Kamis, 10 Juni 2010

Dimabuk Neoplan (2)


Berangsur bus-bus luar kota membanjiri Terminal Rawamangun. Antara jam 16.00-17.00 adalah peaktime keberangkatan pasukan-pasukan gerilya malam. Tercatat olehku Sinjay 6DX, Ramayana E3, Rosin 247 dan 278, Lorena LV130, Handoyo Ekonomi, OBL Eksekutif Jogja dan tiga member of Pahala Group.

Pukul 16.35, Neoplan pun diberangkatkan.

Celingak-celinguk…

Weih, banyak mahkluk bening dan wangi yang mengisi daftar manifest penumpang. Ternyata lifestyle mereka bukan selera rendah. Tahu bus mana yang pantas berkimpoi dengan gaya kehidupan mereka. Jika saja Mas Hendi tahu, pasti beliau oke-oke saja dan tak keberatan andai boss-nya menyuruhnya mengirim shower ke Rembang lagi dengan naik Gajah gemuk ini, meski cuma dikasih ongkos 15ribu. Hehehe…

Herannya, pengemudi I orangnya masih muda dan selengean, tak mengenakan kemeja batik warna biru, baju kebesaran Safari Dharma Raya Jakarta. Penampilannya seadanya, bahkan terkesan cuek dan santai. Sesantai jalannya B 7168 NR saat menapak jalan tol Wiyoto Wiyono dan dilanjut tol Cikampek. Aku pun langsung men-judge, memang beginilah jamak lumrahnya driving style bus-bus bumi Mangkunegaran, AAWK, menganut aliran alon-alon waton kelakon, sesuai ajaran falsafah jawa kuno.

Bahkan cara pembawaannya belum klop dengan bus yang sepertinya bukan batangannya ini. Kasar dan menghentak saat memindah gigi transmisi. Seringkali navigator memberi arahan, baik cara memenej rpm, mengerem dengan smooth ataupun membimbing manuver bus bongsor ini.

Dari mencuri dengar obrolan, ternyata sopir ini adalah sopir tembak/ cadangan setelah pramudi tetapnya mendadak berhalangan bertugas. Pantas saja, harus melewati fase adaptasi hingga km 30-an untuk mengelus makhluk langka ini. Bus-bus sekelas Luragung Jaya Cindelaras, bus kota Mayasari Bhakti, Putra Luragung, bus karyawan Hiba Utama 75, dan Prima Jasa Bekasi-Bandung berlomba mengajari metode berlari yang baik dan benar.

Barulah setelah nyetel dengan karakter armada yang dilajukannya, keluar agresivitasnya. Perlahan tapi pasti, lajur kanan dikangkanginya untuk memamerkan keofensifannya. Puing-puing kejayaan Neoplan masih bisa kurasakan. Goyangannya nyaman, tak terganggu bodyroll saat berlenggak-lenggok di permukaan aspal. Mantap, stabil dan anteng larinya, disokong kestabilan struktur monocoque yang jauh lebih unggul dibanding ladder frame.

Ini saja dalam kondisi lawas, apalagi era barunya dulu. Pasti lebih nyaman dan nyaman lagi…Pantas saja, saat masih diterjunkan sebagai bus reguler, PK dan KD menetapkan harga yang lebih tinggi untuk Neoplan ini dibanding naik varian mesin dan karoseri yang lain.

Di ruas Cikampek-Pamanukan, vonisku salah besar. Bus kian dihela dan berjalan kencang. Ck ck ck…kukira bus ini disayang-sayang, berjalan dengan penuh kehati-hatian, sebisa mungkin menghindari lubang demi keawetan perangkat suspensinya atau diharamkan nempel-nempel kendaraan lain, untuk alasan takut lecet. Nyatanya sih lain Bopeng-bopeng di jalan enteng saja dilibasnya, tanpa mengguncangkan posisi punggung para penumpang.

Salut atas “kenekatan” yang ditunjukkan drivernya. Bisa jadi bus ini wajib menampakkan eksistensinnya di jalur Jakarta-Solo. Maklum, hanya solorun, tak ada OBL lain dengan arah keberangkatan yang sama. Beragam menu dilahapnya mulai Sumber Jaya Sprinter, OBL AA 1661 CE, Sinar Jaya rasa Concerto, ATS dan Damri yang sama-sama berbaju Equator, Sinar Jaya 19Y hingga Sumber Alam Panorama DX.

2,5 jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai peristirahatan Taman Sari. Saat selesai dilayani makan dan aku akan menunaikan sholat…Lho, ternyata di depan mushola terparkir NS 39 dan NS 21, yang sama-sama bertujuan Cepu. Aduh…ngga enak hati kalau perselingkuhanku ke-gap kru langgananku. Dengan terpaksa ngumpet dulu, ritual wajibnya ditunda, menunggu bus-bus tersebut berangkat. (Dasar wong jowo…wong jowo…sampai segitunya menjaga perasaan seseorang. Hahaha…)

Driver utama, dengan emblem Supriyadi di seragamnya, yang kini bekerja. Walah…langsung menyerobot jalur saat keluar rumah makan meski lalu lintas sedang ramai. Ini pasti tak kalah gaharnya dengan yang pertama.

Benar juga. Dipacunya Smiling Neoplan ini sekencang-kencangnya, lincah membelah kepadatan pengguna Pantura yang didominasi truk-truk bertonase besar. Paham bahwa kaki-kaki empuknya mampu meredam getaran yang merambat ke dalam kabin, rintangan-rintangan jalan dilumatnya tanpa ampun. Jalan berlubang, bergelombang, keriting hingga jembatan patah tak dihiraukannya. Tol Pejagan pun enteng disusurinya. Bunyi riuh leaf spring dan tapak roda saat aku menunggang OH 1525 waktu mengaspal di jalan tol yang dibangun imperium Bakrie, tak muncul di dalam kabin Neoplan ini. Lebih senyap dan hening desibelnya.

Top habis gaya menyetirnya. Di tiap rute, pasti ada bus banternya. Tidak semua bus jalur tenggara Jawa Tengah itu lelet. Dan OBL ini yang membantahnya.

