Selasa, 26 Mei 2009

Ada Cerita dari Balik Gubuk Derita (2)

Pukul 21.30, bis yang bertrayek Tuban-Jakarta ini selesai diperbaiki. Mas Waris baru saja mengirim sms, mengabarkan bis Nusa NS 51 yang dinaikinya baru saja diberangkatkan dari rumah makan. Duh, nikmatnya eksekutif NS 39 langgananku membayang!


 


Ah, aku tidak boleh menyesal telah memilih bis ini sebagai tunggangan perjalanan malam ini. Konsekuensi apapun mesti kuterima dengan lapang dada. Sejelek-jeleknya kualitas armada dan pelayanan bis ini, masih terbesit rasa bangga di hati sebagai wong Rembang. Tanpa TSU, kotaku tak akan memiliki bis AKAP lagi semenjak PO Artha Jaya yang dulu cukup disegani mati beroperasi.


 


Bis berjalan kembali. Sekali lagi, bukan kenyamanan yang ditempatkan sebagai prioritas, tapi bagaimana bisa mengejar waktu ketertinggalan. Semua rute jalan seenaknya dilibas, tanpa mengindahkan munculnya bunyi-bunyian yang cukup menganggu di dalam kabin. Saking tergesa-gesanya,  singgah di rumah makan cukup 15 menit,  sehingga banyak penumpang yang asyik dengan kegiatan mengasap menggerutu.


 


Arep ngoyak opo to Pir?”, tanya salah seorang penumpang. (Hendak mengejar apa sih Pir)


“Macet…macet…Losari, Jatisari. Ayo, cepat…!”  dalih Pak Sopir.


 


Semenjak lepas dari rumah makan Kota Sari, Gringsing, kupaksakan diri untuk tidur agar kekesalanku terkubur. Tentu bukan dalam artian tidur yang sebenar-benarnya tidur. Zzz…


 


Kurasakan bis ini berhenti. Kubuka mata, benar apa yang ditakutkan. Marcopolo terjerembab dalam kemacetan parah di Pejagan, Brebes. Di depan tampak Pahala Kencana Madura, sedang di samping kiri Harapan Jaya Tulungagung. Yang jelas, kedua bis adalah bis kloter termalam, sehingga aku pesimis, sebelum jam kerja besok, aku sudah sampai di kantor.


 


Kuteruskan tidur kembali, sampai kurasakan udara di dalam cukup pengap. Tak tahunya, bis yang berhome base di Lasem ini kembali mogok dan mesin dimatikan. Posisi persis di seberang pos jaga Polsek Gebang, Cirebon. Untung, sebelum aku memutuskan turun untuk menghirup udara segar, bis kembali dinyalakan. Kulihat jam di HP menunjuk angka 02.15. Sudah habis harapanku, alamat tengah hari baru sampai Pulogadung. Pasrah…


 


Dan aku tertidur kembali, hingga…


 


“Tarahu…tarahu…!”, teriakan salah satu pedagang asongan membuyarkan mimpiku. Mimpi tentang TSU ini mengantarku langsung ke Tanjung Priok. Aneh, dalam ketidaknyaman bis seperti ini, aku bisa bermimpi indah.


 


Ternyata bis kelas VIP ini sedang mengisi solar di SPBU Cikampek.


 


Aku terbelalak saat kulihat jam. Pukul 05.30. Maha Suci Allah! Tol Panci-Cikampek cuma 3 jam? Lancarkah jalur pantura mulai Pamanukan hingga Jomin, yang tiap hari hampir dipastikan macet  akibat perbaikan jalan?


 


Ck…ck…ck…Hanya satu kata salut dan pujian kuucapkan untuk “si gubuk reyot” ini, Amazing…!!!


Marcopolo-TS


 


Belum genap aku mengakui kehebatannya, tiba-tiba seorang sopir truk barang yang mengisi solar  bersebelahan dengan TSU, berteriak kepada Pak Sopir.


 


“Kang, temanmu kecelakaan di Jatisari. Nabrak rumah di tepi jalan. Kok ngga berhenti tadi?” katanya mengabarkan.


 


“Bis yang mana, Kang?” tanya sopir dengan penuh keheranan.


“Yang biru (maksudnya ungu) Kang.”


 


Bergegas dipanggilnya sopir kedua yang sedang istirahat di belakang.


 


“Pak, RG-nya laka di Jatisari”, kata sopir dengan lemas, saat mem-forward beritanya kepada sopir kedua.  


 


Masya Allah! Andai dari Rembang aku diikutkan naik si Hino RG ini, kemalangan apa yang bakal menimpaku ?


 


Sudah dua kali aku dikecewakan oleh TSU, tapi dua kali itu juga aku luput dari musibah.


 


Biarpun banyak derita yang kurasakan bersamamu, aku akan tetap mengagumimu, Tri Sumber Urip!   

Ada Cerita dari Balik Gubuk Derita (1)

Dret…dret…dret…nada getar HP-ku aktif. Pasti dari agen Tri Sumber Urip (TSU), pikirku. Segera kupelankan laju roda duaku untuk menepi dan berhenti.


 


“Halo…”,


“Mas, bisnya sudah menunggu. Sudah sampai mana?” suara seorang ibu-ibu di ujung telepon.


“Tunggu sebentar Bu, 5 menit lagi!”


 


Let’s get the beat! Segera kularikan motor menuju Terminal Rembang, karena aku mesti berpacu dengan waktu agar tidak ketinggalan bis.


