Kamis, 30 April 2009

Ojeg vs Bis

nusantara-bunga


Kisah tukang ojeg mengejar bis bukan sekali saya alami. Setelah kejadian menggelikan di dalam bis Kramat Djati, tak selang lama terjadi kembali kisah “dramatis” saat sepeda motor 100 cc adu balap dengan bis bermesin 6.000 cc. Tempat Kejadian Perkara (TKP) sendiri “lahir” di Kota Pati, Jawa Tengah. 


 


Kala itu, saya dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Rembang, dengan bis Nusantara. Mercy Intercooler disopiri oleh Mas Hendro, yang kabarnya saat saya menulis kisah ini pindah kerja di PO Shantika. Saat jarum jam merujuk waktu ½ 4 dinihari, Old Travego Adi Putro ini masuk Kota Pati. Dan penumpang sepertinya sudah mafhum, sopir-sopir bis NS 39 yang ditugasi nge-line Pulogadung-Cepu seringkali mampir untuk “makan shubuh” di Terminal Puri, Pati. Tentu bisa ditebak, pasti ada warung favorit para kru bis untuk memenuhi hak lambung yang kosong setelah 7 jam tak terisi semenjak lepas dari Rumah Makan Taman Sari, Pamanukan. Yup, warung makan Mbak Sri namanya. Sajian utamanya adalah kuliner khas Bumi Minatani, yakni Nasi Gandul.


 


Demikian pula Mas Hendro, langsung memarkir armadanya di depan eks Terminal Pati itu.


 


Bis tinggal menyisakan kurang lebih 10 orang, dengan tujuan kota-kota di timur Kota Pati.  Mas Hendro pun ijin dahulu kepada penumpang.


 


“Pak/Bu, badhe nyarap rumiyin. Monggo, ingkang badhe nderek njajan, ning yarwe (mbayar dewe) nggih!”, ujarnya dengan sopan. (Pak/Bu, kita sarapan dulu. Silahkan yang ingin jajan, tapi bayar sendiri ya!)


 


Akhirnya, ada beberapa penumpang ikut “sarapan terlalu pagi”, termasuk saya. Memang cocok, di saat perut sudah mulai keroncongan, mengecap menu nasi gandul yang hangat, sedap dan menyegarkan.


 


Tak lebih dari 15 menit, semua selesai dengan  urusan perutnya. Semua masuk ke dalam bis, bersiap meneruskan perjalanan. Pak Hendro kembali ke ruang kemudi sambil asyik menghisap rokok, sedang si kenek duduk manis di kursi sebelah sopir. Berhubung warung Mbak Sri bukan pemberhentian resmi PO Nusantara, jadi tidak ada “ritual” pengecekan penumpang sebelum bis diberangkatkan kembali.


 


Bis kembali berjalan, pelan-pelan dan makin lama makin kencang melaju di jalanan Kota Pati yang masih sepi. Kira-kira 2 km dari tempat jajan tadi dan kecepatan bis setidaknya 70 km/jam, tiba-tiba ada orang naik sepeda motor berboncengan menyalip secara ugal-ugalan. Setelah sejajar dengan posisi pengemudi bis, sang rider justru memainkan gas sambil gigi persneling motornya ditahan (mem-bleyer). Suara knalpotnya yang cempreng cukup membuat telinga kaget.


 


Tak sabar Mas Hendro sampai mengumpat : “As*, numpak motor wae ugal-ugalan, tak pepet m*d*r kowe!” (An***ng, naek motor saja ugal-ugalan, aku pepet mampus kamu!)


 


Akhirnya sepeda motor butut itu bersalip menyalip sembari  telunjuk kiri pengendara motor menunjuk-nunjuk pembonceng.  Kemudian tangannya melambai, memberi kode supaya bis berhenti.


 


Oalah…ternyata itu tukang ojeg beserta penyewanya.


 


Barulah Mas Hendro tersadar : “Waduh, kuwi penumpang langgananku. Wong Cepu…” , sambil mengerem bisnya. (Waduh, itu penumpang langgananku. Orang Cepu…)


 


Gerrr…seisi bis langsung terpingkal-pingkal, seolah menonton tayangan komedi yang menghibur di televisi.


 


Akhirnya kru bis meminta maaf kepada penumpang tersebut karena keteledorannya. Beruntung “penumpang ketinggalan kereta” ini sadar akan kekeliruannya sendiri. Saat membalasnya, dengan tersenyum dia berujar, “Rego tiket-e nambah 10ewu Mas…” (Harga tiketnya tambah 10 ribu Mas...)


 


“Sepurane Mas, ngene iki yen kepikiran Mbak Sri (pemilik warung),” canda  Mas Hendro untuk melupakan kekecewaannya.  (Maaf Mas, begini kalau kepikiran sama Mbak Sri.)

Kenek Ketinggalan Armada

kramat-djati1

Kenek Ketinggalan Armada


 


Penumpang ketinggalan bis itu lumrah. Tetapi, bagaimana kalau justru kru yang ketinggalan armadanya sendiri?


 


Cerita lucu berikut saya alami ketika naik bis Kramat Djati jurusan Jakarta-Kudus-Bojonegoro. Kisah konyol ini terjadi pada paruh tahun 2005. Sekedar informasi, sekarang trayek Kramat Djati Jakarta-Bojonegoro dalam status “tidur”.


 


Waktu menunjuk angka 16.00, ketika bis Kramat Djati siap diberangkatkan dari terminal Rawamangun. Agen memerintahkan checker untuk mencocokkan jumlah penumpang dengan daftar yang tertera di surat jalan. Sementara si sopir sudah siap di balik stir kemudi. Tak lama berselang,  sopir dikasih kode go, silahkan berangkat, oleh checker. Bis pun melenggang meninggalkan terminal.


 


Sesampai di Jalan Pemuda, sopir kelihatan bingung, celingukan ke kiri ke belakang, mengintip dari kaca spion di atas tempatnya duduk. Mungkin perasaannya ada something wrong. Para penumpang belum ada yang ngeh tentang masalah yang muncul.


 


Sedetik berlalu, dipanggilnya sopir kedua yang sedang istirahat di belakang dengan setengah berteriak.


 


Sopir I  : “Hey, kenekmu endi?” (Hey, kenekmu mana?)


Sopir II : “Lho, durung numpak ta?”, sambil berjalan ke depan.  (Lho, belum naik apa?)


Sopir I : “Wah, iki piye? Pantesan kok ora ono snack kanggo penumpang. Wis, telpon agen wae, kon nyusul mrene, tak tunggu ning kene!” (Wah, ini gimana? Pantas saja  tidak ada snack buat penumpang.  Sudah, telepon agen, kita tunggu di sini!)


 


Bis segera dipinggirkan untuk berhenti. Eh, saat baru saja sopir II hendak menelepon, mendadak ada motor berhenti di depan bis. Ternyata adalah tukang ojeg yang mengantar kenek bis, yang terlihat kepayahan menenteng puluhan kardus berisi makanan kecil. Para penumpang langsung tertawa menyaksikan kejadian tersebut.


 


Saat sudah di dalam bis,


 


Sopir I : “Walah, kowe ki ning ngendi wae?” (Walah, kamu dari mana saja?)


Kenek : “Lagi njupuk snack kok malah ditinggal?”, sambil menggerutu.  (Lagi ambil snack kok malah ditinggal?)


Sopir I : “Lha aku dikon mangkat karo petugase, nganti ga eling kowe wis numpak opo durung.” (Aku disuruh berangkat sama petugas, tidak  ingat kamu sudah naik apa belum.)


Kenek : “Goror-goro ngene, dadine aku kelangan cemban kanggo ngojeg!” (Gara-gara begini, aku kehilangan duit sepuluh ribu untuk ongkos ojeg.)


 


Hahaha...lucu juga melihat sopir I dan kenek  saling menyalahkan. Namun, akhirnya mereka juga menertawakan keteledoran yang dibuat sendiri.

Rabu, 29 April 2009

Bis Masuk Jembatan Timbang

[gallery columns="2"]

 

 

 

Di balik panasnya persaingan bisnis angkutan bis, seringkali lahir cerita-cerita menarik. Dinamika harian berputarnya roda bis melibatkan banyak manusia, beragam aktivitas dan semrawutnya kondisi jalan raya, sehingga memunculkan kejadian-kejadian lucu, unik, aneh-aneh, menyentuh dan segar.


 


Salah satunya seperti yang dituturkan oleh kru PO Dahlia Indah, trayek Tulungagung-Jakarta, sewaktu menunggu armadanya perpal di Terminal Pulogadung.