Tanpa pertimbangan rumit, bus eksekutif ini kusejajarkan dengan kedahsyatan OBL “XT”, PK Marco Denpasar, Akas Asri, Kramat Djati Madura, Garuda Mas, serta HS 211 dan HS 213. Tripnya begitu enak dinikmati, memompa adrenalin dan serasa berlaga di lintasan balap, berkompetisi dengan yang lain guna menjadi kampiun sesaat malam itu. Tak apalah waktu tempuhku bakal bertambah, tapi kepuasaan dilingkupi kehangatan Neoplan ini demikian tak terhingga.

Prestasi spektakulernya mencuat di etape Patrol-Brebes. Sederet korban yang didepak dari chart terdepan jadi bukti kegigihannya . Aku masih mampu merekam beberapa di antaranya. Yakni Luragung Jaya Andini, PK B 7277 WV, Mulyo Indah Antero Coach, Sumber Alam kelas ekonomi, Harum Prima, Sahabat Sika, Rosin 141, Santoso Business Class, Sinar Jaya 8DX, dan PO Sumba Putra.

Tiada perjalanan yang sempurna.

Itulah ungkapan yang tepat. Setangguh-tangguhnya Neoplan ini, ternyata ciut nyali di lapangan becek saat hujan mengguyur dengan derasnya di area Tegal hingga Pemalang. Rata-rata kecepatannya “drop”, menyesuaikan diri dengan kondisi jalan yang basah dan menggenang. Tanpa ampun, tiga armada Santoso dan Kramat Djati Royal Coach E Classic yang berjalanan beringin menyungkurkannya. Bahkan aku jadi saksi kehebatan dan sepak terjang Kramat Djati itu saat mengeblong barisan panjang kendaraan yang merayap terhalang siraman hujan lebat. Tebakanku itu KD Ciledug-Gemolong atau yang jurusan Grogol-Ngawen.

Mata tak lagi betah melek, hormon kantukku meningkat drastis distimulus bantingan lembut air supension. Pemalang-Pekalongan-Batang-Alas Roban-Weleri-Kendal-Mangkang hilang dari penglihatan.

Aku terbangun saat bus mencoba melakukan U-turn di daerah Krapyak, Semarang, untuk mengisi bahan bakar di SPBU yang bersebarangan jalan. Julur depan bus yang begitu panjang menyulitkan drivernya sehingga perlu tiga kali maju-mundur. Demikian lebarnya radius putar Neoplan ini.

Jam dua lebih sedikit, akhirnya berlabuh di agen Cipto Semarang. Aku pun turun berbarengan dengan tiga cewek petualang yang berwisata generik. Sedangkan kru sibuk meng-unloading barang-barang paket yang jumlahnya bejibun.

Duh, ternyata jalan protokol yang siang hari begitu ramai dan riuh menjelma bagai kota mati. Mana tukang ojek? Angkutan kota kok juga tak ada? Beda banget dengan ibukota, yang tensi kehidupannya begitu tinggi.

Kutelusuri tiap sudut jalan Dr. Cipto, siapa tahu memergoki Gus Gopeng yang lagi sempoyongan pulang dugem. (Hehehe…piss ya Gus).

Tentu bukan untuk mengantarkan aku ke Terboyo, melainkan kumintai tolong untuk menggandeng trio macan (manis dan cantik) ini yang tengah kebingungan mencari penginapan. Kan lumayan, jikalau satu dari tiga bidadari ini jatuh hati pada Gubernur Jateng wannabe ini.

“Mas, becakke, monggo. Badhe teng pundi tho?” sapa seseorang membuyarkan lamunanku. (Mas, becaknya, silahkan. Mau kemana?)

“Terboyo Pak.”

“Lha inggih, monggo…” balasnya dengan ramah khas logat kidul-an.

“Nopo kerso Pak, tebih sanget lho, Pak?” tanyaku setengah tak percaya. (Apa mau Pak, jauh sekali kan?)

“Lho, kulo biasa kok Mas, asring kok kulo mbekto penumpang dugi Terboyo.”(Saya biasa kok Mas, sering saya bawa penumpang sampai ke Terboyo)


Daripada berharap dalam ketidakpastian, akhirnya dengan jasa becak, aku diantar ke Terboyo. Menyusuri jalan-jalan kota Semarang yang lengang tak berpenghuni, Dr. Cipto-Widoharjo-Raden Patah-Kaligawe-Terboyo, seakan aku dan tukang becak adalah pemilik Kota Atlas malam ini. Pemandangan yang begitu indah saat bertemu dengan tiga armada Subur Jaya yang sedang menunggu penyewanya di depan sebuah lembaga pendidikan, PO Safari yang sedang ngetem di perempatan Widoharjo dan disalip Maju Makmur di Kaligawe, dari arah Purwokerto.

Aku jadi tahu, ternyata bus Semarang-Solo/ Purwokerto telah mulai mengais rezeki saat siklus waktu berputar di zona dinihari. Andai satu saat nanti aku berketetapan hati naik bus Solo lagi atau Jogja barangkali, aku tak perlu risau. Turun saja di Banyumanik, nyebrang jalan dan nyegat bus bumel arah ke Terboyo. Beres…peta mudik Jakarta-Rembang dengan estafet via Semarang kini kugenggam.

Kuhabiskan perjalanan di atas roda tiga dengan berbincang ringan. Seorang pria paruh baya asli dari Sragen, yang demi sesuap nasi untuk istri dan ketiga anaknya rela berjauhan dengan keluarga, dua minggu sekali baru bisa menemui orang-orang terkasihnya kembali. Tengah malam pun masih mencari calon penumpang, memeras keringat menghujamkan tulang, meng-goes pedal becak kesayangan demi secuil masa depan yang layak.

“Tinggal di mana di Semarang ini, Pak?” tanyaku.

“Di atas becak Mas. Pagi, siang, malam, bekerja, makan, istirahat dan tidur ya di sini, Mas. Inilah kantor sekaligus rumah saya..” jawabnya penuh sindiran sosial.

