Senin, 10 Agustus 2009

NS 39; Setahun 3X Suksesi

Setelah sekian tahun “dianaktirikan” sejak PO Nusantara membuka trayek Cepu- Pulogadung di awal tahun 2000-an, satu tahun terakhir ini, NS 39 (kode armada untuk trayek tersebut) mulai dielus-elus, digadang-gadang, dan menjadi point of concern dalam tata kelola operasional PO yang ber-basecamp di Kudus tersebut.


 


Banyaknya pelanggan loyalis yang tiap Jumat sore atau Minggu malam mempercayakan NS 39 sebagai armada tunggangan, yang serta merta mengusung karakter “sok high class” ala masyarakat pesisir timur Jateng, men-trigger regenerasi armada yang kontinyu.


 


Menjelang bulan puasa setahun yang lalu, NS 39 masih “digawangi” oleh HS 131 dan HS 133. Masih jelas terpatri di memori, ciri khas armadanya dengan model Setra Adi Putro MB OH 1521, dengan gambar tubuh berupa sekawanan kuda binal yang berlarian di pinggir telaga. Bahkan, HS 131 adalah armada wah di jamannya, lungsuran dari bis super eksekutif, sebelum datangnya Sang Scania, yang memaksa bis ini turun kelas.


 


Setelah masa lebaran 2008 berlalu, kedua armada dilengserkan karena sudah out of date untuk ukuran bis eksekutif (sekarang kedua bis tersebut sudah berpindah tangan ke PO lain). Digantikan dua armada ber-number tag HS 172 dan HS 188. Bentuk fisik ekserior masih mengunggah Setra Adi Putro, dengan new livery, Manhattan View.


 


Tidak lama berdinas, di awal tahun 2009 ini, dua armada generasi pertama NS 39  yang bersenjata MB OH 1525 kembali direnggut dari singgasana, dipensiundinikan dari kelas eksekutif dan demosi menjadi kelas VIP untuk trayek Tayu dan Jepara. Suksesornya adalah HS 205 dan 206. Sebenarnya, tidak ada yang spesial dari dua armada baru ini dari bis sebelumnya, selain tahun langsiran mesin OM 906LA yang lebih muda, 2008.


 


Seolah tak mau kalah dari kompetitornya, dan terus fight bertaruh mengambil pasar penumpang Cepu dan Blora, di awal Bulan Agustus ini, NS 39 kembali tampil baru. Penjualan armada lawas PO Nusantara secara besar-besaran, berimbas armada anyar diterjunkan mengaspal. Meski sementara baru satu armada yang menggantikan dan masih mempercayakan pada kemampuan mesin Mercy Electric, -- HS 206 disubtisusi oleh HS 211, HS 205 masih bertahan -- , tapi setidaknya menegaskan keseriusan PO Nusantara menggarap ladang emas, trayek Pulogadung-Blora-Cepu.


 


Mengapa disebut ladang emas?


 


Mulai menggeliatnya kegiatan eksplorasi minyak di seputaran daerah Cepu, baik oleh Perusahaan Petrocina maupun Exxon yang banyak mempekerjakan ekspertis dari Jakarta, serta sarana mobilisasi tugas kantor Cepu-Jakarta para pegawai Pertamina dan BP Migas, membuat kue penumpang dari Cepu terasa legit untuk diperebutkan.


 


Sampai kapan masa edar armada New Marcopolo HS 211 akan berakhir? Berkaca pada pengalaman, aku kok yakin, satu tahun mendatang HS 211 sudah down grade, hilang karier sebagai punggawa NS 39. Semoga…


 


Ingin menikmati layanan eksekutif, dengan armada “selalu baru” yang nyaman, berkelas dan speed oriented, namun dikemas dalam tiket yang murah, NS 39 adalah jawabnya.  


 


Inilah NS 39 terbaru PO Nusantara, dengan body coach kelas Royal Coach SE yang aku cicipi Hari Jumat (7/8) kemarin. Dunia memang cepat berbalik. Dulu, NS 39 hanyalah “langkah buang” bila tidak kebagian tiket NS 19, namun sekarang, justru armada Scania Rawamangun adalah alternatif kesekian bila tiket Pulogadung sold out.  



 [gallery]

 


Kira-kira, adakah dedicated bus untuk satu trayek yang lebih rajin meng-update armadanya lebih banyak dari HS 39 ini, setidaknya dalam setahun empat kali berganti armada?

Kamis, 06 Agustus 2009

Gairah Malam Grand Aristo (2)

Segesit Detasemen 88


 


Jam 15.30, mulailah Grand Aristo 88 ini mengawali petualangannya, dinahkodai driver muda, dengan perawakan pendek gempal. Berjalan beriringan, di belakang Avant Garde.


 


Secepat kilat melesat meninggalkan Kota Rembang, menegaskan armada-armada “Plat K” yang speedfull. Wah…bakal menyaksikan trailer film “Speed IV” dengan latar jalur pantura. Benar juga, seolah B 7588 IG ini dipaksa B 7585 (IG?) untuk terus menguntitnya. Tapi yang saya salut, sopir Avant Garde mengingatkan gaya sopir bis malam jaman baheula. Setiap kali mentake over kendaraan di depannya, khususnya deretan truk angkutan berat, selalu membimbing bis belakangnya. Baik dengan lampu sein ataupun bergoyang kanan kiri, memberi ruang agar sopir di belakangnya bisa mengintip situasi lalu lintas di depannya. Mungkin, dua sopir ini telah satu hati dan satu paham, sehingga saling percaya. 


