekalipun membawa bis, sementara kebutuhan hidup tak bisa menunggu. Saya memutuskan keluar, meski sebenarnya berat. Dengan pengurus, mandor dan kru-kru, saya sudah sehati dan seperti saudara sendiri. Tapi ini masalah pencaharian Mas, jadi saya harus berketetapan meninggalkannya setelah lima tahun dibesarkan Gajah Asri Raya”, curhatnya.


 


“Alhamdulillah, saya menemukan dunia yang hilang setelah bekerja dua minggu di Bejeu. Manajemennya bagus, kesejahteraan lumayan dan kita-kita merasa diayomi nasibnya.” jelasnya, meski dia masih butuh waktu untuk dipercaya memiliki bis batangan sendiri. Saat kemarin, Mas Ferry menjadi sopir kedua, berduet dengan pengemudi utama Mas Supri “Prenjak”, diasisteni Pak Salimun sebagai kenek.


 


“Meski pendapatan seorang sopir hanya kecil dan berat dijadikan tumpuan hidup, saya akan tetap akan mengemudi bis Mas, selama saya masih kuat dan mampu. Bagi saya, profesi sopir bispun tak kalah prestise. Akan saya buktikan, bahwa sopir bis adalah pilihan profesi yang patut disejajarkan dengan pekerjaan lain, bukan pekerjaan murahan dan asal-asalan.”, janji pria yang selalu tampil modis dengan jaket kulit, kacamata hitam, sepatu kulit licin dan model rambut gaya dangduter ketika mengemudi, menutup pembicaraan.


 


Siapa berani mengikuti jejak Mas Ferry Johan ini?


ferry

Perlukah Kampungku ber-Mini Market?

indomaretPenghujung Bulan Februari silam, perhelatan grand opening sebuah minimarket waralaba di kampung-ku digelar. Sebuah paket belanja yang dikemas dalam modernitas pasar, dengan taste swalayan. Ruang interior nan nyaman dan berpendingin udara, berhias paras ayu pramuniaga, semakin me”menjarakan” pembeli betah berlama-lama, menjelajahi setiap sudut ruangan, memilah milih item barang yang ditawarkan. Pengunjung dari pelosok dusunpun rela berdesak-desakkan ikut nimbrung mencicipi kemewahan sebuah minimarket. Kurang jelas alasannya, memang sengaja berniat belanja, sekedar cuci mata atau hanya menuruti gengsi agar derajat sebagai orang desa terangkat.


 


Jangan bayangkan kampungku kota hidup serta maju secara peradaban, dengan ketersediaan berbagai fasilitas setaraf perkotaan. Hanyalah kota kecamatan kecil, dengan demografi mata pencaharian mayoritas penduduk adalah bertani, yang menyandarkan hidup di lahan-lahan tadah hujan. Iklim panas, krisis air bersih dan tanah tandus adalah sahabat  yang mesti diterima dengan lapang dada oleh masyarakat Sulang. Sekian puluh tahun  melawan ganasnya alam pesisir, yang entah sampai kapan perjuangannya akan berakhir. Tinggal di daerah pinggiran, beristana bilik bambu, panen padi (seringnya) sekali setahun dan menjalani hidup bersahaja adalah potret keseharian mereka. Kalaupun ada kasta yang “sedikit sejahtera” adalah kaum pesantren, golongan priyayi, abdi negara dan  pebisnis lokal, yang mendiam di jantung kecamatan. 


 


Bangunan superior itu berdiri “megah” di antara jajaran toko-toko milik perseorangan yang sederhana di tepi jalan Rembang-Blora. Baik sederhana dalam hal barang yang dijual maupun sederhana dalam pengelolaan. Ketimpangan wajah di antara keduanya mengemuka. Pasar tradisional di seberang jalan-yang selama ini jadi tumpuan hidup dan penggerak roda ekonomi-, siap mendapatkan pesaing baru. Secara historis, toko-toko kecil dan pasar rakyat  sebenarnya cukup menunjang sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup sehari-hari warga, bahkan semenjak Sulang berdiri. Hebatnya, dari buah transaksi yang intens, terjalin kedekatan antara empunya toko dan pelanggan, sehingga untuk menyebut nama toko cukup menyebut nama pemiliknya. Misalnya toko Pak Mursyid, warung Jami’an atau kios Kaji Faqih. Sesuai kultur suku Jawa yang mengagungkan hubungan antar personal.  


