Kamis, 25 Maret 2010

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (3)


Display HP-ku menampangkan jam digital, 14.33, saat bendera start dikibarkan. Semoga saja cerita dari mulut ke mulut, forum maya ke forum maya tentang kedigdayaan The Elephant ini tak terbantahkan.

Aku pun hanya kebagian seat nomor 25 di depan toilet, karena tinggal deret belakang yang belum laku.

Hmm...tapi tetap asyik menikmati pemandangan dari balik kaca karena lantai kabin tempat stand jok buatan Hai dibenamkan ditinggikan, beda 10 cm dengan bagian selasar. Untuk itu, aku berani menyebutnya semi hi-deck. Bahkan jika legrest diposisikan full horizontal hampir sejajar dengan batas kaca bawah. Bagi kaum hawa yang ingin duduk bebas berselonjor di kursi bus ini pasti sedikit jengah dan risih karena kalau tidak hati-hati pesona pinggul ke bawah bisa ter-ekspose dari luar. Ah, tapi apa ya ada, penumpang wanita pakai rok mini di dalam bus berpendingin udara dan jarak jauh lagi? Kalaupun ada, kan bisa ditutup juga pakai selimut. Halah... malah ngelantur... Jadi no problemo-lah tampilan samping bus ini mengusung aliran widescreen.

Cuma dampak sistemiknya, jarak antara kepala dengan louver AC dan lampu kabin menjadi begitu dekat. Sehingga hembusan hawa dingin Thermo King langsung terasa menyapa kulit dan tentu saja sedikit silau saat lampu dinyalakan. Inilah rapor merahnya.

Andai saja dulu waktu di-body ketinggian bus di-up dari dimensi standar, bisa jadi era bus-bus “jangkung” tanah air diawali Sprinter Aquarium ini.

Suguhan audio video dari LCD TV merek Sh*rp berupa slideshow amunisi armada OBL Jakarta dengan watermark komunitas bismania lain RT. Bolehlah karyanya, meski kreativitas yang dipunya BMC jauh lebih bernilai. Hehehe…

”Menilai tingkat speedfull dan skillfull, get feeling saat driver pertama kali menginjak gasnya”, demikian pepatah yang sering aku ingat.

Dipiloti tandem Pak Yongki, Pak Johny sebagai driver I dan sekaligus penganti Pak Tessy, bus yang meng-upload gambar Keluarga Gajah Berencana (Pasutri Gajah beserta dua bledhugnya (anak gajah)) ini memulai perburuannya. Shet...dengan lincah memposisikan tuas persneling ke gigi 1, dan grenggg...gegelegar panjang nyanyian dari mulut knalpot saat bus melenggang keluar terminal. Halus bawanya dan terkesan galak memainkan pedal akselerator.

Dengan lihai menyeruak kepadatan lalu lalang kendaraan di depan LP Cipinang dan selanjutnya memasuki tol Priok-Cawang lewat akses Pedati. Seketika itu pula terhadang kondisi lalu lintas yang padat merayap. Dan kesan pertama yang aku peroleh lagi, Pak Johny orangnya ngeyel, saat mencuri-curi celah di antara antrian mobil yang tak mau ngalah memberi jalan. Mantap...tak gentar dalam menguasai medan laga yang akan disusurinya sepanjang hampir 1000 km.

Menapak tol Jakarta-Cikampek, keluarlah kecepatan sesungguhnya ”The Fast Aquarium” ini. Langsung ambil lajur paling kanan yang diperuntukkan untuk mendahului pengguna jalan yang lain. Sebagai hidangan pembuka, dilahapnya bus kota P27 Bekasi-Mangga Dua, gubuk reyot P9B Bekasi-Rambutan, Santoso Seri T Bisnis Reclining Seat dan armada eks Steady Safe yang telah berpindah tangan ke PO Wisata ”Arion”, sebelum akhirnya keluar exit tol Bekasi Timur.