 


Selain itu, acungan jempol pantas dialamatkan kepada karoseri New Armada. Meski melibas jalur pantura yang berlubang dan bergelombang—hanya kiamat yang bisa menghentikan derita jalan pantura --, namun sejauh ini mampu meredam efeknya. Kabin tetap senyap, tanpa riuh rendah suara gemlodagan. Jauh beda dengan bis patas Surabaya-Semarang dengan karoseri New Armada yang full music. Inikah segmentasi body coach New Armada atas produknya? Semoga bukan karena bis ini masih tergolong baru.


 


Tiba di daerah Batangan, tampak kemacetan mengular. Entah karena ada kecelakaan atau kendaraan yang mogok. Pertama-tama ikut antrian, namun karena mulai hilang kesabaran, 10 menit tidak bergerak, sopir memutuskan ambil jalur kanan. Yak…dapat, mengeblong Avant Garde dan skuad Pahala Kencana Bojonegoro. Yang terlihat konyol bis patas Jawa Indah Setra MP, yang mencoba keberuntungan mengambil jalur kiri, jalan tanah. Sudah lumayan jauh mencuri antrian, terhalang dahan pohon di pinggir jalan dan akhirnya praktis tidak bisa bergerak.  Duhd’ nassive  J


 


Ternyata, sebuah truk pengangkut tebu terguling dan memakan badan jalan. Setelah lepas dari TKP, kemacetan luar biasa kendaraan dari arah Juana. Bahkan bis-bis ekonomi Semarang-Surabaya sudah mengambil jalur kanan, hingga kemacetan makin ruwet. Jalur Rembang-Juana yang sempit seakan tak mampu menampung luapan kendaraan yang tertahan akibat adanya kecelakaan.


 


Setelah mengambil penumpang terakhir di Terminal Juana, bis melanjutkan perjalanan kembali. Di Terminal Jati, Kudus, hanya singgah mengambil sncak dan uang saku bagi kru.


 


Dan, cerita indah Pantura dimulai. Bak anggota detasemen 88, bis langsung bergerak cepat menyergap waktu, agar besok langsung putar kepala di Pulogadung. Belum sampai kota Demak, telah meng-kanibal teman sendiri, dua armada Haryanto, masing-masing Setra MP dan Setra AP gambar kereta perang Arjuna dan Sri Kresna. Wah…wah…mantep to?


 


Masuk Kota Semarang ambil jalur tol Kaligawe. Di jalan tol, seolah dihela cambuk, bis semakin cepat dipacu. Bahkan tidak sampai ngos-ngosan saat menanjak di tol Jatingaleh, karena sudah diloope (ancang-ancang) dari bawah. Yang lebih mendebarkan, saat menyusuri turunan sebelum tol Krapyak. Kondisi jalan yang sedang proses pelebaran tidak membuat sopir menurunkan kecepatan. Malah ambil jalur berlawanan, mengeblong barisan panjang kendaraan. Dua bis yang kembali dipaksa menghisap asap Intercooler ini, yakni Rosalia Indah dan Ramayana.


 


Selepas Krapyak, kembali disalip oleh Kereta Kencana. Gila…malam ini apakah sesama armada PO Haryanto sedang menjalani race ya, siapa yang tercepat sampai Pulogadung?


 


Sayang, karena lelah saya putuskan break dulu, tidur…Zzz…zzz…zzz…


 


Terbangun kembali saat mengambil jatah service makan di RM Bukit Indah, Gringsing. Baru ada dua Haryanto, yakni Bisnis 2-3 Purwodadi-Grogol dan Eksekutif Pulogadung New Marcopolo AP. Duh…kapan ya mencicipi bis ini? L


 


Lepas istrirahat, pilot bertukar tempat. Baru melenggang keluar, disikat tiada ampun oleh PO Rhema Abadi. Kira-kira kuat menyusul ngga ya?


 


Dengan terengah-engah, Grand Aristo mendadi tanjakan alas roban. Lantaran rpm diforsir, mampu mendahului dua armada Yudha Express. Hmm…sudah dua armada bis ini untuk sekali pemberangkatan. Sudah mulai mendapat bis Jepara ini di hati penumpang daerah Ngawen cs?  


 


Selesai mendaki, keluar karakter asli driver. Tidak kalah garang, sebanding driver I. Pandai mencari celah dan suka menempel kendaraan di depannya. Saat menyalip truk, sangat tipis bingkai spionnya hampir mencium sudut bak belakang truk. Berkali-kali bis lain dipecundangi, di antaranya Safari Dharma Raya, Raya, Sedya Mulya, Rosalia Indah dan Dedy Jaya.


 


Akhirnya, pantat Rhema Abadi terlihat. Dikejar terus penuh nafsu untuk menyalipnya. Merasa dibuntuti, bis yang berlivery grafis kepala burung ini tak mau kalah. Seru melihat aksi kedua bis ini. Bahkan, Grand Aristo yang telah satu badan menyalip dari sebelah kiri, tidak diberi space saat tertahan truk di depannya saat driver mencoba ambil jalur kanan kembali. Ngeyel, tak mau ngalah. Baru sampai di daerah Tulis, setelah hampir 10 km “bertarung”, adik PO handoyo berhasil ditaklukkan.