 


Dengan kehadiran pendatang baru Indomaret, lambat laun peta belanja dan omzet perdagangan Sulang akan terkoreksi. Bangunan ekonomi yang telah tertata, mendapat tambahan kamar baru yang lebih bersih, praktis, cepat dan pasti dalam bertransaksi. Perilaku hidup perlahan berubah, teriming-iming  pandangan konsumerisme dan gaya hidup serba instan. Terjadi pertaruhan budaya yang telah mapan dengan budaya baru yang ekspansif menjual nilai kelebihan kepada masyarakat. Genderang perang bisnis ditabuh, mencari siapa yang akhirnya bertahan dan siapa yang tersungkur.  Tak ada tepo seliro, apik-apikkan aten, sungkan-sungkanan atau  sama rasa sama rata ketika kaki telah berpijak ke rimba belantara bisnis.


 


Yang jelas, kerajaan bisnis-baik yang dikendalikan pihak asing maupun domestik-mulai merangsek ranah ekonomi kerakyatan warga Sulang. Bisnis retail bukan lagi monopoli usaha kecil, tetapi sah-sah saja diseser pedagang bermodal besar. Bisnis milyaran rupiah direngkuh, bisnis eceran dicaplok. Warung-warung kecil ketar-ketir, jangan-jangan saat dibukanya gerai modern ini umur usahanya tinggal menghitung hari. Ungkapan “setiap usaha punya rejeki sendiri-sendiri, semuanya sudah ada yang mengatur” mulai goyah dipegang.


 


Berkaca dari realita kontemporer, geliat gurita konglomerasi bisnis hypermarket mulai mencekik pasar tradisional di kota besar. Minimarket, yang merupakan kepanjangan tangan bisnis hypermarket sendiri, booming dan menjamur hingga tumbuh di tengah perumahan hingga penjuru daerah, membuat tak sedikit toko-toko kecil megap-megap dan akhirnya gulung tikar. Usaha yang sekian tahun dijalankan meradang, tak kuasa menghadapi pertempuran dalam berebut kue profit. Tak ada wasit, protektor atau pembela, semua bertarung bebas di ring kancah bisnis. Tak ada pembagian kelas teri, kakap maupun hiu, semua tumplek blek, bergelut bergulat agar dapat melanggengkan kiprahnya.  Dengan bargaining power dan rantai bisnis berskala nasional, minimarket franchise mampu menggolakkan pasar dengan harga yang lebih murah. Ibarat duit koin, di satu sisi menguntungkan pembeli, di sisi yang lain membonsai peran pedagang tradisional yang bermodal pas-pasan. Dapat mudah ditebak siapa pemenang seleksi alam dalam evolusi industri bisnis.   


 


Tak ada yang salah, itulah hingar bingar dunia bisnis.


 


Semestinya ada jaminan perlindungan terhadap ekonomi rakyat dari pemangku kebijakan. Dalam Undang-Undang Dasar diamanatkan bahwa visi dan misi perekonomian negara adalah kerakyatan. Andai kita cerdas dan bijak,  kita perlu belajar sekali lagi dari krisis keuangan 1998. Siapa biang keladi krisis yang meluluhlantakkan perekonomian bangsa? Dan siapa yang tumbang duluan tertampar petaka moneter?


 


Robohnya imperium-imperium konglomerasi kala itu adalah fakta nyata. Sosok kerajaan bisnis yang didirikan di atas pondasi rapuh tumpukan utang, kelimpungan menghadapi jerat krisis. Sampai detik inipun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit dari kesadaran, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara all out seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukan.


 


Padahal terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Secara statistik, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah ambruk pada periode krisis (1997-1999), yang menunjukkan tren yang terus memburuk. Tapi, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik. Di luar angka-angka itu, sesungguhnya ekonomi rakyat masih menyimpan potensi, kehandalan dan daya tahan yang sangat besar.


 


Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata dan tutup kuping terhadap eksistensi ekonomi rakyat? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa. Pengabaian ekonomi rakyat dan sektor tradisional menjadi boomerang bagi kebijakan yang salah arah.


Ah…tiba-tiba bayangan liar menyeruak dalam angan-anganku. Aku tidak boleh tergagap-gagap, andai besok di selatan balai desaku berdiri outlet ayam goreng KFC untuk bersaing dengan ayam Kang Kamdani, di branglor dimasuki Alfa Mart untuk menghadang laju PD Barokah Lestari, di pojok perempatan dibangun Carefour karena iri dengan bisnis “gurem” warung Mbah Ndori atau di Tapaan nangkring Hugo’s Cafe untuk merebut pelanggan setia kopi lelet Cak Neri.


Tiba-tiba…


“Pa, beliin Naura icecream ke Indomaret…!”, rengek manja bidadari kecilku.


Gubrak…!!!  

Senin, 02 Maret 2009

Ketika Kepak Sayap Garuda-ku Tersayat oleh Cinta

Based on My True Strory with Garuda Mas B 7582 IW



Sebagai seorang bismania, ada sebuah obsesi kecil yang selalu mengusik hati, serasa menjadi hutang sepanjang hidup sebelum aku bisa mewujudkannya.