Deg, Subhanallah. Ya Allah, begitu dhaifnya diriku. Begitu banyak limpahan nikmat yang Engkau berikan, namun, sebanyak itu pula rasa kufurku pada-Mu. Kini Engkau tampakkan di hadapku, betapa aku ini seringkali lupa untuk menundukkan kepala. Selalu dan selalu, untuk menggugat kadar “kasih sayang-Mu”, aku mendongakkan kepala ke atas, menatap orang-orang yang menurutku lebih beruntung dari aku. Kini, kau tampar aku dengan perantara kesederhanaan dan kebersahajaan Bapak Becak ini. Terima kasih ya Allah, Engkau kirimkan teguran lewat hamba kecil-Mu itu.

Tak terasa, 4 km sudah jarak yang ditaklukkan Si Penghela ini. Hebat…di usianya yang telah memasuki senja, otot-otot betisnya masih enerjik untuk mengayuh “cangkul pencaharian”nya.

“Mas, ati-ati di jalan. Itu busnya. Jangan lupa, kalau busnya belum jalan, jangan mau ditarik karcis. Kadang-kadang itu calo, Mas.” ingatnya saat aku melantai dari singgasana becak.

Sekilas kupandang saat jari telunjuknya menunjuk pada sebuah bus berkelir merah putih, colour mark PO Indonesia yang sedang bersandar di pintu keluar terminal apung, Terboyo. Berstrata ekonomi dan berpapan trayek Semarang-Surabaya. Bus baru, mengunggah bentuk Marcopolo Jepit Rambut buatan Tri Sakti yang menyembunyikan kegalakan Hino FE AK8 di dalamnya. Dengan tagline “Super Boy”, kekaleman jalannya yang akhirnya meredam efek mabukku, saat semalaman sensasiku melayang-layang digoyang liuk nan genit Ratu Jerman yang bernama Neoplan. Huh…

Neoplan, Super Bus for Super People…

Dimabuk Neoplan (1)


Wajahmu t’lah jauh berubah

Tak lagi garang dan terkubur sudah gagah wibawamu

Yang ada, tinggal raut muka yang memajang senyum sumringah

Menawarkan keramahan bagi yang sudi memandang

Karena engkau tak muda lagi

Kemewahan tak lagi punya arti untuk diperjualbelikan

Selain sisa-sisa kejayaan masa silam

Itulah ode asal-asalan yang terlintas dalam ladang imajiku saat menangkap sosok Neoplan yang diampu oleh PO Safari Dharma Raya divisi Jakarta terdampar di Taman Eden Rawamangun, ketika aku hendak menghelat acara wira-wiri tanpa henti Hari Jumat (30/4) yang lalu.

“Maksa…”, begitulah testimoni sebagian buslovers setelah bus ini melewati masa-masa kritis pascaoperasi wajah. Dan aku pun mengamini demikian meski dalam menilai sebuah hasil garapan manusia, subjektifitas pribadi yang bicara.

Lihat saja perwujudannya yang aneh sekarang. Semua sisi eksterior tak ada yang steril dari sentuhan. Moncong muka yang futuristik khas Neoplan dilengserkan, dibenamkan jiplakan wajah New Travego ber-headlamp “Smiley”. Bodi mengalami “penurunan” sehingga default ground clearence-nya terkoreksi, membikin produk pabrikan Jerman ini ceper, ndeprok dan terlihat gambot. Hanya ada monir change di bagian lambung kanan-kiri. Kaca jendela yang sebelumnya model lengkung diubah menjadi patahan menyudut. Dan yang ekstrem terkena aksi kreativitas para penggawa Adi Putro ada di sektor buritan. Meski blind glass dan rear lamp susun empat dilestarikan, tapi penggusuran ruang sentral AC dari posisi tengah atap ke bagian belakang membuat bus ini terkesan “bersanggul” dan keberatan pantat.



Dibanding bentuk aslinya yang dulu, seakan Neo Neoplan ini ingin melepas kemurnian citranya sebagai bus luks, borjuis dan mahal, berganti karakter menjadi bus yang ramah, merakyat, up to date, tak kebal keekslusifan dan membumi di ranah bis nge-line.



Rupanya, guliran roda zaman tak pelak meminggirkan dan mengirim bus ini masuk kotak berlabel “barang jadoel”. Tak mau selamanya jadi korban modernitas -- toh kemampuan larinya masih mumpuni--, Neoplan ini pun me-make over tampilan agar terlihat remaja, segar dan menggoda. Walau bagiku, sangat-sangat disayangkan, karena inilah aksi “genocide” terhadap orisinalitas Neoplan itu sendiri.

Tetapi, dibalik pro kontra pemutakhiran Neoplan OBL, tersembul puja puji keluarbiasaannya. Inilah sedikit dari armada Neoplan di negeri pertiwi yang rendah diri dan baik hati. Bersama Neoplan B 7168 SW, berdua masih rajin menyambangi kota-kota, mampir dari satu agen ke agen yang lain, setia menyambut pinangan tangan penumpang yang butuh jasa penghantaran, menabur sapa bagi yang merindukannya dan tentu saja, yang pantang mengibarkan bendera putih, berani membusungkan dada bersaing dengan darah-darah muda di sirkuit jalan raya.

Di saat PO-PO lain mengevakuasi armada Neoplan ke operasional pariwisata --seperti Pahala Kencana, Kramat Djati atau Bandung Ekpress--, justru OBL merupakan perkecualiannya. Bus yang ber”loko” penggerak jenis OM366LA Turbo Intercooler ini masih menjalani dinas harian, menggawangi trayek reguler Jakarta-Solo PP, seperti yang tampak di sore itu.

Aku pun dibuat termangu dan bimbang di ruang tunggu terminal. Bilik-bilik batinku begitu hebatnya beradu argumen hingga bergaung di lorong-lorong akal sehatku. Dari rencana awal naik Kramat Djati Malang -- kebetulan busnya juga telah siap sedia di jalur pemberangkatan -- , ambyar tak terpetakan lagi. Bayangan menikmati timangan lembut “balon udara” New Travego dan betapa praktisnya tinggal nyemplak diantar Flying Eggs hingga ke Rembang, begitu aku asakan. Apalagi besok pagi adalah hari pertama Nyonyaku masuk kerja setelah cuti panjang melahirkan. Setidaknya aku harus memburu waktu, pengin membantu ngurus anak-anak sebelum dan pas ditinggal kerja ibunya. Namun, setumpuk dalih rasional di atas diburamkan oleh kehadiran Neoplan ini.

