Rabu, 23 Desember 2009

KE-461, Karena Karina Ingin Dimengerti (2)



Bis bernomor polisi B 7866 VB ini melenggang masuk kota Semarang. Ada satu pemandangan yang benar-benar menyentuh sisi humanis. Di depan SPBU Kaligawe, Pak Sopir menghentikan armadanya, menemui istri tercintanya yang sedari tadi menunggu di pinggir jalan, untuk menukar tas yang penuh pakaian kotor, dibarter dengan bekal pakaian bersih. Bisa jadi, sudah berhari-hari beliau tak pulang ke rumah. Tak banyak kata di antara keduanya, karena sebentar kemudian pengemudi itu kembali ke belakang kemudi karena posisi bis sedikit memacetkan jalan. Mungkin, tak ada kalimat untuk sekedar menanyakan kabar keluarga, kondisi anak-anak atau urusan di rumah karena diburu waktu. Padahal intensitas pertemuan mereka sangat jarang, kalaupun ada hanya singkat. Betapa beratnya profesi seorang pengemudi bis jarak jauh, yang deminya harus rela kehilangan waktu bercengkerama bersama keluarga.

Sedang si istri terlihat tegar dari sorot matanya yang tak pernah lepas menatap raut sang suami, mengantarnya kembali bekerja. Berharap Bapaknya anak-anak diberikan keselamatan selama menjalankan tugas, dan pulang membawa rejeki halal bagi kelangsungan rumah tangganya. Aku terkadang dihadapkan adegan kemanusiaan semacam ini selama menjalani perjalanan mingguan. Bagiku, istri-istri mereka adalah orang-orang hebat, wanita-wanita yang tabah, tak manja dan tak cengeng ditinggal suami bekerja meski dengan resiko tinggi di sekelilingnya, yang tak pernah berkeluh kesah menjalani single parent dalam mendidik dan membesarkan anak, serta pribadi yang mandiri, tak semata bergantung pada suami saat menangani masalah yang ada.

Ya Allah, di balik kerasnya atmosfer jalan raya, Engkau berkenan menyuguhkan realita kehidupan yang penuh makna untuk dihayati.

Tanpa aku sadari, bis terjebak kemacetan sebelum memasuki Jalan Pandanaran. Ternyata jalan pengubung antara Simpang Lima dan Tugu Muda ditutup untuk even Pandanaran Food Festival 2009. Untunglah, Pak Sopir adalah warga Semarang sendiri, sehingga tak susah mencari jalan tembus ke Kalibanteng. Diarahkannya armada berkelas eksekutif ini menyusuri rute Bilangan Mugas-Kaligarang-Simongan-Pamularsih hingga tembus Jalan Siliwangi.

Setelah lapor di check point Krapyak, aku bersiap untuk pembuktian kehebatannya…

Berderet bis lewat saat Karina mulai bergerak perlahan. Tercatat dari depan Shantika Merah, dua bis Ezri Pariwisata, Harta Sanjaya Panorama DX, Shantika Volvo, dan HS 151 Scania. Bis-bis inilah yang kujadikan kelinci percobaan, mana yang akan bisa di”santap”nya.

Perlahan tapi pasti, dengan lincahnya KE-461 menyeruak di dalam keramaian jalan raya, yang dijejali truk-truk angkutan barang. Buah usahanya, berhasil mengasapi mesin Scania HS 151 dan Harta Sanjaya yang terjerembab di barisan kendaraan berat. Wah, Scania tumbang di trek padat. Satu armada Handoyo juga mampu di-overtake. Dan selang tak lama kemudian, Shantika Volvo kelihatan bidang pantatnya. Tak perlu bersusah payah, ditaklukannya. Dengar-dengar Volvo eks Tri Star ini kurang greget larinya. Pantas saja…

Sudah dua mesin ber-cc besar, di atas kapasitas ruang mesin Mercy Intercooler dilumpuhkan, Scania dan Volvo. Lumayan, buat mendonasikan laporan kesaktian Lorena-Karina grup sekarang ini.

Namun, di koridor ringroad Kaliwungu-Brangsong, usia mesin dan karoseri tak bisa bicara bohong. Nafas engine ber-volume 6.000 cc terengah-engah di trek lurus dan sepi kendaraan. Apalagi bunyi riuh rendah gesekan antar material bodi mulai ramai bersahutan di dalam kabin, saat menapak jalanan yang tak seluruhnya rata. Semakin kencang dipacu, semakin menurun kenyamanan di dalamnya. Akhirnya, revenge of HS 151 terjadi, Karina yang semakin uzur dilibas habis, dan dalam hitungan detik bis berkode NS 18 hilang ditelan kegelapan malam.

Seakan-akan bis-bisnya Pak Hans belum puas mempecundangi, beraninya “main keroyokan”. Wah…wah… Armada tua dikerjai anak-anak muda. Di belakang Scania, dilanjut NS 29 Lebakbulus, NS 39 Pulogadung dan NS 28 Ciledug, yang berjalan rapat beriringan. Dan yang bikin hati ini tak terima, cara menyalipnya yang terkesan melecehkan. Sotoy…Lampu dim berulang-ulang dimainkan dengan sorot yang menyilaukan, merenggut secara kasar lajur kiri untuk menyalip, mendiamkan fungsi klakson. Padahal laju Karina juga sedang kencang-kencangnya dan riskan untuk disalip. Namun, rombongan itu secepat kilat tetap memaksa masuk. Yang bikin semakin kesal, saat posisi sejajar, sengaja dibuat mepet bener. Bahkan, ujung luar spion NS 39 nyaris menempel di dinding kaca. Apa bis Cepu-Pulogadung ini akan memberi pelajaran, gara-gara tahu kalau ku-dua-kan. Serrr…deras darahku mengalir menahan kengerian. Dua kendaraan besar adu speed, dengan jarak antar bodi tipis sekali. Apa penumpang di dalam bis Nusantara ngga takut ya? Hehehe…

Setelah sempurna menyalip, ketiga armada yang terdiri dari dua unit OH 1525 dan satu unit K124IB itu semakin melesat, meninggalkan jauh Karina-ku. Hiks…Si Ijo belum mampu mengimbangi…

Mungkin itulah cara PO berlambang nyiur melambai memamerkan hegemoni dan superioritas atas PO lainnya.

Sebenarnya tadi aku berharap, cukup bis-bis Soloensis atau Bumi Mataram yang jadi pengukur tingkat kedigdayan Intercooler Jumbo ini. Tapi nyatanya, justru langsung dihadapkan lawan berat, selevel PO Nusantara. Jadi terasa “tenggelam” lagi prestasi spektakuler yang telah ditunjukkan empat jam sebelumnya.

Jalur Rembang hingga RM Sendang Wungu, Gringsing, bagiku sudah cukup sebagai bahan pembuktian rumor di atas. Selebihnya, sisa perjalanan kugunakan untuk beristirahat, menata stamina karena esoknya mesti beraktivitas seperti biasa.