 


Dua minggu sebelum perjalanan.


Sayup-sayup terdengar ringtone “Temple of The King” gubahan grup musik Rainbow, membuyarkan mood-ku untuk memejamkan mata menuju malam peraduan. Segera kuraih gadget usangku SE K800, dan terpancar ID caller “Ma2” di layar LCD. Tumben larut malam seperti ini belahan jiwaku  menelepon.


 


Setelah berbasa-basi dan berbagi kata-kata kemesraan…(off the record aja ya J)


“Pasti ada hal penting kalau tengah malam begini nelpon Ma” kataku sok tahu.


“Ehm…ehmm…begini Pa, Simbah Putri mengundang kita untuk datang pas hari raya Idul Qurban, ada acara kumpul keluarga di Padangan” jelasnya penuh harap, seolah menyatakan sebuah keinginan yang akan sulit terkabul.


 


(Catatan : Padangan adalah satu kota kecamatan masih dalam lingkup Kabupaten Bojonegoro, terletak kurang lebih 3 km sebelah timur jantung Kota Cepu, di jalur Cepu-Bojonegoro)


 


Piye  yo Ma, pan sorenya mesti balik ke Jakarta, tidak bakal terkejar jadwal bis dari Rembang”, jawabku  pesimistis.


 


Suasana pun terdiam. Bimbang hatiku menyelaraskan keinginan pasangan, urusan keluarga dan kepentingan pribadi.


 


Tiba-tiba nada riang pendamping setiaku memecah kebuntuan.


“Pa, gimana kalau berangkatnya dari Cepu, kita bisa memenuhi undangan Mbah Putri tanpa menganggu jadwal kepulangan ke Jakarta”


 


Wah cakep…sebuah ide brilian!!!


 


Dan jalan pewujud obsesiku setengah terbuka. Ya…sekian lama aku memendam sebuah keinginan untuk bisa “terbang” bersama Garuda Mas, kode trayek GM 7582 rute Cepu-Blora-Jakarta. Entahlah, mengapa aku begitu menggebu-gebu ingin terbang bersamanya. Mungkin sebuah perasaan yang berbicara, mengesampingkan sisi logika.  


 


- Masih lekat dalam ingatan, ketika banjir besar melanda pantura timur Jawa Tengah dan melumpuhkan jalur Pati-Juana di pertengahan Bulan Februari 2008 silam, sehingga “membelokkan” rute perjalanan pulang mingguan-ku Jakarta-Rembang melalui Blora. Kala itu, dengan segala keterpaksaan, mau tidak mau, suka tak suka, harus naik Garuda Mas. “Sudahlah, apa salahnya mencoba bis yang belum pernah sekalipun aku naiki”, pikirku waktu itu untuk meredam rasa kesalku akibat bencana alam.


 


Dan gara-gara derita banjir, aku mengenal sosok gagah Si Ijo dari Kedaung Cirebon ini.  Dan hebatnya, dalam perjalanan perdanaku aku dibuat terkesan dengan “kepak-kepak sayap”nya. Saat itu yang ditugaskan untuk melayani kelas eksekutif Jakarta-Cepu adalah armada dengan “jeroan” Hino RG tahun produksi 2005 berbaju  New Evolution karya designer kondang, Rahayu Santosa.


 


Sebelum bis berangkat, aku sempat berbincang dengan Mas Yanto, si kenek Garuda Mas kala itu. Masih terngiang di telinga, beliau membagi “sebait berita berharga” bagi seorang bismania.


 


Mas, bis ini tinggal seminggu lagi dipakai kelas eksekutif, mulai minggu depan akan turun kelas, digantikan mercy (istilah mesin mercedes benz) terbaru karoseri Adiputro. Penumpang banyak komplain Mas, bis eksekutif kok Hino, suspensinya keras minta ampun”


 


Itulah kalimat jujur yang terucap dari bibir beliau, penyambung lidah para penumpang. 


 


Sempat berguman dalam hati, “Sayang, bis sebagus ini kurang layak di mata penumpang. Begitu tinggi ekspektasi dan requirement yang mesti dipunyai armada agar  bisa dianggap bis eksekutif.”


 


 garuda-mas


Dan untaian kata mutiara Mas Yanto terbukti. Minggu depannya aku menyaksikan sendiri sang newcomer tergolek manis di Pool Pulogadung, dan seketika di dalam benakku terbesit obsesi untuk menjajalnya.


 


Garuda Mas, dengan basic chasis  OH 1525 engine OM 906LA dari pabrikan  Mercedes Benz, ditopang penghembus hawa dingin AC Thermo King mark IV, berbaju New Travego smiling face hasil sentuhan Adi Putro dengan livery sekumpulan laskar garuda yang terlihat garang dan liar mengangkasa di teduhnya  “deep green sky”.


