Catatan Perjalanan : It’s not Slowtime (2)
Pahala Kencana; “Anak Tiri” Menggugat! (2)
Teng…teng…teng…dan lonceng petualangan dibunyikan.
Krapyak, zona batas “it’s trully Pantura” telah ditapak. Kupu-kupu pun tetap istiqomah dengan karakter awal, total determinasinya. Apalagi pas ramai-ramainya bus arah Jakarta. Buah kerja kerasnya, berhasil menyalip Lorena Celcius LE-371, Damri jurusan Palembang/ Jambi, serta GMS Setra New Armada di lingkar Kaliwungu.
Dan cerita perjalanan KE-461 berulang. Dua misil balistik Pak Hans, yakni HS 205 dan HS 204 dilepaskan, memaksa PK mundur selangkah. Edan…naik bus apa saja, selalu jadi bahan bulan-bulanan amunisi Nusantara.
Tapi, gegar prestasi belum berujung di sini. Tiga armada pariwisata, masing-masing dua armada pinky PO Duta Bangsa Malang dan satu bus wisata S 7046 UW melemahkan kibasan sayap kupu-kupu.
Memang cukup panas atmosfer pantura malam Senin ini, ngga bus malam, ngga bus wisata, semua show of force, adu kecepatan, berlomba menunjukkan dominasi.
Pukul 20.30 singgah di Rumah Makan Sendang Wungu. Wow…Gringsing jadi lautan biru dijejali armada PK dari pelbagai jurusan. Dan terakhir kali di-service di sini, nilai rapor makanan Pahala Kencana di bawah standar, hanya layak untuk penganjal perut, minim citarasa.
Namun, tidak lagi untuk malam ini. Bagiku sudah ada improvement. Dan hal itu dishahihkan juga oleh penumpang sebelahku.
“Menunya lumayan ya, Mas. Sambal goreng tahu dan mie goreng bumbunya terasa. Nasinya juga pulen. Benar-benar cocok di lidah orang Jawa”, katanya saat bertestimoni.
And next…petualangan fase kedua dimulai, dengan tenaga baru sebagai personel pengendali.
Sayang, kesan pertama yang kudapatkan, kurang match dengan driver I. Alon-alon. Dan saking pelannya melintasi alas Roban, disalib saudara serahim, K 1546 AB, Bogor Indah Skania dan GMS Proteus.
Ah…sudahlah, life is never flat. Menikmati keleletan bus enaknya dengan tidur. Zzz…
Dalam lelap dibuai kenyamanan produk Jerman, kurasakan serrr…serrr…serrr…laju darahku mengalir lebih deras. Alarm alami tubuhku memberi inputan bahwa bus sedang high speed.
Kubuka mata lebar-lebar, dan benar adanya. Marga Intercooler ini sedang bernafsu memburu pantat seksi milik Tante Rosa, Rosalia Indah. Wah…jangan-jangan driver II ini setipe dengan mesin diesel, makin panas makin bertenaga. Kuhapus kesan awalku, kini kuacungi jempol buat “kusir” tengahnya yang makin menghela kuda besi bertenaga 210 HP.
Ternyata oh ternyata… Pahala usang ini sengaja menguntit, tak ada niatan untuk menyalip Proteus 245. Justru, dari sinilah simbiosis mutualisme antara kupu-kupu dan bunga rosalia terjalin, lewat jembatan komunikasi yang berwujud lampu sein. Terlihat AD 1490 DA benar-benar mengawal perjalanan Kupu-kupu, tanpa lelah memberi isyarat dengan permainan nan elegan dari lampu sein kanan/ kiri ataupun lampu hazard. Saat menyalip kendaraan dari lajur kanan, dan dihitung kupu-kupu di belakangnya juga aman untuk menyalip, sein kanan terus dinyalakan. Kalaupun dirasa tak cukup, langsung sein kiri, mencegah belakangnya ikut menyalip. Pun demikian saat menyalip lewat sisi kiri. Saat kondisi di depan dalam bahaya, semisal ada truk mogok atau mendekati titik persimpangan jalan, lampu hazard dinyalakan, sebagai amar agar kupu-kupu berhati-hati.
Merasa dibantu, driver-ku pun memadamkan high beam, cukup lampu senja. Kalau tak salah, kode ini sebagai pemberitahuan bus di depannya, bahwa bus belakangnya hanya mengekor, tak ada rencana menyalip.