Jiwa bismaniaku memberontak. Tabu sebagai seorang bismania malah mempersempit dunia bus itu sendiri dengan naik PO itu-itu saja, nangkring di atas mesin itu-itu saja, dibawa jurusan itu-itu saja atau bertemu kru dan agen yang itu-itu saja.

“Hey, anak manusia. Kamu ini gimana? Mosok turun Semarang? Apa ngga repot nyambung ke timurnya? Nanti gimana menuju Terboyo? Ingat, sampai kota lunpia dinihari. Kamu buta angkutan di sono dan baru kali ini kan pergi dengan bis Solo-an?Kamu itu butuh waktu, bukan kesenangan diri…” puluhan iblis penggoda menceramahiku.

(Hii…setan kok tau ya kalau julukan Kota Semarang itu kota lunpia? Setan penggiat kuliner ini…)

Tapi, aku benar-benar sudah mendem (mabuk) dan mendadak sange berat ingin merasai kenyamanan fitur “hi-end” yang diusung Neoplan ini. Meski soal mesin tiada beda dengan MB OH 1521, tapi dengan kelebihan berupa chasis monocoque dan ditanamnya piranti air suspension, tak terbantahkan lagi bahwa bus ini menempati highest rank di masanya kala itu.

Aku belum pernah sekalipun dibuai ayunan eks bus berpredikat Jendral ini. Semenjak menyandang komuter mingguan di medio 2004, Neoplan Pahala Kencana susah ditangkap, jarang bisa ngepas jadwalnya dengan kepulanganku, hingga akhirnya dipensiunkan dari jalur Jakarta-Malang.

Pun setali tiga uang dengan acara-acara yang diadakan BMC. Meski telah dua kali menyewa armada Neoplan, waktu nikahan Mas Ivan (Bandung Ekspress) dan famgath. ke Anyer (Vista Touristama), namun dua-duanya aku miss untuk turut serta.

Sudahlah, memang Neoplan OBL anugrah terindah hari ini bagiku.

“Masih ada satu kursi buat ke Semarang, Bu? Kalau ada, tiketnya berapa?” saat aku tiba di depan loket.

“Ada Mas, 150. Kalau mau, ini seat depan nomor 4 masih kosong.”


Itulah transaksi perdanaku saat pertama kali menjajal entitas Soloensis yang dipicu oleh kekuatan sihir Si Neoplan ini. Mahal dan repot memang dampak buruknya. Biarlah jadi resiko untuk memulai petualangan baru. Neoplan makes me crazy now…

“Mas, kalau mau ke Kudus, yang gampang nanti turun mana ya?” tanyaku pada Mas Kenek saat dia selesai mengatur barang di bagasi samping.

“Cipto saja Mas, sudah dekat ke Terboyo. Bisa pakai ojek nanti…”, jelasnya.

Saat menapak ke dalam, ternyata tak ada yang istimewa di ruang interiornya. Elemen-elemen lama dipertahankan, tanpa ada perubahan yang berarti. Langit-langit, lantai dek, jok kursi, dinding kabin, TV Video, gordin hingga louvre AC sistem putar sepertinya untouchable.

Andai saja saja konsep transplantasi wajah ini dibalik, cukup bagian dalam yang dibesut total sementara yang luar hanya dipoles ringan, pasti keabadian Neoplan untuk sementara waktu masih terwariskan.

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (6)


Berlari dengan Napas Tua (2)

Ketidakberdayaan terekam saat memanjat tanjakan Plelen. Meski sudah bagus dalam ancang-ancang, menge-loop dari bawah sembari tangkas mencari celah di antara kendaraan yang hendak mendaki, dan sempat mengasapi Black Kopral Tayu-Ciledug, akhirnya OM366A benar-benar kehabisan napas.

Greeggg…Bus pun menyerah.

Cesss…driver mengaktifkan hand brake, sejurus kemudian mesin off .

“Ya Allah…semoga jangan sampai melorot mundur”, pintaku pada Yang Kuasa.

Semua penerangan dimatikan, hanya lampu hazard yang tersisa. Satu per satu bus lain menyodoknya, diawali oleh si Hitam -- Haryanto Setra Tentrem--, GMS, Merta Sari serta Rosalia Indah Concerto, 274.

Sekitar semenit, bus langsiran medio 90-an berhenti sebelum dipaksa direstart. Beruntung, masih bisa menyala. Dengan perlahan merayap meski dengan hembusan napas yang ngos-ngos-an. Dan sejak drama “jump ball” di tengah permainan, ruang pacu berkapasitas 5900 cc ini kehilangan daya dorongnya.

Di etape menantang, Alas Roban, melemah sudah keperkasaannya, yang tersisa tinggal napas terengah-engah. Bus pun terkesan asal nggelinding, tak ada lagi acara kejar tayang maupun perburuan waktu.

Gerak putaran roda hanya seirama dengan truk-truk angkutan berat, seakan didera keletihan dan kepayahan yang amat sangat.

Ombak biru sedang pasang surut. Hanya jadi pemirsa dan penikmat saat seteru-seterunya menjerembabkan dari top chart reli Pantura malam ini. Haryanto Setra Adi Putro, Gunung Mulia Panorama DX, Shantika Ijo Sprinter, Selendang Ramayana, Handoyo Setra New Armada, Santoso, dua saudaranya, armada PK serta Nusantara NS 01, seakan berkonspirasi menenggelamkannya. Bus super eksekutif inilah yang jadi petunjukku, bahwa parade armada di belakang mulai mendekat jaraknya.

Kuputuskan untuk tidur kembali, dan terjaga saat ada kegaduhan.

Ternyata, tiga penumpang yang kuduga ilegal tersebut beramai-ramai turun di daerah Pemalang. Oh, pantas saja berani mengangkutnya, toh turunnya sebelum check point Kota Tegal.

Kuteruskan beristirahat kembali dan terbangun saat roda bus menapak jalanan rusak di daerah Kertasemaya, daerah perbatasan Cirebon-Indramayu.