 


Ketika turut larut dalam arus balik lebaran kemarin, aku sampai bergambling mengadu nasib, agar bisa menjajal bis ini. Meski jauh-jauh dari Kota Rembang, aku bela-belain naik bis ini dari Blora. Tetapi sayang, sisi atas mata dadu jatuh lagi ke armada Hino RG yang aku naiki sebelumnya, yang diupgrade kembali menjadi kelas eksekutif di saat lebaran.


 


Tetapi, kegagalan pertama bukan akhir segalanya. Lautan waktu masih luas membentang. Kesabaranku berbuah hasil. Jalan untuk mencoba Garuda Mas kini terbuka, jadi buat apa aku takut untuk bertaruh kembali? Lupakan dahulu Nusantara, Pahala Kencana, Gumarang bahkan Sembrani. Hatiku telah menjatuhkan pilihan, perjalanan kali ini harus naik Garuda Mas. Urusan kecele tidak mendapatkan armada yang diidamkan, anggap saja kalah bertaruh. Hehehe… -


 


“Ok Ma, I’ll take it. Nanti kita tetap hadir di Padangan, tengs banyak buat ide cemerlangnya.”


Kututup telepon, sembari tersenyum penuh harapan. 


 


Seminggu sebelum perjalanan.


Dalam kesibukan mengerjakan tugas kantor, tiba-tiba dering SMS berbunyi. Segera kubaca pesan dari Om Sep, Om-ku yang tinggal di Padangan.


 


Ed, tiket Garuda Mas sudah OK untuk tanggal 08 Desember,  seat nomer 2


 


Rupanya istriku telah berinisiatif memesankan tiket lewat Om-nya. Tampaknya sebuah sikap antisipatif dan berjaga-jaga akan kekhawatiran tidak mendapat tiket. Karena hari itu adalah puncak arus balik libur lebaran haji.


 


Sip… duduk di “kursi keramat”. Langkah kedua sudah terlalui, meski masih H2C (Harap Harap Cemas), akankah nanti mendapatkan armada idamanku? Apakah keberuntungan akan terus memayungiku?


 


 


08 Desember 2008, The Judgement Day


Setelah berpamitan dengan keluarga besar, akhirnya kaki ini melangkah menuju titik embarkasi Garuda Mas di Kota Cepu. Dengan diantar permaisuri dan putri kecilnya, dari kejauhan jelas tertangkap di mata.


 


O la la, itu dia si jali-jali, Garuda Mas B 7582 IW…


frontside-gm-7582


 


Terwujud sudah asaku yang selama ini terpendam. Kalau sudah rejeki, dia tak akan kemana. Begitu fatwa pujangga.


 


Sebuah armada yang selama ini selalu mengusik hati. Terkadang hadir di alam mimpi dan menggumpalkan sebuah obsesi di dalam sukma seorang bismania, kini siap memuaskan dahaga penantianku untuk mencobanya.


 


Setelah chek in dan boarding di agen, yang ternyata menumpang kantor di dealer sepeda motor Yamaha “Jaya Mandiri” Cepu, dengan tiket bernomor seri 00542 seharga Rp160.000,00, nomor registrasi armada B 7582 IW dan masa expired STNK tertulis 03-13, bergegas kujejakkan tapak kaki untuk pertama kali ke dalam armada ini. Segera kutaruh tas ke dalam bagasi atas,  sambil sejenak kupandangi piranti yang dibenamkan di dalam ruang interior. Terlihat LCD  TV “Sharp Aquos” 19 inci nangkring di dome untuk menyegarkan mata, audio speaker merk “Clarion” yang terpasang beberapa unit di bawah rak bagasi dan pemutar cakram optik cap “JVC” di laci dashboard untuk memanjakan telinga para pemakai jasanya. Kursi penumpang reclining seat, lengkap dengan leg rest dan arm rest dengan jok yang super empuk dan ergonomis buatan Aldilla. Dengan konfigurasi 2-2 kapasitas 28 penumpang, smoking area tempat muktamar ahli hisab…eh maksudku ahli hisap dan dua seat tambahan di dalamnya, toilet yang bersih dan tidak bikin ilfeel dilihatnya, beserta hembusan hawa dingin AC Thermo King semakin menyempurnakan sosok Garuda Mas ini.


 


Well…soal armada beserta fasilitasnya cukup OK, bagaimana dengan “the man behind the steering wheel”?