 


 


Sudah menjadi rahasia umum, sebagai PO yang menganut sistem setoran, bis Dahlia Indah siap menaikkan apa saja. Tak hanya manusia, paket barang, kendaraan, tanaman, bahkan binatang piaraan pun sah-sah saja. Yang penting cocok soal harga.


 


Ada kisah guyonan tapi benar-benar membuat kru Dahlia Indah tersinggung berat.


 


Suatu hari, sebut saja Pak Bongkek, sopir Dahlia Indah, dan krunya mengangkut aneka barang bawaan penumpang di kabin bisnya. Saking banyaknya, barang-barang tersebut menggunung sampai ke jendela dan dinding kaca bis. Sementara, kaca samping bis tidak dipasang pelapis kaca film. Alhasil, sebagian barang  terlihat mencolok dari luar.


 


Saat bis Dahlia Indah melaju di sebuah ruas jalan, bis ini sengaja disejajari oleh bis malam Rosalia Indah jurusan Solo-Jakarta  yang berjalan searah. Terjadilah dialog antar kru. Kurang lebih pembicaraan mereka sebagai berikut :


 


Kenek Rosalia Indah:


"Bos, bismu iku ngko mlebu jembatan timbang tah?” (Bos, bismu nanti masuk jembatan timbang nggak?) 


 


Pak Bongkek terdiam sejenak, lalu menjawab.


 


"Dianc**, nek ngomong sik enak Rek. Elek-elek ngene ngasilke. Awakmu karo juraganmu dikongkon klambi necis, bayarmu piro seh?”


(Kalau ngomong yang enak. Jelek-jelek begini bisku menghasilkan rejeki. Kamu disuruh majikanmu tampil dengan baju rapi, tapi gaji yang sebenarnya kamu terima berapa?)


 


Kenek Rosalia Indah mukanya merah padam dan meminta sopir untuk langsung menginjak gas, meninggalkan Dahlia Indah di belakang.


 


Bercanda itu boleh-boleh saja, sepanjang tidak menyinggung harga diri. Hehehe…


 


Sumber : milis bismania community


 

BMC for Nusantara’s 41th Anniversary

[gallery]

Tepat pada Hari Sabtu, 25 April 2009, kiprah PO Nusantara dalam blantika transportasi bis Indonesia genap menapak usai 41 tahun. Rangkaian perjalanan yang panjang, berliku,  diwarnai era pasang surut, serta penuh tantangan dan hawa kompetisi,  untuk mematangkan sebuah bisnis transportasi hingga berkembang menjadi besar.  Dari rintisan awal berupa pengoperasian 2 unit armada merk GAZ buatan Uni Sovyet pada tahun 1968, kini PO Nusantara memiliki “kekuatan” mencapai 400-an unit armada.


 


Core businessnya bukan semata mengelola bis AKDP dan AKAP, namun merambah pula bis pariwisata (dengan nama Symphonie) hingga usaha ekspedisi barang (di bawah bendera Nusantara Courrier Service). Perjuangan pantang menyerah dan kerja keras tanpa lelah dalam mengutamakan pelayanan kepada pengguna jasa menghantarkan hasil nan gemilang. Nama Nusantara kian lekat dan tertanam di hati masyarakat pengguna moda transportasi bis. Berkali-kali gelar PO terbaik versi Dinas Perhubungan berhasil digenggam, sebagai bukti bahwa citra dan eksistensi PO yang sekarang dipimpin oleh Bapak Handojo Budianto ini layak mendapat award dari pemerintah.  


 


Sebagai wujud apresiasi dan penghargaan bagi PO Nusantara, di hari ulang tahunnya kemarin, Bismania Community (BMC) menyerahkan nasi tumpeng dan karangan bunga kepada manajemen. Selain sebagai bentuk ucapan selamat atas ulang tahun yang ke-41, acara ini sekaligus sebagai simbol bahwa kerjasama yang telah terjalin antara BMC dan PO Nusantara akan terus dilanjutkan.


 


Pas tengah hari, acara potong tumpengan dihelat. Acara dibuka langsung oleh Mas Ferry “Gus Gopenk”, yang membeberkan maksud dan tujuan kunjungan BMC ke Pool Karanganyar. Mas Andi, selaku wakil dari pihak Nusantara, yang menerima “paket penghargaan” ini mengaku cukup surprise. Di saat PO Nusantara tidak menggelar acara khusus untuk merayakan ulang tahun yang ke-41, kepedulian dan antusiasme member BMC untuk berbagi kebahagiaan, membuat keluarga besar PO Nusantara merasa tersanjung dan bersuka cita.


 


“Saya sampai membatalkan satu acara, setelah dikabari kalau anak-anak Bismania datang ke sini. Bagi saya, bertemu dengan Bismania adalah waktu berharga, karena saya bisa mendapat masukkan, saran maupun keluhan tentang kondisi di lapangan tentang PO Nusantara”, tandasnya.


 


Sebelum dimulai acara puncak, doa bersama digelar. Doa pengharapan semoga PO Nusantara makin berjaya dan sukses dalam menjalankan roda bisnisnya, menjadi PO yang makin diperhitungkan perannya dalam menunjang perekonomian nasional. Selanjutnya pucuk tumpengan dipotong sendiri oleh ketua BMC Jateng Utara untuk selanjutnya diserahkan kepada Mas Andi. Dengan senyum bahagia, wakil tuan rumah ini menerima potong tumpeng seraya menghaturkan ucapan terima kasih kepada BMC atas prakarsa untuk merayakan ulang tahun bersama pihak Nusantara.


 


 


Akhirnya, sebagai bentuk kebersamaan, tumpeng dan hidangan pelengkapnya dinikmati bareng-bareng. Dari pihak PO Nusantara, selain  Mas Andi, hadir pula Mas Kiki “Patas”, sehingga acara makan siang dijadikan ajang ramah tamah, dengar pendapat, tanya jawab dan “pertemuan bilateral” antara PO Nusantara dan BMC. Banyak berita dan kabar terbaru dari PO Nusantara yang diwartakan Mas Andi dalam menghadapi sengitnya kompetisi antar PO. Sedang dari pihak BMC tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada PO Nusantara, karena selama ini telah banyak membantu dan membimbing komunitas Bismania agar menjadi komunitas yang “bernilai” dan bisa memberikan peran positif bagi kemajuan dan perkembangan dunia transportasi darat, khususnya moda bis. Meski dilangsungkan dalam suasana sederhana dan santai ini,namun tidak mengurangi kekhidmatan dan kemeriahan acara.


 


“Di tengah persaingan yang kian kompetitif, PO Nusantara akan all out, tidak cukup hanya berpuas diri dengan pencapaian sekarang, kita akan terus fight”, tekat Mas Andi sebelum mengakhiri even BMC for Nusantara’s 41th Anniversary.


 


Selamat Ulang Tahun ke- 41  Nusantara!!! Selamat dan sukses, semoga tetap berkibar sebagai PO terbaik, terunggul dan terdepan dalam pelayanan dan inovasi.

Senin, 20 April 2009

Tak Selamanya Sarkawi itu Indah (III)

Voice from The Sky, “Say No to Sarkawi”


 


Minggu pagi menjelang siang (01/03) di Terminal Rembang


“Bu, pesan tiket Sumber Urip ke Pulogadung buat nanti sore ya!”, kataku kepada seorang ibu penjaga loket Tri Sumber Urip.


“Mau yang jam berapa Mas,  4 apa 5?”


 


Wah…ternyata ada bis yang lebih malam berangkatnya dari Rembang. Lumayan, menambah sedikit waktu di rumah, mengganti kerugian kemarin yang dirampas kerusakan jalan pantura.


 


“Yang paling sore saja ya Bu. Dapat bis yang baru ngga Bu?”


“Tergantung Mas, bisnya sering diputar-putar antara trayek Tuban-Jakarta dan Bangilan-Jakarta. Yang jam 5 bis dari Tuban”


“Pesan satu ya Bu. Harga tiket berapa?”


“Seratus Mas, dapat makan”


 


Sorenya, tepat pukul 17.15, dia datang kembali. New Travego Morodadi Prima K 1548 AD, bermesin Hino. Ini bis yang tempo hari menjadi ajang transaksi haramku dengan kru. Tepat sasaran…aku bisa menebus dosaku dengan kebaikan di tempat yang sama.


 


Kondisi bis hampir penuh penumpang. Dan menurut penumpang sebelahku, sambutan para calon penumpang di daerah Tuban terhadap Tri Sumber Urip cukup baik. Bis asal Karangturi, Lasem ini memberikan alternatif perjalanan yang murah tapi tidak murahan. Harga tiket “hanya” Rp.140.000,00 dari Tuban, selisih jauh dengan tiket bis-bis pendahulunya seperti Pahala Kencana, Kramat Djati dan Lorena, yang menawarkan harga menyentuh angka dua ratus.