 


Cerita kurang lebih sama saat berusaha mencundangi PO Bogor Indah. Tidak mudah dan sengit. Memang, harus aku acungi jempol, bis bertrayek Madiun-Solo-Jakarta ini berkarakter laksana bis Kudus-an.


 


Tiba di lingkar Pemalang, terjerembab dalam kemacetan kembali. Bis-bis arah timur memberi kode untuk putar balik, karena ada kecelakaan. Posisi kendaraan yang naas melintang, menghabiskan jalur dan diperkirakan memakan waktu lama untuk mengurai kemacetan. Padahal posisi Grand Aristo terjepit di antara kendaraan lain dan kondisi jalan hanya dua lajur. Posisi badan jalan pun tinggi, dengan kanan kiri areal persawahan. Habis sudah kiprah 88 ini memamerkan aksi teatrikalnya, pikirku.


 


E…ndilalah, sopir cukup jeli. Di samping kiri jalan ada gang kecil masuk ke perkampungan. Kenek diminta men-stop truk di belakang, bis banting penuh ke kanan, dan atreet masuk gang kecil. Edan…kalau miss, bisa nyrosot ke sawah ini. Deg-degan juga saat bis melakukan manuver paksa model begini. Ampun…


 


Tapi, itulah yang namanya skill dan feeling yang tajam terasah. Bukan hal sulit…Kepala sudah menghadap ke timur. Putar arah kembali sembari memberi tahu bis-bis yang arah barat agar mengambil jalur dalam kota.


 


Dan, it’s show time part III. Melahap rute Pemalang-Pejagan-Cildeug-Sindang Laut-Palimanan-Pamanukan-Cikampek Pulogadung bak anjing pemburu. Tak tega berlama-lama melihat mangsa, yaitu pantat kendaraan lain. Gesit, high speed tapi tetap comfort, hingga sayang melewatkan momen-momen seru saat melahap sirkuit sepanjang hampir 600 km. Mengubah malam yang biasa saja menjadi menggairahkan. Menggolakkan jiwa seorang komuter yang selalu berhasrat tiba ibukota saat sunrise.  Dan semua harapan itu diwujudkan oleh Grand Aristo 88 ini.



[gallery columns="2"]

Top Markotop tenan Grand Aristo ini…

Gairah Malam Grand Aristo (1)

Di antara jajaran bis malam dari tlatah bumi Muria Raya, populasi produk New Armada bisa dihitung dengan jari, kategori spesies langka. Terlebih stigma yang melekat pada masyarakat lereng Gunung Muria yang materialistik, hedonistik, adhi-adhi (banyak menuntut) dan 3G (gengsi gede-gedean), seakan meng-karakter armada pesisir timur Jawa Tengah. Bis mesti nyaman dan wah, bodi harus lux dan good looking, speed wajib banter, tapi harga kudu tetap ramah di kantong. 


 


Namun, lahirnya Grand Aristo dan Avant Garde New Armada di “klinik” PO Haryanto, seakan melawan mindset pengusaha PO Kudus-an yang terlanjur Malang-an minded untuk urusan karoseri.  


 


Kecele itu Kejam, Jendral!


 


Sabtu pagi (25/7), setelah selesai urusanku dari Bank BPD Jateng, segera “hijrah” ke Terminal Rembang. 


 


“Mas Harno,  armada 97 sore ini jalan kemana?” tanyaku kepada perwakilan agen Haryanto chapter Rembang.


“Jalan ke Jakarta Mas. Wis aku jamin, besok sampeyan dapat armada baru,” janjinya.


 


Bukannya aku benci armada 97, tapi sudah dua kali menaikinya. Tak akan lupa wajahnya, apalagi rasanya. Mercy Intercooler dalam balutan busana Crystal Restu Ibu, yang mengemban amanat meng-assist trayek harian Pulogadung-Rembang-Bangilan.


Crystal haryanto


 “Oke Mas, pesan satu ya buat besok, VIP Pulogadung,”


 


 


Siapa takut turun kelas dari eksekutif? Justru PO Haryanto sendiri getol-getolnya memperbarui armada VIP-nya, meski di antaranya hanya sekedar ganti baju. Grand Aristo, Avant Garde, Smiley New Travego atau Inspiro sudah reguler mengaspal.


 


Turing mingguan tak akan spesial tanpa mencoba sesuatu yang baru. Itulah alasanku lebih memilih  Si Kopral dari Tangerang, menyisihkan PO sekampung, Tri Sumber Urip, bis yang belum pernah aku naiki sekalipun, PO Selamet, atau armada langgananku, NS 19/NS 39. Who knows, setelah Dewi Fortuna menjauhkanku dari Galaxy EXL Malino Putra, kali ini akan mendekatkanku kepada Grand Aristo atau Avant Garde.  


 


Minggu sore, saat sedang berkendara meluncur ke Terminal Rembang.


 


“Mas, sudah sampai mana? Bis sebentar lagi datang,” suara dari ujung telepon,.


“5 menit lagi Mas, tunggu ya?” pintaku via lisan istriku. 


 


Wah, bakalan telat nih. Ngga enak kalau agen sampai kena tegur kru gara-gara penumpangnya terlambat.


 


Saat landing di sudut utara alun-alun Kota Rembang dan tak lupa berpamitan, dengan setengah berlari bergegas masuk terminal.