 


Jalur Cepu-Semarang, The Longest Bumpy Road in Java island


And my journey is begin. Tepat pukul 13.30, Garuda Mas  take off dari runway Jalan Pasar Kota Cepu, diiringi hiburan audio visual rancak gendangnya OM New Pallapa dan syahdunya suara biduanita Mbak Lilis Herlina dan Mbak Dwi Ratna beserta duet mesranya Mas Agung dan Mas Brodin membawakan tembang-tembang senandung cinta Indonesian oldies semacam Sepanjang Jalan Kenangan, Setangkai Anggrek Bulan, Kisah Seorang Pramuria, Teringat Slalu dan Teluk Bayur.


 


Di bawah kendali Pak Widodo dibelakang stir (Garuda Mas tidak mengenal co-driver, hanya driver tunggal hingga tujuan akhir) dan Mas Yanto (akhirnya bis ini menjadi batangannya) sebagai assisten driver, perjalanan dengan Garuda Mas kali ini “kupercayakan”. Meski telah separuh bayah dan berkaca mata plus, terlihat Pak Wid (panggilan akrabnya)  masih enerjik, segar dan tanpa kenal lelah bersolorun mengendara bis Cepu-Jakarta.


 


Separuh kapasitas seat telah terpenuhi, dan sebagian besar adalah komuter Cepu-Jakarta dan para pegawai Pertamina yang pergi berdinas. Mereka tampak begitu akrab dengan kru bis, bahkan beberapa orang dengan tiket resmi naik di tengah perjalanan, karena Pak Wid sudah hapal betul pelanggan setianya dan dimana nanti mereka akan naik. 


 


Bis pun melenggang, membelah kota kecil Cepu, menyusuri jalan Cepu-Jepon, yang didominasi vegetasi hutan Tectona Grandis yang berumur puluhan tahun, yang terlihat masih lebat, hijau, tinggi menjulang dan terjaga kelestariannya. Dengan “kepak-kepak sayap”nya, serasa Garuda Mas terbang melintas angkasa, membelah rimbunnya daun-daun  dan kokohnya dahan-dahan pohon jati, yang berada di bawah naungan Perum Perhutani- KPH Cepu.


 


Kesan pertama sebagai seorang sopir, Pak Wid begitu lihai, bertipe skillfull and speedfull, memiliki jam terbang tinggi dan kaya pengalaman dalam mempiloti armada baru ini. Kondisi jalan yang meliuk-liuk dan bergelombang, bahkan beberapa ruas jalan dalam pengerjaan betonisasi, seolah menjadi makanan empuknya, sampai hapal di luar kepala di sisi mana roda bis “Tubeless Bridgestone R150”nya ditapakkan agar bis tetap nyaman menjalai rute bergelombang terpanjang di Pulau Jawa, sepanjang hampir 100 km, yang membujur mulai dari Cepu-Jiken-Cabak-Jepon-Blora-Ngawen-Kunduran-Ngaringan-Wirosari-Tawangharjo-Grobogan-Godong hingga Gubug.


 


Pak Wid mampu memaksimalkan potensi kekuatan dan kenyamanan yang disandang MB OH 1525. Meski berkali-kali bodyroll bis terguncang oleh tidak ratanya kontur jalan, tidak membuat kehilangan kenyamanan. Terlihat sebagian besar penumpang langsung tertidur tanpa terganggu kondisi jalan yang sungguh-sungguh membuat perut mual bila naik kendaraan yang minim fitur kenyamanan. Dan sepertinya, suspensi leaf spring yang tertanam di  keempat kaki sang Garuda Mas bekerja keras meredam setiap kejutan dan getaran hebat oleh beratnya medan jalan.


 


Jam 14.14, Garuda Mas telah tiba di Agen Blora, dan menaikkan beberapa penumpang. Sembari menunggu penumpang naik, kucoba mengabadikan momen langka dan berharga ini dengan mengambil foto Garuda Mas.


gm-di-agen-blora


 


Jam 15.45, berhenti lagi di depan Alun-Alun Kota Purwodadi. Dan sisa kursi dari Blora terisi penuh oleh penumpang yang naik di agen Grobogan. Tanpa berhenti lagi untuk menaikkan penumpang, bis pun melesat hingga ke arah tujuan akhir.


 


Sempat terdengar obrolan Mas Yanto dengan salah seorang penumpang yang naik dari Purwodadi, semenjak Garuda Mas berganti armada baru, penumpang-penumpang yang loyal dan sempat berpaling, telah kembali lagi ke “ketiak” sayap penguasa jalur Jakarta-Purwodadi ini. Penumpang di sepanjang jalur ini kembali ramai, dan menyimpulkan bahwa keberadaan armada baru berbanding lurus dengan peningkatan okupansi penumpang bis. Dan inilah pasar yang kembali digarap oleh Garuda Mas.