Bus berkelas eksekutif ini mesti memungut tambahan tiga penumpang dari agen kotanya Mas Arga, tepat di seberang Kantor eks Depsos, Bulak Kapal, yang sekarang menjelma jadi kompleks agen bus-bus AKAP. Dan di agen bus yang lain, tampak bus senasib yakni Harapan Jaya Old Travego AG 7465 UR, Karina Setra KE-232 Bandung-Pekanbaru dan Rosalia Indah kelas ekonomi.

Bus yang digerakkan flywheel hasil output engine OM-906LA ini masuk tol kembali. Dan tembang semula direffrain lagi, nge-joss dan meliuk ke kanan ke kiri mencari space yang kosong untuk memperlancar perjalanannya. Yang jadi korban asap karbon euro II ini Langsung Jaya Sarmila Panorama 2, Kramat Djati Comfort Subang-Rambutan dan bus karyawan YKK RI Classic.

Mendekati KM 34, daerah Cikarang, proyek pelebaran jalan tol menjadi 4 jalur menghambat laju pengguna jalan tol. Kendaraan menumpuk karena tidak tertibnya dalam mengantri dan saling serobot. Seolah tak mau kehilangan waktu sedetikpun, Pak Johny menggunakan trik cerdik. Dimanfaatkannya rest area kecil untuk berkelit dari kemacetan. Banyak bus terjerembab dalam kepadatan dan tertelan oleh ”tindakan curang” XT ini. Tercatat Sindoro Satria Mas Panorama 3, Gajah Mungkur Fajar VIP, Marcopolo Harapan Jaya, Kopral Haryanto Setra Adi Putro yang terlihat sudah buluk wajahnya, bus bumel Pribumi Raya Bandung-Bekasi, Primajasa Garut-Lebakbulus, Gagak Rimang Pulogadung-Bandung, serta Menara Jaya Pulogadung-Puerto rico.

Sempat mengobrol dengan Pak Nurcholis, asisten driver, dan mendapat bocoran (dan semoga benar adanya) bahwa OBL Divisi Jakarta telah memesan 30-an unit MB OH 1526 dan telah ada tiga unit yang siap dikirim ke pool Kebayoran, masing-masing berkaroseri Adi Putro, Morodadi Prima dan Tentrem. Tapi, untuk jangka dekat, bus-bus terbaru tersebut hanya untuk roadshow dan promosi, belum ditugaskan nge-line.

Lepas dari ruwetnya kemacetan, dihisapnya solar produk Pertamina dalam-dalam oleh injector Mercy Electric untuk memacu derap langkah alat angkut massal yang memiliki panjang 12 meter ini. Tak dinyana, dari sisi kiri disalip Kramat Djati Subang yang tadi sempat di-take over di daerah Cibitung. Bus bernomor B 7887 VB cukup sengit memberi perlawanan. Wah, apa the man behind steering wheel mantan driver bus malam ya?

Tapi, pengalaman Pak Johny yang kerap kali membawa armada MAN dan kekuatan mesin saudara kembar Sprinter B 7168 BK ini membuat trio telur bukanlah lawan sepadan keluarga Gajah.

Gara-gara masih kecapaian perjalanan ke Jakarta sebelumnya, tak kuasa diri ini dilingkupi hawa kantuk dan tergelincir dalam tidur-tidur ayam. Zzz…zzz…zzz…

Terbangun saat bus “overspeed” di atas rata-rata kecepatan ekonomis. Wah, memang kencang juga, tak kalah dengan habit NS 39 Pulogadung-Cepu langgananku. Di daerah Sukamandi hingga Pamanukan, nafsu makan induk Gajah tak berkurang. Sesuai livery, mungkin emak Gajah sedang fase menyusui anaknya, sehingga butuh banyak nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Yang jadi santapannya adalah Purwo Widodo Johnie Walker, Langsung Jaya Piramida, Tunggal Daya Putra ala Skania dan Luragung Jaya beremblem Sonny.

17.10 waktunya jamuan pemanja perut di RM Taman Sari, Pamanukan. Soal menu, tak beda dengan layanan makan Kramat Djati. Ya iyalah, kan satu meja prasmanan. Hehehe...

Kembali menaikkan tiga penumpang dan tinggal tersisa empat kursi. Bagus juga okupansi penumpangnya, mengingat pasca libur kejepit.