Esoknya, jam 05.30, bis yang bernama lengkap Ryanta Mitra Karina ini telah mendarat di pos Cikampek untuk keperluan kontrol. Masih cukup waktuku untuk mengejar jam masuk kerja. Apalagi 15 menit kemudian disusul KE-521 Bangkalan-Tanjung Priok. Apa tidak hebat, bis Madura tiba Jakarta saat matahari terbit? Atas perkenan kru, aku diijinkan untuk oper merasakan armada Mercy Electric, selain agar mudah mencapai lokasi ladangku.


Meski raihan hebatnya semalam sempat dicederai kepiwaian bis Muria Raya, namun aku berani ber-milist pers, bahwa selama ini Karina ingin dimengerti. Dan itu dirasakan oleh para pemiliknya. Berkat re-touch tangan dingin Pak GT Surbakti, Lorena-Karina telah bangun dari tiarapnya. Mulai tumbuh kembali fight for competition, sense of passanger needs, memegang prinsip time is priority and speed oriented. Mencoba menghapus “kesalahan” masa lalu, yang membuat pelanggan setia seperti aku sampai lepas dari rengkuhannya.

Never give up, Karina…

KE-461, Karena Karina Ingin Dimengerti (1)


Hangatnya obrolan tentang rumor “The Legend is Back” -- yang dibumbui cerita Lorena mundur dari jalur udara, peniadaan batas fuel consumption, re-call pengemudi-pengemudi jagoan yang hengkang ke berbagai PO, sang “jenderal” turun gunung hingga statement Pak GT Soerbakti “yang nombok solar silahkan minta ganti ke kantor” -- ibarat rapal mantra-mantra yang menghipnotis pendirianku.

Sudah hampir lima tahun ini aku melepaskan diri dari ikatan yang bernama “pelanggan” PO yang berkandang di Tajur ini. Dulu, aku sempat terdaftar sebagai loyalis LE-460/1 (eks LE-380/1), Jakarta-Rembang-Bojonegoro vise versa, selama hampir setahun.

Mulanya, aku masih mau berkompromi dengan service-nya yang mulai menurun. Soal armada yang mulai menua, jam keberangkatan yang seringkali offtime, hingga harga tiket selangit yang tak sepadan dengan pelayanan yang didapat, aku bisa menolerir. Tapi aku mulai berkata “tidak!!!” ketika Sang Legenda kebanggaanku ini mulai menyiput jalannya. Saat itulah, aku rela setengah hati meninggalkannya, meski dalam lubuk sanubariku berharap “dia” akan cepat siuman untuk meninggikan kembali pamor gemilangnya masa silam.

Terlebih pesona bis-bis lokal mulai menampakkan kemilau. Satu di antaranya adalah Nusantara. Mengusung genre, powerfull and speedfull bus on the road, mem-balikseratusdelapanpuluhderajat-kan kesetiaanku. I must to say goodbye, Lorena. A matter of time is more than just a fanatism. Demikian sebait kalimat perpisahan yang kuucap sembari menahan bulir air mata agar tak jatuh ke pipi. 

Bahkan, semenjak Lorena membuka agen yang tidak jauh dari rumah tinggalku, tak membuatku bergeming dengan tawaran kemudahannya. Jarak 15 km ke agen PO “selingkuhan”ku masih terasa ringan ditempuh, dibanding melangkah ke agen Si Ijo yang “hanya” sejengkal. Meski armada Bojonegoro telah berganti kulit, dari Lorena berubah wujud menjadi Karina, bagiku, tak ada proses metamorfosa. Tetap saja begitu “sosok rupanya”.

Namun, gaung berita burung di atas seolah menghembuskan hawa sejuk, pencerna dahaga kerinduan menikmati kharisma Lorena-Karina yang sekian tahun ini terkubur. Memang belum cukup banyak bukti. Namun, ada hal yang menegakkan kembali hasratku untuk latah mencobanya. Adalah testimoni beberapa member BMC yang telah merasai “api asmara” PO yang belakangan gencar blusak-blusuk ke pelosok desa gara-gara tertindih Low Cost Carrier (LCC) pesawat terbang.

Berbekal tiket seharga Rp.140.000,00, akan kulakukan perjalanan bersejarah, re-ride with KE-461. Stigma rate Lorena adalah termahal, masih benar adanya. Dari tempatku, Ombak Biru “cuma” Rp.130.000,00, sedang The City of Manhattan sepuluh ribu lebih murah lagi. Tak apalah, demi menebus rasa penasaran. Yang penting pembuktian, “Is that right, Si Ijo has back to right way?”

Janji jam empat sore akan tiba, dipenuhinya. Salut, on time. Kesan pertama terpuaskan soal ukuran waktu kedatangan.

Dengan setelan busana Setra “Selendang” karya Adi Putro, membalut mesin OM366LA yang bertengger di atas chasis Mercedes Benz OH-1521, Karina masih terlihat ayu menawan, seakan tampilannya tak lekang digilas perputaran roda jaman.


Sesaat setelah merebahkan punggung di seat 6A, sisi window sebelah kiri, tak lupa mengupas aspek interior. Warna langit-langit dan kulit jok yang membungkus busa Restindo tampak kusam dan memudar, tapi masih worth untuk dipertahankan sementara waktu. Sayang, minus kelengkapan footrest. Di lengkapi pula smooking room, dan satu-satunya bis Bojonegoro yang menyediakannya. Fasilitas audio-video masih dalam batas “layak” dan termanfaatkan sepanjang perjalanan. Paket hiburan di-set up dengan tembang Indonesian Oldies, yang cukup menghanyutkan rangsang pendengaran, yang selanjutnya menstimulus otak untuk bernostalgia membuka kenangan lama. Album kompilasi Ratih Purwasih, Iis Sugiarti, Endang S Taurina dan Dina Mariana silih berganti mengisi. Mungkin, pasar penumpang yang dibidik adalah generasi 70-an, seperti Pak Didik, Pak Karnoto dan Pak Irfan. (Hehehe…Piss ya Pak). Kalau buat aku sih kurang sreg, mestinya artis-artis New Pallapa, sekelas Lilin Herlina, Ratna Antika, Agung Juanda atau Vivi Rosalita, nah itu baru cocok. Hehehe…

But, it’s OK untuk urusan entertainment, satu nilai plus lagi untuk service Karina.

Kondisi penumpang baru terisi 1/3 dari kapasitas 28 seat. Not bad, artinya masih bisa mengambil “kue” dari penguasa jalur Bojonegoro, Pahala Kencana. Dan mayoritas mereka makhluk parlente, berpenampilan rapi. Membuktikan kemapanan strata sosial dan ekonomi. Hanya aku yang bersandal jepit. Cuek ah…

Ah, apa gunanya service plus plus tanpa disertai aksi “lari” di jalanan? Harap-harap cemas aku mengharapnya.

