Rabu, 27 Januari 2010

Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (2)



Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (2)
Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (2)


Teng…teng…teng…dan lonceng petualangan dibunyikan.

Krapyak, zona batas “it’s trully Pantura” telah ditapak. Kupu-kupu pun tetap istiqomah dengan karakter awal, total determinasinya. Apalagi pas ramai-ramainya bus arah Jakarta. Buah kerja kerasnya, berhasil menyalip Lorena Celcius LE-371, Damri jurusan Palembang/ Jambi, serta GMS Setra New Armada di lingkar Kaliwungu.

Dan cerita perjalanan KE-461 berulang. Dua misil balistik Pak Hans, yakni HS 205 dan HS 204 dilepaskan, memaksa PK mundur selangkah. Edan…naik bus apa saja, selalu jadi bahan bulan-bulanan amunisi Nusantara.

Tapi, gegar prestasi belum berujung di sini. Tiga armada pariwisata, masing-masing dua armada pinky PO Duta Bangsa Malang dan satu bus wisata S 7046 UW melemahkan kibasan sayap kupu-kupu.

Memang cukup panas atmosfer pantura malam Senin ini, ngga bus malam, ngga bus wisata, semua show of force, adu kecepatan, berlomba menunjukkan dominasi.

Pukul 20.30 singgah di Rumah Makan Sendang Wungu. Wow…Gringsing jadi lautan biru dijejali armada PK dari pelbagai jurusan. Dan terakhir kali di-service di sini, nilai rapor makanan Pahala Kencana di bawah standar, hanya layak untuk penganjal perut, minim citarasa.

Namun, tidak lagi untuk malam ini. Bagiku sudah ada improvement. Dan hal itu dishahihkan juga oleh penumpang sebelahku.

“Menunya lumayan ya, Mas. Sambal goreng tahu dan mie goreng bumbunya terasa. Nasinya juga pulen. Benar-benar cocok di lidah orang Jawa”, katanya saat bertestimoni.

And next…petualangan fase kedua dimulai, dengan tenaga baru sebagai personel pengendali.

Sayang, kesan pertama yang kudapatkan, kurang match dengan driver I. Alon-alon. Dan saking pelannya melintasi alas Roban, disalib saudara serahim, K 1546 AB, Bogor Indah Skania dan GMS Proteus.

Ah…sudahlah, life is never flat. Menikmati keleletan bus enaknya dengan tidur. Zzz…

Dalam lelap dibuai kenyamanan produk Jerman, kurasakan serrr…serrr…serrr…laju darahku mengalir lebih deras. Alarm alami tubuhku memberi inputan bahwa bus sedang high speed.

Kubuka mata lebar-lebar, dan benar adanya. Marga Intercooler ini sedang bernafsu memburu pantat seksi milik Tante Rosa, Rosalia Indah. Wah…jangan-jangan driver II ini setipe dengan mesin diesel, makin panas makin bertenaga. Kuhapus kesan awalku, kini kuacungi jempol buat “kusir” tengahnya yang makin menghela kuda besi bertenaga 210 HP.

Ternyata oh ternyata… Pahala usang ini sengaja menguntit, tak ada niatan untuk menyalip Proteus 245. Justru, dari sinilah simbiosis mutualisme antara kupu-kupu dan bunga rosalia terjalin, lewat jembatan komunikasi yang berwujud lampu sein. Terlihat AD 1490 DA benar-benar mengawal perjalanan Kupu-kupu, tanpa lelah memberi isyarat dengan permainan nan elegan dari lampu sein kanan/ kiri ataupun lampu hazard. Saat menyalip kendaraan dari lajur kanan, dan dihitung kupu-kupu di belakangnya juga aman untuk menyalip, sein kanan terus dinyalakan. Kalaupun dirasa tak cukup, langsung sein kiri, mencegah belakangnya ikut menyalip. Pun demikian saat menyalip lewat sisi kiri. Saat kondisi di depan dalam bahaya, semisal ada truk mogok atau mendekati titik persimpangan jalan, lampu hazard dinyalakan, sebagai amar agar kupu-kupu berhati-hati.

Merasa dibantu, driver-ku pun memadamkan high beam, cukup lampu senja. Kalau tak salah, kode ini sebagai pemberitahuan bus di depannya, bahwa bus belakangnya hanya mengekor, tak ada rencana menyalip.

“Kang, itu lho hebat ya yang bawa Rosalia. Ngga egois, tapi malah menolong kita. Kita ngga usah ngintip kondisi depan, cukup lihat aja seinnya. Sudah jarang sopir yang punya kesadaran begitu. Apalagi sopir-sopir baru, maunya kenceng, tapi menyepelekan bus yang lain”, puji sopir saat berbincang dengan asistennya.

Sambil ber-SMS-an dengan Mas Hary, kusaksikan dua makhluk beda jenis yang dipertemukan oleh jalan raya, tak ubahnya harmoni indah keselarasan semesta. Karakter bangsa yang gemar bergotong royong, saling menghargai dan menjunjung toleransi, sungguh-sungguh tersuguhkan.

Sayang, kebersamaan ini dirusak oleh kehadiran red ferrari Muji Jaya K 1450 BC, Kramat Djati Jack Daniels dan GMS Setra OH 1525, eks Symponie. Bertiga bergantian menginfiltrasi hubungan sehati kupu-Kupu dan bunga rosalia. Dan parahnya, ketiga-tiganya mau menang sendiri, tak ada laku tepo seliro. Lampu seinnya pun tak beretika, asal nyala untuk kepentingan dirinya sendiri.

Driver PK pun hanya geleng-geleng kepala. Racun adigang adigung adiguno semburat di pelupuk matanya. Persahabatan bagai kepompong sopir-sopir bus malam tempo doeloe kian langka, hanya jadi cerita manis cangkrukan para penggila bus.

Merasa kupu-kupu keteteran, super eksekutif Ros-in merasa iba. Dipelankan kecepatannya, diberikan lewat ketiga bus “destroyer” tersebut. Dan kembali, jalinan dua hati terangkai kembali.


Aku jadi ingat. Kalau tidak salah Rosalia Indah SE berbadan Proteus ini pernah ditampik cintanya oleh Sunan Kelantan negeri Bismania, Tuan Haur Koneng. Dan bisa jadi, sebagai pelariannya, rosalia bermaksud menggandeng kupu-Kupu. Hehehe…

Karena hendak berhenti di pitstop Tegal, kupu-kupu pun menyusul rosalia. Disejajarkan posisinya kemudian tangan kru PK dilambaikan, seraya menyalakan klakson secara lembut dan pelan, sebagai tanda ucapan terima kasih telah banyak dibantu. Driver rosalia pun paham, dan sejurus kemudian membalas dengan aba-aba klakson, dan mempersilahkan kupu-kupu untuk maju ke muka.

Manis dan romantis drama percintaannya, meski hanya cinta sesaat di ruas Pemalang hingga Tegal, dan putus hubungan di tangan petugas kontrol Tegal.

Benar-benar menyinggung sisi kemanusiaan. Itulah realitas hidup. Kerukunan, persahabatan, percintaan, take and give, egoisme, ingin menang sendiri, pencederaan moral, kesombongan, prahara, bukan sekedar bumbu-bumbu kehidupan, namun juga bumbu-bumbu pantura. Bukan semata soal kecepatan, unjuk nyali atau tema blong-blong-an.

Kulanjutkan tidur malamku, yang terpotong untuk menyaksikan sinetron “Cinta Rosalia”. Esok mesti berladang dan fisik harus fit untuk menggarapnya.

“Cikarang…cikarang….”, teriak kenek membangunkan penumpang tujuan Cikarang. Dan mayoritas penumpang turun, tertinggal empat orang yang bertiket Pulogadung.

30 menit kemudian, kupu-kupu landing di Pulogadung, ketika jarum waktu menyinggung angka 04.55. Meski sempat mengalami engine problem, bahasa lapangannya “masuk angin”, capaian waktu B 7415 NL ini masih dalam batas rata-rata normal.


Inilah akhir sementara dari episode “It’s not Slowtime”. Sekarang memang bukan masanya bus “alon-alon asal kelakon”, berganti “biar cepat asal selamat” atau “boleh irit asal penumpang jangan menjerit”. Kecepatan, yang berkorelasi langsung dengan waktu tempuh, telah diposisikan kembali sebagai panglima, satu elemen penting dari pelayanan bus malam. Dan itu dinyatakan secara cetho welo-welo dengan dua armada yang aku percayakan untuk perjalanan pulang dan balik akhir pekan kemarin, Kramat Djati dan Pahala Kencana.


Semoga “It’s not Slowtime” akan jadi warna kekal deru operasional bus-bus Indonesia.

Viva Indonesian buses…!!!




Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (1)


Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (2)
Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (1)

“Minggu mau naik apa, Pa?”
“Pahala aja ya, Ma, yang dekat rumah. Kasihan mama kalau mengantar ke terminal Rembang”

Wajar saja istriku bertanya begitu. Karena aku benar-benar bokek, dan bersandar penuh pada belas kasihnya untuk mensubsidi penuh biaya perjalanan tugasku kali ini. Alasanku lebih memilih Pahala Kencana (PK), selain tidak ingin merepotkan mama-e Naura yang tengah berbadan dua, sebenarnya ada agenda tersembunyi. Keingintahuanku yang begitu besar untuk kenal lebih dekat wajah Ombak Biru sekarang. Seingatku, terakhir kali naik PK Bojonegoro, pascabanjir bandang meluluhlantakkan jalan pantura timur Jawa Tengah, dua tahun silam.

“Ini Pa buat beli tiketnya. Jangan lupa, nanti sore pas jemput ibu mampir ke agen Pahala”, pesan pendampingku saat mem-bailout kondisi dompetku yang benar-benar koma.

Dalam perjalanan berdua dengan putri kesayanganku menuju Padangan (Bojonegoro) untuk menjemput simbah putrinya, kusempatkan diri singgah di agen PK Kota Sulang.

“Mbak, pesen tiket Pulogadung buat besok!”
“Eksekutif apa VIP, Mas”
“Beda harganya berapa, Mbak?”
“Yang eksekutif 130 ribu, beda 30 ribu dengan VIP”

Sip…Masih cukup. Baru saja diinjeksikan dana segar senilai 150 milyar…eh ribu. Tapi, kupikir-pikir, tak enak ah…mentang-mentang gratis maunya kelas premium.

“VIP saja kalau begitu, Mbak”

Inilah rencana terselebungku. PK divisi Kudus --yang membawahi trayek Bojonegoro-- akan kujadikan bahan penggenap kesimpulanku, tentang benar tidaknya 99% bus malam sekarang adalah bus banter.

Menurut kacamata-ku sebagai pengguna bis mingguan, PK divisi Kudus bak anak tiri di keluarga besar Pahala Group. Menatap skuad Bojonegoro, Lasem dan Bangilan yang eksis, semakin mempertegas anggapanku. Hanya bus-bus lawas, mengandalkan Hino RG serta Mercy Intercooler, sekian tahun tanpa pembaruan mesin. Kalaupun ada geliat, hanyalah ganti baju, re-painting atau make-over, dengan jahitan karoseri sekelas Tri Sakti atau Tri Jaya Union.

Hati ini terbakar api cemburu dipameri kecepatan jelajah bus divisi Malang, melihat New Marcopolo-nya Bandung, mendengar kabar big buy unit MB OH 1525 chapter Jakarta atau ekspansi trayek lintas pulau PK cabang Jogja. Bagiku, semua itu barang mahal yang bisa didapatkan dari tubuh PK Kudus.

Sementara pesaingnya dari Lereng Muria makin wah dan jor-joran menggolakkan peta persaingan. Meski pasar penumpangnya sudah banyak digerus PO-PO kemarin sore, PK terkesan adem ayem dan cenderung bermain aman. Padahal, dari divisi Kudus-lah si pembawa hoki, lahan pesemaian awal tumbuhnya gurita bisnis salah satu operator PO terbesar di Pulau Jawa ini.

Ah, tanpa ada pembuktian, buat apa aku selamanya berasumsi miring begitu. Besok sore, armada VIP Pulogadung akan kuhadirkan sebagai saksi ahli, benarkah PK Kudus sudah mengubur dalam-dalam paradigma lama, sebagai bus lelet dan hanya nyaman untuk perjalanan keluarga, tak bisa diandalkan komuter mingguan untuk memangkas waktu?

Pukul tiga Minggu sore, kutunggu kedatangannya. Tak sekalipun berani membayangkan yang datang nanti adalah Proteus OH 1525 lungsuran divisi Malang atau PK Kudus meminjam bus wisata Nirwana untuk VIP Pulogadung. Tebakanku, “si dia” itu paling-paling Laksana Clurit, Panorama 3, model AC jadoel, Pagupon Doro. Hehehe…

“Mas, ini nomor bisnya, B 7415 NL,” kata Mbak Nafis, ticketing girl saat aku check in.