Dan here it is...the real driver unjuk gigi. Pak Yongki.

Pembawaanya calm, namun garang ketika genggaman tangan mencengkeram lingkar setir. Wajar saja, gelar The Legend direngkuhnya, mengingat senioritas dan kompetensi yang luar biasa dalam membawa armada yang dipercayakan kepadanya.

Tanpa perlu basa-basi, dilarikannya hewan bergading ini dalam menaklukkan sirkuit warisan peninggalan Jenderal Deandels. Serasa terbang, roda-roda tidak lagi menempel di permukaan aspal. Padahal kata ahli zoologi, Gajah adalah satu-satunya mamalia yang tidak bisa melompat. Andai mereka meneliti Gajah jenis Sprinter ini, apa tidak terkoreksi hipotesanya. Ck..ck..ck...

Kembali dan kembali, makhluk sejenis ditekuknya. Garuda Mas RS Evolution economi class, Setia Negara Macan Pantura, Harapan Jaya 15 Blitar, Damri jurusan Kota Satria, Dunia Mas Sprinter Laksana Bima-Jakarta, dan Setia Negara Mapan.

Di Kandanghaur, berhenti untuk menghampiri satu penumpang. Kok banyak banget yang naik di tengah jalan ya? Bingung jadinya, resmi ataukah ilegal? Mbuh ah...

Dan wuzz...dilampaui oleh Garuda Mas Eksekutif E 7527 HA pegangan Pak Widodo. Momen yang aku suka saat berpas-pasan atau disalip Marcopolo, sinaran LED birunya itu lho ngga ku ku...

Jalan lagi, pelan tapi pasti dicapainya kecepatan jelajah di atas 90 km/jam. Kendaraan lain hanya jadi pemerhati kehandalannya. Walau begitu, aku tetap merasa nyaman meski duduk di atas overhang belakang. Cukup sebagai bukti bahwa kaki-kaki bus langsiran pertengahan 2008 ini benar-benar terawat, meski odometer telah menunjukkan ratusan ribu kilometer. Dan tentu saja, driver paham betul karakter lintasan pantura, tahu di mana letak bopeng-bopeng jalan untuk dihindari.

Seakan Gajah yang teramat sangat kelaparan, perburuan target busvora tak berhenti di sini. Bus-bus lain begitu mudah dimangsanya dan dijadikan makanan beratnya. SSM 217, Kramat Djati New Travego Malang (sepertinya pemberangkatan Lebakbulus), Theatre Bus PO Gumarang Jaya, Putra Mulya Jetliner dan Putra Luragung Aldi Maulana. Bus terakhir ini yang memberi pertandingan alot sebelum akhirnya ditekuk lututnya.

Masuk tol Panci (Palimanan-Kanci), kecepatan bus makin tak terbendung dan tanpa lawan selevel hingga berlanjut via tol Pejagan. Herannya, di sini dua kali bus berhenti setelah transaksi di loket tol. Yakni di gerbang Plumbon dan Palimanan. Saat berhenti pertama, Mbah Nur (panggilan akrab kenek) memeriksa roda kiri belakang, dan kedua kalinya mengecek karet bundar sebelah kanan. Ritualkah? Mengapa tadi tidak sekalian diperiksa dua-duanya.

Tiba-tiba cit..cit...cit...bus di rem mendadak dan sandal sepatu sebagian penumpang meluncur ke dapan. Minimnya rambu penanda penyempitan jalan di ujung tol Pejagan membuat Pak Yongki menginjak pedal stopper dalam-dalam.

Saat itulah terlihat pantat Pahala Kencana Tentrem Galaxy. Harapku, semoga R235 itu beruntung diawaki pengemudi yang sess (istilah Jatimers ya?) dan kelak jadi teman seiring sejalan hingga jauh ke pantura timur.

Keluar Tanjung, Brebes, daftar pecundang kembali bertambah, masing-masing Sari Giri Wonogiri dan Putra Remaja Jambi. Sempat menempel ”Ombak Biru” Jember, tapi sepertinya drivernya kurang fight dan malah memberikan jalan saat di klakson Pak Yongki.

Yah...penonton kecewa.