 


Demikian pula dengan penumpang daerah Juana. Bis ini favorit sebagai “angkutan ekspedisi” barang-barang hasil kerajinan kuningan dan tembaga, yang dibawa ke Jakarta dan sekitarnya. Disamping harga ekonomis per koli-nya, kru Tri Sumber Urip pintar mengambil hati para pengusaha home industry kuningan yang tersebar di daerah Juana. Selama puluhan tahun, hampir tidak pernah ada barang paket yang bermasalah bila dibawa oleh bis ini. Mereka terpuaskan atas pelayanannya.


 


Tiba di salah satu rumah makan di seputaran Gringsing, saatnya penumpang untuk menukar kupon makan malam. Saat menyantap menu ala Rumah Makan Kota Sari, kulihat sebuah bis Tri Sumber Urip, saudara kembar bis yang aku naiki, teronggok di pojok rumah makan. Sama-sama berkaroseri Morodadi Prima New Travego. Tak tampak tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Sehabis makan dan menunaikan sholat, kucoba kudekati bis “mati” ini.


 


Ya ampun… bis berplat nomor K 1580 AD ini bagian depannya hancur berantakan. Kaca besar, lampu-lampu utama, TV LCD 19’, spion dan aksesoris smiling lamp pecah, serta bodi depan tak berbentuk lagi.


tsu-laka


Sedang asyik “mencumbui bangkai” ini, tiba-tiba datang menghampiri seorang kru Tri Sumber Urip yang begitu akrab aku kenal. Beliau adalah Pak Yusman, driver yang aku dan Mas Fathur pernah temui di Terminal Pulogadung, yang malam itu bertugas menjadi menjadi sopir pertama.


 


“Pak, apa yang terjadi dengan bis ini?”, tanyaku penuh selidik.


“Kecelakaan beruntun di Banyu Putih Mas. Ada truk menyundul belakang bis Rajawali, dan karena jarak kurang aman, bis ini menabrak truk naas itu”, kata Pak Yus, sopir yang sudah 25 tahun menjadi pengemudi bis, yang merintis profesinya di PO Artha Jaya.


 


Masya Allah…tiba-tiba terlintas dalam ingatan tentang kecelakaan yang terjadi hari Sabtu pagi di tanjakan Banyu Putih. Jadi Si Ungu ini pun terlibat di dalamnya. 


 


“Bis ini berangkat dari terminal mana Pak?”


“Pulogadung Mas”


“Ah…Jumat sore tidak ada bis Tri Sumber Urip dari Pulogadung Pak. Saya sampai jam 6 sore menunggu, nihil Pak”, tungkasku.


“Ada kok Mas. Bis ini keluar terminal jam setengah tujuh, berhubung penumpang sepi”


 


Astaghfirullah…andai aku “bersabar” 30 menit lagi menunggu, bisa jadi aku naik bis celaka ini. Andai garis Tuhan tetap seperti skenario awal, aku pasti turut di dalam kecelakaan Alas Roban. Berapa banyak lagi waktuku terbuang percuma di jalan. Betapa susahnya terlunta-lunta di jalanan, sementara tujuan akhirku masih jauh. Andai hingga aku mengalami cedera fisik, ah…ngeri membayangkannya.  


 


Seketika air mataku berlinang.


 


Ya Allah...Engkau masih menyanyangiku, dengan memberi teguran lembut. Aku memang tidak Engkau ridhoi untuk berkolusi dengan kru. Engkau tak merestui transaksi abu-abu antara aku dan kenek. Engkau menyadarkanku, bahwa tak selayaknya aku menjadi sarkawi. Langit-Mu telah menggemuruhkan suara berisi peringatan.Sekarang bola di tanganku, berani tidak aku selanjutnya berkata “Say No to Sarkawi”.

Tak Selamanya Sarkawi itu Indah (II)

Karma itu Kejam


Setiba di terminal yang terletak di Jalan Perserikatan No.1, tinggal bis-bis plat K yang mendominasi.  Setelah kubayar si penjaja jasa ojeg, bergegas kumenuju loket Nusantara. Wajah “awu-awu” resmi PO Shantika tersenyum melihatku berjalan terburu-buru.


 


Ngga naik bis-ku Mas”, candanya, karena dia tahu aku hanya mau naik bis Jepara ini jika kehabisan tiket-nya Pak Hans.


 


Tiba-tiba petugas tiket PO Senja Furnindo menghentikan langkahku.


“Mas, Kudus cepek, dapat makan!”


“Haa…murah banget? Mana ini hari Jumat lagi”, gumamku.


“Benar Mas, Kudus dan Pati sama”, nyerocos dia untuk meyakinkanku, dan jari tangannya siap menuliskan namaku di selembar tiket.


“Mas, begini saja. Aku sebenarnya mau ke Rembang. Aku tanya ke loket Nusantara dulu. Kalau habis, aku beli tiketmu. Oke!”, jawabku untuk menurunkan tensi agresifnya.


 


Hmm…pasti ada something wrong sampai tiket bis dijual murah. Pasti penumpang sedang sepi. Yup…dan pasti tiket NS 19 masih ada yang dijual. Hatiku melonjak kegirangan.


 


“Mbak, ke Rembang satu ya”, pintaku pada Mbak Delima, ticketing girl from Medan.


“Masih banyak kursi kok Mas. Pilih yang mana? Tiket juga turun Mas, cukup seratus lima belas saja”.


Nah, benar kan? Penumpang sepi, tiketpun turun.


 


Kuambil seat no. 26, untuk menyusuri long road Rawamangun-Rembang bersama NS 19, bermesin “Raja Singa” K 124 IB. Berhubung kursi nomor 7 kosong saat pemberangkatan, akhirnya kupindah ke depan. Dengan harapan, pandanganku lebih luas ke depan, siapa tahu nanti di jalan bertemu Blue Star yang membawa rombongan BMC ke Jogja. Hehehe…


 


Namun, perjalanan dengan HS 151 kali ini kurasa menjemukan, sama sekali tak istimewa. Mungkin aku lelah hati dan kecewa mendalam dengan kegagalanku mengecap kembali Si Ungu La Viola. Bahkan kemacetan parah akibat perbaikan jalan di daerah Losari menghambat laju NS 19, jam 03.30 dinihari “baru” sampai Brebes. Semakin menjadi-jadi kekesalan dalam hati. Buyar sudah harapanku untuk segera segera bertemu putriku lebih cepat, dan kususun ulang rencana pertemuan dengan mitra kerja di kampung.  Lebih banyak kuhabiskan waktu di dalam bis untuk merenung dan berkontemplasi, menenangkan diri dan berpikir jernih. Bahwa tak selamanya sarkawi itu indah.


 


Andai aku tadi naik bis langgananku, Nusantara Pulogadung, tentu tak begini jadinya.  Andai aku memilih menjadi penumpang resmi, tentu tak perlu repot pontang panting ke sana – ke sini. Penyesalan pasti datangnya di akhir cerita. Huh…aku tak perlu meratap, toh keputusan apapun yang aku ambil, aku harus siap dengan konsekuensinya.


 


Aku bertekad, akan kubayar kekhilafanku nyarkawi di Tri Sumber Urip.


 


Bila kita berbuat salah di satu tempat, tutupilah dengan berbuat kebajikan di dalamnya.


 


Begitu petuah bijak guru mengaji-ku di kantor. Nanti pas perjalanan balik ke Jakarta, aku akan berbaju legal naik Tri Sumber Urip. Yes, I can


 


Jam 05.30, lalu lintas merayap lagi di tanjakan Banyu Putih Alas Roban. Sebuah truk Mitsubishi Colt Diesel 120 PS menumbur dengan telak pantat bis Rajawali Bandung-Solo. Saking kerasnya hingga moncong truk ringsek, terlipat, seolah menyatu dengan baknya. Hanya tinggal kendaraan yang masih di TKP, para korban tampaknya sudah dievakuasi. Praktis cuma satu lajur ke arah Semarang yang bisa dilewati.


 


Ku-SMS Mas Fathur untuk menanyakan posisi Blue Star, dan ternyata telah sampai di Gombong, setelah rombongan BMC memutuskan untuk lewat jalur selatan. Sebuah pilihan yang tepat. Jika saja lewat pantura, bisa-bisa tengah hari baru tiba di Jogja.


 


Jam 10.30, NS 19-ku mendarat di Kota Rembang. Ck ck ck…hampir 15 jam. Nuansa perjalanan hari biasa serasa arus mudik lebaran.