 


Dret…dret…dret…”dia” bergetar kembali. Kuberikan gadget jadul ini ke istriku untuk menjawabnya, sambil tangan kananku terus memelintir putaran gas.


 


“Mbak, tolong ditunggu. Ini sudah mau masuk terminal”, terdengar istriku memohon agen untuk bersabar.


 


Ugh, jam pemberangkatan di tiket tertulis jam 17.00. Mengapa agen mesti terburu-buru, padahal jam digital di Sony Ericson-ku baru  menunjuk angka 16.40


 


Masuk pelataran terminal Rembang, langsung kutemui agen untuk meminta nomor bis dan kupon makan.


 


“Mas ini bisnya, cuma ACnya lagi problem. Nanti akan diperbaiki di Semarang!”, jelas si agen memohon pengertianku.


 


Ya ampun, seketika segala ekspekstasi dan angan-anganku runtuh melihat sosok bis di hadapanku. Dari rumah berharap si ‘Pinky’ Morodadi Prima atau Tentrem yang nge-line, ternyata Marcopolo Tri Sakti yang kudapat. Memang, untuk mesin mengusung MB OH 1521 Intercooler. Tapi dilihat dari bodi, bis ini layak dipensiunkankan dari garis orbit bis malam.  Dempulan banyak yang terkelupas, tumbuh karat di permukaan bodi, cover kondensor AC hampir “terbang”, ban belakang vulkanisiran sehingga lapisan karetnya hendak lepas dan ih…kaca samping model kelas ekonomi yang bisa dibuka tutup. Gambar dunia bawah laut nan eksotik tak bisa menyembunyikan wajah bopeng armada ini.


 


Ini bis apa? Batinku tidak habis pikir. Selama menjadi pemudik mingguan Rembang-Jakarta, inilah bis berbodi terjelek yang pernah aku naiki. Hiks…


 


Kulihat kenek sedang membuka kap mesin.


Marcopolo-TS (2)


 


“Ada apa Pak?” tanyaku kepada sopir yang berdiri di belakang bis.


“Dinamo ampere bermasalah, Mas.”


 


Duh Gusti, derita apa lagi ini? Sudah AC megap-megap, mesin kurang meyakinkan. Mampukah bis ini melenggang hingga ke Jakarta?


 


Perlu 15 menit untuk perbaikan, dan bis pun siap diberangkatkan. Kujejakkan langkah pertama ke dalam kabin. Deg, serasa naik bis ekonomi. Interior begitu kusam, kursi buluk, TV 21’ hanya penghias semata, tanpa selimut, asap rokok menyebar di langit-langit, bau tak sedikitpun tercium wangi dan AC melempem untuk menyemburkan hawa dingin.


 


“Ya Allah, inikah balasan yang mesti kuterima untuk menuntaskan kerinduanku naik Tri Sumber Urip kembali,” kesahku kepada-Nya.


 


Sprinter ala Tri sakti ini langsung tancap gas. Rupanya, rencana perbaikan AC di Semarang memaksa sopir untuk sesingkat mungkin memangkas waktu tempuh Rembang-Semarang. Meski tidak smooth setiap pergantian gigi transmisi, tapi tarikan dan tenaganya ngacir juga. Dan yang bikin terperangah, bis ini tak sekalipun takut melahap sirkuit pantura. Goyang kanan goyang kiri irama pergerakannya, tak gentar sedikitpun bodinya akan terlepas dari chasis. Hehehe…


 


Blong kanan tipis seolah menjadi santapannya. Klakson setiap kali menyalak, memberi kode pengguna jalan lain untuk meminta jalan. Kontur jalan pantura yang bergelombang serta berlubang membuat tiap sudut bodi bis ini mengeluarkan nada riuh rendah, gemlodagan, setiap roda bis menapak jalan. Entah kualitas body builder atau memang life time bangunan karoseri ini sudah usai, sehingga menyisakan kereyotan. Telinga sampai budeg gara-gara orkestra tanpa irama gubahan komposer Marcopolo. Tak ada indah-indahnya pesona bis malam Muria Raya, seakan membenamkan pesona  aksi nekat sang driver. Serasa bermalam di gubuk derita. Tragis nasibku…


 


Juana mampir sebentar, Terminal Pati sekedar singgah. Di sini berbarengan dengan Tri Sumber Urip Hino RG Setra Morodadi Prima bergambar kupu-kupu yang jarang terlihat berdinas. Di Terminal Jati, Kudus, berhenti kembali dan bis langsung penuh. Wow, bis acak adut begini laku keras!


 


Tiba di bengkel AC di daerah Kaligawe, Semarang, bis pun masuk pit. Terlihat 3 pasien rawat inap, yakni Bus Kota Damri OH 1521, sebuah Bis wisata OH 1521 dan Sumber Alam OF 8000. Menurut informasi kenek, 2 buah kipas kondensor AC bis ber-nopol K 1585 AD ini mati, hanya sebuah kipas yang bekerja, sehingga tidak cukup untuk menghembuskan udara.


 


Segera kuturun dan kudekati si kenek yang sedang duduk di samping bis.


 


“Mas, bis-bis ungu kemana?”, tanyaku untuk mencari jawab rasa penasaran yang bergelayut.


 


“Ini repotnya kalau bos lebih mengurusi wisata, Mas. Semua armada merah (istilah kenek untuk menyebut warna pink) sedang jalan. Malam ini, bis cadangan yang keluar. Bis ini sebenarnya sudah dibeli PO lain Mas. Berhubung belum diambil oleh empunya, kita pinjam dulu buat bis malam,” jelasnya dengan gamblang.