Duh, aku benar-benar buta armada PK Bojonegoro. Armada 15NL itu yang mana ya? Yang lekat dalam ingatanku sewaktu berlangganan dulu, kalau tak salah, cuma B 7298 ZX, dan tiga armada B 7889 … dengan dua huruf belakangnya saja yang berbeda.

Kemudian, defile bus penguasa tlatah Blora-Cepu-Bojonegoro menampakkan diri. Dari yang terdepan, Old Travego Kupu-kupu Kalideres, Setra Ombak Lebakbulus, Setra livery baru Bogor, Old Travego Kupu-Kupu Pulogadung (eksekutif) dan yang bontot…

Jreng…VIP Pulogadung, siluet Butterfly.


Tebakanku fifty-fifty keabsahannya. 50% benar produk Laksana, 50% lagi salah sebab bukan Panorama 3 melainkan Panorama DX.

Setelah cipika-cipiki dengan bidadari kecilku yang ikut mengantarkan, kudaki tangga menuju ruang interiornya.

Really, really, Laksana taste…Minimalis. Posisinya deck-nya rendah atau bisa jadi karena kaca tinggi, dan tentu (maaf) bangunan body coach gedobrakan ketika bus berjalan. Untungnya, fasilitas lapak punggung dipercayakan pada jok Alldila.

Dan konfigurasi seat 8 baris non leg rest adalah garis pembatas kelas VIP dan eksekutif. Meski pitch antar kursi begitu longgar, tapi tetap saja kelasnya VIP. Padahal, andai saja dibenamkan kelengkapan ini, masih cukup ruang untuk dipasang. Kelengkapan piranti leg rest inilah, yang bagiku, sebagai pembeda kelas VIP dan eksekutif di kalangan bus-bus Muria Raya.

Tapi itu tetap tak mempengaruhi penilaianku, meski hanya kelas VIP, kesan PK sebagai bus nyaman sangatlah kentara. Bersih, wangi, lapang, beraura positif dan sejuk di hati saat berada di dalamnya.

Nggreng…suara knalpot OH-1521 menggelegar panjang mendaki tanjakan Kota Sulang. Dan secepat kilat wuss…wuss…wuss…ketika kontur jalan berganti menurun, gesit membelah jalan. Ces…ces…cesss…bunyi pneumatic brake riuh rendah khas Mercy bersahutan saat lajunya tertahan kendaraan di depannya.

Sungguh, aku takjub dibuatnya. Wah…wah…mantap juga yang bawa. Speedfull, skillfull, smoothfull dan anti ogah-ogahan. Sang driver cukup royal menginjak gas dalam-dalam, seakan stigma bus ini miskin solar ini teramputasi, dijawab dengan gerakan enerjiknya. Tak salah mengetuk palu vonis memilih PK untuk trip kali ini.

Menyandang status anak tiri, seolah HT 719 ini tak mau diremehkan dan disepelekan. Mulai Rembang hingga pool Kudus, sisa-sisa kehebatan mesin 6000 cc benar-benar ter-ekspose. Lincah meliuk-liuk menaklukan deretan panjang angkutan barang. Bahkan sempat nekat meladeni tabiat pecicilan bus Restu di depannya.

Dan semua ini semakin menegaskan statemenku, bahwa bus malam sekarang memang banter-banter. Karina, KD, Malino Putra, OBL dan PK, semakin kencang berlari-lari di permukaan aspal. Kini, tak usah pilih-pilih bus ke timur, karena hanya 1% sampling error mendapatkan bis lemot.

Mampir sebentar di garasi Kudus untuk controlling, jam 17.36 bendera start dikibarkan kembali. Asyiknya, sekeluar dari Jembatan Tanggulangin langsung disambut pantat Garuda Mas dan PO Haryanto Motor. Bertiga berkonvoi, tanding kelihaian menyeruak di antara lalu lintas yang kondisinya ramai lancar di jalur Kudus-Demak yang hampir seluruhnya telah empat lajur. Sayang, keikutsertaan Grand Aristo 78 Kopral berakhir di Kota Wali karena lewat jalan lama.

Tinggal berdua di sirkuit Lingkar Demak, RS Evolution vs Panorama DX. Kupu-kupu terus menempel ekor Garuda bahkan nyaris saja berhasil menyalipnya. Namun, bus bernomor E 7543 KA tak mau dipecundangi. Justru semakin dipacu, terlebih dibekali mesin Hino RG dengan aksekerasi yang lebih responsif dibanding Mercy Intercooler. Dan harus kuakui, driver Garuda Mas bertrayek Tayu-Jakarta itu sulit ditaklukan.

Hukum alam masih abadi, kepak sayap Garuda masih terlalu tangguh untuk dilumat kibasan sayap kupu-kupu. Makin lama, gapnya semakin jauh dan bus berkelas ekonomi AC itu makin tak terkejar, hilang ditelan kepulan asap truk-truk angkutan berat.


Di jalur Kudus-Semarang, hanya dua bus yang diasapi, Sumber Larees bumel dan PO Suka, Jepara-Tasik.

Setelah mengambil penumpang terakhir di agen Dr. Cipto, Semarang, genderang pengembaraan si Kupu-Kupu Malam di hutan pantura ditabuh.

Senin, 25 Januari 2010

Kramat Djati; Fun Tastic…(2)


Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (1)
Kramat Djati; Fun Tastic…(2)

Jam 13.20, bus melenggang keluar terminal, dengan ciri khas suara kemriyet dari gesekan material per daun penyangga chasis MB OH 1521. Bis langsung dipacu sesaat menapak tol Wiyoto Wiyono. Weih…apa tidak salah ini?

“Gimana sih koordinasi antar agen. Katanya bus langsung berangkat, tak mampir-mampir. Ini malah dadakan disuruh ke Pulogadung. Payah, agen-agen itu kerjanya…”, gerutu Pak Sopir, bercurhat pada asistennya.

Oh…jadi ini toh alasannya sementara waktu bus ini ngebut. Takut dikomplain penumpang Pulogadung. Namun, aku malah senang, bisa mengulur waktu keberangkatan. Jangan sampai kepagian sewaktu turun di Rembang.

Setengah jam kemudian, memasuki Terminal Pulogadung, menghampiri dua penumpang yang telah booking sebelumnya. Mungkin, agen berharap masih mendapatkan penumpang tambahan, dengan men-delay keberangkatan. Hal ini membuat muak penumpang di seberang lorong.

“Tau gini naik Haryanto, ngga ngetem. Kemarin saya turun di Gresik jam ½ 4 pagi. Kirain tadi langsung masuk tol, ternyata mampir Pulogadung. Pakai ngetem lagi…!”

Yang sabar Pak, Every bus has a different taste. Jangan digeneralisasi, disamaratakan. Belum tentu, Bapak naik Haryanto lagi bisa tiba di Gresik dengan waktu yang sama. Nikmati sajalah, Pak. Kalau hati nggerundel, perjalanan makin tak nyaman, terbawa suasana hati yang dirundung kekecewaan. Lagi-lagi aku membatin…

Dan nihil, tak ada penumpang lagi. Delapan orang penumpang. Bagaimana hitung-hitungan keuntungan bisnisnya coba?

Pukul 14.30 bus full take off, tanpa singgah di agen lagi. Menyusuri jalan raya Pulogadung-PTC-IG-Tipar, lalu masuk mulut tol di entry Cakung. Sewaktu lewat garasi Si Ijo dari Cirebon, armada E 7527 HA yang akan membawa Mas Kus sudah siap di grid pemberangkatan.

Aku pun pasrah, jikalau nanti selama melahap tol Cikampek, akan diwarnai aksi netral, menahan rpm di posisi idle, sekitar 1000 kali putaran per menit. Aku sikapi, itulah taste bus bernomor registrasi B 7244 ZX ini…

Justru meleset dugaanku. Pedal akselerasi dibejek habis-habisan oleh driver I. Bukan tipikal manusia pelit dalam “menyedot” isi tangki solar.

Setelah lewat interchange Cikunir, bertemu dengan adik kandungnya, B 7245 ZX, yang berdinas menggawani trayek Lebakbulus-Madura. Sayang seribu sayang, senasib dengan kakaknya, hanya mengangkut 5 orang penumpang. Tak bisa dipungkiri, pasca liburan tahun baru, memang okupansi penumpang jarak jauh sedang nge-drop…

Setelah saling ledek antar kru, dengan pamer jumlah penumpang, penumpang Gresik tadi bertanya ke pengemudi.

“Apa ngga dioper dijadikan satu bus saja, Pak?”
“Wah, di Kramat tak ada istilah bus balik pool Pak. Kalau disuruh jalan, berapapun penumpangnya ya tetap jalan”, tandas Pak Sopir.

Mantap, inilah kelebihan PO berjuluk “Tripple X”…eh “Tripple Eggs” ini…

Dan gerakan anti lelet disempurnakan anti gigi 0, terbukti di sepanjang rute 70 km tol Cikampek hingga daerah Losarang. Bersama dengan adik, Hino RG air suspension, saling menguntit kemudian susul menyusul, rajin mengambil jalur paling kanan yang diperuntukkan untuk menyalip.

Meski sempat di-overtake Rosalia Indah 319, tercatat pula empat bus yang diasapi, Sinar Jaya Sobo Merak 37 S, Bogor Indah Skania, Si Buruk Rupa “Dahlia Indah” dan Scania New Marcopolo Harapan Jaya. Bahkan bus terakhir tampaknya bingung mau makan di Taman Sari ataukah Kalijaga. Sewaku ditempel, tiba-tiba sein kiri dan berhenti 100 m setelah Taman Sari.

Pak Sopir tak mampu menahan tawa, mengira bus tersebut kebablasen, lupa tempat rumah makan persinggahannya.

Lepas dari RM Singgalang Raya, aplus-an dengan driver II. Tipikalnya lebih smooth namun tak berkurang spirit of speed dibanding driver I. Tak beda dengan karakter bus Plat K. Meski dari logat bicaranya, berasal dari daerah Pemalang atau Tegal.

Di ruas Celeng-Widasari, ekor angkutan berat begitu panjang. Saat terjerembab, bus model Setra ini dilibas Langsung Jaya Hino front engine. Ya, wajar…posisi padat merayap, mesin depan lebih unggul tarikan dan kegesitan.

Tak selang lama, gantian Purwo Widodo Putro berbaju buatan Hadi Putro yang begitu bergairah untuk mengalahkan Kramat Djati. Meski ciri fisiknya tidak berbohong, Prestige Tri Sakti.

Gila…bus-bus ranah AD kelas medioker makin berlari-lari. Apa virus Ros-in yang bertagline “Semakin Kukejar Semakin Jauh” hinggap juga di bus-bus papan tengah? 

Satu pemandangan paling menarik di jalur Pantura adalah penampakan empat chasis telanjang yang akan dibawa ke karoseri. AKu tak bisa menilai, ini jenis apa. Sepengetahuanku, bukan Hino RK8 atau MB OH 1525. Jadi curiga, jangan-jangan ini MB OH 1526 yang sedang hangat dipergunjingkan.

Masuk tol Palimanan-Kanci, kecepatan Kramat Djati makin memuncak. Berkali-kali bodi usang Adi Putro ini bergetar hebatnya saat jarum tachometer nyaris menyentuh redline, di angka 2500 rpm, sehingga sopir berupaya men-slow down laju bus.

Lepas tol, aksi bus kelas eksekutif ini makin tak terbendung. Akhirnya, dua anggota Genk Soloensis yang tadi sempat mencundangi gantian direnggut kejayaannya di daerah Losari. Ck ck ck… hanya decak kagum yang bisa kualamatkan pada pilotnya.

Sayang, slot time Kramat Djati bukanlah peak arus mudik bus-bus arah timur. Sehingga tiada lawan lagi yang mumpuni untuk ditaklukan.

Dan it’s sleeptime…

Aku terbangun saat bus menuruni alas Roban. Tampak jauh di depan, di antara jajaran kendaraan yang mengular, duo New Marcopolo Pahala Kencana, bertuliskan Euro 3 di dinding kaca samping. Wah, boleh ini sekali-kali dicoba. Ini PK Bandung apa Jakarta ya?

Sayangnya, saat dicoba untuk diikuti, Kramat Djati kehabisan nutrisi, dan masuk SPBU di daerah Cepiring, Kendal. Namun, aku bisa mencuri pandang plat nomor PK, B 7519 IZ. Satu yang pasti, memang bus baru, bukan ganti busana.