Deru knalpot langsung menggelegar, membahana memecah keramaian Kota Sulang, karena posisi pemberhentian bis tepat di tanjakan. Jangan-jangan ini bunyi isyarat bahwa laju bis akan nge-jos nantinya. Setelah paripurna menanjak, aku terhenyak, prediksiku tak meleset, benar-benar kurasakan kuasa tenaga 210 HPnya. Pedal gas digeber habis-habisan menaklukan ruas jalan Sulang-Rembang. Kondisi jalan yang relatif mulus memudahkan driver memacu armadanya secara maksimal. Meski sedikit kurang halus dalam handling kemudinya, namun tidak ada “proyek” penghematan solar, tiada penyelenggaraan aksi netral dan jauh dari istilah jalan ogah-ogahan. Penuh determinasi. Bahkan yang kurasakan adalah naik Lorena rasa Nusantara. Beda banget dengan “wajah” empat tahun yang lalu. Seikat titik terang telah kugenggam, bahwa The Legend memang bangkit kembali.

Agen Rembang kosong penumpang, hanya numpang lewat. Duh…duh…jangan-jangan ya cuma segini penumpangnya. Belum terpikir meraup keuntungan, bagaimana menutup biaya operasional? Ini sudah masuk area Muria Raya, ceruk pasar makin dangkal, makin banyak raja-raja kecil yang jadi pesaingnya dalam memperebutkan penumpang.

Memasuki jalur Pantura, aksi Karina produk 040 tak berkurang. Tetap menawan di bawah kendali driver setengah baya, yang menandakan jam terbang tinggi. Barisan truk-truk barang dilahapnya satu persatu, meliuk ke kanan ke kiri, pandai memanfaatkan celah sesempit mungkin. Ck…ck…ck…aku hanya bisa berdecak kagum. Mantap, bisa jadi hiburan malam ini kalau driver konsisten dengan style-nya.

Bis bintang empat ini masuk agen di Terminal Juwana. Wow…jangan-jangan Kota Bandeng adalah kawasan green forces, belasan penumpang mengisi seat yang masih kosong, tersisa dua kursi lagi yang sudah di booking agen Kudus. Ah, siapa bilang Si Ijo ditinggal penumpangnya? Biarpun luntur pesona, masih banyak juga pecintanya.

Dan menuntaskan intermediate I Rembang-Semarang, bis ini masih layak dinominasikan sebagai anggota dewan PBB (Persatuan Bis Banter). Aku yakin, bagi penggemar jet darat, tak rugi sepeserpun bila saat itu satu bis denganku. Hehehe…

Namun, bagiku itu belum final. Ujian sesungguhnya untuk mengukur kedahsyatan sang maestro ada di kosmos per-bis-an tanah Jawa, yakni jalur Semarang ke barat, yang merupakan titik pertemuan tiga jalur, yakni Solo, Jogja dan Kudus sendiri. Pasti akan ketemu lawan sejenis. Berhubung aku berniat jadi juri penilai, kupaksakan diri untuk menyisihkan rasa kantuk, yang biasanya sudah membuatku lelap selepas Kota Demak.

Selasa, 15 Desember 2009

B 7583 IW, Pria Single Meminang Sang Waktu (3)


Aku terjaga saat bodyroll bis mulai mereduksi kenyamanan tidur. Jalanan terlihat sepi dan lengang. Aku lirik kanan kiri, untuk tahu ini sudah sampai daerah mana. Jam di ponsel tertera angka 3.20. Ternyata baru sampai Mranggen, kota kecamatan yang berada di jalur Semarang-Purwodadi, wilayah dalam pangkuan Kabupaten Demak.

Tidur kembali…

Kembali tersadar saat goncangan bis makin terasa hebat getarannya. Ini pasti ulah jalan keriting sepanjang Purwodadi-Blora. Kupaksakan diri untuk bangun kembali dan posisi bis menjelang Pasar Wirosari. Kulihat jam selular-ku kembali, 4.17…

Aha… Lumayan. Masih ada harapan. Wirosari-Blora kira-kira satu jam lagi. Tinggal Blora-Sulang (rumah) sekitar 45 menit, kalau beruntung mendapatkan mikro bus yang siap berangkat. Setidaknya, sebelum jam ½ 7 saat dimulainya sholat id, sudah sampai di rumah.

What’s up? Serasa jantungku melompat. Aku bodoh, gerutuku. Bukankah ini masa lebaran, saat bis mini Rembang-Blora biasanya berhenti operasi, karena kru turut memeriahkan dino bodo? Mengapa hal ini tidak selintaspun terpikirkan jauh sebelum perjalananku. Alamak…lunglai kembali betis kaki ini.

Saat itu pula wanita pendamping hidupku menelepon, dan menyalahkanku. Mengapa tidak naik bis Nusantara yang jelas-jelas lewat Sulang? Mengapa momen libur penting malah gambling naik bis.

Duh, serasa aku menghadapi beban berat ini sendirian menerima omelannya.

Mau tak mau, enak tak enak, tiada pilihan lain lagi, selain ngrepoti Bapak. Bergegas kutelepon Bapak.

“Pak, nyuwun tulung. Menawi saged kulo pun jemput wonten Blora” (Pak, minta tolong. Kalau tidak merepotkan, saya minta dijemput di Blora)

“Maafkan aku ya Pak, sudah kau hantar aku menjadi orang dewasa dan mandiri, tapi masih saja merepotkanmu”, bisikku kepada angin yang berhembus dari lubang AC Thermo King Mark IV ini.

Mulai dari sini, kurasakan ada ketidakberesan dalam diri driver. Terlihat kelelahan dan berjuang sekeras tenaga menyingkirkan rasa kantuk. Rokok habis, gantian ngemil. Duduknya pun terlihat gelisah, usrek, dan berkali-kali menggesar letak punggung. Terkadang menggaruk-garuk kepala, sambil bernyanyi-nyanyi sendiri, berharap hormon pembuat kantuk untuk berhenti mengalir. MP3 Player yang disematkan di dua telinganya sesekali dilepas pasang. Sibuk mencari kesibukan sendiri, jauh dari posisi tenang dan concern. 13 jam adalah extreme overtime untuk ukuran manusia beraktivitas. Itulah ciri-ciri mengantuk saat mengemudi, karena aku sendiri pernah mengalaminya.

Cara pegang setirnya pun mulai aneh. Di saat jalan sepi, justru malah mengerem secara mendadak. Terkadang, bertemu dengan kendaraan dari depan, malah minggir dan bis dihentikan, memberi jalan. Padahal lebar jalan masih cukup untuk berpas-pasan. Laju bis semakin tidak konstan. Kadang setengah ngebut, kadang pelan. Tidak ada irama teratur dalam menyimbangkan arah jalannya.