 


Pantas saja, bagaimana diurus, status armada ini sudah hak milik orang lain.


 


“Kita (kru) juga pusing Mas, bagaimana dengan ke timur nantinya. Mana mau orang-orang Kudus-an naik bis jelek begini. Sudah mintanya tiket murah, bis bagus, armada harus ngejos. Bisa-bisa 2 atau 3 hari kita perpal di Jakarta. Bagaimana kita menjelaskan kepada bos, kalau setorannya nanti kurang,” curhatnya seolah pasrah dengan kebijakan kantor yang dianggap menganaktirikan bis reguler.


 


Inilah celah kekurangan bila manajemen PO mencampuradukkan divisi reguler dan wisata. Pendapatan yang pasti bila bis dicharter untuk wisata, membuat bis reguler terkadang dimarginalkan.

Senin, 18 Mei 2009

BMC ke Malang; Mlaku-Mlaku Tambah Ilmu (2)

[gallery]

 

Simpang Raya, Malang Rasa Padang


 


Berhubung kegiatan mlaku-mlaku diadakan pada hari Jumat, panitia memberi space waktu kepada member BMC yang hendak menunaikan kewajiban sholat Jumat. Sebagai tempat “break” dipilihlah Rumah Makan Simpang Raya, yang terletak di Jalan Mondoroko No. 999 Singosari, Malang. Rupanya, di sini anak-anak BMC Jatut sudah menunggu, sesaat setelah datang dengan bis yang berhome base di Purworejo, PO Sumber Alam berbaju Proteus Laksana.


 


Selepas waktu sholat Jumat, pihak restoran telah menyediakan sajian khas ranah Sumatra Barat yakni nasi padang dengan lauk daging rendang dan gulai ayam. Dengan tambahan peserta dari Jateng Utara, gawe makan siang semakin semarak. Semua tumplek blek dalam antrian untuk mengecap lezatnya menu racikan dan olahan tangan koki Simpang Raya. Kala menyantapnya, masing-masing duduk berkelompok, bertegur sapa dan hanyut dalam pembicaraan ringan tentang bis. Tidak ada batas-batas kedaerahan, tanpa dikotomi member senior yunior dan tak perlu rasa jengah soal status sosial, semua saling menjalin silaturahmi yang diikat oleh tali berwujud hobi,  sesama penggemar bis.


 


Indahnya nilai kebersamaan!


 


Udara siang Malang nan terik, yang tak seperti biasanya, tak menyurutkan semangat dan antusiasme para peserta karena sebentar lagi akan mengawali acara puncak “Uklam-Uklam ke Malang”,  factory visit ke Adi Putro.


 


Menu makan siang ala padang yang nikmat dan  terasa pas di lidah, membuat lupa bahwa  saat ini kami sedang menginjak bumi Kera Ngalam.


 


 


PT Adi Putro Wira Sejati,  Jawaban Terkuak Sudah 


 


Keempat bis perlahan memasuki tempat parkir di depan kantor PT Adi Putro Wira Sejati, sesudah mendapat permit dari pos keamanan. Di area ini pula, berjajar rapi bis-bis yang siap diambil oleh pemiliknya setelah selesai di-karoseri. Salah satunya  adalah luxury bus Partai Demokrat (PD), yang kemarin digunakan sebagai sarana mobilisasi Ketua Dewan Pembina PD sekaligus Presiden RI, Bapak SBY, selama masa kampanye Pemilu Legislatif (Pileg).


 


Setelah turun dari bis, kami diterima langsung oleh para petinggi PT Adi Putro. Antara lain Bapak Simon Jethrokusumo selaku Presiden Direktur, Bapak Andreas Jethrokusumo sebagai Direktur Produksi, Wakil Bagian Pemasaran, Bapak Rendy serta Bapak Quanmo, serta jajaran staff manajemen Adi Putro.


 


Acara formal dibuka dengan kalimat penerimaan dari Bapak Andreas selaku pihak yang kedatangan tamu. Layaknya seorang tamu, Mas Alone Sutanto selaku Bagian Humas BMC juga mengenalkan tentang komunitas bismania, baik soal sejarah berdirinya, visi dan misi BMC, masalah keanggotaan, kegiatan rutin baik yang bersifat internal maupun sosial serta acara-acara yang telah sukses diadakan untuk memberi setitik manfaat buat kemajuan moda transportasi bis . 


 


“Saya cukup tercengang dengan kedatangan para bismania ke AP. Karena, baru kesempatan inilah kami kedatangan tamu dalam jumlah besar. Bahkan seingat saya yang terbesar, “ ujar Bapak Andreas yang diikuti applause panjang peserta yang hadir.


 


Dikarenakan jumlah peserta mencapai angka 200-an --yang terdiri dari 174 member BMC dan 15 perwakilan PO-- untuk mengefektifkan waktu dan memudahkan penjelasan materi saat melihat secara dekat proses pembuatan bis, peserta dibagi menjadi 4 kelompok dengan satu orang AP sebagai koordinator. Kami dilengkapi alat pengaman berupa masker, untuk mengantisipasi dampak polutan udara yang beterbangan dalam ruang kerja, seperti debu, cat maupun thiner.