 


Karma yang kejam untuk membayar secuil niat menjadi seorang sarkawi.

Tak Selamanya Sarkawi itu Indah (I)

Jalan Buntu


Sudah hampir satu setengah jam aku hanya berdiri terpaku di emperan sebuah counter HP, di sebelah pool PO Dewi Sri, Pulogadung. Makhluk idamanku belum tampak juga batang moncongnya. Aku begitu melambungkan angan-angan dan bahkan sampai berani mempertaruhkan diri untuk kembali ke lembah sarkawi, dengan harapan mendapat armada Tri Sumber Urip yang berbalut baju Jupiter Tentrem. Aku tak mau repot ke Terminal Pulogadung, lebih banyak ribetnya daripada dapat mudahnya.  Jadi bukan hanya alasan dana pas-pasan seorang menjadi benalu transportasi, menyandang status sarkawi.


 


Sosok Setra Adi Putro Pahala Kencana New Butterfly Pulogadung-Bangilan, tak membuatku tergerak untuk menghentikannya. Disusul Karina Old Travego Adi Putro KE 530 Pulogadung-Sampang yang seatnya masih banyak tak laku, tak memalingkan mataku untuk meliriknya. Dan terakhir Sido Rukun Pulogadung-Blora berkaroseri Setra Piala Mas, --Pak Sopir sampai memberi kode dengan lampu dim ke arahku--, tak menggoyahkan pendirianku untuk menggenggam mimpi yang masih semu.


 


Jarum waktu tinggal berjalan 5 menit lagi untuk menggenapkan menjadi pukul 18.00 WIB. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku, menunggu “kekasih baru” tak kunjung datang.


 


“Mas, kalau jam segini bis ke Kudus sudah tak ada lagi. Tinggal bis-bis Cirebon dan Tegal”, kata anak muda penjaga counter, yang seakan lebih tahu jadwal bis daripada petugas terminal Pulogadung.


 


Cepat-cepat kuhubungi teman komuterku,-yang apesnya,- sedang tidak berencana pulang ke Blora.


 


“Pak San,  sampai jam segini kok Sumber Urip ngga ada ya Pak”, tanyaku gemetaran.


“Oh iya Pak Edhi, kalau ngga ada, biasanya bisnya dipakai buat wisata. Tapi coba tunggu sebentar lagi, siapa tahu jalanan macet”, jawabnya.


 


Duh…semakin ciut nyaliku untuk menanti sebuah ketidakpastian. Teringat anakku yang masih butuh recovery pasca sakit, pasti menunggu bapaknya besok pagi lekas sampai di rumah. (Hal ini yang menggagalkan rencanaku turut Famgath Bismania Community di Jogja). Belum lagi ada rekan bisnis mendadak mengajak janjian bertemu di Sabtu pagi, yang berarti time is money (beuh…lagaknya). Bagaimana aku bisa mengejar waktu kalau menjelang malam begini belum mendapat bis yang membawaku pulang ke Rembang?


 


“Pak, tolong antar saya ke Rawamangun”, suruhku pada tukang ojeg yang mangkal di samping pool Garuda Mas.


 


Aku harus berpikir pragmatis dan bertindak cepat. Kutanggalkan perhitungan spekulatif. Kincir raksasa agendaku berubah 360 derajat. Nasibku kini kusandarkan di punggung Terminal Rawamangun. Kukembangkan “isi dompetku” menghadapi pilihan sulit. Alamak…ini juga hari Jumat menjelang weekend, alamat tiket Nusantara NS 19 sudah full booked. Sudahlah…apapun yang terjadi di Rawamangun, harus aku hadapi. Hampir delapan tahun menggelandang di jalanan, apa yang mesti aku takutkan.


 


Sejengkal lagi ufuk barat akan menenggelamkan raja siang, pertanda hiruk pikuk kehidupan malam akan segera di mulai. Rencana sarkawi-ku menemui jalan buntu.

Kekonyolan; Ekses dari Persaingan Sengit

Semarang-Surabaya merupakan salah satu jalur terpanas dalam kancah bisnis transportasi bis di Pulau Jawa. Indikasi sederhananya bisa dilihat dari interval antar bis yang sempit, tidak lebih dari 10 menit,  dan karakter jalan para pengemudinya yang speed oriented, untuk tidak dibilang ugal-ugalan. Bukan adu jago dalam hal mencari penumpang, melainkan berlomba pula dalam pertaruhan gensi dam reputasi perusahaan.  “Bis di belakang jangan kebagian sewa”, seolah itulah “fatwa haram” yang ditanamkan para owner kepada para kru bis.


 


Namun, dibalik sengitnya persaingan antar PO --khususnya antara Widji Lestari kontra Restu Grup (Restu dan Sinar Mandiri)-- muncul cerita konyol yang terkadang menjadi intermezzo dalam perang Bharatayudha di “Padang Kurusetra” yang membentang dari Kota Lunpia hingga Kota Rujak Cingur.


 


Kejadian ini saya alami sendiri ketika selesai menjajal armada Hino terbaru Shantika tanggal 06 Maret silam. Bermesin RK8 R260 dengan baju New Travego Marcopolo Adi Putro, yang dibenamkan piranti tambahan berupa air suspension di kaki-kakinya. Berhubung Si Ijo Tosca ini tidak melayani trayek sampai ke Rembang, saya turun di Terminal Kudus untuk meneruskan perjalanan.


 


Di dalam terminal, terlihat PO Widji Lestari ATB sedang berhenti. Tak selang lama kemudian PO Restu kelas Ekonomi masuk terminal juga. Dua-duanya ke arah Tuban. Saya ogah masuk ke dalam terminal, dengan alasan saya tidak mau gambling naik bis. Yang saya cari adalah bis yang berangkat lebih dahulu. Saya ingin memangkas waktu yang telah tersita oleh perjalanan bis Jepara tersebut. 12 jam untuk rute Rawamangun-Kudus bagi saya terlalu lama. Maka saya cukup menunggu di dekat pintu keluar.


 


Ternyata PO Restu hanya mampir sesaat untuk membayar retribusi dan langsung melenggang keluar. Dengan sigap saya pun melompat naik, ketika sopir menghampiri setelah melihat lambaian tangan saya. Saya memilih duduk di bangku paling belakang di dekat pintu. (Sepertinya ini hobi Cak Awan…). Dari balik kaca belakang, saya sempat  melihat bis Widji sepertinya tidak terima disalip dan langsung mengikuti dari belakang.  


 


Bisa ditebak, kedua bis langsung terlibat sprint race di sirkuit sentulnya Kudus, yakni jalan lingkar kota, dengan titik start di Terminal Jati hingga garis finish di lampu merah Ngembal (dekat Pool PO Haryanto). Seakan terbayar kekecewaan naik Shantika yang slow but not sure, dibalas oleh goyangan maut sopir Restu. Hasilnya, Setra New Armada PO Widji cukup kewalahan dan akhirnya hilang ditelan asap bis Restu. Lepas dari tugu batas kota Kudus, tensi darah sopir makin memuncak.  Gaya menyetirnya mengadopsi  western rules, berjalan di sebelah kanan. Hehehe…Sopir-sopir angkutan barang yang diblong hanya bisa geleng-geleng kepala. Cukup 30 menit untuk menaklukan jalur Kudus-Pati. It is not only a  bus, it is a rocket bus…


 


Tiba di pertigaan Sleko, Pati, si Ijo dari Lawang Malang pun berhenti untuk ngetem. Maklum, penumpang baru terisi 1/3 dari kapasitas. Mungkin kru juga berpikir ulang, tidak mau memperturutkan nafsu aksi gila-gilaan di jalan tapi minim pendapatan. Toh, bis Widji Lestari jelas-jelas telah tertinggal jauh.


 


Sopir dan kenekpun turun dan ngopi di warung sebelah halte Sleko. Mungkin adrenalin yang “mendidih” memicu rasa haus mereka. Sementara kondektur sibuk menemani controller mengecek tiket dan mencocokkan dengan jumlah penumpang yang ada.


 


Setelah 10 menit bis berdiam diri dalam posisi idle, tiba-tiba kondektur melongok keluar pintu dan teriak, “Heyyy, Widji wis ketok !!!” (Hey, Widji sudah kelihatan). Serempak sopir dan kenek langsung terbirit-birit ke dalam bis. Entah sudah dibayar apa nge-bon kue dan kopi yang telah dihabiskan. Penjaja asongan cepat-cepat menyelesaikan transaksi dengan penumpang karena bis akan berangkat kembali.