Rasa itu datang lagi dan membuat indra penglihatan terpejam untuk mengkreasi mimpi-mimpi indah namun semu. Zzz...zzz...zzz...

Membuka mata lagi menjelang ringroad Pemalang saat seorang penumpang yang baru saja naik duduk di seat nomor 26, sebelahku. Lho, masih nambah? Termasuk juga saat agen Pekalongan menyetop karena mendapatkan tiga penumpang dan membikin bus full seat. Wah…inilah fakta bahwa OBL adalah penguasa trayek Jakarta-Denpasar.

Determinasi bus pun tak surut, tetap melaju konstan dan stabil dengan kecepatan tinggi. Samar-samar terlihat olehku, skuad Wonogiren, Tunggal Dara Putra 9, Putra Mulya dan Serba Mulya dibuat mundur selangkah.

Menjejak Alas Roban, deretan korban terus bertambah. Dewi Sri Galaxy Coach, Marcopolo Die 9 Symponie, Bogor Indah Skania serta Harapan Jaya 14 bertumbangan ketika diajak adu sprint oleh spesies Gajah Asia ini.

Memang kuakui, B 7168 XT benar benar tiada tanding tiada banding, konsisten dengan kelajuannya dan seakan serakah untuk memaksa minggir bus-bus lain dari urutan terdepan. Ternyata, dongeng Gajah bisa terbang bukan hanya isapan jempol semata, tapi nyata adanya. Hehehe...

Bangun tidur tidur lagi...bangun lagi tidur lagi...

Gringsing-Kendal-Semarang-Demak-Kudus-Pati-Juana tak terekam, terkalahkan timang-timang lembut suspensi leaf spring MB OH-1525 yang membuaiku dalam peraduan.

Saat tersadar, sudah tak jauh lagi dari batas kota Pati-Rembang. Aplusan driver pun sudah dilakukan, dan Pak Johny kembali yang mengontrol arah kemudi. Saat bersiap turun, kusempat melirik tachometer yang seringkali jarum indikatornya di atas greenline saat mengintili bus Tri Sumber Urip New Travego Smiley Morodadi Prima, K 1548 AD, menandakan bus ini memang digeber untuk menyingkat waktu tempuh Jakarta-Denpasar.

Dan ”Sweet Pinky” dari Lasem itu mengingatkan akan Langgam Sarkawi, karena bus itulah yang pernah jadi lokasi bisu kenekatanku bertransaksi haram menjadi penumpang gelap. Dan anehnya, Langgam Sarkawi jadi syair kebangsaaan saudara kembarnya Cak Aswin, Adinda James. (Piss yo Cak Win...)

Aku pun turun di depan obyek wisata Dampo Awang Beach, sembari mengucapkan kalimat terima kasih kepada Pak Johny dan Mbah Nur atas jasanya mengantarkan aku pulang ke tanah kelahiran.

Jam menandakan pukul 01.27 yang berarti perjalanan Rawamangun-Rembang ”hanya” ditempuh kurang dari 11 jam, tepatnya 10 jam 54 menit. Yang berarti pula, rekor waktu tempuh Akas Asri 11 jam 05 menit pun tak berusia lama. Andai saja tidak banyak berhenti di agen-agen, niscaya, catatan waktu Sprinter ini bakal bisa dipertajam.

Demikian secuil kisah perjalanan bersama Safari Dharma Raya B 7168 XT, yang benar-benar kurasakan ”cruising speed”nya untuk bus antar kota antar propinsi antar pulau. Aku berani memberikan rate 5 atau exelent atas kebintangannya dan andai bisa bakal mengirim cendol ijo buatnya. (Kok pakai bahasa Kaskus ya?)

Sip...benar-benar jago sprint, pelari cepat marathon jarak jauh. Belasan korban yang bergelimpangan di atas bisa dijadikan data empirisnya.


Bagi bismania yang hobi travelling dan penyuka kecepatan, Sprinter Aquarium layak dijadikan pilihan. Buruan saja, karena bisa jadi bulan-bulan ini adalah masa paripurna ” XT” sebelum digantikan the newest generetion of Mercedes Benz, OH-1526.