 


Wah…wah…Avant Garde euy yang sedang pamer pesona, sudah nangkring di dalam terminal. Bis yang kutemui waktu kopdar BMC di Pulogadung. Sip…ternyata RK8 R260 inilah yang menungguku. Gairahku sudah merambat hingga ubun-ubun untuk merengkuh “kemewahan” kabinnya.


Haryanto3


 


“Maaf Mas, telat,” ucapku kepada Mas Harno, sambil menyerahkan tiket.


Ga papa kok Mas. Yang penting sebelum 15.30 sudah di sini,” jawabnya sambil menuliskan nomor armada.


 


Setelah tiket disodorkan kembali dan hendak bersegera menuju pintu depan Avant Garde, tiba-tiba Mas Harno memanggil.


 


“Mas, bis-e sampeyan bukan ini. Ini untuk jurusan Lebak Bulus dan Bitung. Armada 88 lagi dari arah Lasem,”


 


Hiks… kecele. Karena buru-buru, kelupaan mengecek nomor bis yang tertulis di tiket. Jadinya salah armada. Kok Mas Harno ngga bilang sebelumnya sih, jadinya kan tengsin sama penumpang bis 88 yang lain. Huhu…gara-gara nafsu besar, ketelitian kurang. Ketauan sange berat deh sama Avant Garde. Seringkali naik bis malam kok ya tetap katro. Hahaha…  


 


 


 


Grand Aristo, Sebuah Review


 


Finally, 5 menit berselang, si Grand Aristo itu datang, dengan ciri khasnya, gambar menara Kudus. Hanya ganti kostum, karena dapur pacu masih mengandalkan mesin lama, OM-366LA. Keluar dari patron baku corak biru PO Haryanto, bis bernopol B 7988 IG meng-upload motif segar, meski sederhana dalam permainan warna. Hanya gradasi warna dari biru kelam bergeser biru laut, dengan serpihan siluet awan ungu violet. Hmm…mengesankan awan lembayung di langit biru menjelang senja.


Haryanto 1


Dan yang membuat bis tampil beda dengan armada lainnya di keluarga PO yang dipunyai pensiunan kopral ini, adalah nametag perusahaan otobus, yang diembel-embeli kata Motor, PO Haryanto Motor. Mungkin Pak Haryanto tak ingin melupakan peran dan jasa besar dealer mobil angkot-nya, PO Haryanto Motor. Dari profit penjualan mobil angkutan kota, dijadikan soko guru menopang rintisan bisnis bis AKAP-nya, hingga mengantarkan kesuksesan usaha transportasinya seperti saat sekarang


 


Bersama Avant Garde, Grand Aristo merupakan model ter-update karya New Armada. Berbasis model New Travego dengan kreasi head lamp “mata dewa” ala New Evolution RS dan rear lamp masih mengusung model smiley. Menurutku, Grand Aristo ini ciamik soal penampilan luarnya. Dimensi tubuhnya proporsional antara panjang chasis dan tinggi keseluruhan, tak kalah gagah dengan New Travego Adi Putro. Hanya beda sentuhan akhir di bodi yang menurutku masih perlu digenapkan oleh karoseri yang berhome base di Magelang tersebut.  Bahkan dalam penilaian subyektif-ku, lebih cantik dan menggoda posturnya dibanding Avant Garde, meski hanya beda tampilan muka dan model lampu besar. Meski bagi New Armada, grade Avant Garde setingkat di atas Grand Aristo.


 


Saat menelusuri sisi interior, terasa signifikan komparasinya dengan Avant Garde. Grand Aristo hanya dipersenjatai LCD TV merek Liliput 19.9” dan speaker Boston. Saat diputar CD Dangdut Koplo, walah…kualitasnya jauh dari yang disyaratkan telinga. Tapi lumayanlah, dinyalakan hingga setengah perjalanan meski sember-sember dikit outputnya. Untuk memberi kesan elegan, lapang dan bersih, dinding atapnya dibalur warna putih. Sedang rak bagasi berhiaskan motif biru kelabu dengan coretan tak tegas bentuk huruf E dan U. Bagus, kesan yang hendak disampaikan bisa mengena. Terlebih adanya sekat antara kursi kemudi dan seat baris pertama ala buatan RS, memberi poin plus untuk faktor safety. Sayang, kekurangan masterpiece New Armada ini ada di sektor kursi penumpang. Meski dilengkapi fasilitas reclining seat, jok empuk, arm rest dan foot rest, namun masih kurang ergonomis. Punggung lama-lama melorot karena posisi kursi belum sempurna mengikuti lekuk tubuh.Untunglah, bisa tertolong dengan adanya ralling yang terpasang di sepanjang kaca dinding.  Bisa buat tempat pegangan tangan untuk menahan tubuh. J


 


Itulah sekilas review-ku soal inner and outer beauty Grand Aristo ini. Cukup menggoda dan menundukkan hati yang memandangnya, meski tak dapat dipungkiri, masih ada celah kekurangan yang perlu disempurnakan.

Selasa, 04 Agustus 2009

Mengenang “Kakek Bangsa”, Mbah Surip

Mbah Surip(1)


Saat berkutat dengan angka-angka di meja, ditemani nyala TV yang sayup-sayup mendendangkan lagu “Tak Gendong”, tiba-tiba mata ini terbelalak saat melirik layar kaca. Entah siapa yang manteng saluran Trans TV sejak pagi, yang jelas saat itu sedang live in concert “Insert” (meski infotainment bagiku adalah slot sampah), memberikan tagname acaranya “In Memoriam Mbah Surip”.