 


Sebagai player yang speedfull, tidak ada lawan berarti di jalur Cepu-Semarang, selain “adu balap” dengan Bis Selamet bergambar superhero, Spiderman, jurusan Wirosari-Jakarta. Sempat memberi perlawanan sengit selepas Wirosari. Terbukti Garuda Mas yang telah masuk menyalip hingga separuh badan, memundurkan langkah karena tiba-tiba muncul kendaraan di depannya, gara-gara bis berplat nomor K 1524 FA ini tidak mau mengalah. Akhirnya menjelang daerah Tawangharjo, disalipnya PO milik pribumi Kota Pati ini.


selamet-spiderman


Tidak mudah memang men’take over’ kendaraan besar di jalur sempit. Untuk berpas-pasan dengan kendaraan besar dari arah berlawananan, roda-roda sebelah kiri harus turun untuk melindas jalan tanah. Tanpa kelihaian Pak Wid, mustahil bisa menyalip kendaraan yang ngeyel tak mau disalip.


 


Ada banyak nilai positif dalam diri Pak Wid. Beliau cukup santun dalan berkendara, tidak pernah ngeblong dengan mengorbankan kendaraan dari arah berlawanan, meski hanya sebuah sepeda motor. Berkali-kali kesempatan menyalip ada, tetapi akan beliau batalkan bila ada kendaraan dari depan. Bahkan menurutku beliau juga patuh lampu pengatur jalan, jarang nekat melanggar lampu meski kondisi persimpangan jalan sedang sepi. Salut buat defensive driving dan safety drivingnya.


 


Dan akhirnya, tepat pukul jam 17.36, Garuda Mas telah sampai di ujung tol Krapyak, Semarang.


 


Jalur Semarang-Pemalang, ajang unjuk superioritas Garuda Mas


It’s showtime.


Menapaki jalan Pantura yang relatif mulus dan lebar selepas Kota Semarang, ketangguhan dan kedigdayan Garuda Mas semakin tak terbendung. Aku yang terbiasa dengan gaya balapnya driver-driver Nusantara pun tak kalah takjub melihat gaya mengemudi Pak Wid. Seolah Pak Wid menyembunyikan sosok garangnya mengemudikan kendaraan dibalik keramahan dan murah senyumnya . Bukan sekedar bis malam yang diajak adu unjuk kekuatan, bahkan kendaraan kecil dengan gaya crazy driving diladeni. Meski tidak selamanya bisa mengimbangi kendaraan kecil, tetapi dengan kendaraan besar yang dibawanya, bagiku tetaplah Pak Wid di atas segalanya. Tak satupun bis mampu bertahan berlama-lama dibuntutinya. Aku yang duduk di kursi keramat pun berdesir dan merinding setiap kali jarum di speedometer “mencium” skala 100 km/jam.  Asyik, penuh sensasi dan deg-degan menjadi saksi kehebatan dan senioritas Pak Wid di jalan Pantura. Benar-benar sang penakluk keramaian jalan Pantura malam itu.


 


Akhirnya adegan sinetron “Adu Balap Sirkuit Pantura” pun terpotong iklan, alap-alap ijo ini mesti masuk pitstop yang berlokasi di Desa Jenar Sari, Kec. Gemuh, Kab. Kendal. Jam 18.14 ketika bis masuk pitlane dan terhenti di paddock yang bernama Rumah Makan Sari Rasa, untuk memberi kesempatan Garuda Mas menghidangkan makan malam dan memberi waktu penumpang untuk menunaikan kewajiban sholat.  Dengan menu nasi putih, ditemani lauk ayam opor, sambal goreng tempe dan krupuk udang, dibasahi dengan kuah sayur sop dan tumis kacang, segelas teh hangat pengusir dahaga, serta pisang ambon untuk mencuci mulut,-meski dengan cita rasa yang sangat standar-, setidaknya menegaskan bahwa Garuda Mas benar-benar memaintain pelanggan setianya, menjunjung tinggi yang namanya “customer satisfaction”.


 


Kondisi rumah makan pun masih sepi, tak terlihat satu armada pun. Ataukah jangan-jangan Garuda Mas yang pertama menyambangi rumah makan di malam ini?


 


Baru ketika bis akan berangkat terlihat konvoi armada Rosalia Indah (kode lambung : 203, 204, 209, 224 dam 234), tiga armada Kramat Djati beda generasi (Old Travego, Laksana Comfort dan Royal Coach E Classic), satu armada ‘the blues’, Langsung Jaya disusul satu armada ‘the reds’, Tunggal Daya Putra.