Tapi masya Allah, rupanya mimpi buruk belum menjauh dari kenyataan yang tersuguhdi hadapanku. Bus yang nge-line Bojonegoro-Cepu-Kudus-Rawamangun-Pulogadung ini seakan jadi sansak hidup, bertubi-tubi pukulan telak mendarat ke haluan Classis Travego jadoel. Tidak sampai seperempat jam berdiam dalam kehampaan kabin , ditemani erangan mesin, mataku ini jadi saksi keporakporandaan pertahanan “The King” ini. Handoyo RG, PK Central Madura, Handoyo Laksana Comfort serta Dedy Jaya Djibless semakin mengkandaskannya sebagai juru kunci di dasar klasemen akhir.

Ya sudahlah…nikmati apa pun adanya, naik bus adalah satu anugrah indah dari-Nya.


Jam 07.25, perjalanan napas tua berakhir di jalur debarkasi Terminal Pulogadung. Tidak jelek juga, meski dengan total waktu tempuh hampir 16 jam untuk rute Sulang-Rembang-Pulogadung. Namun, dengan kondisi Pantura yang relatif lancar, bagiku tetap merupakan noktah “dosa” bagi PO yang cikal bakalnya merintis trayek Surabaya-Solo ini.

Mengapa aku menganggapnya “rapor merah”?

Karena di parkiran pojok belakang sebelah barat telah penuh sesak bus-bus Kudus-an yang lebih dahulu tiba, yang notabene jam pemberangkatannya di atas “napas tua” ini. Yang lebih mencoreng “prestasi”, saat bertemu Shantika Ijo Sprinter yang melibasnya di Banyu Putih, terjebak macet di Jalan Perintis Kemerdekaan, dengan arah yang berbeda. MB OH 1525 eks PO Dewi Sri Asri itu dalam kondisi putar kepala, dalam perjalanan membawa pelanggan setianya dan menyetor keuntungan bisnis transportasinya menuju Jepara.

Berapa jauh selisihnya dengan kedatangan Pahala Kencana-ku???


Sampai kapankah berkah “nama besar” masih mampu menangguk kepercayaan dari para konsumen, tanpa dibarengi kualitas pelayanan dan ketersediaan armada nan prima?

----

Membandingkan dua divisi berbeda di tubuh Pahala Kencana ibarat membandingkan dua hal yang tak seharusnya diperbandingkan. Meski proses persalinan dari satu rahim, nyatanya divisi Kudus dan divisi Jakarta tidaklah apple to apple untuk disejajarkan. Beda siapa yang menyentuh, lain pula efek rangsang yang diterima.

Sama-sama satu nama, Pahala Kencana, namun laksana datang dari planet lain dan berasal dari tata surya yang lain.

Itulah sekelumit kisahku, berawal dari tragedi Tanjung Priok, akhirnya merasai dua nuansa berbeda antara “adem dan gerah”nya bertamu di meja sekretariat sebuah institusi yang berbendera “PKS”, Pahala Kencana Sejati.

Salam damai bagi PKS…


- Tamat-

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (5)


Berlari dengan Napas Tua (1)

“Kok naik Pahala sih Pa? Ingat lho, sudah dua bulan ngga naek Nusantara. Ngga enak sama Mbak Aik (agen Nusantara-pen) yang selama ini sudah banyak membantu. Dikiranya ada apa-apa…”

Demikian protes nyonyaku saat aku bersikukuh mencontreng Pahala Kencana untuk perjalanan balik ke Jakarta. Inilah tak nyamannya menjadi komuter mingguan. Karena seringnya berhubungan dengan agen, bukan lagi persoalan demand and supply, melainkan juga kedekatan personal.

“Sekali ini aja Ma, Minggu depan pasti Nusantara. Pan Jumat kemarin sudah bolos Ma, Senin besok pantang kalau telat. Makanya, nyari bus siang…” pungkasku untuk meredakan ketidakmengertian pendampingku yang menilaiku sedang “pisah ranjang” dengan Nusantara.

Bukannya aku mengingkari kecepatan tembak “peluru-peluru” Pak Hans, tapi sebagai langkah antisipatif jika saja akhir pekan besok jalanan macet. Demi leluasanya, aku bersandar pada bus yang start lebih awal dari Sulang, kota kecamatan terdekat dari rumah yang dilalui bus malam Bojonegoro-Jakarta. Meski aku sendiri juga mafhum, Pahala Kencana divisi Kudus sudah termarginalkan dari jajaran bus banter Muria Raya. Tapi bercermin pengalaman saat naik Butterfly berstandar VIP yang kunaiki sebelumnya, dengan arrived time di jalur kedatangan Pulogadung sebelum jam lima pagi, apa salahnya kalau sekarang kuandalkan kembali?

Minggu, 18 April, kulakukan perjalanan berulang dengan Ombak Biru chapter Kudus. Kali ini, aku meng-upgrade kelas menjadi eksekutif. Bermodal selembar tiket yang kutebus dengan nominal Rp.130.000,00, dan seat number 6C, akan kubuktikan, bisakah “the highest class” ini lebih baik dibanding VIP-nya?

Namun, rasa optimisku menumpul seiring kedatangan K 1564 AB yang molor dari jadwal tetapnya. Berdasar catatan di tiket dan pengamatanku, jam keberangkatannya tak pernah lebih dari jam tiga sore. Tapi kali ini, menjelang setengah empat armada baru mampir di agen dari arah Cepu. Dan artinya, hanya beda 15 menit-an dengan NS 39 dan NS 29 yang sebentar lagi akan lewat di belakangnya. Justru, yang ontime armada B 7889 ZX Bogor dan B 7289 X jurusan Kalideres.

Bus berbaju Old Travego ini tampak mulai usang dikunyah guliran zaman. Bahkan, dinding dalamnya banyak yang ditambal dengan lakban karena sudah menua, retak serta bolong-bolong. Tak ada hiburan audio video sama sekali, padahal itu hak penumpang yang harus dipenuhi sebagai salah satu bentuk service on board.

Aku hanya bisa berharap, semoga bus ini masuk waiting list untuk dirombak tampilannya. Sebagian koleganya telah berganti wajah, baik New Travego Smiley atau Marcopolo hasil racikan Tri Sakti ataupun Tri Jaya Union, meski sisi jeroan tak ada pemutakhiran.

Baru saja hendak duduk, lho kok?