 


Buru-buru gas diinjak dalam-dalam, bis langsung “meloncat”. Saya pun ikut mengintip, tampak di belakang seteru abadinya, “Widji Lestari”, yang terhalang sebuah light truck produksi Tiga Berlian dan beberapa kendaraan kecil. Gendeng…Jalur Pati-Juana yang sebagian besar sudah mulus jadi ajang kejar-kejaran. “PO dari Lamongan” itu juga terus membuntuti dari jarak sekitar 25 X panjang truk gandengan. (Hitung sendiri ya!). Wah seru…“Si Putih Biru” ini juga tak mau kalah. Kondektur yang berdiri di belakang terus mengasih aba-aba kepada sopir “Mburi rapet…mburi rapet!!!” (Belakang mulai rapat). Seolah mendapat cambukan cemeti, bis makin kencang melaju. Jangan ditanya soal kenyamanan, yang penting bagaimana bisa kembali meninggalkan bis belakangnya. Penumpang lebih banyak yang terdiam sambil memegang erat kursi di depannya, menahan kengerian. Restu dengan karoseri relatif baru ini pun tak kuasa menghasilkan bunyi-bunyian riuh rendah di dalam kabin.


 


Tapi sayang, masih ada titik perbaikan jalan Pati-Juana sehingga semua kendaraan melambat karena ada antrian. Sopir dan kondektur terlihat pasrah, “Wis, kenek sakiki”, kata kondektur kepada sopir dengan kesal. (Sudah, kita tertangkap).


 


Di belakang, “Bis Widji” lambat laun mendekat. Sekonyong-konyong, kondektur berteriak kembali, “Eh dudu, bis Lorena. Sepurane Cak !!!” (Eh bukan, Bis Lorena. Maaf…). Karena penasaran saya pun berdiri. Hahaha…ternyata LE 440 Jakarta-Jember yang kesiangan. Pantas saja dia ikut “ngebut” karena jamnya pun molor.


 


Para penumpang pun tertawa terbahak-bahak. Sopirpun hanya berteriak bernada umpatan dengan logat Jawa Timur-an.”***cuk, tiwas ngebut, tibakke dudu Widji”. (Tiwas ngebut, ternyata bukan Widji).


 


Persaingan terkadang membutakan mata…

Rabu, 15 April 2009

Mas Yono, Pewaris Resep Sate Jagal Mbah Soe


[gallery columns="2"]


Ada satu hal yang aku sukai bila jalan-jalan di Kota Blora. Kendati hanya kota kecil, tapi hampir di setiap sudut gampang ditemui warung-warung yang menyajikan kuliner daerah petrorupiah ini. Inilah yang selalu menjadi target buruan bila aku berkesempatan mengunjungi kota yang jauhnya 25 km dari rumah tinggalku.


 


Sekian lama yang aku bidik adalah sate jagal Mbah Soe. Nah, beruntung sewaktu pulang berbelanja bulanan dari toko swalayan Alfim bersama putri dan istriku tercinta, ketika melintasi Jalan Arumdalu, ada sebuah warung yang menjual sate jagal ini. Padahal selama ini aku juga tidak tahu persis, lokasi dan nama warung yang dimiliki Mbah Soe. Tapi setelah melihat spanduk bertuliskan “Sate Daging Sapi (Jagal) Mbah Soe Blora”, dengan style yakin, kusinggahi warung sederhana ini. Meski kadarnya tak sampai 100%, aku masih percaya kejujuran orang-orang kampung dalam berdagang. Termasuk kepada pemilik warung ini, yang akrab dipanggil Mas Yono.


 


Saat disapa oleh Mas Yono selaku tuan rumah, kesan pertama yang aku tangkap, si empunya sangat-sangat ramah, murah senyum dan supel. Wah, sepertinya enak diajak ngobrol. Sembari menunggu sate sapi siap dihidangkan, kucoba mengorek keterangan tentang sate jagal.


 


“Kok Mas Yono dipanggil Mbah Soe, bagaimana ceritanya Mas?”, tanyaku sok bodo. Padahal dari wajah dan fisik, jelas Mas Yono ini masih muda.


Dengan tersenyum, lelaki yang selalu memakai peci hitam identitas tukang sate ini menjawab,


“Saya cucunya Mas, Mbah Soe sudah meninggal dua tahun yang lalu. Saya hanya meneruskan usahanya. Ini peninggalan yang harus saya jaga Mas.”


 


Wow…sebuah amal mulia dan perlu dicatat dalam daftar para pahlawan kuliner! (Andai ada).


 


Menurutnya, ada banyak warung sate jagal yang mengatasnamakan Mbah Soe. Tak heran, karena Mbah Soe kondang sebagai generasi pertama “pencipta” menu sate jagal. Kurang afdol bila berjualan sate sapi tanpa embel-embel nama Mbah Soe. Inilah trik dan strategi dagang agar dikenal oleh calon pembeli, meski penjualnya bukan keturunan dari Mbah Soe.


 


Tapi tak apalah. Toh, meski aku belum mencoba meng-compare citarasa dari setiap warung sate jagal, paling juga cuma beti (beda tipis). Apalagi Mas Yono ini adalah generasi ketiga Mbah Soe, pastilah resep rahasia warisan Mbah Soe ada di tangannya.


 


Tak sampai 10 menit, sate pun terhidang. Sebenarnya wujud satenya biasa-biasa saja, hanya daging sapi muda. Namun, kalau diexplore mendetail, setidaknya ada empat hal yang menurutku unik dan menarik dari sosok sate jagal ini.


 


Pertama, bumbu sate. Umumnya, sate sapi atau kambing disajikan dengan sambal kecap manis, dengan irisan bawang, cabe rawit dan tomat sebagai pelengkapnya. Namun sate jagal Blora justru menggunakan bumbu kacang berwarna kuning kecoklatan. Sebagai bahan pengencernya adalah kuah santan. Menurutku hampir sama dengan bumbu sate srepeh Kota Rembang. Namun soal rasa jangan ditanya, kombinasi gurih, manis dan pedas saling berpadu.


 


Selanjutnya adalah cara penyajian. Nasi putih tidaklah dihidangkan di atas piring, melainkan dalam bungkus daun jati. Nasi pun bukan “polosan”, melainkan diguyur oleh kuah soto, berisikan mie hun, daun seledri serta ditaburi bawang goreng. Sehingga kesan sebagai sajian tradisional sangat kentara.


 


Yang ketiga adalah cara memasak. Tungku arang malah diletakkan di depan meja pembeli, sehingga asap pembakaran seolah mengurung dan wangi tubuh langsung berubah fase menjadi aroma daging bakar. Bagi yang mementingkan penampilan, pasti dibuat menyingkir. Namun bagi penggiat kuliner, justru bau asap aroma rempah-rempah ini meningkatkan gairah dan nafsu makan. Mungkin itulah alasan mengapa cara memasaknya dibuat sedemikian rupa.


 


Dan yang terakhir adalah cara bertransaksi. Sisi keunikannya, berapa rupiah yang kita bayarkan bukan berdasar seporsi sate (yang biasanya berisi 10 tusuk), melainkan dihitung berapa jumlah tusuk sate yang telah dihabiskan. Makanya, untuk diingat sebelum mencicipi sate jagal blora. Setelah menyantap hidangan, tusuk sate jangan sekali-kali dibuang, karena akan menyulitkan penjual dalam menghitungnya. Dan penjual tidak akan pernah membeberkan harga per tusuk sate, sepiring nasi dan minumannya, karena dia langsung menyebutkan grand total harga yang harus ditebus.  


 


Itulah eksentriksitas menu andalan  Blora ini. Tak akan lengkap kalau hanya selintas lalu atau numpang lewat Kota Blora tanpa menjajal sajian nusantara warisan Mbah Soe, Sate Jagal.

Senin, 06 April 2009

Menjinakkan Arus Liar Citarik

[gallery columns="2"]

 

 

Di era serba modern seperti sekarang ini, refreshing tak bisa dipisahkan dari kebutuhan dasar warga perkotaan. Terutama bagi sebagian orang yang larut dalam hiruk pikuk  dunia kerja. Rutinitas harian yang “itu-itu saja” dan pressing beban pekerjaan yang menghimpit  lama-lama membuat kinerja otak  mampet dan otot tubuh kian menegang. Bila kondisi psikis berada pada titik kulminasi kejenuhan, efeknya para pekerja  akan dihinggapi penurunan produktivitas, demotivasi, kepenatan yang amat sangat  dan matinya ide dan kreativitas untuk menunjang bidang pekerjaannya.


 


Berangkat dari pemikiran di atas, pada tanggal 04 April 2009 kemarin, divisi teknik perusahaan tempatku bekerja mengadakan acara outing rafting (arung jeram). Selain untuk menjernihkan pikiran, sekaligus dijadikan sarana mempererat tali pertemanan dan menambah kesolidan teamwork bila nanti bekerja kembali.