Dan satu “dosa” tercatat lagi, mesin OM366 LA dihembusi asap karbon bus Ezri Cirebon-Malang. Wah, pion Pak Tong masih ganas juga…

And then, the next sleeptime…

Bangun lagi saat bus melewati koridor Kudus-Pati yang jalannya sebagian hancur menjelma menjadi kubangan kerbau dihajar curah hujan yang tinggi. Paling parah tepat di depan kantor Mas Ilyas, PT Pura Kudus.

Kukeluarkan henpon untuk mengintip waktu. Ya ampun, 00.24??? Kok secepat ini bus ini? Berharap jam 3-an masuk Rembang, melihat waktu yang berhasil ditempuh, bisa jauh lebih cepat.

Yang membuatku salut dan appreciate, PO yang satu grup dengan Pakar Utama ini konstan dan stabil dalam kecepatannya. Meski tak selamanya numbero uno selama menyusuri Pantura, tapi greget dan determinasinya tak pernah surut. Tidak membuat jengkel bagi penyuka bis banter.

Dan benar adanya, jam 01.40 menyelesaikan finishku di depan Taman Kartini, Rembang. Kuucapkan terima kasih kepada Pak Sopir dan asistennya atas lancar, nyaman dan cepatnya perjalanan.

Capaian luar biasa Kramat Djati menempatkannya pada posisi tiga besar rekor best lap perjalananku Rembang-Jakarta, di bawah PK 10:30 pada tahun 2002 dan NS 39 11:00 tahun 2005. Dengan raihan 11 jam 10 menit, ditengah terpaan berita negatif, dan kondisi jalan yang carut marut akibat kerusakan dan perbaikan jalan, catatan waktu PO Kramat Djati B 7244 ZX ini terbilang “fantastik!!!”



Segera kususuri jalanan Kota Rembang, menuju Pasar Kota tempat mangkal micro bus Rembang-Blora. Keadaannya persis kota mati, tak ada denyut nafas kehidupan. Masyarakat masih terlelap tidur, dibuai mimpi-mimpin indah.

Kini, aku harus menanggung karma setelah underestimate dengan satu dari beberapa legenda bus bumi Nusantara, PO Kramat Djati. Seakan “The Flying Eggs” ini mematahkan anggapan-anggapan absurd yang terkesan menomorsekiankan kehebatan nya. Kini kuhadapi kenyataan, 1 ½ jam terkatung-katung di terminal bayangan pasar Rembang, menunggu bus mini jalan pertama ke Blora.

Dalam kesendirianku menanti angkutan ke selatan, selintas dalam bayanganku, sekarang ini adalah era bus cepat, bukan masanya bus pelan. It’s not slowtime…

Berkaca pada perjalananku sebelumnya, dengan OBL V-engine, Karina Madura, Karina Bojonegoro, Malino Putra Macan, Haryanto Madura, dan Kramat Djati Madura, (untuk bis Muria tak usah ditanya…), yang tak pernah mengecewakanku dalam soal kecepatan.

Apakah aku berani berani “berfatwa”, 11 dari 10 bus malam adalah bus banter?

Ah, belum. Masih ada satu PO lagi yang akan kujadikan saksi ahli sebelum menggenapkan kesimpulanku. Dan yang pasti, sebentar lagi akan kubuktikan…

Kramat Djati; Fun Tastic…(1)


Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (1)
Kramat Djati; Fun Tastic…(1)

-Every bus has a different taste…-

Jam buka kantor masih tersisa empat jam lagi. Sementara tugasku hari Jumat ini 100% completted. Menyandang status non job, justru mendatangkan kesempatan. Yup…melonggarkan pilihan dalam merencanakan perjalanan pulang ke Rembang.

Bergegas kurapikan alat tulis dan tumpukan berkas pekerjaan, packing berbekalan pulang yang tak seberapa muatannya. Andai disensus, tas backpacker-ku hanya berisi payung, charger, air mineral, minyak angin, kaos kaki dan balaclava alias tutup kepala. Tak sampai satu kilogram beratnya.

Tampak di luar jendela, langit mempertontonkan pergulatan alam. Di sisi timur, sinaran surya masih mampu menembus lapisan ozon untuk menghadirkan terang bagi bumi, sedang di sisi barat awan tebal mulai berdatangan bergelayut di atas Teluk Jakarta. Rinai gerimis yang turun seakan tak mau kalah bersaing dengan mentari dan mendung, bertarung siapa yang akan memberi rona cuaca siang di kawasan pelabuhan laut terbesar se-Indonesia.

Begitu juga apa yang sedang menimpaku, terjadi pergulatan batin dalam menentukan titik keberangkatan mulih ndeso. Bimbang hati, mencontreng di antara pilihan-pilihan, Rawamangun…Pulogadung…ataukah Tanjung Priok sendiri.

Mau ikut rombongan Mas Rully cs visit Madura, yang mulai “pelayarannya” jam 11 siang, sudah telat. Pakai jurus nghitung kancing, dengan mantra-mantra similikithi enak ngendi enak iki, juga tidak ketemu jawaban yang memuaskan.

Tiba-tiba ingat rayuan Mas Kus Kuntarto tadi pagi via telepon untuk naik Garuda Mas. Tapi…ahhh… kondisi dompet meradang terkena dampak sistemik tanggal tua. Jujur saja, jumlahnya selisih tipis di atas dana yang dibawa Tuan Gwan Tanah Merah sewaktu survei pemetaan wilayah Mangga Besar-nya Pati.

Hiks, maaf ya Mas Kus, kutolak tawaranmu. Bulan depan saja kulampiaskan rindu akan kepak perkasa Sang Garuda, saat gelontoran gaji bulanan sudah di-dropping…

“Ah, begini saja”, kata nuraniku. “Pertama-tama ke Priok, kalau tak ada yang menarik, pindah ke Rawamangun, kalau (kebangetan) tak ada yang heartcatching juga, bergeser ke Pulogadung.”

Sebuah mediasi nan solutif.

Turun dari angkot KWK-01 Cakung-Tanjung Priok, kumasuki area embarkasi debarkasi bus antar kota. Tengah hari itu didominasi bus-bus Tangjung Priok-Bogor, Laskar Karawang --Warga Baru-- dan skuad Prima Jasa. Di jalur Madura, seperti biasa, tampak empat sekawan peserta acara harian take me out, Kramat Djati (KD), Pahala Kencana (PK), Karina dan Haryanto.

Karina yang pertama kucoret, karena ini armada produk 40, eks KE-461 yang kunaiki belum lama ini, dimutasi dari jalur Bojonegoro ke Madura. Grand Aristo-nya Kopral yang kedua kusisihkan. Tiga minggu yang lalu mencumbuinya, jadi belum lupa sama rasanya. Nah, ini yang menarik. PK Setra berdaleman Hino RG dengan tampilan motif baju hasil cat ulang. Mungkin, inilah warning awal kegerahan PK terhadap masuknya Si Biru ke jalur Madura.


Tapi…engga ah. Seringkali naik PK Madura, dan seringkali pula kurang mengesankan ceritanya…

Tinggal pilihan akhir, kalau tak cocok, mbonceng bus kota P-43 yang akan menghantarkan ke Rawamangun. Yaitu bus Kramat Djati.

Kudekati sosok putih bersih ini. What!!! Ngetem sekian lama, masih kosong melompong. Memang, di Tanjung Priok, KD menempati dasar klasemen bus favorit orang-orang Madunten. Pengais sisa-sisa penumpang, bahkan kalah pesona dibanding newcomer, PO Haryanto.

Bayangan bus lemot, pengusung aliran netralisme, pengetatan kebutuhan solar serta armada anak tiri di keluarga besar Kramat Djati menyeruak dalam benakku.

Namun, hatiku malah klop dengan karakter miring yang diciptakan pasar. Mengapa?

Dalam analisisku, kalau rata-rata waktu tempuh bus Jakarta-Rembang 12 jam, dengan bis lambat tentu bisa lebih dari itu. Kalau bus ini berangkat jam 2, taruhlah…perjalanan nanti memakan masa selama 13 jam, jam 3 dinihari baru tiba di Rembang. Dan aku tak kesulitan meneruskan perjalanan menuju Kota Kecamatan Sulang dengan mikro bus Rembang-Blora yang biasanya buka line antara jam 3-4 pagi, plus nanti bantuan ojeg untuk mengantarkan hingga ke depan rumah.

Maklum, akses transportasi hingga ke desaku sangatlah terbatas dan mengenal waktu. Coba tanya Mas Hary “Coklat” beserta Meme tercintanya yang pernah berjuang sekuat tenaga menggapai kampung halamanku. Berjarak 20 km dari jantung kota, melewati areal persawahan, melintas daerah angker dan miskin sinyal komunikasi, jauh di pelosok lereng perbukitan kapur Pasedan. Jangan kapok main ya Mas Hary…

Yes…tekatku sudah bulat, naik bis pelan aja. Tak buru-buru di kejar waktu dan acara keluarga pada Sabtu pagi.

“Berangkat jam berapa, Pak?” tanyaku pada seorang bapak petugas agen KD.
“Paling telat jam 2, Mas”
“Pak, turun Rembang bisa?”
“Boleh Mas, 125 ribu…” jawabnya sekenanya.

Pak…pak…bis tak laku begini kok jual mahal, aku membatin.

“Pak, boleh kurang ya. Masak segitu…” coba kutawar secara halus.
“Mas nawar berapa?” dia memberi respon.

Tapi aku juga prihatin dengan nasib Si Putih ini. Mau nego ke harga 100 ribu, mengikuti tarif floating tujuan Surabaya yang didiskon “hanya” 130rb, jiwa bismania-ku sungguh tak tega. Kasihan…

“Ya sudah Pak. Kemarin saya naik Haryanto dikasih 120rb. Samain saja ya Pak”, pintaku.
“Ya sudah Mas, monggo naik…”, balasnya dengan lega, berharap aku jadi penglaris siang ini.

Dan ternyata tidak seluruhnya doa terkabul. Hingga bus akan diberangkatkan, agen hanya mampu meraup enam penumpang.

“Ayo Mas, berangkat”, kata driver mengingatkanku yang masih asyik bermasyuk ria berwisata otomotif, menikmati eksotisme bus-bus di dalam terminal.

Kramat Djati; Fun Tastic…(2)



Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (1)
Kramat Djati; Fun Tastic…(2)

Jam 13.20, bus melenggang keluar terminal, dengan ciri khas suara kemriyet dari gesekan material per daun penyangga chasis MB OH 1521. Bis langsung dipacu sesaat menapak tol Wiyoto Wiyono. Weih…apa tidak salah ini?

Gimana sih koordinasi antar agen. Katanya bus langsung berangkat, tak mampir-mampir. Ini malah dadakan disuruh ke Pulogadung. Payah, agen-agen itu kerjanya…”, gerutu Pak Sopir, bercurhat pada asistennya.

Oh…jadi ini toh alasannya sementara waktu bus ini ngebut. Takut dikomplain penumpang Pulogadung. Namun, aku malah senang, bisa mengulur waktu keberangkatan. Jangan sampai kepagian sewaktu turun di Rembang.

Setengah jam kemudian, memasuki Terminal Pulogadung, menghampiri dua penumpang yang telah booking sebelumnya. Mungkin, agen berharap masih mendapatkan penumpang tambahan, dengan men-delay keberangkatan. Hal ini membuat muak penumpang di seberang lorong.

Tau gini naik Haryanto. Kemarin saya turun di Gresik jam ½ 4 pagi. Kirain tadi langsung masuk tol, ternyata mampir Pulogadung. Pakai ngetem lagi…!”

Yang sabar Pak, every bus has a different taste. Jangan digeneralisasi, disamaratakan. Belum tentu, Bapak naik Haryanto lagi bisa tiba di Gresik dengan waktu yang sama. Nikmati sajalah, Pak. Kalau hati nggerundel, perjalanan makin tak nyaman, terbawa suasana hati yang dirundung kekecewaan. Lagi-lagi aku membatin…

Dan nihil, tak ada penumpang lagi. Delapan orang penumpang. Bagaimana hitung-hitungan keuntungan bisnisnya coba?

Pukul 14.30 bus full take off, tanpa singgah di agen lagi. Menyusuri jalan raya Pulogadung-PTC-IG-Tipar, lalu masuk mulut tol di entry Cakung. Sewaktu lewat garasi Si Ijo dari Cirebon, armada E 7527 HA yang akan membawa Mas Kus sudah siap di grid pemberangkatan.

Aku pun pasrah, jikalau nanti selama melahap tol Cikampek, akan diwarnai aksi netral, menahan rpm di posisi idle, sekitar 1000 kali putaran per menit, demi sebuah pengiritan. Aku sikapi, itulah taste bus bernomor registrasi B 7244 ZX ini…

Justru meleset dugaanku. Pedal akselerasi dibejek habis-habisan oleh driver I. Bukan tipikal manusia pelit dalam “menyedot” isi tangki solar.