Sudah ada dua sejoli nangkring di kursi 6C dan 6D. Tidak biasanya begini? Setahuku, agen-agen PK hanya menjual tiket sesuai dengan trayek bus yang melintasinya, tak kenal istilah penumpang langsiran atau operan. Untuk itulah, bus-bus bertujuan akhir Bogor, Tangerang, Rawamangun-Pulogadung, Lebakbulus dan Kalideres semua masuk Bojonegoro.

“Mas, nomor kursinya berapa?” tanyaku dengan sopan.

Si Cowok malah salah tingkah dan belingsatan, kemudian mencolek ceweknya.

“Ayo pindah ke sono…”, dan mereka bergeser ke tempat duduk lain yang kosong.

Aduh, tercium bau ketiak Sarkawi ini?

Bus yang ber-ID HT 722 ini pun memulai pelariannya. Cukup kencang dan greget juga cara Pak Sopir meng-handle-nya meski yang kurasakan energinya terbatas. Feeling-ku, power keluaran mesin tak mampu melampaui angka 200 HP. Dugaanku, setali tiga uang dengan B 7415 NL, sama-sama bermarga OH King.

Saat berhenti di agen Jl. Diponegoro, Rembang, ada kejadian yang membuatku tertawa ngakak dalam hati. Di seberang jalan, yang merupakan agen pembantu PO Tri Sumber Urip (TSU) , terlihat “Kaleng Bocor” yang kujadikan selingkuhan seminggu sebelumnya, menghampiri penumpang. Wah, ternyata pujaan hati Mas Hary Intercooler ini masih jago buat nyari duit meski soal kelayakan di nomor sekiankan.

Memang tak dapat dipungkiri, nama Pahala Kencana masih laris jual meski dengan amunisi yang pas-pasan. Selepas kota Rembang, tak sampai tujuh seat yang masih kosong, jatah yang diisi agen Juana, Pati, Kudus dan Semarang.

Kejadian yang paling mendidihkan adrenalin saat bus lebih memilih lewat ringroad kota Gandul, Pati, dibarengi teman satu juragan, B 7275 WV. Berdua adu sprint di sirkuit sepanjang hampir 5 km yang lengang, karena pemanfaatan jalan lingkar ini masih ambigu. Kadang diuji coba untuk jalur truk-truk barang, kadang diveerboden oleh regulator, dalam hal ini dishub Kota Pati. Konon katanya, meski sudah diresmikan penggunaannya, Jalan Lingkar Selatan (JLS) ini masih bermasalah dalam desain dan kontruksinya, yang dianggap kurang safe bagi pemakainya.

Hmm…pertarungan King vs RG. Dan tentu bisa ditebak, prinsipal Jepang lebih unggul, baik umur, tenaga maupun tarikan.

Jam 17.40, MB OH 1518 ini singgah di pool Kudus, untuk melapor dan mengangkut titipan berupa paket barang. Kusempatkan melongok bagian dalam garasi, dan tampak skuad Pahala Kencana Kudus. Tidak ada bus anyar, sebaru-barunya armada model Proteus. Sementara itu, dari kejauhan, sekawanan armada dari pesisir timur Jateng terlihat memadati terminal Jati. Bejeu, Senja Furnindo, Nusantara, Selamet, Haryanto, Shantika, dan TSU mulai berdatangan.

Meski berangkat dari Sulang sudah kesorean, namun jam take off dari Kudus masih termasuk kloter awal. Biar kata mesin uzur, pramudi mampu memaksimalkan tenaga yang ada. Andai saja bus ini berkilometer rendah, pasti fakta berbicara lain melihat karakter driver I yang menerapkan tensi tinggi saat menjelajah jalanan. Kapan ya OH 1525 generasi awal dilungsurkan ke Kudus?

Di agen Dr. Cipto, pertanyaanku terjawab. Saat semua penumpang telah duduk di lapak punggungnya masing-masing, pasangan ABG tadi tersingkir dan rela rebahan di space kecil depan toilet yang telah dilambari tikar. Ternyata bukan cuma dua orang, tetapi tiga. Sepertinya…memang ada praktek kotor di dalam bus ini.

Saat agen Semarang mengecek, satu dari mereka ditanya,

“Tiketnya mana, Mas?”

“Ikut sopir, Pak”

Dan petugas itu pun berlalu, diiringi raut muka penuh keheranan, keraguan dan tanda tanya.

Mbuh lah, mosok PO sekelas Pahala Kencana tertular “bad habit” PO-PO tetangganya yang menghalalkan penumpang gelap. Aku pun memejamkan mata untuk tidur, memimpikan besok pagi situasi kantor dan aktivitas pelabuhan telah berjalan normal pasca ledakan kerusuhan antara aparat ketertiban dan warga.

Royal Coach E ini tiba dan berangkat kembali nyaris paling akhir dari Rumah Makan Sendang Wungu, Gringsing. Tertinggal dari kompatriot sesama PK, baik yang departure area-nya dari Bangilan, Lasem, Bojonegoro, Wonogiri, maupun Jogjakarta.

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (4)


Pelayaran Sunyi Marcopolo (2)

Pukul 15.55, bus mengendurkan urat saraf di Rumah Makan Uun, berbarengan bus Jember dan Centralindo B 7411 WB, yang pasti jatah Pulau Garam.

Marcopolo, yang diambil dari nama petualang dari Venezia, mengembangkan layar kembali di bawah nahkoda kedua, Pak Amir. Soal gaya mengemudi tidak jauh berbeda, meski urusan mempermainkan “fear factor” ketegangan penumpang, masih lebih ganas Pak Khamsin. Pak Amir lebih mengedepankan kenyamanan dan rasa aman para penikmat di dalamnya. Tak ada aksi sikut-sikutan, semua diperhitungkan dari jauh sebelum melibas hadangan-hadangan yang dihadirkan oleh pemain Pantura yang lain.

Di tol Palimanan, mesin dibejek di rpm tinggi, hingga jarum speedometer mentok di angka 120+ km/jam. Kurang lebih sekitar satu menit, kecepatan dipatok di angka tersebut. Wow, sampai merinding dibuatnya. Perlahan tapi pasti, PK divisi Jakarta mulai melepaskan diri dari stereotip bus lelet menjadi bus berlari. Andai saja konsisten hingga waktu-waktu ke depan, siapa lagi yang bisa menghentikan gulungan dahsyat si Ombak Biru?