 


Jam 18. 40, saat Garuda Mas kembali terbang menyeruak. Adegan babak kedua pun dimulai. Pak Wid langsung tancap gas, berlomba menaklukan waktu agar dinihari telah sampai tujuan. Tetaplah “Kerajaan Pantura”  di bawah kepak-kepak sayap tangguh Garuda Mas ini. Alas Roban seolah menjadi wahana bermain dan daerah kekuasaannya, begitu mudahnya menaklukkan jalur tengkorak sepanjang Gringsing hingga Kota Batang Dari Semarang hingga Pemalang, tercatat olehku berdasar urutan, bis-bis  yang akhirnya diasapi oleh Garuda sebagai bukti kedigdayaannya, mulai Garuda Mas B7009WB, Dahlia Indah AG… UR (tidak terbaca nopol-nya), Bogor Indah B7352XA, Sumba Putra AD1524BG, Sedya Mulya AD1451CG, Gajah Mungkur AD1431FG,  Coyo (tidak jelas nopol-nya), Sindoro Satria Mas H1453BG, Sedya Mulya AD1411CG, Dedy Jaya G1572DG, Dharma Putra G1483AA, Aneka Jaya AE7118UX, Sinar Jaya B7406ZX, dan Purwo Widodo AD1475HG, tanpa pernah sekalipun tersalip oleh lawan sejenisnya. Meski telah memberi perlawanan, semuanya pun disalip dengan perjuangan keras. Sayang, jam Garuda Mas terlalu pagi, sehingga belum saatnya peak season arus bis malam ke Jakarta. Andai jam pemberangkatan dari Cepu diundur satu atau dua jam, pastilah kiprah sang Garuda Mas ini akan teruji oleh aksi dan ulah bis-bis Plat K.


 


 


Mengatur ritme


Selepas ringroad Kota Pemalang, di kala jalanan masih sepi oleh arus bis ke Jakarta dan tiada terlihat bis lagi dari arah timur, Pak Wid pun menurunkan ritme mengemudinya, memelankan laju kendaraan. Sesekali dihisapnya sebatang rokok Dji Sam Soe untuk melepas kebosanan dan menyegarkan kembali pikiran. Syaraf-syaraf tubuh yang tegang telah membuatnya sedikit lelah dan saatnya beristrirahat sambil tetap dalam kondisi menyetir. Bayangkan, sudah hampir 7 jam pria kelahiran Jogja ini duduk di kursi kemudi tanpa “pemain pengganti”. Mungkin itulah trik beliau untuk mengeliminasi kelelahan dan menghilangkan kejenuhan menyusuri rute panjang Cepu-Jakarta.  


 


Akupun mulai mengantuk. Hembusan hawa dingin AC Mark IV membuai rasa kantukku untuk membayar lunas waktu istirahatku yang berkurang untuk melihat  aksi piwai Pak Wid. Dan akhirnya…zzz….zzz…zzz…aku tertidur.


 


Kepak Sayap Garuda-ku pun Tersayat oleh Cinta


Tiba-tiba…brakkk... terasa bis terdorong ke samping kiri oleh benturan. Pak Wid pun segera mengerem mendadak untuk menghentikan laju kendaraan sambil bergumam “Asemm…”.


 


Ya Allah… aku pun kanget, terbangun dan belum ngeh dengan apa yang terjadi. Masih segar dalam ingatan sewaktu kecelakaan bis Nusantara di Pekalongan, seolah-olah terjadi kembali malam ini. Kucoba kukuasai diri dari phobia kecelakaan. Alhamdulillah, puji syukur, tidak ada kejadian berarti. Kulihat penunjuk waktu di atas pintu, jam digital menunjuk di angka 21.46.


 


Belum hilang rasa kagetku, sejurus kemudian, mataku terpana melihat aksi heroik dan bukti solidaritas Garuda Mas boomel Jakarta-Pekalongan di lajur 2 arah Jakarta yang memotong jalan sebuah Truk Trailer Mitsubishi Fuso L8989UV di lajur 1, memaksa sopir truk berhenti dan menepi. Seketika jalanan pantura macet karena terhalang oleh Garuda Mas kelas ekonomi ini. Pikirku, pasti truk ini yang telah mencederai Garuda Mas-ku dan sedang berusaha untuk kabur.


 


Benar juga, Pak Wid dan Mas Yanto pun angkat kaki dari tempatnya. Dihampirinya truk yang berhenti di depannya, memaksa sopir dan kenek truk untuk turun dimintai pertanggungjawaban. Mereka mendekat ke sisi luar bis, kulihat dari spion kanan, mereka  melihat kondisi bodi bis bagian kanan belakang dan lirih terdengar adu argumentasi.


 


Rinai gerimis malam seolah membuat suasana semakin pilu bagi New Travego generasi pertama ini.