 


Kami mendapat penjelasan gamblang dari para koordinator bagaimana proses bis itu dibuat. Dari pertama mencetak panel-panel bodi dengan bantuan mesin press (master cetakan dibuat sendiri oleh AP), pembuatan rangka model dengan proses pengelasan, dan perakitan rangka model di atas chasis. Di sini kami sempat mengamati para karyawan Adi Putro yang sedang meng-custom sistem suspensi  (per daun)  untuk digubah menjadi air suspension.   


 


Langkah selanjutnya “pembajuan” rangka baik sisi depan, belakang maupun kanan kiri, proses pendempulan bodi, pengecatan dengan sistem oven untuk bagian eksterior, penggrafisan livery baik dengan teknologi air brush maupun sticker printing,  penginstalan ulang sistem kelistrikan (wiring), pemasangan unit AC, pengerjaan bagian interior termasuk kaca dan pemasangan jok serta tahap akhir berupa finishing touch pada permukaan bodi dan quality control


 


Untuk final check, bis  menjalani pengecekan fungsi-fungsi kelistrikan, AC serta mesin, water resistant test (test kekedapan air) serta road test untuk menjamin bahwa armada memenuhi syarat laik jalan dan mematuhi regulasi keselamatan yang telah digariskan oleh regulator (Dinas Perhubungan).


 


Menurut penjelasan Bapak Rendy, produk AP memang berkiblat pada model-model yang sedang in di belahan benua Eropa. Dari era setra, new setra, travego hingga new travego. Meski AP sebenarnya memiliki model tersendiri, namun sesuai deal dengan user yang menginginkan model bis dengan Europe taste, khususnya Jerman, dan sesuai jargon costumer approach,  AP merespon keinginan pasar. Itulah poin yang kami dapat, mengapa AP bersikap realistis dan kompromis dalam mengembangkan produknya.


 


Setelah menjelajah setiap ruang produksi, kami pun kembali ke tempat semula. Acara diisi presentasi dari pihak BMC tentang hasil kuisioner soal produk AP yang telah disebar dan diisi oleh para responden, yang terdiri dari kru bis dan pengguna bis. Semua detail diungkap, mulai bagian eksterior, interior, toilet, tata letak ruang di dalam kabin, mutu produk, dan tingkat kepuasan penumpang. Berdasar hasil kuisioner, secara overall, produk AP dikatakan sangat memuaskan, meski banyak celah-celah yang mesti di”tambal” untuk memperbaiki kualitas produk AP. Kelemahan inilah yang disampaikan BMC kepada pihak AP, dengan harapan penilaian dari pengguna bis bisa dijadikan masukan untuk menyempurnakan sentuhan adikarya AP.


 


Pihak AP tak menyia-nyiakan kredit point berharga dari BMC. Dan berjanji, segala masukan, kritik, saran dan usulan terhadap produk AP akan di-follow up, karena hasil kuisioner adalah gambaran nyata di lapangan dari orang-orang yang bergelut dengan dunia bis.


 


Acara semakin meriah sewaktu diadakan sesi tanya jawab. Ganjalan, keawaman, dan teka-teki yang terkait dengan produk Adi Putro terjawab sudah. Dengan segala kerendahan hati berbagi ilmu para punggawa PT Adi Putro, semua dibeberkan secara jelas, agar bismania bukan sekedar mencintai bis, namun paham juga bagaimana bis itu sendiri dibuat. 


 


Seperti kunjungan ke PT Rimba Kencana, ritual tutup acara berupa foto dan penyerahan merchandise miniatur bis PO Bismania hand made Niki Kayoe Malang, digelar. Sedang pihak AP memberikan miniatur bis volvo New Marcopolo, sebagai kenang-kenangan, simbol bahwa BMC dan PT Adi Putro akan  berpartner mutualisme dalam memajukan transportasi bis di Indonesia. Tepat pukul 16.30 WIB, acara kunjungan ke Adi Putro diakhiri, dan berarti paripurna sudah rangkaian acara “BMC Uklam-Uklam ke Malang”.


 


Kesan bahwa dinding Adi Putro susah ditembus, terbalas oleh sikap welcome dan kemurahan dalam transfer ilmu tentang karoseri yang ditunjukkan oleh para pemilik Adi Putro.


 


Sukses dan jayalah Adi Putro!  Semoga akan selalu menjadi trendsetter dan barometer model karoseri bis di bumi nusantara.

Kamis, 14 Mei 2009

BMC ke Malang; Mlaku-Mlaku Tambah Ilmu (1)

[gallery]

Dalam benak para pengguna bis, bahkan seorang bismania pun, setidaknya pernah terlintas pertanyaan, “Bagaimana sebuah bis itu dibuat?”. Tahapan apa yang mesti dilalui oleh unit chasis berikut engine-nya, hingga menjadi produk akhir berwujud bis utuh? 


 


Berbekal hutang jawaban inilah, para pengurus BMC menggagas kunjungan ke perusahaan karoseri untuk menyaksikan langsung proses produksi bis. Beruntung, PT Adi Putro Wira Sejati mengulurkan tangan untuk mewujudkan keinginan dan harapan tersebut. Setelah melalui fase pembentukan panitia, pengajuan proposal kunjungan, penentuan waktu bersama pihak Adi Putro, pembahasan rundown acara, penyebaran kuisioner tentang produk Adi Putro, pengumpulan data untuk bahan presentasi, penyediaan  akodomasi dan transportasi selama kunjungan, dan berbagai macam persiapan lainnya, maka acara bertajuk “BMC Uklam-Uklam ke Malang” diputuskan untuk dihelat pada hari Jumat, tanggal 8 Mei 2009. Ada dua agenda yang ditetapkan, yaitu kunjungan ke PT Rimba Kencana, produsen jok bis dan factory visit PT Adi Putro Wira Sejati sebagai puncak acaranya. 