 


Dengan pertimbangan sebelumnya pernah merasai jeram Sungai Citatih, maka panitia merencanakan mencari lokasi arung jeram yang baru. Akhirnya satu yang dipilih adalah Sungai Citarik, Sukabumi. Event Organizer (EO)-nya dipercayakan kepada Caldera, yang berkantor pusat di Menteng, Jakarta. Konon, bagi kalangan adventurer, sungai yang berhulu di Taman Nasional Gunung Halimun ini memiliki trek yang lebih menantang, memacu adrenalin dan jeram-jeramnya lebih terjal dibanding Sungai Citatih. Selain itu view yang mengapit kanan kiri Sungai Citarik lebih indah serta airnya  terbebas dari polusi limbah buangan industri dan rumah tangga.   


 


Berhubung rencana arung jeram diperkiraan berlangsung dalam masa peralihan musim, berdasar voting terbanyak, maka arung jeram akan dilaksanakan pada pagi hari untuk menghindari kondisi cuaca yang tidak menentu.  Mengingat jarak kantor dengan daerah lokasi rafting cukup jauh, dan terlebih jalur mulai Ciawi hingga Cicurug rawan kemacetan, maka aku bersama dua puluh lima orang karyawan teknik yang lain memilih untuk menginap di Resort Caldera River di daerah Cikidang.


 


Setelah menempuh perjalanan melelahkan hampir 5 jam lamanya, kamipun sampai di tempat yang dituju. Bermalam di tepian Sungai Citarik menghadirkan nuansa alam pedesaan Sunda yang khas. Debur riak air sungai yang tercipta oleh halangan batu-batu besar, suasana kampung yang sepi jauh dari hingar bingar keramaian, hanya suara serangga-serangga hutan serta hawa sejuk khas pegunungan memberi tambahan semangat baru, bahwa besok kami semua akan melakukan kegiatan menantang penuh resiko. Setelah menikmati jamuan barbeque, kami mengistirahatkan diri di saung ala Pulau Lombok. Yakni bangunan tradisional model panggung dari kayu beratap ilalang, dengan dinding terbuka.   


 


Esok paginya, setelah menyantap hidangan  berupa nasi goreng ayam, kegiatan arung jeram bersiap dimulai. 25 orang dibagi menjadi lima grup plus satu instruktur. Setelah mengenakan piranti keselamatan yakni pelampung dan helm pengaman, serta dayung sebagai alat kayuh, kami dikumpulkan dan di-briefing tentang cara mengendalikan perahu serta prosedur keselamatan. Tampak wajah-wajah riang ceria dan diseling canda rekan-rekan kerjaku meski sebentar lagi kami akan menghadapi ganasnya arus liar Sungai Citarik. Mungkin, inilah trik dari rekanku yang sudah berpengalaman untuk mengubur stress dan ketegangan bagi yang baru pertama kali ikut acara rafting.


 


Ada beberapa istilah sebagai kode komando instruktur yang harus dipahami oleh rafter. Antara lain boom, yaitu posisi menunduk dengan tangan memegang ujung dayung di atas perahu, dancing, bila perahu stuck tersangkut sehingga harus digoyang-goyang agar terlepas, maju untuk mengayuh ke depan, mundur jika sebaliknya, rapat kanan/kiri untuk menyeimbangkan perahu agar tidak oleng kehilangan posisi dan stop yang berarti diam tanpa mengayuh.  


 


Pukul 9 pagi, bendera start dikibarkan dan kami bersiap mengarungi jalur Sungai Citarik sepanjang 13 km, sesuai paket yang kami ambil yakni Crocodile. Tidak lama dari titik permulaan, kami langsung dihadapkan pada jeram yang lumayan terjal sebagai test case dan menaikkan adrenalin. Namun, pengalaman berarung jeram di Citatih sebelumnya membuat kami bisa menikmati kegiatan ini tanpa perasaan was-was dan cemas yang berlebihan.


 


Uniknya, setiap jeram yang kami lalui mempunyai nama tersendiri sesuai sejarahnya dan bentuk bebatuan. Semisal jeram TVRI, karena di sini seorang pegawai TVRI pernah pingsan sewaktu berarung jeram. Jeram Hiu karena batu besar menyerupai punggung dan kepala ikan hiu menghalangi aliran air, jeram susu karena ada dua buah batu seukuran yang sejajar mirip (maaf) payudara dan jeram piramida karena terdapat sebongkah batu besar seperti  piramida mesir. Dan jeram yang paling menegangkan adalah jeram panjang, karena aliran air sangat deras ketika melewati alur sungai berbentuk huruf “Z” dengan turunan curam, sehingga pada saat menuking perahu terkadang terpelanting atau terbentur dinding tebing sungai. Itu semua tantangan yang mesti dihadapi.


 


Setelah 2 jam bergelut dengan derasnya air, bebatuan, jeram dan alur sungai, kami mampu menjinakkan ganasnya arus Sungai Citarik. Asyik, penuh challenge dan pengalaman yang mendebarkan menaklukan grade III tingkat kesulitan jeram sungai yang bermuara di pantai Pelabuhan Ratu ini.


 


Sayang, berkaca pada timku, para rafter  terkadang lebih asyik dengan sensasi arung jeram tetapi terlewat menikmati pesona alam di sekitarnya. Sejatinya, di sepanjang tepian sungai kita akan disuguhi pemandangan yang eksotis. Hamparan sawah dan ladang para petani dusun, jajaran bukit Caldera yang membentang membiru, hutan rimba yang dipenuhi vegetasi dataran tinggi dan dinding bebatuan alami sebagai tebing sungai  menciptakan pemandangan yang menyegarkan. Terkadang ditemui fauna sejenis biawak berjemur diri di atas bebatuan pinggir sungai. Kicauan dan kepakan sayang burung berpadu dengan gemuruh debit sungai menciptakan simponi alam yang merdu di telinga. Kami sempat melewati sebuah kampung di pelosok yang kehidupan warganya bersahaja dan ramah. Anak-anak kecil yang sedang mandi dan bermain-main di kali, menyapa kami dengan hangat saat perahu kami berlalu. Inilah nilai plus dari kegiatan arung jeram Citarik yang jarang diekspose.  


 


Bila kebosanan melanda dan refreshing adalah jalan keluarnya, rafting di Sungai Citarik bisa dijadikan alternatif untuk mencairkan kebekuan pikiran dari monotonitas pekerjaan.


 


Citarik, someday I’ll be back…

Lentog, Sajian Selamat Pagi Kota Kudus

[gallery columns="2"]


 


Saat menunggu member Bismania Community dari Jakarta tiba di pool Nusantara dalam rangka test road armada Scania Irizar, saya yang lebih tiba dahulu di Kudus dengan PO Muji Jaya memutuskan untuk menunggu sembari hunting lentog. Menu sarapan pagi ini adalah salah satu khasanah kuliner kondang produk kota kretek.


 


Berbekal informasi dari sopir angkot, ternyata sentra warung lentog ada di daerah Tanjung, di dekat RS Mardi Rahayu. Tak sabar kaki ini untuk menelusuri Jalan  Tanjung, mencari makanan lentog untuk memenuhi rongga perut yang semalaman terkuras menempuh perjalanan jauh Jakarta-Kudus.


 


Akhirnya, tak jauh dari PB Djarum, saya temukan warung tenda pinggir jalan yang menjajakan menu lentog. Namanya lentog tanjung Mas Ud. Warung sederhana namun ramai. Silih berganti para pengunjung, baik yang mengudap di tempat atau membungkus lentog sebagai bekal penghimpun tenaga sebelum menjalankan aktivitas. Biasanya kalau warung ramai, dipastikan citarasa masakannya cocok di lidah para pelanggan. Itulah hipotesis saya.


 


Awalnya saya mengira penjualnya adalah laki-laki sesuai nama di spanduk kain  “Mas Ud”, namun ternyata seorang ibu paruh baya.  Ah, apalah arti seorang penjual. J


 


Setelah duduk di bangku kayu panjang, segera saya pesan satu porsi lentog. Sepiring lentog yang dihidangkan terdiri dari lontong yang diiris tipis-tipis, disiram kuah sayur santan nangka muda (tewel/gori) yang berisi potongan kecil tahu dan tempe serta ditaburi bawang goreng sebagai penyedapnya.. Untuk pilihan lauk disediakan sate semur telur puyuh, sate usus ataupun kerupuk. Dilengkapi juga sambal cair ataupun cabe rawit, agar penikmat lentog dapat menentukan sendiri kadar pedasnya. Cara penyajianya cukup unik. Lentog dihidangkan di dalam piring yang lembari daun pisang. Rasanya lezat serta gurih, kaya racikan bumbu rempah nusantara khas masakan pesisir utara.