Aku mulai gemetaran. Ah, aku harus mengingatkan dengan mengajaknya mengobrol. Jiwa manusia lebih berharga dibanding waktu.

Belum sampai meng-eksekusi rencanaku, tiba-tiba driver menghentikan kendaraan di tengah areal persawahan di daerah Kunduran, Blora.

“Aku teler berat Mas,” katanya kepada kenek. Mukanya kuyu, matanya sayu dan kelopak matanya menebal, menyiratkan rasa kantuk dan capai yang luar biasa.

Bergegas dia turun tangga dan kenek terlihat membuka pintu bagasi. Tebakanku, sopir numpang tidur di ruang barang penumpang.

Ya sudah…habis sudah harapanku. Justru aku kasihan sama Bapakku, yang sedang berkendara menuju Blora sejauh 25 km untuk menjemput anaknya yang bandel. Jangan-jangan, gara-gara memenuhi request-ku, Bapak sendiri juga tak bisa ikut sholat hari raya. Fiuuhh…was-was, gelisah, khawatir, deg-degan berganti-gantian menggelayut di benakku.

Aku pun turun untuk menghirup udara segara. Tapi…olala…Pak Sopir sedang melakukan jogging, lari-lari kecil mondar mandir di belakang bis. Tak lupa melakukan peregangan otot tangan, pinggang dan kepala. Inikah cara dia mengusir seteru abadi para sopir, yang bernama kantuk?

Tak sampai 10 menit, kembali lagi ke kursi tugasnya. Rupanya trik dan tipsnya mujarab. Meski sifat penyembuhannya hanya sementara, tapi cukup membuatnya fresh dan bugar kembali. Bispun dibawa lari, ngejozz, karena tahu penumpangnya bisa komplain kalau tidak lekas-lekas sampai Cepu sebelum jam sholat id. Nah, gini dong! Style seperti ini disimpan kemana ya, semalem kok tidak dipamerkan?

Dan kembali, ada SMS masuk inbox-ku. Ternyata kabar dari bis I.

Mas, Pak Alan masuk Cepu jam 4. Sampai mana sekarang?

Pengalaman makan asam garam dan senioritas jalanan Pak Alan memang tak bisa dibantah, pujiku.

Tiba di Ngawen, matahari sudah muncul di ufuk timur. Sinar lembayungnya memberi rona cerah wajah bumi, menyambut hari yang diberkahi Pencipta. Kelompok-kelompok kecil muslim muslimah dengan baju religiusitasnya telah terlihat bergelombang menuju masjid terdekat. Ayo, pacu terus Pak bisnya?

Seolah mendengar bisikanku, pedal bis dibejek kembali. Kencang bin banter seolah sirna sikap kalemnya.

Sampai di Blora jam 5.28. Kuhampiri Bapak yang standby di dekat Tugu Pancasila arah ke Rembang. Segera pindah posisi setir, kubawa sekencang-kencangnya ‘pedati Jepang’ ini agar cepat sampai di rumah. Tak banyak obrolan dengan Bapak, dan beliau pun mafhum aku sedang fokus ‘menggunting’ waktu.

Sepanjang perjalanan Blora-Sulang, masjid-masjid di pinggir jalan mulai dijejali para jamaah. Pemandangan ini semakin memicu perburuan waktu, jangan sampai ketinggalan waktu sholat id.

Setelah kuantar Bapak ke rumah masa kecilku, cepat-cepat aku putar arah menuju pondokku sendiri.

Tepat jam 6.10 sampai di rumah, bergegas bersih diri dan siap berangkat ke masjid, karena permaisuri dan bidadari kecilku sudah tak sabar menunggu. Gema takbir sayup berkumandang, pertanda ibadah sholat belum dimulai.

Sepanjang kaki melangkah menuju halaman masjid kampungku, sembari kuputar ulang kisah perjalananku semalam. Aku pun hanya bisa bergumam lirih “Ternyata nasib baik masih berkenan memayungi perjalananku. Meski driver Garuda Mas hanya pria single yang jauh dari kata sempurna, nyatanya mampu menundukkan hati sang waktu, berhasil meminangnya di saat-saat akhir”.


Well done Garuda kebanggaanku…

B 7583 IW, Pria Single Meminang Sang Waktu (2)


“Mas, ayo naik, bis mau diberangkatkan…”, kata kenek armada 83, mengingatkan aku yang lagi asyik liat-liat keadaan pool.

Bis pun berangkat saat jarum jam pendek dan panjang menunjuk angka 3, diiring gerimis yang mulai lirih turun. Driver-nya asing bagiku, bukan Pak Wid atau Pak Haji Warto, namun eks pengemudi bis ekonomi yang statusnya sementara diperbantukan, naik grade membawahi kelas eksekutif. Demikian info dari asisten driver.

Tapi sayang, kesan pertama saat meng-sinkron-kan pedal gas dan kopling sekeluarnya dari pool, kurang selaras. Dan itu jadi indikator, kurang smart dalam menangani karakter mesin OM906LA ini. Berkali- kali over persneling, terasa menghentak. Dan itu belum seberapa dibanding kurang gregetnya dalam mengeksploitasi tenaga Mercy Electric yang kaya power hingga 245 HP ini. Miskin determinasi cara pembawaannya…

Dan itu jadi benar adanya, ketika driver berkeluh kesah kepada sang kenek, kalau dia bagian dari komunitas mercy haters, tidak cocok dengan karakter mesin buatan pabrikan dari negeri Hitler ini. Dan itu wajar, karena bis ekonomi yang biasa menjadi batangannya, mesinnya berlogo huruf “H”. Dan repotnya, sudah tiga minggu tidak nge-line dan baru ini mengemudikan bis jarak jauh kembali. Beda armada, beda body, beda kelas dan beda mesin.

Ya ampun, padahal Garuda Mas menerapkan sistem pengemudi single untuk semua armadanya, setelah mempertimbangkan aspek jarak dan waktu tempuh yang masih dalam batas manusiawi. Konsekuensinya, syarat yang diemban cukup berat, dibutuhkan stamina prima dan kondisi fit pengemudi serta sistem rolling driver yang teratur dan pasti.

Kekhawatiranku seketika muncul. Kuatkah Pak Sopir meladeni musuh yang bernama kantuk, dan bisakah istiqomah dalam memaintain konsentrasi 12 jam penuh, sementara ritme tubuh pengemudi perlu diasah kembali pasca jobless selama beberapa hari?

Tak berselang lama, ringtone-ku menyalak. Sohib komuter dari Cepu yang berada di bis I eksekutif mengirim pesan, Mas, tolong kasih tahu Pak Sopir, jangan lewat pantura. Pak Alan akan ambil jalur Sadang.