Setelah lewat interchange Cikunir, bertemu dengan adik kandungnya, B 7245 ZX, yang berdinas menggawani trayek Lebakbulus-Madura. Sayang seribu sayang, senasib dengan kakaknya, hanya mengangkut lima orang penumpang. Tak bisa dipungkiri, pasca liburan tahun baru, memang okupansi penumpang jarak jauh sedang nge-drop…

Setelah saling ledek antar kru, dengan pamer jumlah penumpang, penumpang Gresik tadi bertanya ke pengemudi.

“Apa ngga dioper dijadikan satu bus saja, Pak?”
“Wah, di Kramat tak ada istilah bus balik pool Pak. Kalau disuruh jalan, berapapun penumpangnya ya tetap jalan”, tandas Pak Sopir.

Mantap, inilah kelebihan pelayanan PO berjuluk “Tripple X”…eh “Tripple Eggs” ini…

Dan gerakan anti lelet disempurnakan anti gigi 0, terbukti di sepanjang rute 70 km tol Cikampek hingga daerah Losarang. Bersama dengan adik, Hino RG air suspension, saling menguntit kemudian susul menyusul, rajin mengambil jalur paling kanan yang diperuntukkan untuk menyalip.





Meski sempat di-overtake Rosalia Indah 319, tercatat pula empat bus yang diasapi, Sinar Jaya Sobo Merak 37 S, Bogor Indah Skania, Si Buruk Rupa “Dahlia Indah” dan Scania New Marcopolo Harapan Jaya. Bahkan bus terakhir tampaknya bingung mau makan di Taman Sari ataukah Kalijaga. Sewaku ditempel, tiba-tiba sein kiri dan berhenti 100 m setelah Taman Sari.

Pak Sopir tak mampu menahan tawa, mengira bus tersebut kebablasen, lupa tempat rumah makan persinggahannya.

Lepas dari RM Singgalang Raya, aplusan dengan driver II. Tipikalnya lebih smooth namun tak berkurang spirit of speed dibanding driver I. Tak beda dengan karakter bus Plat K. Meski dari logat bicaranya, berasal dari daerah Pemalang atau Tegal.

Di ruas Celeng-Widasari, ekor angkutan berat begitu panjang. Saat terjerembab, bus model Setra ini dilibas Langsung Jaya Hino front engine. Ya, wajar…posisi padat merayap, mesin depan lebih unggul tarikan dan kegesitan.

Tak selang lama, gantian Purwo Widodo Putro berbaju buatan Hadi Putro yang begitu bergairah untuk mengalahkan Kramat Djati. Meski ciri fisiknya tidak berbohong, Prestige Tri Sakti.

Gila…bus-bus ranah AD kelas medioker makin berlari-lari. Apa virus Ros-in yang bertagline “Semakin Kukejar Semakin Jauh” hinggap juga di bus-bus papan tengah?

Satu pemandangan paling menarik di jalur Pantura adalah penampakan empat chasis telanjang yang akan dibawa ke karoseri. Saya tak bisa menilai, ini jenis apa. Sepengetahuanku bukan Hino RK8 atau MB OH 1525. Saya curiga, jangan-jangan ini MB OH 1526 yang sedang hangat dipergunjingkan.

Masuk tol Palimanan-Kanci, kecepatan Kramat Djati makin memuncak. Berkali-kali bodi usang Adi Putro ini bergetar hebatnya saat jarum tachometer nyaris menyentuh redline, di angka 2500 rpm, sehingga sopir berupaya men-slow down laju bus.

Lepas tol, aksi bus kelas eksekutif ini makin tak terbendung. Akhirnya, dua anggota Genk Soloensis yang tadi sempat mencundangi gantian direnggut kejayaannya di daerah Losari. Ck ck ck… hanya decak kagum yang bisa kualamatkan pada pilotnya.

Sayang, slot time Kramat Djati bukanlah peak arus mudik bus-bus arah timur. Sehingga tiada lawan lagi yang mumpuni untuk ditaklukan.

Dan it’s sleeptime…

Aku terbangun saat bus menuruni alas Roban. Tampak jauh di depan, di antara jajaran kendaraan yang mengular, duo New Marcopolo Pahala Kencana, bertuliskan Euro 3 di dinding kaca samping. Wah, boleh ini sekali-kali dicoba. Ini PK Bandung apa Jakarta ya?

Sayangnya, saat dicoba untuk diikuti, Kramat Djati kehabisan nutrisi, dan masuk SPBU di daerah Cepiring, Kendal. Namun, aku bisa mencuri pandang plat nomor PK, B 7519 IZ. Satu yang pasti, memang bus baru, bukan ganti busana.

Dan satu “dosa” tercatat lagi, mesin OM366 LA dihembusi asap karbon bus Ezri Cirebon-Malang. Wah, pion Pak Tong masih ganas juga…

And then, the next sleeptime…

Bangun lagi saat bus melewati koridor Kudus-Pati yang jalannya sebagian hancur menjelma menjadi kubangan kerbau dihajar curah hujan yang tinggi. Paling parah tepat di depan kantor Mas Ilyas, PT Pura Kudus.

Kukeluarkan henpon untuk mengintip waktu. Ya ampun, 00.24??? Kok secepat ini bus yang kerap diidentikkan bus pelan? Berharap jam 3-an masuk Rembang, melihat waktu yang berhasil ditempuh, bisa jauh lebih cepat.

Yang membuatku salut dan appreciate, PO yang satu grup dengan Pakar Utama ini konstan dan stabil dalam kecepatannya. Meski tak selamanya numbero uno selama menyusuri Pantura, tapi greget dan determinasinya tak pernah surut. Tidak membuat jengkel bagi penyuka bis banter.

Dan benar adanya, jam 01.40 menyelesaikan finish-ku di depan Taman Kartini, Rembang. Kuucapkan terima kasih kepada Pak Sopir dan asistennya atas lancar, nyaman dan cepatnya perjalanan.

Capaian luar biasa Kramat Djati menempatkannya pada posisi tiga besar rekor best lap perjalananku Rembang-Jakarta, di bawah PK 10:30 pada tahun 2002 dan NS 39 11:00 tahun 2005. Dengan raihan 11 jam 10 menit, ditengah terpaan berita negatif, dan kondisi jalan yang carut marut akibat kerusakan dan perbaikan jalan, catatan waktu PO Kramat Djati B 7244 ZX ini terbilang “fantastik!!!”


Segera kususuri jalanan Kota Rembang, menuju Pasar Kota tempat mangkal micro bus Rembang-Blora. Keadaannya persis kota mati, tak ada denyut nafas kehidupan. Masyarakat masih terlelap tidur, dibuai mimpi-mimpin indah.

Kini, aku harus menanggung karma setelah underestimate dengan satu dari belasan legenda bus bumi Nusantara, PO Kramat Djati. Seakan “The Flying Eggs” ini mematahkan anggapan-anggapan absurd yang terkesan menomorsekiankan kehebatan nya. Kini kuhadapi kenyataan, 1 ½ jam terkatung-katung di terminal bayangan pasar Rembang, menunggu bus mini jalan pertama ke Blora.

Dalam kesendirianku menanti angkutan ke selatan, selintas dalam bayanganku, sekarang ini adalah era bus cepat, bukan masanya bus pelan. It’s not slowtime…

Berkaca pada perjalananku sebelumnya, dengan OBL V-engine, Karina Madura, Karina Bojonegoro, Malino Putra Macan, Haryanto Madura, dan Kramat Djati Madura, (untuk bis Muria tak usah ditanya…), yang tak pernah mengecewakanku dalam soal kecepatan.

Apakah aku berani berani “berfatwa”, 11 dari 10 bus malam adalah bus banter?


Ah, belum. Masih ada satu PO lagi yang akan kujadikan saksi ahli sebelum menggenapkan kesimpulanku. Dan yang pasti, sebentar lagi akan kubuktikan…

Kramat Djati; Fun Tastic…(1)


Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (1)
Kramat Djati; Fun Tastic…(1)

-Every bus has a different taste…-

Jam buka kantor masih tersisa empat jam lagi. Sementara tugasku hari Jumat ini 100% completted. Menyandang status non job, justru mendatangkan kesempatan. Yup…melonggarkan pilihan dalam merencanakan perjalanan pulang ke Rembang.

Bergegas kurapikan alat tulis dan tumpukan berkas pekerjaan, packing berbekalan pulang yang tak seberapa muatannya. Andai disensus, tas backpacker-ku hanya berisi payung, charger, air mineral, minyak angin, kaos kaki dan balaclava alias tutup kepala. Tak sampai satu kilogram beratnya.

Tampak di luar jendela, langit mempertontonkan pergulatan alam. Di sisi timur, sinaran surya masih mampu menembus lapisan ozon untuk menghadirkan terang bagi bumi, sedang di sisi barat awan tebal mulai berdatangan bergelayut di atas Teluk Jakarta. Rinai gerimis yang turun seakan tak mau kalah bersaing dengan mentari dan mendung, bertarung siapa yang akan memberi rona cuaca siang di kawasan pelabuhan laut terbesar se-Indonesia.

Begitu juga apa yang sedang menimpaku, terjadi pergulatan batin dalam menentukan titik keberangkatan mulih ndeso. Bimbang hati, mencontreng di antara pilihan-pilihan, Rawamangun…Pulogadung…ataukah Tanjung Priok sendiri.

Mau ikut rombongan Mas Rully cs visit Madura, yang mulai “pelayarannya” jam 11 siang, sudah telat. Pakai jurus nghitung kancing, dengan mantra-mantra similikithi enak ngendi enak iki, juga tidak ketemu jawaban yang memuaskan.

Tiba-tiba ingat rayuan Mas Kus Kuntarto tadi pagi via telepon untuk naik Garuda Mas. Tapi…ahhh… kondisi dompet meradang terkena dampak sistemik tanggal tua. Jujur saja, jumlahnya selisih tipis di atas dana yang dibawa Tuan Gwan Tanah Merah sewaktu survei pemetaan wilayah Mangga Besar-nya Pati.

Hiks, maaf ya Mas Kus, kutolak tawaranmu. Bulan depan saja kulampiaskan rindu akan kepak perkasa Sang Garuda, saat gelontoran gaji bulanan sudah di-dropping

Ah, begini saja”, kata nuraniku. “Pertama-tama ke Priok, kalau tak ada yang menarik, pindah ke Rawamangun, kalau (kebangetan) tak ada yang heartcatching juga, bergeser ke Pulogadung.”

Sebuah mediasi nan solutif.

Turun dari angkot KWK-01 Cakung-Tanjung Priok, kumasuki area embarkasi debarkasi bus antar kota. Tengah hari itu didominasi bus-bus Tangjung Priok-Bogor, Laskar Karawang --Warga Baru-- dan skuad Prima Jasa. Di jalur Madura, seperti biasa, tampak empat sekawan peserta acara harian take me out, Kramat Djati (KD), Pahala Kencana (PK), Karina dan Haryanto.

Karina yang pertama kucoret, karena ini armada produk 40, eks KE-461 yang kunaiki belum lama ini, dimutasi dari jalur Bojonegoro ke Madura. Avant Garde-nya Kopral yang kedua kusisihkan. Tiga minggu yang lalu mencumbuinya, jadi belum lupa sama rasanya. Nah, ini yang menarik. PK Setra berdaleman Hino RG dengan tampilan motif baju hasil cat ulang. Mungkin, inilah warning awal kegerahan PK terhadap masuknya Si Biru ke jalur Madura.



Tapi…engga ah. Seringkali naik PK Madura, dan seringkali pula kurang mengesankan ceritanya…

Tinggal pilihan akhir, kalau tak cocok, mbonceng bus kota P-43 yang akan menghantarkan ke Rawamangun. Yaitu bus Kramat Djati.

Kudekati sosok putih bersih ini. What!!! Ngetem sekian lama, masih kosong melompong. Memang, di Tanjung Priok, KD menempati dasar klasemen bus favorit orang-orang Madunten. Pengais sisa-sisa penumpang, bahkan kalah pesona dibanding newcomer, PO Haryanto.

Bayangan bus lemot, pengusung aliran netralisme, pengetatan kebutuhan solar serta armada anak tiri di keluarga besar Kramat Djati menyeruak dalam benakku.

Namun, hatiku malah klop dengan karakter miring yang diciptakan pasar. Mengapa?

Dalam analisisku, kalau rata-rata waktu tempuh bus Jakarta-Rembang 12 jam, dengan bis lambat tentu bisa lebih dari itu. Kalau bus ini berangkat jam 2, taruhlah…perjalanan nanti memakan masa selama 13 jam, jam 3 dinihari baru tiba di Rembang. Dan aku tak kesulitan meneruskan perjalanan menuju Kota Kecamatan Sulang dengan micro bus Rembang-Blora yang biasanya buka line antara jam 3-4 pagi, plus nanti bantuan ojeg untuk mengantarkan hingga ke depan rumah.