 


Sayang, menurut ukuran lambung orang dewasa, seporsi lentog sangatlah sedikit. Sehingga banyak pembeli yang menambah porsi makannya. Namun jangan risau masalah harga. Karena sepiring lentog hanya dibandrol Rp2000,00. Murah dam meriah, namun dahaga mencicipi menu lentog bisa terpuaskan.     


 


Bila ketoprak adalah menu sarapan pagi warga ibukota, maka lentog adalah  ketoprak-nya masyarakat Kudus.

Minggu, 05 April 2009

Sarasehan Hinomania, Sebuah Pencerahan

[gallery columns="2"]


 




Dalam riwayat sejarah transportasi bis, Hino turut memberi “warna dominan” bagi operasional PO-PO yang bertebaran mulai ujung barat hingga ujung timur Nusantara. Meski selama ini persepsi para pengguna bis masih menempatkan mesin Mercedes Benz sebagai bis nomor wahid dalam urusan kenyamanan, kemewahan dan gengsi, tapi sosok Hino tak boleh diremehkan. Bagi kalangan yang bergelut di dunia bis, piranti penghasil energi gerak buatan negeri matahari terbit ini diagungkan sebagai mesin yang handal, reliable, berakselerasi responsif dan tangguh di tanjakan. Semua kelebihan ini dikemas dengan harga yang lebih “ramah” di kantong pengusaha, dibanding bis-bis buatan benua Eropa, semisal Scania, MAN, Ikarus maupun Mercedes Benz sendiri.




 


Tak mengherankan, PO-PO besar semacam Hiba Utama, Sinar Jaya, Mayasari Bhakti, Primajasa, Sumber Kencono dan Garuda Mas menjatuhkan pilihan kepada Hino untuk menggerakkan roda bisnis transportasinya. PO-PO yang selama ini minded ke Mercedes Benz-pun mulai goyah dan  mulai menyicip taste mesin keluaran pabrikan dari Tokyo, Jepang.  Big Bird, Pahala Kencana, Nusantara, Kramat Djati, Shantika, dan Harapan Jaya adalah sebagian PO yang mulai “berselingkuh” dari produk Jerman.


 


Sebenarnya, mesin Hino yang di-release di tanah air tidak kalah dengan teknologi mesin kompetitornya. Hanya saja, karakter konsumen (baca : penumpang) terlanjur mempercayai bahwa produk pertama yang masuk ke pasar adalah produk terbaik, sedang produk belakangan adalah follower. Hal inilah yang membuat konsumen Indonesia dianggap pasar subyektif, sehingga pemain baru harus berjuang keras agar jualannya acceptable.


 


Termasuk dalam hal ini Hino. Usaha dan kerja keras tim ahli dalam pemutakhiran, riset, pengembangan dan improvisasi produk akhirnya mampu merebut kue penjualan mesin big bus dari pesaingnya, bahkan mampu mengungguli di urutan pertama. Apa kunci sukses Hino dari aspek teknologi hingga berhasil merebut hati para konsumen Indonesia yang sebelumnya terkenal loyal terhadap produk Mercedes Benz?  


 


Akhirnya jawaban tersebut terungkap pada saat acara sarasehan Hinomania yang digelar oleh Bismania Community (BMC) di Ruko Taman Pondok Labu, Jakarta Selatan, tanggal 05 April 2009. Menghadirkan narasumber Bapak Priyanto -yang memahami seluk beluk sejarah dan mesin Hino- acara ini berlangsung semarak dihadiri oleh sekitar 25 anggota BMC. Bapak Riyanto dengan gamblang menjelaskan dari awal Hino memulai kiprah perdananya mengusung Hino BT (mesin tengah) di era 60-an hingga RG1JS, yang lebih dikenal dengan nama pasar Hino RG. Dari segi mesin, bapak kelahiran Tegal, Jawa Tengah, juga detail menerangkan teknologi yang diterapkan pada mesin depan (Seri AK) hingga mesin belakang (Seri R). Bukan sekedar masalah “jeroan mesin”, bahkan chasis, sistem pengereman, bagian dan komponen kaki-kaki bis, mekanisme gardan, sistem kerja transmisi dan perfoma karoseri  juga tak luput dari pembahasannya. Tak diragukan lagi kapasitas Pak Priyanto sebagai salah satu pakar Hino. Pengalaman kerja hampir sepuluh tahun di Hino Motor Indonesia telah memberikan wawasan luas dan pengetahuan mendalam bagi beliau. Ditunjang sebagai mantan tim teknik salah satu PO terkemuka dan pernah menjadi trainer workshop otomotif, teori yang didapat selama bekerja dan praktek nyata di lapangan membuat pria yang sekarang berwirausaha membuka bengkel di daerah Kalimalang ini  mumpuni di bidang permesinan.


 


Acara semakin hangat ketika disediakan space waktu untuk sesi tanya jawab antara narasumber dengan audience. Sehingga ganjalan, keawaman, teka-teki dan ke-gaptek-an yang selama ini menyisakan pertanyaan bisa disampaikan kepada Pak Priyanto, agar mendapatkan pencerahan dan tambahan pengetahuan bagi para bismania. Termasuk berbagi tips dan trik bagaimana sebuah PO dalam mengelola perawatan armada dan mendidik para sopir agar  menjalankan bis secara baik dan benar, ekonomis dan memperpanjang lifetime komponen kendaraan. Acara formal namun dalam suasana santai seakan menjadi forum interaktif antara kepala mekanik PO dengan para pecinta bis.


 


Sarasehan sederhana yang telah berlangsung 5 jam akhirnya ditutup  pada pukul 15.00 WIB. Para peserta terpuaskan dan mulai well educated soal mesin, khususnya Hino. Tak lupa, ucapan salut dan acungan jempol dialamatkan kepada Pak Didik Sasono selaku host acara, yang menjembatani keinginan para Hinomania agar bisa bertemu dengan pakarnya. Sebagai wujud tanda terima kasih dan penghargaan atas kemurahan Pak Priyanto membagi ilmu per-Hino-an, Bismania Community menyerahkan merchandise sebagai kenang-kenangan, sebagai simbol bahwa silaturahmi yang tercipta akan dilanjutkan dengan acara-acara yang lebih bermanfaat di hari-hari mendatang.  


 


Bravo Hino, Bravo Bismania…

Kamis, 02 April 2009

Friday The 13th, Really Really Nightmare


Selama ini, dalam kamus hidupku tak ada kata-kata hantu-berikut derivasi-nya-, arwah gentayangan, roh jahat, demit, mistik, wingit, angker ataupun keramat. Menurutku, itu hanyalah halusinasi alam pikiran, yang telah menjadi korban ketakutan berlebihan, sehingga mengubur logika dan akal sehat manusia.  Aku hanya yakin tentang alam ghaib, sebuah kawasan teritorial yang tidak mungkin terjangkau oleh indra manusia namun sejatinya ada. 


 


Jujur saja, acapkali aku juga merinding bulu roma bila menginjak di satu daerah yang asing, atau berada di tempat yang konon dipercaya beraura negatif. Terlebih hidup di tanah jawa yang masih kental nuansa klenik, ilmu santet atau persekongkolan jahat manusia dan jin untuk tujuan tertentu, membuat nyali keberanian gampang menciut. Sehingga terbesit bahwa memang ada sosok-sosok menyeramkan di kanan kiri kita, yang hendak menampakkan diri untuk menakut-nakuti kita, bersiap mengelincirkan nilai keimanan.  


 


Inilah yang kadang menjadi meracuni jiwa, seakan-akan dunia supranatural memang nyata adanya. Namun sejauh ini aku masih bisa menguasai diri, phasmophobia yang membelenggu diri harus kulawan. Aku tidak boleh kalah pada hal yang jelas-jelas tiada.


 


Demikian pula istilah Friday The 13th. Hanyalah legenda sejarah asal Eropa sono mengenai keramatnya Hari Jumat jika bertepatan dengan tanggal kalender menunjuk di angka 13. Buat apa aku mempercayai kebenarannya.


 


Namun terrible incident saat Jumat dinihari, 13 Maret 2009, sempat membuat goyah pendirianku. Entah kebetulan semata, kena tuah Friday The 13th, ataukah aku digoda setan untuk membenarkan mitos yang aku anggap sesat sebelumnya.