“Kang, itu lho hebat ya yang bawa Rosalia. Ngga egois, tapi malah menolong kita. Kita ngga usah ngintip kondisi depan, cukup lihat aja seinnya. Sudah jarang sopir yang punya kesadaran begitu. Apalagi sopir-sopir baru, maunya kenceng, tapi menyepelekan bus yang lain”, puji sopir saat berbincang dengan asistennya.
Sambil ber-SMS-an dengan Mas Hary, kusaksikan dua makhluk beda jenis yang dipertemukan oleh jalan raya, tak ubahnya harmoni indah keselarasan semesta. Karakter bangsa yang gemar bergotong royong, saling menghargai dan menjunjung toleransi, sungguh-sungguh tersuguhkan.
Sayang, kebersamaan ini dirusak oleh kehadiran red ferrari Muji Jaya K 1450 BC, Kramat Djati Jack Daniels dan GMS Setra OH 1525, eks Symponie. Bertiga bergantian menginfiltrasi hubungan sehati kupu-Kupu dan bunga rosalia. Dan parahnya, ketiga-tiganya mau menang sendiri, tak ada laku tepo seliro. Lampu seinnya pun tak beretika, asal nyala untuk kepentingan dirinya sendiri.
Driver PK pun hanya geleng-geleng kepala. Racun adigang adigung adiguno semburat di pelupuk matanya. Persahabatan bagai kepompong sopir-sopir bus malam tempo doeloe kian langka, hanya jadi cerita manis cangkrukan para penggila bus.
Merasa kupu-kupu keteteran, super eksekutif Ros-in merasa iba. Dipelankan kecepatannya, diberikan lewat ketiga bus “destroyer” tersebut. Dan kembali, jalinan dua hati terangkai kembali.
Aku jadi ingat. Kalau tidak salah Rosalia Indah SE berbadan Proteus ini pernah ditampik cintanya oleh Sunan Kelantan negeri Bismania, Tuan Haur Koneng. Dan bisa jadi, sebagai pelariannya, rosalia bermaksud menggandeng kupu-Kupu. Hehehe…
Karena hendak berhenti di pitstop Tegal, kupu-kupu pun menyusul rosalia. Disejajarkan posisinya kemudian tangan kru PK dilambaikan, seraya menyalakan klakson secara lembut dan pelan, sebagai tanda ucapan terima kasih telah banyak dibantu. Driver rosalia pun paham, dan sejurus kemudian membalas dengan aba-aba klakson, dan mempersilahkan kupu-kupu untuk maju ke muka.
Manis dan romantis drama percintaannya, meski hanya cinta sesaat di ruas Pemalang hingga Tegal, dan putus hubungan di tangan petugas kontrol Tegal.
Benar-benar menyinggung sisi kemanusiaan. Itulah realitas hidup. Kerukunan, persahabatan, percintaan, take and give, egoisme, ingin menang sendiri, pencederaan moral, kesombongan, prahara, bukan sekedar bumbu-bumbu kehidupan, namun juga bumbu-bumbu pantura. Bukan semata soal kecepatan, unjuk nyali atau tema blong-blong-an.
Kulanjutkan tidur malamku, yang terpotong untuk menyaksikan sinetron “Cinta Rosalia”. Esok mesti berladang dan fisik harus fit untuk menggarapnya.
“Cikarang…cikarang….”, teriak kenek membangunkan penumpang tujuan Cikarang. Dan mayoritas penumpang turun, tertinggal empat orang yang bertiket Pulogadung.
30 menit kemudian, kupu-kupu landing di Pulogadung, ketika jarum waktu menyinggung angka 04.55. Meski sempat mengalami engine problem, bahasa lapangannya “masuk angin”, capaian waktu B 7415 NL ini masih dalam batas rata-rata normal.
Inilah akhir sementara dari episode “It’s not Slowtime”. Sekarang memang bukan masanya bus “alon-alon asal kelakon”, berganti “biar cepat asal selamat” atau “boleh irit asal penumpang jangan menjerit”. Kecepatan, yang berkorelasi langsung dengan waktu tempuh, telah diposisikan kembali sebagai panglima, satu elemen penting dari pelayanan bus malam. Dan itu dinyatakan secara cetho welo-welo dengan dua armada yang aku percayakan untuk perjalanan pulang dan balik akhir pekan kemarin, Kramat Djati dan Pahala Kencana.
Semoga “It’s not Slowtime” akan jadi warna kekal deru operasional bus-bus Indonesia.
Viva Indonesian buses…!!!