Dan memang, perjuangan Pak Alan menuntun bis ini ke jalan yang benar , yakni via jalur tengah, terhitung luar biasa. Seringkali beliau menelepon driver 83 agar mengikuti arah bisnya. Soal service makan bukan di tempat biasanya, Pak Alan berpesan tak usah dipikirkan, nanti driver yang sudah 25 tahun berbakti pada Garuda Mas yang akan pasang badan untuk mengurusnya. Yang penting jaga waktu tempuh demi pelayanan terbaik bagi penumpang. Tapi, advice ini tak digubris driver-ku, tatkala sampai di km 62 tol Cikampek, OH 1525 generasi pertama ini malah ambil jalur Dawuan untuk keluar Jomin.

“Ada penumpang mau beli oleh-oleh tape Pak, saya harus lewat Cikampek”, ngelesnya pada sang senior saat mengontak balik.

Menjelang fly over Jomin, kemacetan sudah terlihat menghadang. Tak dinyana, tanpa basa basi dan terkesan serampangan, muka garang Sang Garuda dihembus asap Euro II dari residu ruang dapur pacu bis Nusantara berkode fisik HS 213.

Ha??? Jangan-jangan ini tandem HS 211, yang menggawangi kode trayek NS-39, pemberangkatan jam 16.00 dari Terminal Pulogadung. Segera aku kirim sms ke teman komuter, wong Kudus, yang kemarin merayuku agar naik bis jurusan Cepu, untuk mencari kebenaran.

“Iyo Mas, HS 213 ini NS 39. Sampeyan naik Garuda Mas yang habis disalip ya? Bye bye…siap-siap ngga kebagian khotbah id”, ledeknya dengan kata-kata.

Ck ck ck…cepat benar bis langgananku ini menyusul.

Tak lama kemudian, OH 1525 langsiran bulan September 2009 itu meliuk-liuk, lincah menari-nari di sela-sela kemacetan. Aku hapal, itulah attitude driver-driver Pak Hans yang selalu diplekotho para penumpang fanatiknya untuk memangkas waktu.

Sementara yang ini tidak. Di saat bis-bis lain ‘merampok’ jalur berlawanan, bis-ku tetap merayap mengikuti antrian. Ikut berjubel dalam kepadatan lalu lintas yang menyemut di mulut jalur pantura. Untuk ukuran bis malam, bis bertrayek Pulogadung-Blora-Cepu ini lambat dan kurang enerjik. Letoy…Jarang ada aksi blong-blongan, manuver ekstrim atau goyangan maut saat membelah jalan. Cukup nilai 6 dari skala 10.


Dan tuah dari kualat pada sesepuh, bis yang ber-seat 28 ini terjebak dalam kubangan kemacetan di ruas Jomin-Ciasem. Perlu dua jam untuk membebaskan diri. Hanya sebentar mengambil jalur lawan mengekor PO Luragung dan PO Warga Baru, namun akhirnya ‘takut’ dan masuk jalur kiri kembali. Sempat ada episode menggelikan ketika bis stag tidak bergerak. Ceritanya driver sudah tak tahan menahan hajat kecil, hingga setir ditinggal ke toilet belakang. Tiba-tiba, lalu lintas bergerak lancar kembali. Asisten driver pun reaktif, cepat tanggap agar tak memacetkan jalan. Dipegangnya lingkar kemudi. Tapi, karena belum terbiasa, bis sempat mati mesin sampai tiga kali. Duh, malunya kalau dilihat PO lain. Hehehe…

Tiba di Rumah Makan Anugrah, Sukra, sudah jam 20.10, molor dua setengah jam dari waktu seharusnya. Rasa optimis menjelma menjadi pesimis, karena aku yakin tak akan bisa mengejar target waktu yang normalnya jam 4 pagi sudah mendarat di kota-nya Pramoedya Ananta Toer. Jarak masih 400 km-an untuk sampai ke Blora, sementara waktu yang tersisa untuk hitung mundur “cuma” 9 jam. Sementara bis produk Adi Putro ini nanti mampir di Pool Kedaung, jalannya pun terkesan ogah-ogahan, sopir tanpa second player, masih ada potensi kemacetan di Losari dan nanti aku masih mencari angkutan Blora-Rembang yang terkenal suka ngetem, ngambek berjalan bila penumpang tidak fullseat.

Hopeless, tiada harapan…Penyesalan datangnya selalu di akhir cerita. Seolah itulah pepatah yang menohok kekeliruan insting-ku saat memilih PO yang akan membawaku pulang berhari raya.

Huh…kurebahkan diri dalam peraduan, menikmati jok empuk Aldilla meski perasaan diri sedang dibalut kekecewaan akibat blunder langkah di awal pembukaan. Zzzz…

B 7583 IW, Pria Single Meminang Sang Waktu (1)



“Mbak, pesen tiket buat hari Kamis nanti!”
“Eksekutif , VIP atau ekonomi Mas?”
“Eksekutif tujuan Blora Mbak”
“Untuk eksekutif tinggal bis cadangan Mas”

Duh…duh…baru hari Selasa seat bis utama sudah ludes. Ternyata gairah mudik kaum urban tak hanya di saat idul fitri, namun juga menjelang perayaan lebaran haji. Pelampiasan kangen “terbang” kembali bersama armada nomor wahid Garuda Mas (GM) setelah tiga bulan off duty pun kandas. Hasrat diri untuk merasai pijatan robotical massage chair terpaksa dibendung dulu.

Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu,

“Mbak, armada cadangannya 82 apa 83?”
“Satu di antaranya nanti yang jalan, Mas”
“Ya sudah Mbak, saya ambil satu. Berapa Mbak tiketnya ?”
“Seratus delapan puluh Mas…”

“How come Garuda, terakhir tiketnya ‘hanya’ Rp.165.000,00…”, curhat batinku

Namun, tanpa pikir panjang, kuputuskan tetap naik Garuda Mas, meski jauh dari angan-angan semula. Tak terbesit niat naik bis lain. Upping price tiket harus dimaklumi. Yang penting terangkut. Dan dalih selanjutnya, berangkatnya tak terlalu sore sebagai langkah antisipatif molornya waktu tempuh mengingat bahaya laten pantura yang berjuluk ‘perbaikan jalan’ akhir-akhir ini mengganas kembali. Waktu sholat id pada Jumat pagi harus bisa kukejar. Tak lengkap rasanya, sebagai seorang muslim berhalangan absen di antara dua sholat hari raya. Betapa kebahagiaan itu memenuhi rongga dada, saat kami sekeluarga melangkahkan kaki bersama menuju tempat peribadatan yang tak jauh dari rumah. Setumpuk mimpi kugantungkan pada armada ‘Green Force’ ini nanti.

Dan di satu sisi sebelahnya, setitik asa untuk bernostalgia dengan B 7582 IW datang membayang. Impressed bus, bis yang pernah menghadirkan pesona dan kenangan dalam satu perjalanan ‘wisata profesi’ku. Semoga armada itu yang ditugaskan, harapku yang lain.