Very very recommended...

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (2)


Aku lebih suka menyebut Rawamangun sebagai showroom mesin bus dan karoseri, bukan semata terminal belaka. Di areal yang luasnya tak lebih dari 1 ha ini, sudah adatnya owner-owner PO menerjunkan armada-armada terbaiknya untuk merebut pasar. Wadah aktualisasi imperium bisnis para bigboss dengan memamerkan bus-bus nomor wahid, menampakkan gengsi dan mengejawantahkan hegemoni serta superioritasnya atas perusahaan otobus yang lain.

Demikian pula Jumat sore itu.

Pasukan malam north beach disekondani tiga armada Pahala Kencana; Setra with new livery for Blitar, Jupiter B 7914 IW Banyuwangi dan Setra Butterfly Bojonegoro.

50-an meter di depannya…ugh, sial. Kramat Djati cuma menugaskan Setra Adi Putro untuk dinas ke Malang. Mungkin dewi fortuna sedang ke salon merias diri, hingga tak mendengar permintaan lelaki pemujanya. Hiks…

Di sampingnya berdiri kekuatan kavaleri, Gajah OBL Denpasar. Sedangkan garda terdepan diisi Green Jacket, LE-420 Malang.

Sedangkan yang siap sedia sebagai pejuang yang akan menjelajah bumi Andalas masing-masing New Giri Indah, Kurnia Aceh-Jakarta, LE-236 RS Evolution dan bus ¾ PO Arya Prima.

Dari semua armada yang sedang “pasang kuda-kuda”, tentulah Gajah OBL yang menarik hati dan menyolok mataku. Mengapa?


Tentu saja postur tubuhnya. Berbasis model Setra yang menanggalkan “selendang”nya, yang jamak disebut model Sprinter, dengan kaca samping nan lebar dan posisi tempat duduk yang tinggi, kabin mengusung theme hi-deck, masterpiece buatan Adi Putro ini ibarat ”aquarium” yang mempertontonkan isi dalemannya.

Kudekati dan kutatap lebih lekat salah satu ”pion” Pak Hendro Darmoyuwono ini. Wah…mantap nian, eklusif. Sepengetahuanku, tidak banyak populasi Sprinter di tanah Jawa. Yang pernah tercatat dalam memoriku, hanya satu unit Senja Furnindo yang dipakai “Si Kuning” dan beberapa armada PO Efisiensi.

Dan menurut analisis seni marketingku yang dangkal, mengapa Adi Putro Wira Sejati menamai Sprinter -- yang kalau diartikan “atlet lari cepat” -- untuk memberi gambaran dan citra kepada khalayak bahwa karakter bus yang membebat unit chasisnya dengan baju Sprinter adalah bus yang mampu berlari cepat, bus yang nyepeed jalannya.

Bisa jadi ada benarnya kalau mengambil contoh sepak terjang ”Si Kuning” Lebakbulus-Jepara yang cukup disegani koleganya dari sesama warga Muria. Meski bermodal mesin tua, tapi sanggup meladeni tenaga-tenaga muda.

Pelan-pelan kulihat nomor polisinya…B 7168 XT. Weih, great!!!

Seketika itu pula teringat obrolan dengan Mas Wahyu, komuter Denpasar-Jakarta dan chating-an dengan Penjaja Kompor BBG 3 kg, Si Rayyan, bahwa ”XT” ini masyhur dikenal sebagai bus banter di kerajaan Safari Dharma Raya, mengalahkan Scania Van Hool B 7168 IB, MAN Van Hool B 7168 VK, XBC-1518 Automatic B 7168 MS, OH-1525 B 7168 BK maupun yang kemarin ”disewa” Mas Himawan, Hino RK8 B 7168 IZ. Tentu hal ini tak lepas dari pramudi batangannya, yakni Pak Yongki dan Pak Tessy. Jangan-jangan, inikah bus dimaksud?

Dari luar kaca, tampak petugas agen mulai membagikan snack yang pertanda bus siap take off.

Bismillah…kucontreng bus ini saja untuk mengantarku pulang ke Rembang. Setengah tahun yang lalu pernah menjajal V-engine B 7168 MK, apa salahnya mencoba Gajah yang lain.