Maklum, akses transportasi hingga ke desaku sangatlah terbatas dan mengenal waktu. Coba tanya Mas Hary “Coklat” beserta Meme tercintanya yang pernah berjuang sekuat tenaga menggapai kampung halamanku. Berjarak 20 km dari jantung kota, melewati areal persawahan, melintas daerah angker dan miskin sinyal komunikasi, jauh di pelosok lereng perbukitan kapur Pasedan. Jangan kapok main ya Mas Hary…

Yes…tekatku sudah bulat, naik bis pelan aja. Tak buru-buru di kejar waktu dan acara keluarga pada Sabtu pagi.

“Berangkat jam berapa, Pak?” tanyaku pada seorang bapak petugas agen KD.
“Paling telat jam 2, Mas”
“Pak, turun Rembang bisa?”
“Boleh Mas, 125 ribu…” jawabnya sekenanya.

Pak…pak…bis tak laku begini kok jual mahal, aku membatin.

“Pak, boleh kurang ya. Masak segitu…” coba kutawar secara halus.
“Mas nawar berapa?” dia memberi respon.

Tapi aku juga prihatin dengan nasib Si Putih ini. Mau nego ke harga 100 ribu, mengikuti tarif floating tujuan Surabaya yang didiskon “hanya” 130rb, jiwa bismania-ku sungguh tak tega. Kasihan…

“Ya sudah Pak. Kemarin saya naik Haryanto dikasih 120rb. Samain saja ya Pak”, pintaku.
“Ya sudah Mas, monggo naik…”, balasnya dengan lega, berharap aku jadi penglaris siang ini.

Dan ternyata tidak seluruhnya doa terkabul. Hingga bus akan diberangkatkan, agen hanya mampu meraup enam penumpang.

“Ayo Mas, berangkat” kata driver mengingatkanku yang masih asyik bermasyuk ria berwisata otomotif, menikmati eksotisme bus-bus di dalam terminal.

Selasa, 19 Januari 2010

Game Of The Day, 19 Januari 2010


Dan inilah favoritku, bila memegang buah putih, hitam menjawab dengan Pertahanan Perancis.

Putih : D12K, Indonesia (1511)
Hitam : Ajithingmire, India (1362)

1.e4 e62.d4 d5 3.e5 c5 4.c3 Qb6 5.Nf3 Nc6 6.Be2 cxd4 7.cxd4 Bb4+ 8.Nc3 Nge7 9.g4 h5 10.g5 Nf5 11.Be3 Ba5 12.Rb1 Bd7 13.a3 Qc7 14.Kf1



Nxe3+ 15.fxe3 Ke7 16.Nb5 Qd8 17.Nd6 Rb8 18.Bd3 Bc7 19.Nb5 a6 20.Nxc7 Qxc7 21.g6


Rhf822.Kg2 Be8 23.gxf7 Bxf7 24.Ng5 Ke8 25.Rf1 Nd8 26.Nxf7 Nxf7 27.Qxh5 Rh8 28.Qg6 Qe7 29.Kh1


h430.Qxf7+ Kd8 31.Rf2 Rc8 32.Rbf1 Rc7 33.Qxe6 Re7 34.Qd6+ Rd7 35.Rf8+ Rxf8
36.Rxf8#




1-0

Game Of The Day, 19 Januari 2010

Dan inilah favoritku, bila memegang buah putih, hitam menjawab dengan Pertahanan Perancis.

Putih : D12K, Indonesia (1511)
Hitam : Ajithingmire, India (1362)

1.e4 e62.d4 d5 3.e5 c5 4.c3 Qb6 5.Nf3 Nc6 6.Be2 cxd4 7.cxd4 Bb4+ 8.Nc3 Nge7 9.g4 h5 10.g5 Nf5 11.Be3 Ba5 12.Rb1 Bd7 13.a3 Qc7 14.Kf1



Nxe3+ 15.fxe3 Ke7 16.Nb5 Qd8 17.Nd6 Rb8 18.Bd3 Bc7 19.Nb5 a6 20.Nxc7 Qxc7 21.g6

Rhf8 22.Kg2 Be8 23.gxf7 Bxf7 24.Ng5 Ke8 25.Rf1 Nd8 26.Nxf7 Nxf7 27.Qxh5 Rh8 28.Qg6 Qe7 29.Kh1


Qh4 30.Qxf7+ Kd8 31.Rf2 Rc8 32.Rbf1 Rc7 33.Qxe6 Re7 34.Qd6+ Rd7 35.Rf8+ Rxf8 36.Rxf8#


1-0

Senin, 18 Januari 2010

Café Trio-G, Ikan Bakar feat Degan Bakar Ala Pesisir Rembang


Kalau bukan karena dua akhir pekan terakhir aku sekeluarga meng-klik kedai ini untuk menunaikan ritual makan siang, tentu tak ada keistimewaan yang perlu diwartakan.

Di pertengahan jalur Semarang-Surabaya, tepatnya di Desa Kalipang, Sarang, -- kota kecamatan di ujung paling timur Kabupaten Rembang -- ada satu warung makan berkonsep kampung di atas air, dengan menu andalan berupa ikan bakar dan kelapa muda (degan) bakar. Letaknya persis diapit jalan pantura dan Laut Jawa, berseberangan jalan dengan kompleks masjid kuno peninggalan Wali Blitung. Sebagai tambahan, menurut cerita getok tular yang beredar di masyarakat setempat, artefak monumental ini dibangun oleh seorang wali dari Pulau Belitung. Dan tempat peribadatan ini adalah masjid pertama yang berdiri di daerah Sarang, yang tahun pembuatannya bertuliskan 1484 M, seperti yang tertera pada tugu prasasti.

Sebelum membahas soal menu, bicara tentang letak geografis kedai makan yang dinamai Café Trio-G, posisi ini jelas mendatangkan kelebihan. Bisa difungsikan sebagai tempat rehat saat perjalanan, sembari menikmati semilir angin laut dan view debur ombak bentangan Laut Jawa, memandang hilir mudik kendaraan sambil memantau kondisi lalu lintas, tentunya kalau mau berwisata sejarah dengan mengunjungi Masjid Wali Blitung, dalam kemasan wisata kuliner ikan bakar.



Tema kampung di atas air nyata saat kita memasuki ruang makan, berupa saung-saung dengan struktur rangka dari bahan kayu kelapa (glugu), beratapkan rumbia padi, yang “nangkring” di atas areal tambak kepunyaan Bu Yuyun, nama pemilik café ini. Kalau beruntung, saat menyantap makanan yang disajikan, kita bisa menyaksikan ikan bandeng yang bermunculan di permukaan air. Di kanan kiri, nuansa alam diisi hamparan tambak bandeng dan udang, diseling vegetasi pohon nyiur dan hutan bakau serta kampung nelayan yang tertata rapi. Mengesankan sebuah warung makan lesehan yang sederhana namun cukup asri dan nyaman, kental dengan nuansa alam pedesaan daerah pesisir.


Karena kemasyhuran lokal akan menu ikan bakar dan degan bakar, kedua “obyek jualan” inilah yang aku pesan. Untuk jenis ikannya bisa kita pilih mulai ikan kerapu, baronang, bawal atau kakap. Meski dalam daftar menu yang disodorkan kepada pengunjung, bukan hanya terbatas sajian andalan di atas. Selainnya ada ikan goreng, cumi bakar/goreng, udang bakar/ goreng, ayam bakar/ goreng atau menu sederhana, semisal mi rebus atau mi goreng. Sedangkan, untuk minumannya, tidak banyak macamnya. Di luar degan bakar atau degan original, cuma disediakan teh manis, jeruk manis atau minuman ringan lainnya.

Tidak perlu menunggu lama, ikan bakar terhidang. Aromanya begitu menggelitik hidung, disebar hembusan angin laut yang kencang mendera kami saat itu. Terlebih cara penyajiannya menggunakan peralatan makan tradisional, yakni piring bambu yang dilembari daun pisang dan cobek tanah liat tempat sambal dihidangkan, semakin menggugah selera makan penyukanya.


Ikan kakap bakar berlumur bumbu kecap hasil racikan rempah-rempah nusantara, begitu menggoda untuk dicicipi. Untuk sambal disediakan dua pilihan, disesuaikan dengan kemampuan indra pengecap, yakni sambal terasi nan pedas mengguncang lidah serta sambal kecap manis yang ditaburi irisan bawang merah, buah tomat dan cabe rawit. Sebagai lalapannya, terdiri dari mentimun, kol, kacang panjang dan daun kemangi. Nasi putih yang pulen serta hangat, begitu klop sebagai penyempurna sajian makan siang kali ini. Sebuah sajian sempurna yang layak dimasukkan khasanah kuliner kota garam, Rembang. Mantap tenan…

Diiring buaian musik nostalgia dalam versi dangdut koplo yang pelan mengalun dari piranti audiotainment, saat daging ikan singgah di mulut, begitu lembut dikunyah dan bumbunya benar-benar meresap. Dicocolkan dengan sambal terasi, sensasi pedasnya luar biasa tersurat. Dengan sedikit semburat tipis rasa asam dari jeruk nipis, semakin menggenapi cita rasa masakan ala pesisir ini. Tidak aneh bila sepiring nasi akan kurang menuntaskan nafsu makan, bila terlewatkan untuk “nambah” lagi.

Menurut penuturan salah satu pramusaji, ikan-ikan yang dimasak bukan ikan sembarangan. Bukan ikan produk tangkapan (menawur) para nelayan, melainkan hasil pancingan dari pulau-pulau karang yang tersebar di pantai Sarang. Konon, tekstur dan cita rasa ikan karang ini lebih unggul dibanding ikan sejenis dari tangkapan di lepas pantai. Dan itulah jawaban mengapa ikan bakar café Trio-G ini spesial, rasanya beda dengan warung makan kebanyakan yang menyediakan menu serupa. Pantas saja, Naura-ku begitu lahap menikmatinya, padahal anakku yang masih semata wayang ini agak susah bersentuhan dengan daging, termasuk ikan.


Usai menyantap, tenggorokan yang tersekat dilancarkan dengan bantuan degan bakar yang menggiurkan. Dicampur jahe dan susu, air kelapa mudanya begitu sedap, hangat dan segar ketika direguk. Daging buahnya yang kenyal dan gurih, membuat siapapun akan ketagihan untuk mencobanya kembali. Proses pembakarannya sendiri membutuhkan waktu dua jam, dengan bahan bakar kayu atau arang, agar didapat degan bakar yang benar matang-matang. Ada anggapan, khasiat minuman isotonik alami ini multifungsi. Selain menjaga stamina dan vitalitas tubuh, degan bakar bisa membantu menurunkan kadar gula darah, mengurai kolesterol dalam darah, menormalkan otot yang pegal-pegal, mengikis asam urat dan men-detoksifikasi racun-racun yang tak berguna di dalam tubuh.

Apakah perlu mengocek rupiah dalam-dalam untuk menebus menu extraordinary café Trio-G, yang “G” sendiri diambil dari huruf terdepan ketiga anak Bu Yun, Galih-Gilang-Galang?

Jawabanya bisa terlihat dari jumlah pengunjung. Warung ini jarang sepi karena selain dikenal enak dan lezat, harga adalah poin lebih berikutnya. Dijamin ramah di kantong, takkan rugi untuk membayar kemewahan rasa yang ditawarkan. Seporsi ikan bakar yang cukup untuk disantap dua orang dewasa, termasuk paket nasi dan lalapan serta tambahan dua biji degan bakar, hanya perlu dikonversi dengan empat lembar uang sepuluh ribuan.


Sungguh tawaran yang menarik, bukan?

Café Trio-G, Ikan Bakar feat Degan Bakar Ala Pesisir Rembang

Kalau bukan karena dua akhir pekan terakhir aku sekeluarga meng-klik kedai ini untuk menunaikan ritual makan siang, tentu tak ada keistimewaan yang perlu diwartakan.

Di pertengahan jalur Semarang-Surabaya, tepatnya di Desa Kalipang, Sarang, -- kota kecamatan di ujung paling timur Kabupaten Rembang -- ada satu warung makan berkonsep kampung di atas air, dengan menu andalan berupa ikan bakar dan kelapa muda (degan) bakar. Letaknya persis diapit jalan pantura dan Laut Jawa, berseberangan jalan dengan kompleks masjid kuno peninggalan Wali Blitung. Sebagai tambahan, menurut cerita getok tular yang beredar di masyarakat setempat, artefak monumental ini dibangun oleh seorang wali dari Pulau Belitung. Dan tempat peribadatan ini adalah masjid pertama yang berdiri di daerah Sarang, yang tahun pembuatannya bertuliskan 1484 M, seperti yang tertera pada tugu prasasti.