Kamis sore nan muram. Serpihan-serpihan awan berjalan berarak, lalu berkumpul dan bersatu membangun mendung gelap di langit Pulogadung, sebagai early warning system bahwa milyaran titik air akan segera turun membumi. Bergegas kupercepat langkah menyusuri jalan raya Pulogadung-Bekasi, setelah turun dari armada gubuk reyot, Mayasari Bhakti P-51. Satu persatu garasi bis kelewati, Muncul, Kramat Djati dan Dewi Sri. Bis-bis Soloensis yang rutin pajang tubuh di sepanjang jalan ini menghilang. Pasti sore ini tak perlu pakai acara ngetem berlama-lama, para calon penumpanglah yang memburu armada.

Tiba di pool Garuda Mas, ramai kerumunan para penumpang menanti bis yang akan membawa mereka pulang. Armada impianku, E 7527 HA beserta pilotnya, Pak Alan, sudah siap di jalur pemberangkatan. So sorry, I cann’t catch you now…

“Mas, bisnya ada di belakang. Sebentar lagi berangkat”, saat kusodorkan secarik tiket yang aku tebus kemarin. Kulirik ujung jari Mbak Wiwid yang sedang menuliskan nomor armada. 7583…

Ah, ternyata bis bantuan yang ditunjuk B 7583 IW. Meleset dari perkiraanku. Bye, bye 7582, it’s my bad day…

Suasana di ruang belakang pun tak kalah ramai. Bukan hanya oleh riuhnya penumpang, tapi kesibukan para tukang bangunan me-rehab pool yang selama ini bertipe PSS. Pool Sangat Sederhana. Wajar saja kalau kondisinya masih berantakan, material numpuk di sana sini, puing-puing tembok berserakan, karena renovasi still in progress.


Kutelisik setiap sisi…

Wow…hanggar yang dari luar terkesan sempit, ternyata lapang di bagian dalam. Site plan meniru konsep bandar udara, di mana lounge bagi penumpang nantinya ada di lantai atas, sedang parkir bis di lantai dasar. Layaknya etalase, nantinya penumpang dengan mudah memandang ‘gudang amunisi’ Garuda Mas. Satu isyarat jelas tertangkap, bahwa Garuda Mas semakin memanjakan penumpang, dengan menyediakan fasilitas “terminal mini” milik sendiri.

Bis B 7583 IW sudah siap sedia di jalur, “adu muka” dengan dengan armada terbaru Garuda Mas, Hino RK8 berbaju New Travego terbaru dari Adi Putro.

“Kepada para penumpang Garuda Mas 7660, jurusan Gemolong-Sragen-Solo, harap menuju bisnya, karena armada akan segera diberangkatkan…”, teriak corong pengeras suara berulang-ulang.

Lho, Marcopolo ini masuk Solo tho? Ck…ck…ck…semakin menggila kemajuan PO penguasa jalur Purwodadi-Blora ini.


Di sisi ruang maintenance, terdapat tiga bis yang sedang rawat inap. Semuanya berkelas ekonomi.

Dan saat sudut mata menyapu pojok ruangan…

It’s great…terlihat armada B 7582 IW standby, jadi pengangguran sekarang. Sayang memang, di usia produktif, Mercy OH 1525 tidak punya pekerjaan tetap. Goresan luka akibat tersayat ‘cinta’ seakan terukir abadi di lambung kanannya. Tapi tiada mengapa tidak mencumbunya kali ini, ketemu pandang dengannya sudah cukup meluruhkan rindu dendamku.


Inilah armada 82, yang hingga kini aura keramatnya masih bisa kurasa. Kepak-kepak sayapnya nan perkasa menerbangkan satu miniatur Jupiter Tentrem Shantika made in Niki Kayoe dari Panitia Lomba Caper BMC, yang kini hinggap dan nangkring di rak mainan anakku. Hehehe…

Selasa, 08 Desember 2009

Malino Putra, Tiada Taring Yang Tak Retak (2)




Jam 15.15, Singa Tua ini mulai mengaum, membawa beban 18 penumpang. Dengan sisa-sisa kekuatannya, OM 366LA ini harus menebus jarak 800 km Jakarta-Malang. Drivernya pun modis dan tampil elegan, mengenakan kemeja putih, dibungkus jas biru laut dan berpeci. Cara pegang kemudinya smooth dan safety, menandakan senioritas di jalan raya. Asisten drivernya pun sopan dan ramah,. Itu terlihat saat pembagian snack, yang berisi tisue basah, air mineral, mie gelas dan kopi n*esc*fe, beliau sabar dalam melayani keinginan, pertanyaan dan komplain penumpang. Itulah yang aku suka jikalau naik Bis Malang-an. Kru tak ubahnya abdi raja bagi penumpang.

Masuk tol Cikampek, taring Sang Singa mulai dikeluarkan. Pedal akselerator mulai dibejek perlahan-lahan. Makin lama makin kencang berlari. Memang tidak pernah menyentuh skala 100 kph karena mesti tahu diri, usia mulai menua. Istilah memforsir kinerja mesin dijauhi, demi meminimalisir hal yang tak diinginkan di jalan. Tapi, kekurangan ini bisa terobati dengan smart action driver saat malahap kendaraan-kendaraan di depannya.

Di km 10 seputaran Bekasi Barat, terlihat Satrio Sindoro Mas (SSM) Laksana Clurit sedang ngeban di kolong jembatan saat hujan deras mengguyur. Aku yakin ini kesengajaan kru mencari tempat berteduh. Pepatah “sedia payung sebelum hujan” bisa digugat oleh insan jalanan. Mestinya “sedia kolong jembatan sebelum hujan”. Hehehe…

Bis pun mampir di rest area Bekasi Timur, menjemput tiga orang penumpang dari Lebakbulus. Jadi memang benar, sore ini Malino Putra hanya memberangkatkan satu armada ke Malang. Tak perlu waktu lama, kemudian diberangkatkan kembali menuntaskan rute tol Cikampek sepanjang 72 km.

Sayang, kelihaian raja rimba ini seakan tak berarti ketika versus bis-bis Priangan saat menyusuri jalan tol. PO yang bernama lengkap Malino Putra Kencana ini dibuat tak berdaya. Tercatat asap knalpot Doa Ibu, Karunia Bhakti dan Prima Jasa mesti dihirupnya. Tipikal safety player, karena solorun…

Keluar Jomin, langsung dihadang kemacetan parah. Karena mengutamakan kenyamanan dan keselamatan, bis pun tertib dalam antrian. Tidak ada aksi liak liuk mengambil hak pengguna jalan yang lain. Hanya jadi pihak yang termarginal saat dua bis Rosalia Indah dan SSM B212 (pengganti 212) memaksa dan memotong jalan bis berkode bodi 16 ini, saat nekat mengambil jalur berlawanan..