 


Ceritanya diawali pada Kamis malam ketika aku bersiap pulang kantor. Aku melihat teman kerjaku (sebut saja Pak Joko) masih asyik ngenet di meja kerjanya. Kondisi kantorku sendiri sudah sepi senyap karena semua karyawan telah kembali ke rumah masing-masing. Kulihat jam dinding di atas dinding ruanganku, jarum jam menyimbolkan huruf V, jam 22.10. Segera kukemasi alat tulis kantor, kurapikan berkas-berkas di meja tugas dan kumatikan komputer.


 


Kupamiti Pak Joko, yang wajahnya masih terlihat muda meski usianya jauh di atasku.


 


“Pak Joko belum pulang?”, tanyaku berbasa-basi


Ngga Ed, aku lagi males. Mendung di selatan Jakarta. Nanti malah kehujanan kalau nekat.”


 


Memang, rumah Pak Joko sendiri hampir 30 km jauhnya. Jadi aku maklum, dia berniat numpang tidur di kantor.


 


“Kalau begitu saya balik dulu ya Pak!”


“Eh Ed…temenin aku ya. Nginep saja di sini!”


 


Duh…sempat bimbang meluluskan pintanya. Tapi karena aku juga sedang  “home alone”, dan rasa iba melihat Pak Joko hanya sendirian, akhirnya kubatalkan rencana pulang.


 


“Baiklah Pak. Kalau begitu, saya ke belakang dulu ya Pak. Saya sudah ngantuk, mau tidur duluan”.


 


Beruntung di bagian belakang kantor tersedia ruang istirahat. Biasanya kalau siang menjadi tempat BBS teman-teman kantor untuk sejenak melepas penat. Hanyalah ruang yang tak begitu besar, kira-kira berdimensi 5 X 5 m. Tersedia tikar dan bantal, sehingga memang layak dijadikan lapak untuk rebahan. 


 


Namun, menurut cerita getok tular dari mulut ke mulut, kantorku sendiri ditahbiskan sebagai tempat yang menyeramkan. Konon, tempat kantorku berdiri adalah bekas area pemakaman, yang kemudian digusur demi pembangunan perusahaan. Seringkali kudengar kisah-kisah ganjil dari para satpam yang pernah mendapat jatah bertugas standby di ruanganku. Mulai munculnya bunyi-bungi aneh, kuntilanak, genderuwo atau riuh anak-anak kecil bermain-main di dalam ruangan. Makanya tak heran, satpam malam sekarang enggan stay di ruanganku, lebih memilih berkumpul dengan satpam lainnya di pos jaga depan.  Tapi sekali lagi, aku kurang concern dengan masalah beginian, sehingga aku boleh dibilang cuek tentang keangkeran kantorku.


 


 


Tak perlu butuh waktu lama, akupun tertidur karena capai yang amat sangat didera rutinitas pekerjaan.


 


Dalam peraduan nyenyakku, tiba-tiba…


 


Agh…agh…aghhhh…


Agh…agh…aghhhh…


 


Jeritan lemah seseorang membahama, membelah kesunyian malam. Kondisi ruangannya sendiri remang-remang, hanya diterangi sinaran lampu dari luar jendela. Suaranya lirih menyayat hati, layaknya orang merintih kesakitan dihimpit ketakutan. Temponya lambat, ritmenya mengalun pelan terus meninggi. Sontak aku terbangun sebab kaget dibuatnya. Yang membuatku terperanjat setengah mati, warna suaranya bukan mirip Pak Joko. Tapi lebih menyerupai suara hantu dalam tayangan film-film produksi anak-anak negri. Darimana suara ini gerangan, padahal hanya aku dan Pak Joko di dalam ruangan ini?


 


Kulihat Pak Joko tidur pulas tak jauh di sampingku.  Yang membuat aku keder, badannya telentang membujur kaku, kakinya rapat dan kedua tangannya dilipat di atas dada, seperti mayat yang belum dikafani. Tapi, ya Allah…mulutnya komat-kamit mengeluarkan suara menyeramkan berulang-ulang.


 


Agh…agh…aghhhh…


Agh…agh…aghhhh…


 


 


Pasti Pak Joko sedang mengalami mimpi buruk hingga mengigau (hereup-hereup istilah bahasa sundanya). Tapi kok suaranya lain, bukan milik Pak Joko? Bergegas kubangunkan, kugoyang-goyang pundaknya. Bukannya bagun, tapi malah mengeluarkan suara lebih keras.


 


Agh…agh…aghhhh…


Agh…agh…aghhhh…


 


Shit…aku serasa berada di dunia yang asing. Kucoba kukuasai diri. Ah…aku harus membantu Pak Joko agar tersadar dan bangun dari mimpinya.


 


Kugoncangkan lebih keras lagi badannya, sambil kupanggil-panggil namanya.


 


“Pak Joko, bangun Pak. Bapak mimpi buruk. Bangun Pak…”


 


Sejurus kemudian, dia merespon dan beranjak bangun lalu membalikkan tubuh ke arahku. Bukannya sadar, dia malah berulah seperti macan buas yang bersiap menyerang musuhnya. Suara erangannyapun tak kunjung berhenti meski matanya sudah terbuka lebar. Masya Allah…wajah yang kulihat bukan wajah Pak Joko lagi. Justru yang aku tangkap wajah menyeramkan, bola matanya berubah merah dan mulutnya menyeringai, seolah bentuk muka setan laknat yang hendak menyergap seteru abadinya, manusia.


 


Jari-jari tangannya melebar, tak ubahnya seekor harimau hendak memangsa rusa dengan penuh nafsu. Gigi-giginya gemeretak siap melumat buruannya. Nafasnya tak beraturan memburu. Astaghfirullah…aku yakin dia kesurupan, bukan mimpi buruk. Entah makhluk apa yang masuk ke dalam raganya?


 


Karena ada gelagat tidak baik, akupun pasang kuda-kuda. Andai dia menyentuh kulitku, aku bertekat akan kupukul dia. Tak peduli dia teman kerjaku, bagiku dia telah dikuasai kekuatan di luar dirinya. Sambil terus kupanggil namanya dan meminta dia untuk beristighfar, siapa tahu dengan begitu akan menyadarkannya.


 


“Pak Joko, ini aku Pak. Pak, nyebut Pak, sadar Pak…”, kataku berulang-ulang.


 


Dia lalu terdiam, meski nafasnya masih terengah-engah. Tatapan nanarnya kubalas dengan pandangan tajam mataku. Meski aku mulai gentar, tapi aku tak boleh menyerah. Kepalan tanganku siap kuhujamkan andai terjadi hal yang di luar dugaan. Akan “kuladeni” ulahnya, hingga dia kembali “normal” seperti semula.


 


Kemudian…


“Masya Allah…”, Pak Jokopun tersadar. Amarahnya langsung padam. Sedetik berlalu, dia langsung merebahkan diri, tidur kembali dan tak lama kemudian mendengkur. Aneh dan aneh…


 


Aku hanya terpaku di tempatku. Kaki ini susah digerakkan meski hanya untuk menggeser sedikit posisiku. Cerita-cerita horor dan kisah mula berdirinya kantorku berloncatan dalam benakku. Campur aduk rasa di hati, takut, merinding, deg-degan, cemas, khawatir hingga mati bicara. Aku ngeri, kalau-kalau aku tertular kesurupannya. Suasana ruangan langsung mencekam.


 


Kuraih HP yang tergolek di sampingku. Jam 02.29. Hmm…1/3 malam yang terakhir. Degup jantungku berlarian cepat, pikiran tambah kacau dan peristiwa yang baru saja terjadi terus menghantui. Mata ini sudah susah diajak tidur kembali. Hendak pindah tempat, ke mana? Mau pulang ke rumah, jam segini. Andai aku memaksa tidur, terus Pak Joko kesurupan kembali dan menyerangku, bisa babak belur tubuhku. Sudahlah…kuputuskan aku tetap di sini hingga pagi menjelang. Aku harus terus siaga mengawasi setiap gerak-gerik Pak Joko. Akhirnya, baru jam 05.00  aku bisa memejamkan mata, membayar jatah tidur malamku yang berkurang.


 


Pagi harinya, kuberanikan diri untuk bertanya,


“Pak Joko mimpi buruk ya tadi malam?”, pancingku dengan halus agar dia membuka cerita.


Masak Ed, aku ngga ingat apa-apa tuh? Semalaman hanya tidur saja kok!”


 


Ha??? Kejadian luar biasa semalam di luar kendali alam sadarnya?


 


Seringkali peristiwa malam Jumat silam menggangu otakku untuk membuka tanya, misteri apa yang sebenarnya terjadi di hari Friday The 13th itu? Namun, sampai sekarang aku tak tahu jawabnya…