 


“Lho, Mbah Surip meninggalkah?” tanyaku pada rekan kerja sebelah.


 


Justru dia terperanjat. “Kata siapa?”  jawabnya tak kalah kaget.


 


Seakan tak percaya, kubuka situs www.detik.com. Di  deadline berita tertera “Mbah Surip ‘Tak Gendong’ Meninggal Dunia”.


 


Innalillahi wainna ilaihi rajiun…Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami akan kembali.


 


Aku sendiri kurang mengenal siapa sosok Mbah Surip, sebelum jagad permusikan tanah air dipenuhi pelangi tembang “Tak Gendong”. Tergelitik rasa ingin tahu perjalanan hidup Urip Ariyanto – nama asli pelantun “Tak Gendong” --, kubolak-balik pages hasil googling dengan kata bantu “Mbah Surip”. Terlebih setelah wajahnya rajin menghiasi media tabung kaca, akhirnya lambat laun terkuak misterinya. Seorang kakek dengan dandanan yang nyentrik, berkostum ala kadarnya untuk tidak dibilang acak-acakkan, berambut gimbal hingga panjang sepundak dan berkupluk topi ala rasta, warna-warni merah, kuning, hijau. Gayanya pun khas, kocak, gokil dan bebas berekspresi. Kemana-kemana menenteng gitar kopongnya. Sebuah eksentrisitas yang mewakili jiwa seni di nadinya.  


 


Namun, bukan penampilan yang merenggut perhatianku. Justru, syair-syair lagu Mbah Surip yang polos, telanjang, spontan dan apa adanya, dibungkus dalam genre musik reggae Jamaika, itulah poinnya.  Dalam bait-bait tembangnya yang terkesan asbun (asal bunyi), ternyata menyimpan kedalaman makna. Menyimak lagu “Tak Gendong” atau “Bangun Tidur”, sungguh sarat ajaran filosofi hidup. Seperti lagu “Tak Gendong”, yang menurut Mbah Surip mengajak kita untuk belajar salah. Yang digendong boleh siapa saja, entah baik, nakal, galak atau jahat. Ibarat bis umum, tidak peduli siapapun penumpangnya, entah gelandangan, copet, pekerja, atau siapa saja. Mengendong adalah cerminan akhlak terpuji,  menolong yang jatuh, memberikan tumpangan bagi yang lemah, mengangkat yang sedang terjerembab untuk kemudian memuliakannya, tanpa pilah-pilih siapa yang akan dibantu.


 


Tak jauh berbeda dengan lagu “Bangun Tidur”. Lewat rangkaian syair sederhana, pria kelahiran Mojokerto  60 tahun silam ingin mengajak kita untuk bangkit dan berbuat sesuatu yang berguna, jangan terperangkap dalam kemalasan. Menjauhi  sikap ogah-ogahan, hanya mengisi waktu dengan tidur, tidur dan tidur. 


 


Hmm…mantep to?


 


 


Dan, yang tak kalah mencengangkan, kebintangan Mbah Surip bukan terbentuk dengan cara instan, tapi ditempa jalan panjang dan penuh liku. Tidak seperti artis karbitan, pria dengan “logat” ketawanya yang ngakak dan renyah, hah…hah…hah…hah…telah matang bergelut dengan dunia musik, dunia yang jadi pilihannya. Seniman jalanan pernah dilakoninya. Kehidupan yang pas-pasan pernah dikecapnya. Albumnya pernah dipandang sebelah mata oleh produser rekaman. Nomaden pun dijalani, demi pencarian ruang ekspresi bagi bakat seninya yang kental.  


 


Meski mengantongi gelar MBA dan pengalaman kerja di tambang minyak hingga overseas, tapi Mbah Surip tak mau mengingkari panggilan jiwanya. Nikmatnya kue dari hasil kerja yang mapan ditinggalkannya untuk berlabuh di komunitas seni Bulungan. Di wadah inilah Mbah Surip bertemu dan dihantarkan menuju dunianya. Darah seni semakin deras mengalir dan kian terasah ketajaman nalurinya, mulai bermain teater, melukis dan bermusik.    


 


Dan ketenaran yang direngkuh Mbah Surip sekarang adalah harga yang setimpal atas dedikasi dan sumbangsihnya dalam memberikan sentuhan moral dalam bermusik. Seluruh anak-anak bangsa, dari balita hingga orang dewasa, mulai petani hingga pejabat tinggi, dari anak pantai hingga orang partai, mengidolakan Mbah Surip. Lagu “Tak Gendong” meroket dan masuk jajaran  top hits tembang pribumi, menyeruak di antara album-album band anak muda. Dari awalnya hanya sekedar lagu tema iklan produk selular, “Tak Gendong” makin terlihat keperkasaannya. Siapa sangka, profit RBT (Ring Back Tone) “Tak Gendong” menembus angka 9 M dan Mbah Surip sendiri kecipratan 4,5 M. Berkah atas jerih payahnya.