 


Makan Pagi, Menjalin Silaturahmi 


 


Pagi merekah berhias langit cerah, saat 3 rombongan bis tiba di Rumah Makan Bakpo Waluh. Masing-masing adalah kontingen BMC Jakarta dengan tunggangan New Travego Blue Star-nya, chapter Jogja dengan armada Setra Adi Putro Gege Transport dan skuad BMC Jatimers yang men-charter Setra New Armada Cahaya Mandiri. Sedang rombongan BMC Jateng Utara memberi kabar bakal terlambat karena ada satu hal di luar rencana, sehingga dipastikan tengah hari baru masuk Malang.


 


Rumah makan di daerah Lawang ini ditunjuk sebagai meeting point, sebelum rangkaian panjang acara “Uklam-Uklam ke Malang” dimulai. Sembari menikmati hidangan  menu nasi pecel khas Jawa Timur,  makan pagi secara berjamaah ini sekaligus dijadikan ajang beramah tamah dengan member BMC  yang berjumlah sekitar 125-an orang untuk saling mengenal lebih dekat. Karena selama ini hanya sebatas kenal lewat milis di dunia maya, sehingga pertemuan face to face ini mengendapkan keingintahuan bertemu wajah antar sesama member BMC, yang tersebar di seantero Nusantara. Wajah-wajah kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh tak lagi tampak, berganti keceriaan dalam suasana penuh kekeluargaan.


 


Setelah rehat sebentar di Rumah Makan yang terletak persis di pinggir jalan raya Surabaya-Malang ini, pukul 09.00 rombongan meluncur ke PT Rimba Kencana.


 


PT Rimba Kencana, Kompleksitas Pembuatan Jok Bis


 


Pintu gerbang di Jalan Janti Barat No. 1 dibuka saat  trio bis yang membawa rombongan BMC dipersilahkan masuk ke pelataran PT Rimba Kencana. Tampak deretan bangunan workshop besar, tumpukan batangan-batangan besi dan logam serta riuh rendah suara mesin produksi sedang bekerja mengiringi kedatangan BMC, untuk melihat dekat proses pembuatan jok bis. Kami disambut oleh Bapak Permadi dan Bapak  Tanto, selaku pimpinan PT Rimba Kencana.


 


Bagi penggemar bis, PT Rimba Kencana bukanlah nama asing. Jok bis dengan brand mark Hai adalah ikon produk PT Rimba Kencana. Jok empuknya telah banyak dipakai oleh PO-PO besar untuk dibenamkan di dalam kabin bis sebagai piranti tempat duduk penumpang. Tercatat PO Harapan Jaya, PO Bejeu, PO Shantika, dan PO Budi Jaya telah meyakini kualitas produk PT Rimba Kencana, sehingga armada-armada terbarunya menggunakan jok bermerek Hai.


 


Kami langsung disambut tuan rumah dengan aneka jamuan, dalam ruang dadakan yang di desain demikian rupa di area pabrik, dengan tempat duduk tamu berupa jok Hai yang siap kirim. Setelah saling memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kunjungan, kami langsung menuju line produksi jok Hai. Tampak kesibukan para karyawan dengan kompetensi bidangnya masing-masing. Mulai perancangan desain, pembuatan rangka dan komponen (onderdil), pengerjaan cetakan, proses moulding,  pengecatan, perakitan dan bagian quality control. Cukup rumit, kompleks dan tidak sederhana dalam proses pembuatan jok bis.


 



“Kelebihan merk Hai, semua komponen kami buat dan kerjakan sendiri. Hanya penjahitan kulit (kain) jok yang masih mengandeng mitra luar karena keterbatasan area pabrik. Untuk itulah, kami menjamin garansi produk kami seumur hidup. Bila konsumen klaim produk kami, kami langsung siap memperbaiki bahkan menggantinya. Karena kami sediakan juga suku cadangnya,”, jelas Bapak Permadi dengan bangga.   

 


“Kami selalu mengintip produk-produk jok dari luar negeri, khususnya buatan Eropa. Tiap tahun kami selalu mengikuti pameran bis dan produk-produk penunjangnya di Jerman. Sehingga produk kami selalu update, baik soal model, aspek ergonomis maupun sisi kualitas, “ imbuh lulusan S2 dari salah satu universitas di USA.  Ternyata nama Hai sendiri adalah nama Tiongha Bapak Permadi, sebagai branding jok buatannya.


 


Puas berjalan-jalan di area produksi, dilanjutkan dengan acara tanya jawab. Pertanyaan-pertanyaan seputar jok bis dilontarkan oleh para member BMC. Seakan tak mau melewatkan kesempatan langka untuk mengggali ilmu dan wawasan dari Bapak Permadi dan Bapak Tanto, ayah Bapak Permadi.  Dari sesi ini, kami pun tahu bahwa PT Rimba Kencana sendiri bukan terbatas membuat jok bis, namun mendiversifikasi usahanya dengan memproduksi inverter dan spion elektrik untuk bis.