Sayang seribu sayang, jalanan benar-benar paceklik dari bus malam. Hingga check point kota Warteg, bus yang memiliki penggemar berat berjuluk PKS -- singkatan dari Pahala Kencana Sejati -- ini tak pernah sekalipun menyalip bus malam. Sunyi sepi suasana senja di jalan Deandels.

Armada bernomor registrasi B 7589 IZ menangguk untung di Kota Tegal. Tujuh penumpang tambahan didapat, meningkatkan okupansi seat di atas 60%. Digenapi lagi dua kursi yang laku jual di Pekalongan. Sempat terjadi kekacauan administrasi di agen kotanya Ketua Genk RG (Rajin Guyon), Kang Dadik ini. Kurang tahu detail permasalahannya, hampir 10 menit bus tertahan menunggu proses penyelesaian tuntas. Melintaslah Ezri Setra Morodadi Prima. Dan sekali kuberharap, nantinya jadi teman seperjalanan bus yang kutunggangi.

Ternyata tidak, malahan bus jurusan Cirebon-Malang itu tak pernah terlihat lagi, tak ketahuan rimbanya. Justru yang antiklimaks, saat New OH 1525 terjerembab dalam deretan panjang kendaraan menjelang kota Batang, dengan songongnya didepak Setra Madura yang tadi sore dijadikan bulan-bulanan. Misi balas dendamnya terbayar dan sejak itu, RG ini untouchable, tak pernah tersentuh lagi dari kejaran Pak Amir. Ternyata, sesama armada PK tak dilarang untuk saling mendahului.

Putaran ban tubeless mulai Alas Roban hingga Demak menari-nari di atas rasa kantukku, melelapkan diri dari alam kesadaran. Sadar sebentar saat mengisi solar lagi di SPBU Mangkang, Semarang, membalas utang SMS dari Pak Didik yang beberapa lama terabaikan. Dan kemudian tidur kembali…

Tiba-tiba,

Cittt…citt…..cittt…

Tapak roda beradu hebatnya dengan permukaan aspal di daerah Ngembal Kulon Kudus. Seluruh penumpang terdorong ke depan mengikuti hukum inersia dan sebagian berteriak histeris. Secara refleks, laju bus dibuang ke kanan, dan dalam hitungan sepersekian detik dikontra lagi ke jalur kiri. Zigzag…

Dalam guyuran hujan lebat, sebuah motor melakukan gerakan ngawur dan bar-bar di jalanan. Tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dari jalur kiri langsung menyimpang ke kanan untuk berbelok. Untung bus mampu berkelit, terhindar dari crash dengan biker tanpa kehilangan posisi keseimbangan dan terkena efek aquaplaning. Andai terjadi, bakal lebih buruk keadaannya.

Pak Khamsin, yang kini jatahnya pegang setir, segera membuka kaca jendela. Diomeli, dibentak dan digertaknya pengemudi motor sialan tadi. Makian, sumpah serapah hingga kata-kata sarkatif terlontar dari bibirnya. Aku menganggap wajar, karena ulah rider itu sudah keterlaluan membahayakan jiwa yang lain.

Gambaran kecelakaan dua bus Pahala Kencana beradu bodi dengan sepeda motor di Rembang kembali mengusik. Dan nyaris saja dinihari ini, kenahasan itu menghinggapi Marcopolo. Memang payah dan benar-benar kebablasan, sejak orde reformasi bergulir di negeri ini, euphoria massal menularkan kenegatifannya di atas jalan raya. Kebebasan tanpa rambu-rambu, norma-norma dan etika. Sakpenak udhele dhewe…

Akhirnya, untuk mengalihkan emosi dan kegeraman Pak Khamsin, kugeser tempat dudukku ke trap yang lebih rendah. Selonjoran di ujung selasar depan, di antara kursi pengemudi dan bangku kenek. Kuhabiskan sisa perjalananku ngobrol dengan beliau. Obrolan tentang berita terbaru di tubuh PK, armada OH 1526, kabar Pak Max, kebijakan loss solar berikut pengaruhnya ke masalah pendapatan kru, dan soal kecelakaan yang trend-nya meningkat pasca diberlakukan aturan tersebut.

Sempat Pak Khamsin bertanya kepada co-drivernya,

“RG (bus Jember-pen) kok ngga kelihatan ya, Mas?

“Mana mau Pak Kodok didekati bus di belakangnya…”

Wah, Pak Kodok menerbangkan bus Jember. Sepertinya bisa jadi next target ini? Ngincer Pak Kodok…Hehehe…

Mungkin, Pak Khamsin tahu kalau aku seorang bismania. Beliau unjuk kehandalannya sebagai pengemudi ketika dengan kesabaran dan kecekatannya melengserkan tiga armada PO Persada di ruas Juana – Rembang.

Trio bus wisata dari Kota Pemalang itu begitu kompak beriringan, satu sama lain saling membantu, mencarikan celah dan berusaha menarik bus paling belakang agar tidak tercecer. Meski deretan truk barang mengular, nyatanya ketiga bus tersebut saling lengket, tak tercerai berai oleh lalu lalang lalu lintas. Salut untuk ketiga drivernya!

Berbekal pengalaman segunung, rontok juga akhirnya sinergi OH 1525, RK8 dan OH 1521 di tangan Pak Khamsin. Setelah berkali-kali gagal mencuri kesempatan, dengan sekali hentakan di jalur kanan, didahuluinya ketiga bus tersebut yang samar terlihat mengusung rombongan para mantan gadis angkatan 50-an tersebut.

Jam 00.38, dengan waktu pelayaran selama 11 jam 15 menit, Marcopolo pun dengan selamat sentosa menunaikan tugas mengevakuasiku dari bencana kemanusiaan.