 


Berada di puncak popularitas  tidak membuatnya berubah dan berulah. Mbah Surip tetaplah Mbah Surip. Dalam kesehariannya tetap sederhana, rendah hati, tidak haus pemberitaan, tetap tertawa lepas, tidak menjaga jarak, tetap mencintai para penggemarnya serta selalu low profile. Bahkan, tokoh sekelas Emha Ainun Nadjib yang sekaligus karibnya menahbiskan bahwa Mbah Surip adalah prototipe manusia Indonesia sejati, yang tidak pernah merasa susah, tidak pernah gelisah, tidak pernah sedih dan selalu tertawa; meskipun sering diledek orang, Mbah Surip tetap tertawa, tidak pernah dendam atau membalas balik dengan ledekan serupa. 


 


Pernah satu saat, ketika ditanya apa keinginannya dengan nominal rupiah yang melimpah, penghobi berat kopi ini dengan bergurau menjawab, membeli helikopter. Bahkan, sempat terlontar angan-angannya untuk bernyanyi duet dengan Manohara, selebritis dadakan yang lahir dari rahim cerita pilu Istana Kelantan.  Mbah Surip tidak serta merta gagap materi atau gila harta.  Tetap kocak dan gokil dalam memberikan pernyataan. Entah serius atau hanya sekedar banyolan, tidak pernah nyambung antara pertanyaan dan jawaban. Hingga ada pemeo, “Kalau tidak nyambung berarti Mbah Surip, kalau nyambung, justru bukan Mbah Surip”. Itulah magnet Mbah Surip.


Namun, suratan takdir tak dapat dilawan. Hari Selasa ini (4/8), jam 10.30, Gusti Allah memanggilnya. Kakek empat cucu yang lagi moncer-moncernya di tengah aula pesona popularitas berpulang.  Belum full menikmati buah dari tetesan keringat, nyawanya telah berpisah dari raga. Tak ada yang menyangka. Jutaan pemujanya seakan belum siap kehilangan. Di saat fans berharap lebih dengan lahirnya album berikutnya hasil olahan tangan dingin Mbah Surip, justru Mbah Surip telah berpuas diri dengan capaian yang telah dibangunnya. 


 


Saat kulongok account FB-ku, status facebookers dijejali ucapan belasungkawa. Media massa tak henti-henti mewartakan pernak-pernik kisah hidup Mbah Surip sebelum meninggal. Di mana-mana, tema obrolan tak jauh membicarakan kiprah hidup almarhum. Carut-marutnya alam politik, ricuh hasil pilpres, ketidakpastian hukum dan masih abu-abunya pengungkapan kasus bom JW. Marriot II seakan berhenti berdenyut, ditenggelamkan kabar ke-fenomenal-an Mbah Surip.


 


Bahkan, RI 1, Bapak SBY pun menyempatkan menyampaikan rasa duka cita mendalam, mewakili kesedihan seluruh rakyat republik ini. Tak lupa, calon presiden jadi 2009-2014 ini memuji dan mengaku bangga, bangsa Indonesia dikaruniai sosok pribadi nan jujur, lugu, penuh keteladanan dan bersahaja seperti yang ditunjukkan Mbah Surip. Mbah Surip adalah milik bangsa Indonesia.


 


Belum genap setahun Mbah Surip mengharu biru langit persada nusantara dengan mengusung atribut musikalitas yang atraktif dan easy listening, disempurnakan dengan keluhuran budi serta laku keseharian, namun sudah cukup bagi Mbah Surip untuk ditinggikan derajatnya sebagai legenda musik tanah air.


 


Selamat jalan Kakek Bangsa, engkau telah tunai “menggendong” amanat sebagai khalifah bumi. Nama kondang, tingkah polah, gaya  unik dan karyamu nan agung akan selalu lekat di sanubari anak-anak bangsa. 


 


I Love You…Full, Mbah Surip...

Minutes From Disaster; Tragedi Kendal Menguapkan Rencana Ke Laksana (2)

0:00


 


Jam digital di kabin bis menunjuk angka 16.14.


 


Tiba-tiba…sebuah sepeda motor keluar dari putaran median jalan yang memisahkan jalur arah Jakarta dan Semarang, terkesan buru-buru dan tidak sabaran. Posisi Haryanto di sebelah kiri berdampingan dengan honda jazz di sebelah kanan pada jalur arah ke timur, tidak begitu jauh saat motor yamaha Vega melakukan manuver U-turn.


 


Honda jazz segera menyalakkan klakson, karena merasa lajurnya diambil. Mungkin karena bingung, awalnya pengendara yang sedang di tengah menepikan motor ke sisi kanan jalan. Tapi, entah mengapa, tanpa memperhatikan kondisi kendaraan di belakangnya, motor kembali diarahkan ke lajur kiri.  


 


Sopir bis terlihat kaget karena motor tanpa dinyana nyelonong ke lajur kiri yang akan dilaluinya. Klakson pun dinyalakan berharap pengemudi motor sadar akan kendaraan di belakangnya. Namun, bukanya balik ke lajur kanan (honda jazz telah berhasil melewatinya), namun makin ke kiri. Lingkar kemudi segera dibanting ke kiri untuk menghindari motor. Sialnya, di bahu jalan ada orang gila yang sedang berjalan. Sopir terlihat makin panik dalam memegang stir. Dalam hitungan sepersekian detik, tipis banting ke kanan agar orang gila tidak tertabrak. Orang gila selamat, tetapi naas, justru sepeda motor masih meleng, tanpa usaha untuk menghindar ke kanan.