Sebelum membahas soal menu, bicara tentang letak geografis kedai makan yang dinamai Café Trio-G, posisi ini jelas mendatangkan kelebihan. Bisa difungsikan sebagai tempat rehat saat perjalanan, sembari menikmati semilir angin laut dan view debur ombak bentangan Laut Jawa, memandang hilir mudik kendaraan sambil memantau kondisi lalu lintas, tentunya kalau mau berwisata sejarah dengan mengunjungi Masjid Wali Blitung, dalam kemasan wisata kuliner ikan bakar.




Tema kampung di atas air nyata saat kita memasuki ruang makan, berupa saung-saung dengan struktur rangka dari bahan kayu kelapa (glugu), beratapkan rumbia padi, yang “nangkring” di atas areal tambak kepunyaan Bu Yuyun, nama pemilik café ini. Kalau beruntung, saat menyantap makanan yang disajikan, kita bisa menyaksikan ikan bandeng yang bermunculan di permukaan air. Di kanan kiri, nuansa alam diisi hamparan tambak bandeng dan udang, diseling vegetasi pohon nyiur dan hutan bakau serta kampung nelayan yang tertata rapi. Mengesankan sebuah warung makan lesehan yang sederhana namun cukup asri dan nyaman, kental dengan nuansa alam pedesaan daerah pesisir.
Karena kemasyhuran lokal akan menu ikan bakar dan degan bakar, kedua “obyek jualan” inilah yang aku pesan. Untuk jenis ikannya bisa kita pilih mulai ikan kerapu, baronang, bawal atau kakap. Meski dalam daftar menu yang disodorkan kepada pengunjung, bukan hanya terbatas sajian andalan di atas. Selainnya ada ikan goreng, cumi bakar/goreng, udang bakar/ goreng, ayam bakar/ goreng atau menu sederhana, semisal mi rebus atau mi goreng. Sedangkan, untuk minumannya, tidak banyak macamnya. Di luar degan bakar atau degan original, cuma disediakan teh manis, jeruk manis atau minuman ringan lainnya.

Tidak perlu menunggu lama, ikan bakar terhidang. Aromanya begitu menggelitik hidung, disebar hembusan angin laut yang kencang mendera kami saat itu. Terlebih cara penyajiannya menggunakan peralatan makan tradisional, yakni piring bambu yang dilembari daun pisang dan cobek tanah liat tempat sambal dihidangkan, semakin menggugah selera makan penyukanya.


Ikan kakap bakar berlumur bumbu kecap hasil racikan rempah-rempah nusantara, begitu menggoda untuk dicicipi. Untuk sambal disediakan dua pilihan, disesuaikan dengan kemampuan indra pengecap, yakni sambal terasi nan pedas mengguncang lidah serta sambal kecap manis yang ditaburi irisan bawang merah, buah tomat dan cabe rawit. Sebagai lalapannya, terdiri dari mentimun, kol, kacang panjang dan daun kemangi. Nasi putih yang pulen serta hangat, begitu klop sebagai penyempurna sajian makan siang kali ini. Sebuah sajian sempurna yang layak dimasukkan khasanah kuliner kota garam, Rembang. Mantap tenan…

Diiring buaian musik nostalgia dalam versi dangdut koplo yang pelan mengalun dari piranti audiotainment, saat daging ikan singgah di mulut, begitu lembut dikunyah dan bumbunya benar-benar meresap. Dicocolkan dengan sambal terasi, sensasi pedasnya luar biasa tersurat. Dengan sedikit semburat tipis rasa asam dari jeruk nipis, semakin menggenapi cita rasa masakan ala pesisir ini. Tidak aneh bila sepiring nasi akan kurang menuntaskan nafsu makan, bila terlewatkan untuk “nambah” lagi.

Menurut penuturan salah satu pramusaji, ikan-ikan yang dimasak bukan ikan sembarangan. Bukan ikan produk tangkapan (menawur) para nelayan, melainkan hasil pancingan dari pulau-pulau karang yang tersebar di pantai Sarang. Konon, tekstur dan cita rasa ikan karang ini lebih unggul dibanding ikan sejenis dari tangkapan di lepas pantai. Dan itulah jawaban mengapa ikan bakar café Trio-G ini spesial, rasanya beda dengan warung makan kebanyakan yang menyediakan menu serupa. Pantas saja, Naura-ku begitu lahap menikmatinya, padahal anakku yang masih semata wayang ini agak susah bersentuhan dengan daging, termasuk ikan.



Usai menyantap, tenggorokan yang tersekat dilancarkan dengan bantuan degan bakar yang menggiurkan. Dicampur jahe dan susu, air kelapa mudanya begitu sedap, hangat dan segar ketika direguk. Daging buahnya yang kenyal dan gurih, membuat siapapun akan ketagihan untuk mencobanya kembali. Proses pembakarannya sendiri membutuhkan waktu dua jam, dengan bahan bakar kayu atau arang, agar didapat degan bakar yang benar matang-matang. Ada anggapan, khasiat minuman isotonik alami ini multifungsi. Selain menjaga stamina dan vitalitas tubuh, degan bakar bisa membantu menurunkan kadar gula darah, mengurai kolesterol dalam darah, menormalkan otot yang pegal-pegal, mengikis asam urat dan men-detoksifikasi racun-racun yang tak berguna di dalam tubuh.

Apakah perlu mengocek rupiah dalam-dalam untuk menebus menu extraordinary café Trio-G, yang “G” sendiri diambil dari huruf terdepan ketiga anak Bu Yun, Galih-Gilang-Galang?

Jawabanya bisa terlihat dari jumlah pengunjung. Warung ini jarang sepi karena selain dikenal enak dan lezat, harga adalah poin lebih berikutnya. Dijamin ramah di kantong, takkan rugi untuk membayar kemewahan rasa yang ditawarkan. Seporsi ikan bakar yang cukup untuk disantap dua orang dewasa, termasuk paket nasi dan lalapan serta tambahan dua biji degan bakar, hanya perlu dikonversi dengan empat lembar uang sepuluh ribuan.


Sungguh tawaran yang menarik, bukan?

Selasa, 12 Januari 2010

Game of The Day, 12 Januari 2010


Sekarang lagi keranjingan nge-game catur online kembali. Lewat tulisan berseri ini, akan kucoba menyusun partai-partai terbaik yang dari laga yang kujalani. Sengaja yang kutampilkan hanya notasi langkah dan diagram permainan, biarlah pembaca yang berkenan membaca tulisan ini memberikan hitung-hitungan analisisnya.

Game I, 04 Januari 2010

White : ptrvc59 (1483), serbia
Black : D12K (1670), indonesia

1.e4 c52.Nf3 d6 3.c3 Nf6 4.d3 e6 5.Be2 Be7 6.O-O O-O 7.Na3 a68.Nc2 Nc6 9.h3 Qc7 10.Be3 b5 11.Nh2 Bb712.f4 Rac8 13.Bf3 b414.cxb4 cxb4 15.b3 Qb8 16.Rc1 a5 17.Qe2 Na7 18.Qf2 Nb5 19.Bd2 Rc7 20.Ne3 Nc3


21.Rc2 d5 22.e5 Nd7 23.d4 Qa7 24.Bxc3 bxc3 25.Rd1 a4 26.bxa4 Qxa4 27.Nhf1 Ba6 28.f5 Bb5 29.f6


gxf630.Ng4 fxe5 31.Nh6+ Kh8 32.Ng3 f5

gxf630.Ng4 fxe5 31.Nh6+ Kh8 32.Ng3 f5 33.Bxd5 exd5 34.Ngxf5 Bg5 35.Qg3 Qxc2 36.Qxg5 Qxd1+ 37.Kh2 Nb6 38.Ne7 Qf1 39.Qxe5+ Qf640.Qxc7

Qf4+ 41.Qxf4 Rxf4 42.Nef5 Rxf5 43.Nxf5 c2 44.Nd6 Bc4 45.Nf7+ Kg7 46.Ne5 c1=Q 0-1

Senin, 11 Januari 2010

Mengapa Ada "PO Haryanto Motor"?



Sebenarnya, ada sedikit hal yang “mengganggu mata” saat melihat penampakan bis Haryanto akhir-akhir ini. Yakni ada beberapa armada yang bertulisan “PO Haryanto Motor” di lambung body-nya.

Namun, berkat pengamatan yang lumayan jeli, ternyata “anomali” hanya ditemui pada produk New Armada, baik yang model Grand Aristo maupun Avant Garde.

Demi kevalidan kesimpulanku itu, kutanyakan pada kru Haryanto Madura, yang armadanya kunaiki sewaktu perjalanan di malam penghujung tahun 2009.

Menurut penuturan beliau, penulisan PO Haryanto Motor adalah “murni kesalahan”, semestinya cukup “PO Haryanto” saja.

Siapa yang patut disalahkan?

Sebagaimana diceritakan, sewaktu chasis Hino RK8 maupun MB OH1521 (re-build) dikirim ke Magelang, basis lokasi New Armada berada, tak lupa si driver pengantar dibekali surat jalan dari manajemen Haryanto, sebagai bukti serah terima chasis baru/ lama ke pihak karoseri. Nah, di kop surat resmi tersebut tertulis nama “PO Haryanto Motor”, full name dari nama perusahaan yang kepemilikannya dipegang Pak Haji Haryanto.

Sayangnya, pengurus Haryanto yang berkompeten lupa menitip pesan kepada driver tersebut untuk di-forward ke New Armada, bila nanti armadanya sudah 98% jadi, cukup dilabeli PO Haryanto, tanpa embel-embel “Motor”.

Dan sayangnya berkelanjutan, berhubung New Armada juga baru pertama kali mendapat order untuk mem-body armada Haryanto, karyawan bagian painting pun menulis nama PO berdasarkan surat jalan, yakni “PO Haryanto Motor”. Dan ini baru disadari pihak Haryanto saat armada akan dikirim balik ke pool Kudus.

Karena sudah terlanjur terpampang, ya …the show must go on….

Jadi jelas, tak ada yang perlu dipersalahkan. Alih-alih membawa kerugian, justru bagi saya malah mendatangkan kebaikan. Saya demen melihat nama “PO Haryanto Motor”, kelihatan gagah dan garang penamaannya. Hehehe…

Tapi itu terjadi pada pengiriman chasis gelombang pertama, dan sekarang bis-bis ini peruntukannya untuk jalur Kudus-an. Untuk armada baru buatan New Armada, telah dikembalikan menjadi nama umumnya “PO Haryanto”, termasuk Avant Garde langsiran bulan September 2009 yang kutunggangi kemarin.

Game of The Day, 12 Januari 2010

Sekarang lagi keranjingan nge-game catur online kembali. Lewat tulisan berseri ini, akan kucoba menyusun partai-partai terbaik yang dari laga yang kujalani. Sengaja yang kutampilkan hanya notasi langkah dan diagram permainan, biarlah pembaca yang berkenan membaca tulisan ini memberikan hitung-hitungan analisisnya.

Game I, 04 Januari 2010
White : ptrvc59 (1483), serbia

Black : D12K (1670), indonesia

1.e4 c52.Nf3 d6 3.c3 Nf6 4.d3 e6 5.Be2 Be7 6.O-O O-O 7.Na3 a68.Nc2 Nc6 9.h3 Qc7 10.Be3 b5 11.Nh2 Bb712.f4 Rac8 13.Bf3 b414.cxb4 cxb4 15.b3 Qb8 16.Rc1 a5 17.Qe2 Na7 18.Qf2 Nb5 19.Bd2 Rc7 20.Ne3 Nc3



21.Rc2 d5 22.e5 Nd7 23.d4 Qa7 24.Bxc3 bxc3 25.Rd1 a4 26.bxa4 Qxa4 27.Nhf1 Ba6 28.f5 Bb5 29.f6

gxf630.Ng4 fxe5 31.Nh6+ Kh8 32.Ng3 f5



33.Bxd5 exd5 34.Ngxf5 Bg5 35.Qg3 Qxc2 36.Qxg5 Qxd1+ 37.Kh2 Nb6 38.Ne7 Qf1 39.Qxe5+ Qf640.Qxc7

Qf4+ 41.Qxf4 Rxf4 42.Nef5 Rxf5 43.Nxf5 c2 44.Nd6 Bc4 45.Nf7+ Kg7 46.Ne5 c1=Q 0-1

Mitos Buah Pembawa Sial




Dunia bis tanah air pun tak lepas dari namanya mitos. Di kalangan kru bis, ada semacam kepercayaan terhadap hal-hal yang irasional, yang asal muasal ceritanya tak jelas dan kebenarannya susah ditangkap dengan akal sehat, namun akhirnya dianggap sebuah keniscayaan.