Dengan setengah berlari, bergegas kutuju loket No. 10.

“Pak, bisa turun Rembang?” tanyaku pada seseorang berbusana batik biru colourmark OBL yang berdiri tak jauh di depan loket.
“Tanya ke dalam saja, Mas”, jawabnya menggantung.

Seorang wanita muda tampak sibuk menghitung setoran ketika aku sampai di meja loket.

“Rembang bisa naik, Mbak? Kena berapa?” aku pun nyerocos takut ketinggalan kereta …eh…bus.

Dia hanya diam, dan sesaat menoleh pada wanita di sebelahnya.

“Rembang itu mana? Dikasih tarif berapa?” bisiknya, tapi aku mampu mencuri dengar pertanyaannya.

Ya ampun Mbak…mentang-mentang kota kecil ngga dikenal ya? Kalau Mbak pernah belajar sejarah pahlawan RA Kartini, pasti nama Rembang akan harum di ingatan. Motor penggerak emansipasi wanita itu pernah menjadi ibu negara Kabupaten Rembang jaman doeloe. Bahkan, kalau Mbak mau ikut pergi bersamaku, nanti aku antar ke makam beliau yang lokasinya tak jauh dari rumahku, gumamku.

Sejurus kemudian,

“165 Mas,”
“Ngga boleh 150 Mbak?”
“Ngga Mas, segitu harganya”

Ya bagaimana lagi, posisi tawarku memang kalah. Meski lebih mahal dibanding Kramat Djati maupun Malino Putra, tapi setidaknya masih dibawah harga tiket Pahala Kencana, yang dipatok 180 ribu untuk tujuan Rembang bila numpang bis timur-an.

“Siapa yang bawa, Mbak?” tanyaku kembali.
“Itu Mas, Pak Yongki…”, sambil menunjuk laki-laki berperawakan besar yang tadi aku tanya.

Oh itu tho namanya Pak Yongki, yang dijuluki “The Legend”.

Yes…pas busnya, pas driver-nya…

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (1)


Friday is freeday…

Jumat, selain diagungkan sebagai hari raya mingguan umat Islam, bagiku pun tak ubahnya holy day-nya komuter lintas region. Betapa tidak? Setelah lima hari bergelut mengayunkan “alat bajak dan cangkul” mengolah sumber pencaharian, meneteskan buraian keringat demi menjemput jatah rejeki, meninggalkan anak istri nun jauh di sono guna menutup lubang-lubang kebutuhan rumah tangga, mengendapkan sementara waktu kebahagiaan melewati hari bercengkerama bersama keluarga, datangnya hari Jumat tentulah terasa istimewa.

Bayangan tawa ceria putriku karena esok bapaknya pulang, imajiku akan senyum manis nan menggoda pendamping hidupku ketika menyemai kembali benih-benih kemesraan sesaat sebelum kami berdua melampiaskan kerinduan, momen pertemuan dengan orang tua, handai taulan dan sanak kadang yang tersebar di pelosok kampung, serta bersua teman seperjalanan sepenanggungan, bagiku harga yang tak ternilai dibanding lelah didera buslag dan sekian rupiah yang “tercecer” di jalan.

Terlebih bagi seorang bismania sekaligus komuter sepertiku, perjalanan jarak jauh dengan bus bukan lagi ajang mengekspresikan kegilaan serta mencari sensasi dan esensi dari kotak raksasa beroda enam, bukan lagi “wisata aspal” mencumbui eksotisme lanskap malam di jalan pantura, namun hukum pengikatnya telah bergeser dari sunnah muakkadah menjadi fardhu ain. Bila tidak ditunaikan, akan ditimpakan dosa dan kesalahan besar. Hehehe…

Demi setumpuk alasan itulah, selama aku diberikan kesehatan dan vitalitas, kelonggaran beban pekerjaan, dan kemampuan finansial, alam Jakarta akan selalu ku-blacklist dari agenda menikmati holiday di akhir pekan.

Tak terkecuali hari Jumat, 19 Maret 2010 silam.