 


Alhasil, motor menyenggol pintu sopir. Srett…Motor terpental ke kanan, namun naasnya berulang, si rider terjatuh ke kolong di sela-sela roda depan dan belakang. Dan cetess…roda-roda bis terasa melindas sesuatu. Bis segera dihentikan.


 


“Waduh, aku nglindes opo iki?”, gumam sopir dengan gemetaran sambil keluar keringat dingin. (Waduh, aku melindas apa ini?)


“Pak,  wonge modar keplindes banmu,” kata penumpang dengan bahasa sarkatif dari arah belakang, setelah mengintip kondisi korban dari dinding kaca bis. (Pak, orangnya tewas tergilas rodamu?)


 


Tragis, memilukan dan menyayat rasa kemanusiaan !!!


 


Seketika, orang-orang di pinggir jalan semburat ke jalan raya berusaha untuk menolong. Penumpang pun histeris dengan kejadian yang baru beberapa detik berlalu.


 


Mandor Haryanto yang kebetulan ikut menumpang bis dari SPBU segera memerintahkan kru untuk melepas seragam. Penumpang pun diharap tetap di atas bis, menghindari hal terburuk terjadi, bis dirusak massa.


 


+ 0:03


 


Setelah tidak ada gelagat amuk massa, penumpang sebagian turun. Dari jauh, saya lihat seorang anak muda terbujur kaku, telungkup di jalur kiri serta jadi tontonan warga. Sepeda motor sudah dipinggirkan, tanpa kerusakan berarti. Serpihan helm yang pecah berserakan di jalan.


 


“Pak, tolong lapor ke polisi ya!”, pinta mandor kepada sopir truk gandeng yang sedang lewat. 


 


+ 0:09


 


Lalu lintas seketika macet. Polisi datang di lokasi kecelakaan dan diikuti mobil ambulance. Setelah dilakukan pengamanan TKP, meminta keterangan saksi dan investigasi sebab terjadinya kecelakaan, korban pun dievakuasi.  Kondisi kepala korban (maaf) hancur, dengan darah segar terus menetes. Saya yang melihat langsung proses evakuasi tak mampu menahan kengerian, merinding, perut mual dan seketika itu sendi-sendi kaki terasa lemas. Kondisi mental psikis dan kejiwaan saya langsung terguncang menyaksikan musibah yang terjadi. 


 


Dari bisikan hati yang menggerakan nalar saya, segera saya telepon istri, “Ma, ngga jadi ikut ke acara Bismania. Ada musibah di jalan.”


 


+ 0:20


 


Setelah selesai penanganan pasca musibah, bis ditahan di Polres Kendal. Rencana kru, para penumpang akan dilangsir dengan bis III dan IV dari Pulogadung. Posisi bis III sendiri masih di alas Roban dan bis IV masih di Pemalang.


 


+ 1:10


 


Datanglah bis III dari Pulogadung, tempat  saya akan dititipkan. Dan memang bis inilah yang semula saya incar, New Travego Adi Putro. Mengapa untuk merengkuh cita-cita harus diawali sebuah tragedi?


 


“Ya Allah, andai saya tidak berubah dari rencana, andai saya bersabar menunggu, andai saya tak ingkar dari hasrat untuk mengecap smiley ini…tentu akan terhindar dari musibah,” kesahku saat duduk di jok alldilanya. “Ah, hidup memang penuh misteri. Kita tidak akan bakal tahu, apa yang akan terjadi satu detik kemudian.”


 


 


+ 04:31


 


Bis mendarat di seberang Terminal Jati, Kudus, dan saya bersegera turun, lalu berestafet naik Jaya Utama Prestige Tri Sakti untuk melanjutkan perjalanan tersisa ke Rembang. Pupus dan gugur sudah harapan ke Laksana. Saya berketetapan, ingin menentramkan hati dan pikiran serta mencari ketenangan dengan bercengkerama bersama keluarga di rumah. Karena kerasnya hawa jalan raya adalah bagian hidup yang selalu mengiringi langkah seorang komuter antar kota.


 


Teriring doa buat korban, semoga diterima amal kebajikannya di sisi-Nya dan diampuni segala kesalahannya. Semoga musibah ini jadi bahan pelajaran siapapun, bahwa tanpa kehati-hatian, nyawa akan berharga murah di jalan raya.


 


 


(Maaf, saya sengaja tidak menampilkan foto bis, suasana TKP beserta korban sesaat setelah terjadinya kecelakaan, demi rasa simpati kepada semua pihak yang sedang dirundung kemalangan.)

Minutes From Disaster; Tragedi Kendal Menguapkan Rencana Ke Laksana (1)

Bukan maksud saya mendramatisir musibah yang telah terjadi dan mengorek luka keluarga korban setelah kehilangan salah seorang yang dicintai. Juga bukan untuk men-judge, siapa pihak yang patut dipersalahkan atas terjadinya peristiwa yang memilukan. Niatan saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri, syukur-syukur siapapun yang membaca tulisan ini, bahwa jalan raya adalah belantara yang ganas, tak ramah dan kejam, satu detik kelengahan sudah cukup untuk mendatangkan maut, mengantarkan nyawa untuk kembali ke haribaan Sang Pencipta.


 


Kisah pahit ini saya alami ketika perjalanan pulang ke Rembang, saat berencana menyusul hadir ke acara Great Panorama Bismania Community di Ungaran.