 


Atas inisiatif Pak Wid, truk disuruh berjalan untuk menunggu di pertigaan Tol Panci agar tidak memacetkan jalan. Ternyata TKP terjadinya insiden kecil ini berada pada posisi 2 km menjelang pintu gerbang tol Kanci. Di dalam bis Pak Wid bercerita, bahwa truk yang tengah melaju di lajur 2 menghindari lubang dan sopir membuang stir ke kiri. Ternyata antara perhitungan dan eksekusi pengemudi truk sedikit meleset, jalanan yang diguyur hujan mengakibatkan licin sehingga roda slip. Walhasil sisi kiri truk menghantam bodi belakang sebelah kanan Garuda Mas yang naas ini.


 


Sewaktu sampai di mulut tol Panci, para korban (kru Garuda Mas) dan pelaku (kru Truk Fuso)  sedang bernegosiasi soal kerugian, beberapa penumpang turun termasuk aku, ingin melihat sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan oleh crash kecil sesama monster jalanan.  


 


Tampak luka kecil, dalam dan memanjang menggores di pintu darurat dan sebidang strecth berukuran 30 cm X 30 cm di body bawahnya menyayat-nyanyat dan mematahkan salah satu sayap burung garuda. Sebagian sticker Laskar Garuda olah hasil dari digital printing  ini rusak, terkoyak oleh tajamnya sudut bumper truk dan tergerus patahan tiang  spion truk sebelah kiri,  seolah merontokkan kekuatan kepak-kepak sayap Garuda-ku yang gagah ini.


 


Deal antara si pelaku dan si korban telah disepakati, dan Garuda Mas pun berjalan kembali. Sudah malas bertanya tentang ending of story hasil negosiasi antara korban dan pelaku, aku sudah trauma seringkali mengalami insiden di jalan dengan bis malam. 


 


Kembali teringat dengan truk pelaku yang bernopol L 8989 UV, mencoba mengutak-atik dari cara pandang yang berbeda dalam pencarian hikmah dari peristiwa yang baru saja terjadi. Mengapa secara kebetulan  truk berletter L...UV? Misal tanpa angka pemisahnya, akan tergabung menjadi LUV, tulisan bahasa slank anak-anak muda sekarang untuk menggantikan kata LOVE, dibaca laf, yang berarti cinta.  


 


Apakah ini bermakna sayap garuda nan perkasa akan patah bila bersinggungan dengan cinta yang “berbisa”? Dan apakah kekuatan dan superoritas sebuah kekuasaan, yang dilambangkan dengan burung Garuda, akan runtuh oleh cinta yang  melenakan? 


 


Ah, biarlah menjadi retorika, berpulang kepada tiap pribadi untuk memaknainya. Kurebahkan kembali tubuhku melanjutkan tidur malam yang sempat terganggu “ciuman tanda tak sayang” dua insan jalanan di tengah malam buta.


 


The End of My Journey, Prasasti Pulogadung


Tepat pukul 03.34 dini hari, (09/12), Garuda-ku telah terparkir di sudut pool Pulogadung. Kukemasi semua barang-barang bawaanku. Segera kuturun, dan tak lupa untuk mengabadikan sayap-sayap patah burung Garuda. Meski kamera HP-ku tak kan sanggup memembus temaram cahaya lampu-lampu jalanan untuk menghasilkan gambar yang berkualitas, tetapi setidaknya aku telah memprasastikan peristiwa ini lewat lembaran-lembaran foto.


sayatan


Rangkaian foto yang akan selalu menjadi reminder bagiku,  tentang kerasnya hidup di dunia jalan raya,  perlunya sikap selalu mawas diri dan waspada terhadap segala resiko di jalanan, tentang arti kerja keras dan profesional dalam berkarya, tentang sosok Pak Wid, yang meski tanpa logo, slogan dan disuruh-suruh perusahaan, tetap sebagai sosok pribadi santun, penebar senyum dan seorang yang penyabar  (3S, Sopan, Sabar, Senyum), tentang Mas Yanto, pelayan nan baik hati yang tak pernah mengeluh menghadapi “kerewelan penumpang” dan satu lagi tentang rasa syukur, bahwa rejeki tak harus berujud materi, kesempatan mewujudkan obsesi  adalah juga sebagian dari rejeki-Nya.


 


Jakarta, 09 Desember 2008


Kutulis dengan tinta emas, kutorehkan nama Garuda Mas B 7528 IW Cepu-Jakarta dalam  “Top 100 of Impressed Buses Upon My Journey” 


 


 


Setiba di rumah, bersamaan saat adzan Shubuh berkumandang. Terucap rasa syukur atas anugrah dari-Nya berupa keselamatan selama perjalanan. Dalam doaku, teriring rasa terima kasih yang mendalam untuk Garuda Mas, yang telah memberi banyak makna selama perjalanan dengan sentuhan sisi humanis sebagai framingnya.  Wassalam.