Escapes from traffic jam, Malino Putra memamerkan taringnya kembali. Sesekali rpm melewati area greenline, mempercepat ayunan langkah untuk menggantikan waktu yang dimakan kemacetan. Hampir semua armada yang sedang mengaspal di depannya, tak terkecuali Bogor Indah, Gunung Mulia dan Langsung Jaya, dijadikan mangsanya. Aksi show goyang kanan kiri go on, mengingatkan pesona jalur Jakarta-Surabaya tempo doeloe…

Menikmati kelihaian Pak Sopir, tak terasa lambungku berteriak. Namun, hingga Kandanghaur tidak ada gelagat berhenti. Padahal daerah Patokbeusi hingga Pamanukan adalah sentra pemberhentian bis malam. Aku jadi bingung, jangan-jangan RM Aroma Lorasi? Damn, padahal tadi siang hanya makan mie, itupun sebelum sholat Jumat. Hujan di luar yang tak kunjung reda seakan menambah hembusan hawa dingin ke dalam kabin semakin memperparah rasa laparku. Mau demo membuat mie rebus instan, malas membuka selimut.

Untung, dugaanku meleset. Ternyata RM Padang Singgalang Raya di Lohbener yang dipilih. Meski bagiku, masih terlalu jauh dari titik keberangkatan. Masakannya pun kurang mengena di lidah. Daripada tak ada alternatif lain, diterima saja. Daripada semalaman konser musik keroncong di dalam perut. 

Lanjut driver II, tak ada beda tipe dengan driver I. Mungkin ada standarisasi skill pengemudi di PO yang mempunyai usaha sampingan ekspedisi barang dan pembuatan kanopi bangunan ini.

Di daerah Losari, sempat terlibat race dengan Rosalia Indah 263 dan Gajah Mulia Sejahtera (GMS). Seru, karena ketiganya saling memperagakan aksi overtake. Saling bergantian posisi dengan adu kelincahan menyeruak di antara monster-monster jalanan malam itu. MP-ku yang pertama melibas armada 263, namun terkulai saat berusaha mencundangi GMS. Tak selang lama, Rosin kembali mengambil posisi MP. Dari belakang, MP hanya menyaksikan lomba balap antara GMS dan Rosin. Berkali-kali tukar tempat antar mereka terjadi. Sesama Soloensis seakan musuh bebuyutan, mengejar buruan target waktu tiba di Solo sebelum fajar menyingsing. Aku angkat topi, bis-bis jalur tenggara Jawa Tengah pun tak kalah hebat determinasinya. Andai saja Presiden Formula 1 Bernie Ecclestone ada di kursi keramat Malino Putra, niscaya tahun depan sirkuit Pantura akan dimasukkan dalam agenda balapan F1, saking tertegunnya bule Inggris ini menyaksikan bus race di Indonesia. 

Namun, usia bukan halangan untuk unjuk taring. Tak mau ketinggalan jauh dari GMS dan Rosin, bis berplat no B 7889 WM tak mau kehilangan pantat incarannya. Meski terengah-engah, kerja kerasnya berbuah manis, di depan Terminal Tegal, GMS pun ditaklukannya, meski gagal mengambil alih kejayaan tengah malam Rosin. Akhirnya, bis yang berhomebase di Palur semakin menjauh dan hilang ditelan kegelapan malam. Seakan, taring singa tua ini retak dipatahkan hegemoni dan superioritas Rosin 263.

Finally, buaian lembut suspensi leaf spring Mercy Intercooler membuat pertahanan diri runtuh diserang kantuk. Membawaku tertidur pulas sampai sebuah goncangan keras membangunkanku. Saat kulongok keluar dari dinding kaca, bis yang berslogan “don’t worry be happy” ini telah menapak jalan di antara areal tambak Kaliori, yang berarti sebentar lagi bakalan sampai tujuan akhirku. Kukeluarkan gadget lawas dari saku, kutatap jam digital di pojok kanan atas. 03.14 AM.

Hmm…not bad, 12 jam waktu tempuh Rawamangun-Rembang, plus aksi menawannya selama perjalanan. Impressed bus too…


Proficiat buatmu Malino!!! Meski taringmu retak, tapi aku mengakui, engkau masih tajam menggigit…


Malino Putra, Tiada Taring Yang Tak Retak (1)




Hugh…

Baru dua hari menjejakkan telapak kaki di ibukota sejak hari Kamis kemarin (19/11), rasanya seperti sewindu ngga pulang mudik. Bosan dan jenuh dengan ritme Jakarta yang ternyata masih “itu-itu saja”…

Ah, peduli amat dengan badan yang didera kecapaian setelah perjalanan 600 km sebelumnya. Hari Jumat ini mesti balik lagi ke Rembang. Working mood-ku belum pulih pasca menjalani cuti panjang. Lagian, masih ada sedikit hutang urusan yang mesti ditunaikan di kampung, meski sebenarnya masih bisa ditunda. “Never put off till tomorrow what you can do today”, seolah aku mencari pembenaran diri sendiri atas keputusan yang aku buat.

Selepas sholat Jumat, segera kutinggalkan “ladang” yang selama ini mendekatkan rejeki bagiku.

“Maaf ya Kang Ladang, aku belum bergairah menggarapmu kembali. Esok aku akan kembali dengan gairah dan semangat yang baru,” kataku saat tiga jemariku menyusup ke dalam piranti finger print yang terpasang di ruang lobi kantor.

1 jam kemudian…

Kupercepat langkahku setelah turun dari tangga berbahan plat bordes Metromini 46, karena rinai gemiris mulai turun tipis membasahi bumi. Bis bermesin Isuzu 100 PS dengan tubuh bopeng-bopeng ini yang mengantarku hingga ke depan mulut gerbang Terminal Rawamangun, sebagai titik keberangkatanku mulih ngetan.

Memang, dari awal tak ada keinginan nantinya naik bis apa. Akhir-akhir ini, aku prefer go show aja. Entahlah, rasanya pergi “tanpa tiket di tangan” memberikan tantangan, harapan, sensasi dan kepuasan tersendiri dibanding sistem booking. Kalau aku analogikan, go show di terminal tak ubahnya acara cari jodoh Take Me Out. Anggap saja bis-bis itu wanita cantik yang sedang menawarkan cinta, tinggal kita sebagai sang arjuna memantapkan hati, hendak ke mana melesatkan busur panah asmara yang kita punya. (Hehehe…keliru beranalogi ya?)

Di lapak Pahala Kencana, terlihat dua armada, Jupiter Banyuwangi dan Setra Blitar. Hmm…malas ah, harga susah digoyang. Maklum, cuma bermodalkan kantong tipis.

Seratus langkah ke depan, tampak di lajur 3 berjajar Lorena Blitar, Rosin Ekonomi dan Harapan Jaya. Hmm…kok cuma ini penampakan Si Ijo, mana LE 44…, LE 41…, LE 42… atau KS 420?

Menggeser ke blok nomor 2, ada CV Pelangi dan berderet dua armada Super Eksekutif Rosalia Indah di belakangnya. Ah, tak ada yang lewat pantura timur Semarang.