 


Rencana tinggal rencana, angan-anganpun menguap…Man proposes God disposes.


 


- 09:44


 


Berbekal Surat Ijin Turing yang saya dapat saat injury time menjelang acara akbar BMC di Ungaran, Jumat pagi  (31/7), kaki ini sudah menginjak pelataran terminal Pulogadung. Sengaja saya ijin off kerja dan pulang pagi, karena menurut skenario yang telah tersusun, sesampai di rumah dan cukup beristirahat, selepas waktu shubuh langsung menyusul ke Bandungan.  


 


Dan seperti suasana pagi Pulogadung yang sudah-sudah, tampak kesibukan bis-bis luar kota, khususnya jurusan Kudus dan sekitarnya. Para calo dan agen sangat agresif menjerat penumpang, berharap bisnya cepat terisi dan cepat pula diberangkatkan.


 


Memang…dari semula, terselip rencana lain untuk menyicip bis Haryanto yang new look body. Tak masalah, mau pake mesin lawas, asal berbusana baru, itu yang  saya buru.


 


Di pole position, di front row, mulai dari jalur 1 diisi dan Nusantara NS 48 Setra Adi Putro, berturut-turut Shantika DSA Sprinter Adi  Putro, Muji Jaya Evolution Rahayu Sentosa  dan terakhir di jalur 4 nongkrong Haryanto Smiley New Travego Adi Putro.


 


Wah…ini yang jadi target, harap batin saya.


 


“Mas, mau kemana?”, songsong agen Haryanto, melihat gelagat saya hendak mau mencari bis.


“Kudus atau Pati sama saja, Mas”


“Itu Mas, bisnya sudah di depan?” jelasnya sembari menunjuk Si Biru yang sudah memimpin barisan di mulut pintu keluar.


 


Saya amati Haryanto silver idaman, yang dulu catch it waktu bismania goes to Adi Putro. Hmm…masih kosong, baru seat depan terisi. Berapa lama lagi ngetemnya kalo begini? Sementara saya harus berpacu dengan waktu. Jangan sampai tengah malam baru tiba di Rembang. Maklum, rumahku masih jauh dari jantung kota, kasihan yang menjemput nanti.


 


Saya alihkan pandangan menuju bis yang ditunjuk agen. Setra Adi Putro. Ya, lumayan meski masih mengusung mesin Mercy Intercooler.


 


Sewaktu menapak tangga masuk, wedewieu mah bis eksekutif, dengan jumlah seat 34 plus leg rest, meski tiket yang ditawarkan VIP. Add value for money lah…


 


- 09:27


Bis bernopol B 7889 IG pun diberangkatkan, dengan kursi hanya terisi 20-an. Kata kru, sudah menutup ongkos solar. Maklum, peak penumpang untuk hari Jumat jatuh saat sore hari.  


 


Kendali dipegang driver I, melenggang menyusuri Tol Wiyono Wiyono-Tol Cikampek hingga Pamanukan dengan speed biasa-biasa saja. Bahkan, kisah kegarangan bis malam Muria Raya seakan redup oleh sengatan kemarau raja siang. Cukup kalem dan santun di jalan.


 


- 06:46


Singgah di Rumah Makan Taman Sari Pamanukan, memenuhi kewajiban men-service penumpang untuk makan pagi. Bis Pulogadung pertama, B 7888 IG, tersusul meski tidak selang lama meninggalkan kembali, karena lebih dulu masuk eat stop.


 


- 06:22


Bis berkode 06 ini kembali melaju, dengan tipikal driver II tidak beda dengan driver II. Karena tidak ada sensasi atraksi full skill dari driver, sepanjang Sukra hingga Pekalongan, 80% waktu saya isi dengan aksi  pejam mata.


 


- 01:31


 


Mampir lagi di rumah Makan Sabano Raya (kalau tidak salah) di daerah Banyu Putih, kawasan Alas Roban. Kembali bertemu bis I Pulogadung.


 


Akhirnya, kedua bis diberangkatkan bareng, dengan konsekuensi, bis yang saya naiki dipangkas waktu istirahatnya.


 


- 01:06


 


Kendali kemudi kembali dipegang sopir I. Kira-kira 3 km setelah bis berjalan…


 


“Pak Sopir, penumpang paling belakang belum ada…”, teriak seorang bapak. Setelah dihitung ulang, baru disadari ada yang ketinggalan di rumah makan. Kenek menelpon rumah makan, agar mengantarkan penumpang tersebut naik ojeg. Bis diberhentikan di bahu jalan. Bis I sudah hilang dari pandangan.


 


Bisa jadi, inilah firasat atau hal yang mentrigger terjadinya tragedi yang menimpa bis bertrayek Pulogadung-Pati-Tayu ini.


 


 


- 0:56


Mengisi BBM di SPBU di daerah Jenarsari, tidak jauh dari Rumah Makan Sari Rasa. Tercatat  149 liter yang dihabiskan untuk rute Jakarta-Kendal.


 


- 0:06


 


Masuk kota Kendal. Lalu lintas relatif sepi karena belum saatnya jam bubaran karyawan pabrik. Bis tetap melaju dengan kecepatan ekonomis, hanya berkutat pada green line rpm. Kisaran saya, kecepatan  tidak lebih dari 60 km/ jam.