 


Tak terasa, waktu terus merambat siang. Berhubung keterbatasan waktu, acara kunjungan ke PT Rimba Kencana pun diakhiri dengan foto bersama serta penyerahan merchandise kepada Bapak Permadi sebagai bentuk apresiasi atas kerjasama yang terjalin. Tak lupa ucapan terima kasih dari Mas Dudi Bambang selaku panitia dan wakil BMC atas sambutan yang luar biasa oleh pihak PT Rimba Kencana.

Barang Bawaan Makan Tuan

Apa alasan utama jalur Jakarta-Madura tetap gemuk, di saat penumpang Malang, Surabaya atau Denpasar surut karena himpitan LCC (Low Cost Carrier) pesawat udara serta keenganan penumpang didera derita kerusakan jalan pantura yang seolah tiada berujung? 


Tak dapat dipungkiri, orang Madura berjiwa petualang, senang bepergian. Terlebih bagi perantau di ibukota, hubungan batin dengan tanah tumpah darahnya tetaplah kental. Minimal sebulan sekali mereka siap berkorban menempuh jarak 800-an km demi menuntaskan kerinduan bertemu keluarga di daerah asalnya. Karena orang Madura kebanyakan bekerja di sektor informal, sehingga waktu bukan masalah mendasar bagi mereka. 


Tentu saja, ritual pulang kampung bukan sekedar setor badan, namun tak ketinggalan pula barang bawaan yang seabrek-abrek jumlahnya. Tidak aneh, bila satu penumpang bisa membawa sejumlah kardus, karung, ataupun pallet yang berisi oleh-oleh, bingkisan berharga atau barang titipan tetangga buat sanak saudara di desa asalnya. Bisa jadi dalamnya adalah hasil bumi, bahan pangan, lembaran sandang atau piranti elektronik. Bahkan sepeda pancal pun tak sungkan-sungkan dibawa, seakan di Pulau Madura tak ada toko sepeda. 


Keunikan inilah yang diendus operator bis yang membuka jalur ke Madura. Tidak perlu armada gres, model karoseri nan menawan, ruang kabin bersih dan smell good, jok empuk, kelengkapan selimut atau style driver yang speedfull. Cukup kebijakan PO tersebut untuk bersedia meng-ekspedisi barang apa saja selama masih bisa memungkinkan terangkut, dengan “akad” dengan kru,  free of charge


Coba sesekali naik bis Madura. Ruang bagasi sisi kanan dan kiri, rak gantung kabin, bawah kursi atau space kecil di depan toilet sarat barang-barang bawaan. Bahkan, pernah ada joke dari salah satu kenek bis Madura, andai di atap bis di-instal roof rack seperti bis-bis trans Sumatra, pasti bis itulah yang paling laris ke Madura.  


Kisah lucu “Barang Bawaan Makan Tuan” ini saya dapatkan saat ngobrol ringan dengan kenek bis Pahala Kencana (PK) Tanjung Priok-Bangkalan, bermesin Hino RG model Panorama DX Laksana, yang saya naiki ke Surabaya untuk mengikuti acara factory visit ke Adi Putro. Panorama DX


 


 


 


 


 


Menurut penuturan Mas Ahmad (kenek PK), kala itu dia ditugaskan meng-asisteni armadanya dengan tujuan Sumenep, kabupaten paling ujung timur Pulau Madura.  Ceritanya, ada penumpang (sebut saja Mat Jai) hendak pulang ke Bangkalan. Tiket yang dipegang cuma satu, tapi barang bawaannya bejibun, belasan kardus berukuran besar dan kecil, yang entah apa isinya. 


“Sampeyan turun mana Cak,” tanya Mas Ahmad saat menata barangnya di bagasi samping kiri.


“Bangkalan-e Cak,” jawabnya.


“Sampeyan barangnya banyak bener, mau pindahan ya Cak?”, sindir kenek asli Pemalang ini.


“Ah, ndak Cak, ini kan titipan tetangga-tetangga saya di sini, buat keluarga di Madura,” jelasnya. 


Berhubung ruang bagasi hanya sedikit tersisa, barang-barang Mat Jai dijejal-jejalkan ke dalam bagasi, saling terpisah dan bercampur dengan barang penumpang lain. Yang penting bisa termuat. 


Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan sekitar 18 jam, berhentilah armada HT 519 ini di satu daerah menjelang Bangkalan sesuai request Mat Jai. Waktu di ambang shubuh, karena bis diberangkatkan dari Tanjung Priok jam 10.00 pagi, hari sebelumnya. Sebagian besar penumpang bertujuan ke kota-kota setelah Bangkalan, seperti Tanah Merah, Blega, Sampang, Pamekasan serta Sumenep dan Mat Jai adalah penumpang pertama yang turun. 


“Cak, barangnya mana saja?” tanya Mas Ahmad sesaat setelah pintu bagasi dibuka.


“Ini…ini…ini…ini…ini…Cak,” sambil telunjuknya mengarah barang yang dimaksud. 


Dengan sigap, 5 kardus Mat Jai diturunkan oleh Mas Ahmad. 


“Mana lagi Cak?” tanya Mas Ahmad kembali, karena dia ingat barang bawaan penumpangnya ini banyak. 


“Hmm…mana yo Cak, lha kok aku lupa. Gini ini kalau barang titipan!” gerutunya sambil terdiam.


“Lho… gimana sampeyan ini Cak! Kok barangnya ndak ditandai?,” sergah Mas Ahmad dengan setengah kaget. 