Pindah lagi ke line 1. Berturut-turut dari depan Sinar Jaya Wonosobo, Kramat Djati Malang, dan Malino Putra Malang.

Tidak banyak pilihan armada memang. Dan sepertinya, suasana terminal yang terletak di Jalan Perserikatan No. I lengang. Mungkin para penumpang menahan diri bepergian, mengingat minggu depan adalah libur lebaran haji.

“Mas, mulih Rembang yo. Ayo jajalen Shantika anyarku (High deck, maksudnya)!”, kurasakan seseorang menepuk pundak. (Mas, pulang Rembang kan? Ayo coba Shantika terbaru)

“Eh, sampeyan Mas. Waduh, bismu mangkat jam pitu, kesuwen aku olehe ngenteni,”
jawabku sambil mengingat-ingat, bahwa dia adalah Mas Lilik, staff ticketing Shantika. (Eh, kamu Mas. Aduh, bisnya berangkat jam tujuh. Kelamaan kalau menunggu)

“Mas, naik Kramat aja ya. Ini mau berangkat. Sudah, aku kasih harga 150, eksekutif dapat snack dan makan. Repot lho kalau naik Malino, kalau ada apa-apa di jalan, bisnya cuma satu”, tiba-tiba agen Kramat Djati menyela pembicaraan, dan berusaha mempengaruhiku. Sepertinya dia nguping obrolan barusan.

“Maaf Pak, saya pikir-pikir dulu,” dengan halus kutolak tawarannya.

(Sorry Bos, netralisme adalah momok terbesar dalam perjalananku…)

“Mas, gelem taknyangke Malino,” Mas Lilik membuka pembicaraan lagi setelah agen Kramat Djati menjauh. (Mas, mau aku negokan tiket Malino)

Batinku berbisik dan setengah memaksa, “Sudahlah, naik bis ini saja, belum pernah dinaiki kan? Ayolah, kesempatan datangnya cuma sekali. Tak apalah bukan yang Galaxy EXL, bis ini juga menarik hati kok. Masak mau ke Pulogadung, NS 39 lagi, NS 39 lagi. Bismania macam apa pula kau ini!!!”, imbuhnya dengan nada mengejek.

“Yo wislah, mengalah, aku naik Malino saja…”, palu vonis akhirnya kuketuk.

Dan berkat bantuan Mas Lilik pula, akhirnya deal di harga Rp.140.000,00 untuk tujuan Rembang.

Aku mesti kompromistis. Cita-citaku mengecap Galaxy EXL sampai detik ini belum kesampaian. Tak apalah, mendapatkan Malino Putra lawas, berplatform MB OH 1521 berbalut busana Tentrem Setra Inspiro. Livery-nya bukan ombak biru khas Malino Putra, melainkan sticker printing bergambarkan sekawanan spesies hewan buas berjenis Singa Afrika (Panthera Leo; latin). Ditambah lampu beam model mata burung hantu, menjadikan bis ini kelihatan garang…


Kesan pertama saat menilai interiornya…Duh, langit-langit sudah kusam. Jok Alldila-nya pun mulai memudar warnanya. TV pun asal ada, hanya LCD kecil, itupun selalu terlipat selama perjalanan. Apalagi konfigurasi seat 8 baris, terasa sempit. (Namanya juga menjajal “kembang perawan”, pastilah sempit, pikirku menghibur diri…


Namun, nilai plusnya disediakan ruang muktamar ahli hisap yang dilengkapi dispenser di kompartemen belakang. …

Senin, 07 Desember 2009

New Line dari PO Haryanto

Sekedar sharing temuan di lapangan.

Di balik ramai riuhnya pembicaraan tentang langkah fantastis PO Haryanto merintis line Jakarta-Madura, ada berita gembira lain yang tak kalah menggebrak.

Ternyata, hampir berbarengan dengan pelepasan armada perdana yang melintasi “jalur sakera” , The Blues dari Tangerang ini juga mengawali trayek anyarnya, Cepu-Jakarta via Rembang, melengkapi rintisan trayek Cepu-Jakarta via Purwodadi, yang telah dilaunching setengah tahun yang lalu. Berbekal karakter heroik yang selalu melekat dalam menjalankan bisnis transportasi, sang owner, Pak Haryanto, terlihat “gagah berani” bersaing dengan penguasa Cepu-Jakarta, PO Pahala Kencana dan bis terfavorit pilihan penumpang Cepu, Blora, Rembang, PO Nusantara.

Sinyal awal yang saya tangkap, adanya pembukaan agen PO Haryanto di Kota Sulang ( kota kecamatan yang berada di jalur Rembang-Blora, 12 km selatan Kota Rembang) akhir Oktober silam. Saya kira hanya "agen pembantu" untuk menjaring penumpang, tanpa adanya bis yang singgah di tempat ini. Penumpang tetap dinaikkan dari Terminal Rembang, "dititipkan” bis Bangilan-Lasem-Jakarta, pikir saya kala itu.

- Sebagai tambahan, daerah eks kawedanan Sulang (Kec. Bulu, Kec. Sumber, dan Kec. Sulang) merupakan penghasil "tambang penumpang" yang potensial. Yang pertama mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan ini adalah Pahala Kencana, yang membuka agen di daerah ini lima tahun silam. Dan kemudian, disusul oleh PO Lorena-Karina, yang membuka biro ticketing, yang berdiri berseberangan jalan dengan loket Pahala Kencana -

Bahkan saat saya hearing dengan petugas agen PO Haryanto Terminal Rembang, dan beliau mengiyakan ada amunisi baru untuk Cepu-Rembang-Pulogadung, sayapun tetap ragu. Jangan-jangan ini bahasa agen sebagai alat promosi dan propaganda, sekedar test case dan psywar bagi kompetitornya. Bukannya tidak percaya, karena sejauh ini belum pernah sekalipun saya memergoki bis ini melenggang di jalan raya Rembang-Blora.

Mencomot pepatah Cak Aam, “I believe it when I see it”, akhirnya keraguan saya terjawab.

Sabtu sore kemarin (5/12), dengan mata kepala sendiri saya menjadi saksi satu armada Setra Morodadi Prima MB OH 1521 PO Haryanto meluncur dari arah selatan menuju Kota Rembang. Namun, demi menyiasati pasar eksekutif yang masif, celah yang dimainkan “cukup” menghadirkan kelas VIP, agar tidak bersinggungan head to head dengan pemain lama. Ride is cheap, begitu slogan yang selalu diusung...

Meski masih mengandalkan unit lawas, akankah trayek Cepu-Rembang-Jakarta yang digenggam PO Haryanto ini juga akan berkibar, mengekor jalur Jakarta-Madura yang belum genap dua bulan dilewati ini telah mendapatkan tempat di hati masyarakat Pulau Garam?

Biarlah waktu yang akan menjawabnya…