Satu di antaranya adalah mitos tentang kesialan bila bis mengangkut buah durian. Yang konon katanya, sengatan bau harum yang disebarnya bisa membikin bis perpal (mogok) di jalan.

Namun, setelah mendengar cerita satu kru bis Kudus-an, ternyata bukan terbatas buah durian yang mendatangkan kesialan, buah mangga pun tak kalah jahat, juga menebarkan ancaman keapesan di jalan raya.

Tak percaya?

Selain Indramayu, kawasan Muria juga dikenal sebagai sentra penghasil buah mangga, khususnya mangga gadung. Berhubung sedang masa panen, sehingga overstock, tak ada pilihan lain kecuali mangga-mangga lokal ini “dibuang” ke luar daerah, termasuk Jakarta. Untuk partai besar, biasanya tengkulak membawanya menggunakan light truck.

Namun, bagi pedagang kecil dan musiman, yang sekedar ikut-ikutan mengadu nasib berjualan mangga ke ibukota, untuk menghemat ongkos pengiriman, diakali dengan jalan dititipkan ke bagasi bis. Tentu besaran bea kirim bisa cincay dengan kru.

Nah, ceritanya bis ini “ketiban sampur” membawa puluhan kardus ukuran besar yang berisi mangga siap kirim. Saking banyaknya, bagasi sebelah kiri full, hanya sedikit menyisakan space untuk barang lain.

So far, rute Kudus-Cirebon bis fine-fine saja. Masalah muncul saat bis menapak daerah Jatibarang. Saat itu ada kendaraan pribadi menyalip, memberi kode sopir untuk menepi sambil menunjuk arah belakang. Pengemudi pun merespon, dengan menghentikan kendaraan. Kenek segera turun dan melihat apa gerangan yang telah terjadi.

Setelah cek dan ricek, ternyata pintu bagasi kiri terbuka dan nun jauh di belakang terlihat beberapa kardus jatuh di jalan. Ratusan buah mangga tercecer dan berhamburan di jalan, karena tali ikatan lepas. Usut punya usut, ternyata kunci bagasi dalam keadaan setengah rusak, sehingga kurang tight dalam sewaktu digunakan

Walhasil, saat bis berjalan, karena goncangan ke kiri ke kanan, kardus-kardus tersebut mendesak pintu bagasi. Karena piranti pengunci kurang fix bekerja, akhirnya tak kuat menahan beban dan at last…terbuka dengan sendirinya.


Akhirnya kru ketiban sial, laju bis diistirahatkan sementara waktu. Bukan karena faktor teknis kendaraan, tapi non-teknis. Mereka terpaksa memunguti mangga-mangga yang masih bisa diselamatkan dan naga-naganya dikomplain si empunya.

Menurut saya, bukan masalah kebenaran mitos bahwa membawa buah adalah kesialan. Asal membawa sewajarnya, tidak overcapacity atau oversmell, tak akan berpengaruh dengan kenyamanan perjalanan.

Mengapa ada "PO Haryanto Motor"?

Sebenarnya, ada sedikit hal yang “mengganggu mata” saat melihat penampakan bis Haryanto akhir-akhir ini. Yakni ada beberapa armada yang bertulisan “PO Haryanto Motor” di lambung body-nya.
Namun, berkat pengamatan yang lumayan jeli, ternyata “anomali” hanya ditemui pada produk New Armada, baik yang model Grand Aristo maupun Avant Garde.

Demi kevalidan kesimpulanku itu, kutanyakan pada kru Haryanto Madura, yang armadanya kunaiki sewaktu perjalanan di malam penghujung tahun 2009.

Menurut penuturan beliau, penulisan PO Haryanto Motor adalah “murni kesalahan”, semestinya cukup “PO Haryanto” saja.

Siapa yang patut disalahkan?

Sebagaimana diceritakan, sewaktu chasis Hino RK8 maupun MB OH1521 (re-build) dikirim ke Magelang, basis lokasi New Armada berada, tak lupa si driver pengantar dibekali surat jalan dari manajemen Haryanto, sebagai bukti serah terima chasis baru/ lama ke pihak karoseri. Nah, di kop surat resmi tersebut tertulis nama “PO Haryanto Motor”, fullname dari nama perusahaan yang kepemilikannya dipegang Pak Haji Haryanto.

Sayangnya, pengurus Haryanto yang berkompeten lupa menitip pesan kepada driver tersebut untuk di-forward ke New Armada, bila nanti armadanya sudah 98% jadi, cukup dilabeli PO Haryanto, tanpa embel-embel “Motor”.

Dan sayangnya berkelanjutan, berhubung New Armada juga baru pertama kali mendapat order untuk "menjahit" armada Haryanto, karyawan bagian painting pun menulis nama PO berdasarkan surat jalan, yakni “PO Haryanto Motor”. Dan ini baru disadari pihak Haryanto saat armada akan dikirim balik ke pool Kudus.

Karena sudah terlanjur terpampang, ya …the show must go on….

Jadi jelas, tak ada yang perlu dipersalahkan. Alih-alih membawa kerugian, justru bagi saya malah mendatangkan kebaikan. Saya demen melihat nama “PO Haryanto Motor”, kelihatan gagah dan garang penamaannya. Hehehe…

Tapi itu terjadi pada pengiriman chasis gelombang pertama, dan sekarang bis-bis ini peruntukannya untuk jalur Kudus-an. Untuk armada baru buatan New Armada, telah dikembalikan menjadi nama umumnya “PO Haryanto”, termasuk Avant Garde langsiran bulan September 2009 yang kutunggangi kemarin.



Mitos Buah Pembawa Sial

Dunia bis tanah air pun tak lepas dari namanya mitos. Di kalangan kru bis, ada semacam kepercayaan terhadap hal-hal yang irasional, yang asal muasal ceritanya tak jelas dan kebenarannya susah dinalar dengan akal sehat, namun akhirnya dianggap sebuah keniscayaan.

Satu di antaranya adalah mitos tentang kesialan bila bis mengangkut buah durian. Yang konon katanya, sengatan bau harum yang disebarnya bisa membikin bis perpal (mogok) di jalan.

Namun, setelah mendengar cerita satu kru bis Kudus-an, ternyata bukan terbatas buah durian yang mendatangkan kesialan, buah mangga pun tak kalah jahat, juga menebarkan ancaman keapesan di jalan raya.

Tak percaya?

Selain Indramayu, kawasan Muria juga dikenal sebagai sentra penghasil buah mangga,khususnya mangga gadung. Berhubung sedang masa panen, sehingga overstock, tak ada pilihan lain kecuali mangga-mangga lokal ini “dibuang” ke luar daerah, termasuk Jakarta. Untuk partai besar, biasanya tengkulak membawanya menggunakan light truck.Namun, bagi pedagang kecil dan musiman, yang sekedar ikut-ikutan mengadu nasib berjualan mangga ke ibukota, untuk menghemat ongkos pengiriman, diakali dengan jalan dititipkan ke bagasi bis. Tentu besaran bea kirim bisa cincay dengan kru.


Nah, ceritanya bis ini “ketiban sampur” membawa puluhan kardus ukuran besar yang berisi mangga siap kirim. Saking banyaknya, bagasi sebelah kiri full, hanya sedikit menyisakan space untuk barang lain.


So far, rute Kudus-Cirebon bis fine-fine saja. Masalah muncul saat bis menapak daerah Jatibarang. Saat itu ada kendaraan pribadi menyalip, memberi kode sopir untuk menepi sambil menunjuk arah belakang. Pengemudi pun merespon, dengan menghentikan kendaraan. Kenek segera turun dan melihat apa gerangan yang telah terjadi.

Setelah cek dan ricek, ternyata pintu bagasi kiri terbuka dan nun jauh di belakang terlihat beberapa kardus jatuh di jalan. Ratusan buah mangga tercecer dan berhamburan di jalan, karena tali ikatan lepas. Usut punya usut, ternyata kunci bagasi dalam keadaan setengah rusak, sehingga kurang tight dalam sewaktu digunakan

Walhasil, saat bis berjalan, karena goncangan ke kiri ke kanan, kardus-kardus tersebut mendesak pintu bagasi. Karena piranti pengunci kurang fix bekerja, akhirnya tak kuat menahan beban dan at last…terbuka dengan sendirinya.

Akhirnya kru ketiban sial, laju bis diistirahatkan sementara waktu. Bukan karena faktor teknis kendaraan, tapi non-teknis. Mereka terpaksa memunguti mangga-mangga yang masih bisa diselamatkan dan naga-naganya dikomplain si empunya.


Menurut saya, bukan masalah kebenaran mitos bahwa membawa buah adalah kesialan. Asal membawa sewajarnya, tidak overcapacity atau oversmell, tak akan berpengaruh dengan kenyamanan perjalanan.

KE-461, Karena Karina Ingin Dimengerti (2)

Bis bernomor registrasi B 7866 VB ini melenggang masuk kota Semarang. Ada satu pemandangan yang benar-benar menyentuh sisi humanis-ku. Di depan SPBU Kaligawe, Pak Sopir menghentikan armadanya, menemui istri tercintanya yang sedari tadi menunggu di pinggir jalan, untuk menukar tas yang penuh pakaian kotor, dibarter dengan bekal pakaian bersih. Bisa jadi, sudah berhari-hari beliau tak pulang ke rumah. Tak banyak kata di antara keduanya, karena sebentar kemudian pengemudi itu kembali ke belakang kemudi karena posisi bis sedikit memacetkan jalan. Mungkin, tak ada kalimat untuk sekedar menanyakan kabar keluarga, kondisi anak-anak atau urusan di rumah karena diburu waktu. Padahal intensitas pertemuan mereka sangat jarang, kalaupun ada hanya singkat. Betapa beratnya profesi seorang pengemudi bis jarak jauh, yang deminya harus rela kehilangan waktu bercengkerama bersama keluarga.

Sedang si istri terlihat tegar dari sorot matanya yang tak pernah lepas menatap raut sang suami, mengantarnya kembali bekerja. Berharap bapaknya anak-anak diberikan keselamatan selama menjalankan tugas, dan pulang membawa rejeki halal bagi kelangsungan rumah tangganya. Aku terkadang dihadapkan adegan kemanusiaan semacam ini selama menjalani perjalanan mingguan. Bagiku, istri-istri mereka adalah orang-orang hebat, wanita-wanita yang tabah, tak manja dan tak cengeng ditinggal suami bekerja meski dengan resiko tinggi di sekelilingnya, yang tak pernah berkeluh kesah menjalani single parent dalam mendidik dan membesarkan anak, serta pribadi yang mandiri, tak semata bergantung pada suami saat menangani masalah yang ada.

Ya Allah, di balik kerasnya atmosfer jalan raya, Engkau berkenan menyuguhkan realita kehidupan yang penuh makna untuk dihayati.

Tanpa aku sadari, bis terjebak kemacetan sebelum memasuki Jalan Pandanaran. Ternyata jalan pengubung antara Simpang Lima dan Tugu Muda ditutup untuk even Pandanaran Food Festival 2009. Untunglah, Pak Sopir adalah warga Semarang sendiri, sehingga tak susah mencari jalan tembus ke Kalibanteng. Diarahkannya armada berkelas eksekutif ini menyusuri rute Bilangan Mugas-Kaligarang-Simongan-Pamularsih hingga tembus Jalan Siliwangi.

Setelah lapor di check point Krapyak, aku bersiap untuk pembuktian kehebatannya…

Berderet bis lewat saat Karina mulai bergerak perlahan. Tercatat dari depan Shantika Merah, dua bis Ezri Pariwisata, Harta Sanjaya Panorama DX, Shantika Volvo, dan Nusantara HS 151. Bis-bis inilah yang kujadikan kelinci percobaan, mana yang akan bisa di”santap”nya.

Perlahan tapi pasti, dengan lincahnya KE-461 menyeruak di dalam keramaian jalan raya, yang dijejali truk-truk angkutan barang. Buah usahanya, berhasil mengasapi mesin Scania HS 151 dan Harta Sanjaya yang terjerembab di barisan kendaraan berat. Wah, Scania tumbang di trek padat. Satu armada Handoyo juga mampu di-overtake. Dan selang tak lama kemudian, Shantika Volvo kelihatan bidang pantatnya. Tak perlu bersusah payah, ditaklukannya. Dengar-dengar armada eks Tri Star ini kurang greget larinya. Pantas saja…

Sudah dua mesin ber-cc besar, di atas kapasitas ruang mesin Mercy Intercooler dilumpuhkan, Scania dan Volvo. Lumayan, buat mendonasikan laporan kebangkitan Lorena-Karina grup sekarang ini.