Awal mulanya, aku tak berencana pulang mengingat Rabu baru saja tiba di ibukota setelah mengecap manisnya Harpitnas (Hari Kejepit Nasional) pada Senin sebelumnya. Di-pressure pula oleh isi SMS dari istri yang kuterima Jumat pagi, yang bernada wanti-wanti agar aku tak memaksakan diri untuk pulang ngetan. Aku mesti ingat badan ingat uban, karena umur dan fisik makin digerogoti gulir perputaran jaman. Apalagi saat balik ke tanah kelahiran Si Pitung pada Selasa malam, berdua dengan sohib komuterku berduet duduk di balik kemudi kendaraan varian MPV-nya Suzuki. Tiga hari rasanya belum cukup untuk memulihkan stamina seperti sedia kala. Dan satu lagi alasan klasik, weekend ini sudah memasuki slottime tanggal tua. Jadi, kalau pun pulang, apa yang mau dibawa? Duh..duh...elegi seorang kuli pelabuhan.

Sampai menjelang sholat Jumat, aku pun masih berketetapan untuk patuh pada nasehat sayang dan petuah bijak ibunya anak-anak.

Tapi entah sebab apa, tiba-tiba setan menghampiri dan menggodaku saat duduk terpekur mendengarkan khotbah imam Masjid Jakarta Islamic Center (JIC). Sekompi seteru abadi manusia itu menghembuskan penyakit hati yang bernama ”dilematika kulosis”. Argumenku yang telah mantap menumpang istirahat di kota metropolis dikaji ulang, digugat kevaliditasnya, digoyang mosi tak percaya, dan lembaran surat keputusannya pun bersiap akan dirobek-robek oleh tangan jahatnya hingga aku tak concern dengan content ceramah Jumat.

Ah dasar, meski kawasan eks-lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Kramat Tunggak, telah disulap menjadi bangunan dan lingkungan agamis, rupanya iblis-iblis laknat itu tak serta merta enyah dan masih banyak yang bersemayam di sini.

Pergulatan batinku demikian hebatnya berdebat. Antara ”meng-iya-kan” atau ”men-tidak-an” untuk pulang kampung. Teringat slogan di bak belakang truk yang sempat kubaca tempo hari, ”Pulang Malu Tak Pulang Rindu” seakan menohok kebimbanganku. Hidup memang dilematis.

Pulang saja ah...tiba-tiba saja pikiran sehat melabrak pendirianku semula. “Duit bisa dicari, kesepian dan kesendirian tak bisa terobati”, begitu dalih shahih sisi kalbuku sebagai api penyalanya.

Dan tipikalku, selalu percaya dan taklid buta dengan kata hati kecilku. Apapun itu dan dalam hal apapun. Karena kuanggap itulah pancaran bimbingan Yang Kuasa dalam menuntun ayunan langkahku.

Usai beribadah, kuurungkan niat kembali ke kantor. Workload-ku sudah menipis dan tak bersifat urgen karena aku berupaya mengkondisikan agar Jumat adalah hari bebas dan santai. Setang motor matic-ku kuarahkan ke kost-an, bersiap diri untuk packing berbekalan mudik di luar lebaran.

Berhubung plan dadakan, on the spot aja, begitulah mauku. Tak ada preferensi untuk naik PO tertentu, karena (maaf) aku bukan PO Mania, jadi kenyataan apapun di lapangan dihadapi saja nanti. Meski aku sendiri berharap baik budi dewi keberuntungan agar memayungi nasibku dijodohkan dengan armada Marcopolo Kramat Djati.

(Sah-sah saja kan aku nge-vote “The Flying Eggs” meski kalau ditanya “why”, aku pasti tak bisa menjawabnya dengan exact? Hehehe…Namanya juga impian, terwujud ya syukur, tidak pun tak akan membuatku ngambek, patah arang terus ngga jadi pulang)

Dengan mengambil rute Islamic Center-Semper-Plumpang-Utan Kayu-Rawamangun, dengan berestafet naik angkutan dalam kota meliputi KWK 07-Metromini 41-PPD P43-Metromini 49, pukul 14.25 sampailah telapak kaki ini mencium terminal favoritku.