Mat Jai hanya membisu, terus mengamati barang-barang yang menumpuk di bagasi sembari berupaya mengingat-ingat barang bawaannya. Tapi tetap saja hasilnya nihil, karena ada kardus lain-lain yang berukuran dan bersampul hampir serupa. 


Tak sabar menunggu, Mas Ahmad masuk kembali ke dalam dan melaporkan masalah tersebut kepada sopir. 


“Waduh…gimana lagi!” timpal Pak Sopir. 


Seketika itu pula, lampu kabin besar dinyalakan Pak Sopir sehingga suasana di dalam bis terang benderang. 


“Maaf Bapak, maaf Ibu, terpaksa mengganggu. Bagi yang membawa barang di bagasi, untuk turun. Ada penumpang lupa barangnya. Tolong, barang bawaan Bapak Ibu dititeni (dicermati) sendiri, biar tidak tertukar oleh orang Bangkalan yang mau turun!”, perintah Pak Sopir sambil menahan kekesalan.


Para penumpang yang lagi asyik-asyiknya tidur langsung membuka mata, karena silau oleh cahaya dan mendengar aksen suara Pak Sopir yng agak meninggi. Riuh rendah suasana di dalam kabin, merespon permintaan Pak Sopir. 


Bo…abo…dok re mak tak iye. Nak-enak tidur, lha kok disuruh rus ngurus barang…!” begitu gerutuan salah seorang ibu yang “menitipkan” barang di bagasi, sembari beranjak dari tempat duduknya. 


Alhasil omelan dan celotehan para penumpang dialamatkan kepada Mat Jai, saat satu persatu barang mereka di”sensus ulang” oleh Mas Ahmad ketika mencari barang-barang bawaan Mat Jai. 


Gara-gara Mat Jai lupa barang bawaan, seisi bis kena getahnya.

Rabu, 06 Mei 2009

Mandi Kepagian

Kulirik jam digital di pojok kiri depan, waktu menunjuk angka 03.15 dinihari. Duh, sudah hampir 1/4 jam  bis ini tidak bergerak. Aku hanya terpaku di seat no. 15. Mpfuhh…perasaan kesal mulai merambat di hati. Armada terdiam bukan karena kemacetan, namun alasan kerusakan. Padahal, tinggal 1 jam lagi tujuan perjalananku berakhir. 


 


Sebagian penumpang memilih untuk turun, menghirup udara segar di luar. Hanya 2 atau 3 orang yang tetap meneruskan tidur mendengkurnya meski tanpa pendingin ruangan bekerja, karena mesin Mercy Intercooler di-shut down. Temaram lampu jalanan kota Pati menembus dinding kaca Old Travego, sedikit memberi kekuatan cahaya di dalam kabin.


 


Klutak…klutik…klutak…klutik…terdengar tools kerja kenek beradu dengan komponen yang diotak-atik. Entah sampai kapan mesti menunggu, tanda-tanda perbaikan selesai tak kunjung ada. Sayup-sayup terdengar para penumpang sedang ngobrol di luar, mengisi waktu tunggu dengan perbincangan ringan.


 


Kuputuskan untuk turun dari tempat duduk, keluar dari dalam bis. Daripada bete, mending bergabung dengan yang lain. Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.


 


Ah, kebetulan Pak Sopir sedang di belakang bis. Iseng-iseng aku bertanya.


 


“Wonten masalah nopo,Pak?”, tanyaku penuh selidik. (Ada masalah apa, Pak?)


 


“Niki Mas, rem wingking radi masalah. Niku nembe disetel kalih kenek-e.”, jelasnya. (Ini Mas, rem belakang ada masalah. Itu, lagi disetel sama kenek.)


 


Kulihat hanya kaki kenek terlihat dari luar, selebihnya tubuhnya terbenam di dalam kolong bis. Posisi badannya tidur telentang. Tampaknya dia sedang sibuk dengan pekerjaan “dadakan”nya, meng-adjust rem sebelah kiri belakang. Di samping kakinya terlihat tools box, berisi alat-alat kerja untuk keperluan trouble shooting jikalau terjadi kerusakan di jalan. 


 


“Piye Jo, beres durung!”, teriak sopir kepada kenek (sebut saja kenek si Paijo). (Gimana Jo, beres belum?)


 


Namun, tiada jawaban. Mungkin dia masih sibuk bergelut dengan masalah rem, sehingga malas menyampaikan balasan. 


 


Akhirnya aku bercengkerama dengan penumpang lain. Dari sekedar berkenalan, bagi-bagi cerita, ngobrol ngalor ngidul hingga sharing kisah-kisah perjalanan.


 


Tiba-tiba terdengar suara byur…byur…byur… berulang-ulang. Ada penumpang yang sedang buang air kecil, memanfaatkan jasa keberadaan toilet di dalam bis. Hawa dingin AC semalaman menumpuk-numpuk sisa metabolisme tubuh, mengantri untuk di-release empunya.


 


Sementara itu di luar bis.


 


“Piye Jo, rampung durung!”, tanya sopir dengan tak sabar. (Gimana Jo, selesai belum?)


 


Terlihat kenek nongol keluar dari kolong.


 


“Rampung piye Nyo…Nyo! (panggilan kepada sopir). Iki lho aku malah adus uyuh. Asem tenan…!!!”, balas si kenek dengan geram, sambil menunjukkan celana dan bajunya yang sebagian basah kuyup. (Selesai gimana, ini lho aku malah mandi air kencing! Sial…)


 


Rupanya, tanpa disadari, posisi kerja dia pas di bawah lubang drainase toilet bis.