Namun, di koridor ringroad Kaliwungu-Brangsong, usia mesin dan karoseri tak bisa bicara bohong. Nafas engine ber-volume 6.000 cc terengah-engah di trek lurus dan sepi kendaraan. Apalagi bunyi riuh rendah gesekan antar material bodi mulai ramai bersahutan di dalam kabin, saat menapak jalanan yang tak seluruhnya rata. Semakin kencang dipacu, semakin menurun kenyamanan di dalamnya. Akhirnya, revenge of HS 151 terjadi, Karina yang semakin uzur dilibas habis, dan dalam hitungan detik bis berkode NS 18 hilang ditelan kegelapan malam.

Seakan-akan pion-pionnya Pak Hans belum puas mempecundangi, beraninya “main keroyokan”. Wah…wah… Armada tua dikerjai anak-anak muda. Di belakang Scania, dilanjut NS 29 Lebakbulus, NS 39 Pulogadung dan NS 28 Ciledug, yang berjalan rapat beriringan. Dan yang bikin hati ini tak terima, cara menyalipnya yang terkesan melecehkan. Sotoy…Lampu dim berulang-ulang dimainkan dengan sorot yang menyilaukan, merenggut secara kasar lajur kiri untuk menyalip, mendiamkan fungsi klakson. Padahal laju Karina juga sedang kencang-kencangnya dan riskan untuk disalip. Namun, rombongan itu secepat kilat tetap memaksa masuk. Yang bikin semakin kesal, saat posisi sejajar, sengaja dibuat mepet benar. Bahkan, ujung luar spion NS 39 nyaris menempel di dinding kaca. Apa bis Cepu-Pulogadung ini akan memberi pelajaran, gara-gara tahu kalau ku-dua-kan. Serrr…deras darahku mengalir menahan kengerian. Dua kendaraan besar adu speed, dengan jarak antar bodi tipis sekali. Apa penumpang di dalam bis Nusantara ngga takut ya? Hehehe…

Setelah sempurna menyalip, ketiga armada yang terdiri dari dua unit OH 1525 dan satu unit K124IB itu semakin melesat, meninggalkan jauh Karina-ku. Hiks…Si Ijo belum mampu mengimbangi…

Mungkin itulah cara PO berlambang nyiur melambai memamerkan hegemoni dan superioritas atas PO lainnya.

Sebenarnya tadi aku berharap, cukup bis-bis Solo-ensis atau Bumi Mataram yang jadi pengukur tingkat kedigdayan Intercooler Jumbo ini. Tapi nyatanya, justru langsung dihadapkan lawan berat, selevel PO Nusantara. Jadi terasa “tenggelam” lagi prestasi spektakuler yang telah ditunjukkan empat jam sebelumnya.

Jalur Rembang hingga RM Sendang Wungu, Gringsing, bagiku sudah cukup sebagai bahan pembuktian rumor di atas. Selebihnya, sisa perjalanan kugunakan untuk beristirahat, menata stamina karena esoknya mesti beraktivitas seperti biasa.

Senin pagi, jam 05.30, bis yang bernama lengkap Ryanta Mitra Karina ini telah mendarat di pos Cikampek untuk keperluan kontrol. Masih cukup waktuku untuk mengejar jam masuk kerja. Apalagi 15 menit kemudian disusul KE-521 Bangkalan-Tanjung Priok. Apa tidak hebat, bis Madura tiba Jakarta saat matahari terbit? Atas perkenan kru, aku diijinkan untuk oper merasakan armada Mercy Electric, selain agar mudah mencapai lokasi ladangku.

Meski raihan hebatnya semalam sempat dicederai kepiwaian bis Muria Raya, namun aku berani ber-milist pers, bahwa selama ini Karina memang ingin dimengerti. Dan penantian panjang itu disambut oleh pemiliknya. Berkat re-touch tangan dingin Pak GT Surbakti, Lorena-Karina telah bangun dari tiarapnya. Mulai tergugah kembali spirit for competition, tumbuh sense of passanger needs, memegang prinsip time is priority and speed oriented. Mencoba menghapus “kesalahan” masa lalu, yang membuat pelanggan setia seperti aku sampai lepas dari rengkuhannya.

Never give up, Karina…

KE-461, Karena Karina Ingin Dimengerti (1)

Hangatnya obrolan tentang rumor “The Legend is Back” -- yang dibumbui cerita Lorena mundur dari jalur udara, peniadaan batas fuel consumption, re-call pengemudi-pengemudi jagoan yang hengkang ke berbagai PO, sang “jenderal” turun gunung hingga statement sakti Pak GT Soerbakti “yang nombok solar silahkan minta ganti ke kantor” -- ibarat rapal mantra-mantra yang menghipnotis pendirianku.

Sudah hampir lima tahun ini aku melepaskan diri dari ikatan yang bernama “pelanggan” PO yang berkandang di Tajur ini. Dulu, aku sempat terdaftar sebagai loyalis LE-460/1 (eks LE-380/1), Jakarta-Rembang-Bojonegoro, vise versa, selama hampir setahun.

Mulanya, aku masih mau berkompromi dengan layanannya yang mulai menurun. Soal armada yang mulai menua, jam keberangkatan yang seringkali offtime, hingga harga tiket selangit yang tak sepadan dengan pelayanan yang didapat, aku bisa menolerir. Tapi aku mulai berkata “tidak!!!” ketika Sang Legenda kebanggaanku ini mulai menyiput jalannya. Saat itulah, aku rela setengah hati meninggalkannya, meski dalam lubuk sanubariku berharap “dia” akan cepat siuman untuk meninggikan kembali pamor gemilangnya masa silam.

Terlebih pesona bis-bis lokal mulai menampakkan kemilau. Satu di antaranya adalah Nusantara. Mengusung genre, powerfull and speedfull bus on the road, mem-balikseratusdelapanpuluhderajat-kan kesetiaanku. I must to say goodbye, Lorena. A matter of time is more than just a fanatism. Demikian sebait kalimat perpisahan yang kuucap sembari menahan bulir air mata agar tak jatuh ke pipi. (Hehehe...kumat deh lebay-nya!)

Bahkan, semenjak Lorena membuka agen yang tidak jauh dari rumah tinggalku, tak membuatku bergeming dengan tawaran kemudahannya. Jarak 15 km ke agen PO “selingkuhan”ku masih terasa ringan ditempuh, dibanding melangkah ke agen Si Ijo yang “hanya” sejengkal. Meski armada Bojonegoro telah berganti kulit, dari Lorena berubah wujud menjadi Karina, bagiku, tak ada proses metamorfosa. Tetap saja begitu “sosok rupanya”.

Namun, gaung berita burung di atas seolah menghembuskan hawa sejuk, pencerna dahaga kerinduan menikmati kharisma Lorena-Karina yang sekian tahun ini terkubur. Memang belum cukup banyak bukti. Namun, ada hal yang menegakkan kembali hasratku untuk latah mencobanya. Adalah testimoni beberapa member Bismania Community yang telah merasai “api asmara” PO yang belakangan gencar blusak-blusuk ke pelosok desa gara-gara tertindih Low Cost Carrier (LCC) pesawat terbang.

Berbekal tiket seharga Rp.140.000,00, akan kulakukan perjalanan bersejarah, re-ride with KE-461. Stigma rate Lorena adalah termahal, masih benar adanya. Dari tempatku, Ombak Biru “cuma” Rp.130.000,00, sedang The City of Manhattan sepuluh ribu lebih murah lagi. Tak apalah, demi menebus rasa penasaran. Yang penting pembuktian, “Is that right, Si Ijo has back to right way?”

Janji jam empat sore akan tiba, dipenuhinya. Salut, on time. Kesan pertama terpuaskan soal ukuran waktu kedatangan.

Dengan setelan busana Setra “Selendang” karya Adi Putro, membalut mesin OM366LA yang bertengger di atas chasis Mercedes Benz OH-1521, Karina masih terlihat ayu menawan, seakan tampilannya tak lekang digilas perputaran roda jaman.


Sesaat setelah merebahkan punggung di seat 6A, sisi window sebelah kiri, tak lupa mengupas aspek interior. Warna langit-langit dan kulit jok yang membungkus busa Restindo tampak kusam dan memudar, tapi masih worth untuk dipertahankan sementara waktu. Sayang, minus kelengkapan footrest. Di lengkapi pula smooking room, dan satu-satunya bis Bojonegoro yang menyediakannya. Fasilitas audio-video masih dalam batas “layak” dan termanfaatkan sepanjang perjalanan. Paket hiburan di-set up dengan tembang Indonesian Oldies, yang cukup menghanyutkan rangsang pendengaran, yang selanjutnya menstimulus otak untuk bernostalgia membuka kenangan lama. Album kompilasi dari Ratih Purwasih, Iis Sugiarti, Endang S Taurina dan Dina Mariana silih berganti mengisi. Mungkin, pasar penumpang yang dibidik adalah generasi 70-an, seperti Pak Didik, Pak Karnoto dan Pak Irfan. (Hehehe…Piss ya Pak). Kalau buat aku sih kurang sreg, mestinya artis-artis New Pallapa, sekelas Lilin Herlina, Ratna Antika, Agung Juanda atau Vivi Rosalita, nah itu baru cocok. Hehehe…

But, it’s OK untuk urusan entertainment, satu nilai plus lagi untuk service Karina.

Kondisi penumpang baru terisi 1/3 dari kapasitas 28 seat. Not bad, artinya masih bisa mengambil “kue” dari penguasa jalur Bojonegoro, Pahala Kencana. Dan mayoritas mereka makhluk parlente, berpenampilan rapi. Membuktikan kemapanan strata sosial dan ekonomi. Hanya aku yang bersandal jepit. Cuek ah…

Ah, apa gunanya service plus plus tanpa disertai aksi “lari” di jalanan? Harap-harap cemas aku mengharapnya.

Deru knalpot langsung menggelegar, membahana memecah keramaian Kota Sulang, karena posisi pemberhentian bis tepat di tanjakan. Jangan-jangan ini bunyi isyarat bahwa laju bis akan nge-jos nantinya. Setelah paripurna mendaki, aku terhenyak, prediksiku tak meleset, benar-benar kurasakan kuasa tenaga 210 HPnya. Pedal gas digeber habis-habisan menaklukan ruas jalan Sulang-Rembang. Kondisi jalan yang relatif mulus memudahkan driver memacu armadanya secara maksimal. Meski sedikit kurang halus dalam handling kemudinya, namun tidak ada “proyek” penghematan solar, tiada penyelenggaraan aksi netral dan jauh dari istilah jalan ogah-ogahan. Penuh determinasi. Bahkan yang kurasakan adalah naik Lorena rasa Nusantara. Beda banget dengan “wajah” empat tahun yang lalu. Seikat titik terang telah kugenggam, bahwa The Legend memang bangkit kembali.

Agen Rembang kosong penumpang, hanya numpang lewat. Duh…duh…jangan-jangan ya cuma segini penumpangnya. Belum terpikir meraup keuntungan, bagaimana menutup biaya operasional? Ini sudah masuk area Muria Raya, ceruk pasar makin dangkal, makin banyak raja-raja kecil yang jadi pesaingnya dalam memperebutkan penumpang.

Memasuki jalur Pantura, aksi Karina produk 040 tak berkurang. Tetap menawan di bawah kendali driver setengah baya, yang menandakan jam terbang tinggi. Barisan truk-truk barang dilahapnya satu persatu, meliuk ke kanan ke kiri, pandai memanfaatkan celah sesempit mungkin. Ck…ck…ck…aku hanya bisa berdecak kagum. Mantap, bisa jadi hiburan malam ini kalau driver konsisten dengan style-nya.

Bis bintang empat ini masuk agen di Terminal Juwana. Wow…jangan-jangan Kota Bandeng adalah kawasan green forces, belasan penumpang mengisi seat yang masih kosong, tersisa dua kursi lagi yang sudah di booking agen Kudus. Ah, siapa bilang Si Ijo ditinggal penumpangnya? Biarpun luntur pesona, masih banyak juga pecintanya.

Dan menuntaskan intermediate Rembang-Semarang, bis ini masih layak dinominasikan sebagai anggota dewan PBB (Persatuan Bis Banter). Aku yakin, bagi penggemar jet darat, tak rugi sepeserpun bila saat itu satu bis denganku.


Namun, bagiku itu belum final. Ujian sesungguhnya untuk mengukur kedahsyatan sang maestro ada di kosmos per-bis-an tanah Jawa, yakni jalur Semarang ke barat, yang merupakan titik pertemuan tiga jalur, yakni Solo, Jogja dan Kudus sendiri. Pasti akan ketemu lawan sejenis. Berhubung aku berniat jadi juri penilai, kupaksakan diri untuk menyisihkan rasa kantuk, yang biasanya sudah membuatku lelap selepas Kota Demak.