 


Seketika Pak Sopir dan penumpang bis tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan kenek “mandi kepagian”. Gerrr…


 


“Makane Jo, yen adus ojo mung sore tok…,” canda Pak Sopir sambil menahan tawa. (Makanya Jo, kalau mandi jangan saat sore saja…)


 


 



*Based True Story di tahun 2005. Sengaja nama PO dan para pelaku tidak disebutkan, demi menjaga citra dan nama baik yang bersangkutan.

Senin, 04 Mei 2009

Sate Kerbau, Manifestasi Nilai Toleransi

[gallery columns="2"]

Dalam perjalanan pulang ke Rembang selepas acara “BMC for Nusantara’s 41 Anniversary”, tiba-tiba terbesit keinginan untuk “mengenal” sate kerbau. Semenjak dulu aku mengincar menu eklusif ini, dan belum lega hati kalau belum kesampaian. Pasti cocok dijadikan menu makan siang kali ini. 


 


“Pak, dekat-dekat sini yang jualan sate kerbau di mana?”, tanyaku pada petugas parkir Toserba Matahari, saat menjemput anak dan istriku di tempat penitipan sementara tersebut  sewaktu aku tinggal pesta potong tumpeng di Pool PO Nusantara, Karanganyar, Kudus. 


 


“Kalau siang, di seberang jalan ada Mas, cuma biasanya jam segini sudah tutup. Ada satu lagi, warung Maju, di dekat stasiun.”, jelasnya. 


 


Yup, Warung Makan Maju adalah target buruanku. Tak perlu bersusah payah, kedai kuliner Maju (singkatan dari 57) berhasil kutemukan. Sebuah warung kecil dan sederhana, terjepit di antara jajaran kios-kios toko di sepanjang jalan stasiun. 


 


“Pesan sate 2 porsi ya, Bu!”, pintaku kepada pemilik warung Maju, setelah duduk di kursi. 


 


Kota Kudus sendiri sangat mengagungkan dan mengeramatkan hewan sapi. Meski mayoritas penduduknya memeluk agama Islam --yang menghalalkan daging sapi --, tapi masyarakat Kudus terlanjur tunduk dan patuh melaksanakan pesan suci Sunan Kudus. Pesan salah satu Wali Songo tersebut adalah pelarangan menyembelih hewan sapi demi menghormati tradisi ajaran Hindu. Sate kerbau adalah pengejawantahan sikap toleransi dan menjunjung nilai pluralisme antar umat beragama. Dari sekedar wejangan, akhirnya seolah menjadi “dalil shahih” yang dipegang erat, meski sekarang pemeluk agama Hindu di Kudus adalah kaum minoritas. Hingga sekarang, tidak ada tukang jagal sapi dari Kudus, karena “takut” kena tuah “kata larangan” Sunan Kudus. Jangan harap di kota ini akan mudah menemukan menu makanan berbahan sapi, karena telah disubstitusi oleh daging kerbau. 


 


Tak lama berselang, sate kerbau siap dikudap. Melihat cara penyajian maupun setelah mencicipinya, memang beda dengan sate sapi atau sate kambing. Lazimnya, sate berasal dari daging mentah yang dibakar langsung. Namun untuk sate kerbau, daging dijadikan dendeng, yakni dimemarkan, dihaluskan untuk selanjutnya dibumbui dengan racikan jinten, ketumbar, bawang putih dan gula, kemudian dibalutkan di tusuk satenya. Tanpa treatmen demikian, pasti daging kerbau akan alot. Hasilnya, tekstur daging jadi lembut dan halus di lidah. Sedang bumbu satenya adalah gilingan kacang tanah dan srundeng (parutan kelapa yang disangrai). Hmm…unik memang bumbunya. Nasi putih dihidangkan di atas piring yang dilembari daun jati. Mengingatkan cara penyajian sate srepeh, Rembang dan sate jagal, Blora. Untuk rasa pedas, kita bisa menambahkan sambal uleg atau mencomot cabe rebus yang disediakan. 


 


“Kalau aku ngga suka Pa, terlalu manis bumbunya.”, begitu testimoni istriku setelah mengecapnya. 


 


Yah…kalau menurutku sate kerbau lezat dan goodtasting juga . Maklum, darah yang mengalir dalam nadiku adalah paduan asam di gunung (alm. ibu asli Jogja) dan garam di laut (kampung bapak Pati). Mau citarasa pedas khas pantai utara ayuk…mau manis ala masakan gunung no problemo


 


Dibanding sepiring soto kerbau yang “hanya” setara enam lembar uang seribuan, harga 10 tusuk sate lumayan “mengerdilkan” isi kantong. Situasi ekonomi yang tidak menentu, melambungkan harga seporsi sate kerbau mencapai Rp.12.000/ porsi. 


 


“Sakniki sekilo daging kirang langkung seket ewu, sakwisipun BBM mundhak. Kepekso, kulo kedah mundhakke regi sadean sate kebo meniki, Mas!”, pasrah si Ibu seakan bergargumentasi sewaktu aku membayar. (Sekarang satu kilo daging kerbau kurang lebih 50ribu, setelah BBM naik. Terpaksa, saya harus menaikkan harga jual sate kerbau ini, Mas) 


 



Namun bagiku, dalam usaha pencarian menu masakan langka dari bumi nusantara, apalah arti nilai rupiah.   Hehehe… 

 

Salam kuliner!