Bahwa tak sekalipun dinalar dalam akal sehat, hikmah dari kerusuhan Tanjung Priok ternyata membawaku berjodoh dengan cita-cita terpendam selama ini. Dari mula pertama melihat selintas lewat armada teranyar Pahala Kencana yang menggawangi jurusan Bandung-Surabaya pada saat menghabiskan malam Minggu bersama keluarga di alun-alun Rembang, lalu mengkhayal betapa “terhormat”nya duduk di singgasana kabin New Marcopolo itu, akhirnya last but not least, kini aku sendiri bisa mengkonversi obsesiku.

Sebuah karomah dari Mbah Priok yang terpercik ke dalam nasib baikku?

Wallahu alam…

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (3


Pelayaran Sunyi Marcopolo

“Hati-hati di jalan ya Mas, salam buat keluarga…”

Kalimat perpisahan pun dilisankan Pak Eko, sesaat setelah kubayar jasa hantarannya setiba di Terminal Rawamangun.

Hmm…lengang. Kabilah timur yang terlihat “cuma” Pahala Kencana (PK) Jember serta Kramat Djati (KD) B 7860 IW jurusan Denpasar. Wah, andai saja kembarannya yang nge-line, B 7861 IW, hatiku pasti terbujuk. Sementara itu, Lorena Evolution jadi satu-satunya duta swarna dwipa.

Mana ya PK Denpasar? Jangan-jangan sudah take off memulai penjelajahannya? Jarum panjang penunjuk menit menyandar di angka lima, kemungkinan aku memang ketinggalan armada incaranku.

Belum lama bertanya pada diri sendiri, datanglah jawabannya. Sesosok model catwalk nan anggun rupawan melenggang, bersiap pentas di depan podium. Masih wetlook, kinyis-kinyis dan memancarkan seribu satu pesonanya. Siapa lagi kalau bukan yang selama ini aku idamkan?

Bermodal kekuatan struktur rangka chasis MB OH 1525 dan piranti penggeraknya OM906LA, berbusana New Marcopolo besutan Adi Putro yang membebat sekujur tubuhnya. Dengan tatto tubuh terbaru berupa guyuran cat bertema grafis minimalis, perpaduan biru, silver serta kuning -- meski sederhana tapi tak menanggalkan eleganitasnya -- serta memasang banner di balik kaca depan “Jakarta-Denpasar”, benar-benar sempurna di mataku. Apalagi dibenamkannya sirip fantasi di lambung sisi depan, merefleksikan bahwa makhluk ini siap sedia merenangi lautan waktu yang membentang antara kota tua Batavia hingga Pulau Dewata, semakin menambatkan pendirianku untuk tak berpaling kepada yang lain.



Mantap, kulangkahkan kaki untuk menemui Mas Yudi yang mengageninya.

“Mas Yudi, saya mau ke Rembang. Boleh ikut yang Denpasar, Mas?”

“Tentu boleh Mas, ikut yang Jember juga silahkan…”

“Denpasar saja Mas. Oh iya Mas, saya cuma ikut saran Pak Didik, agar naik busnya Mas Yudi…” ujarku sembari kujual nama “Pak Didik SS” yang cukup kondang di keluarga PK Rawamangun. “Berapa Mas tiketnya?”

“Seratus lima puluh, Mas…”

Weih??? Tentu saja aku terperanjat dengan harga yang diberikan. Selama ini, kerapkali naik Ombak Biru dari Rawamangun tak pernah bergeming di kisaran 165-180ribu.

Rupanya, “Pak Didik Connection” jadi senjata ampuh untuk menggolakkan perhitungan Mas Yudi dalam menetapkan harga tiket ke Rembang. Pemeo “PK is most expensive to ride with…” tumbang siang ini. (Hehehe…terima kasih ya Pak Didik).

“Berangkat jam berapa, Mas Yudi?”

Karena aku ingin meng-crosschek dengan penjelasan Dek Rayyan bahwa PK Denpasar pertama diberangkatkan jam 12.00.

“Jam satu Mas. Telat-telatnya setengah dua…” jelasnya sambil melengkapi data di selembar tiket. Lho, bergeser departure time-nya?

“Eh, Mas, saya kasih seat depan ya?”, lanjutnya. (Apa Mas Yudi takut kena jewer Pak Didik ya kalau sampai berani menaruh kursiku di belakang. Hehe…)

“Terserah, Mas. Ok Mas, kalau begitu saya nyari makan siang dan sholat dulu…”

Jam 13.23, final check dilakukan sebelum bus diberangkatkan, bersamaan dengan kedatangan B 7716 VB Jakarta-Palembang.

“Siapa yang bawa, Mas?”, tanyaku pada petugas kontrol. Kali saja Pak Buntaran, Pak Max atau Pak Kodok yang bertindak jadi kusirnya.

“Pak Khamsin dan Pak Amir, Mas?”. Oh, ternyata dua-duanya bukan yang kumaksud.

Semenit kemudian, Pak Khamsin menggerakan HT 619 secara perlahan keluar kompleks terminal, mengangkut 11 penumpang. Marcopolo pun memulai pelayarannya, 15 menit di belakang bendera start Hino RG Jember . Dilihat dari garis wajahnya, driver ini pastinya cukup kenyang makan asam garam di jalanan. Terlebih cara pengendalian setirnya, begitu smooth dan terampil, menandakan jam terbang yang dikantonginya tinggi. Tapi kok sendirian ya, mana pramudi tengahnya? Sedari tadi aku tak melihat kru lain, kecuali Pak Khamsin dan asistennya.

Masuk jalan layang Ca-Pri disambung tol Cikampek, tenaga yang disemburnakan flywheel engine diesel keluaran Mercedes Benz ini benar-benar kuasa. Tanpa ba-bi-bu, langsung ambil lajur paling kanan, menyalip deretan pengguna jalan yang bergerak lebih lambat di samping kiri. Aliran darahku berdesir menyaksikan rpm seringkali di atasgreenline, dengan speed antara 100-110 km/ jam membelah kerapatan lalu lintas di jalan bebas hambatan. Tak ada sifat telapak kaki yang malu-malu menginjak pedal akselerasi, tiada istilah “gigi 0” dan nonsense akan ancaman tekor gara-gara rakusnya dapur pacu menghisap solar. Inilah era penjatahan BBM di operasional PK tak lagi berlaku. Sopir tinggal injak gas, tak perlu me-menej tetek bengek masalah fuel usage.

Satu driving style mengemuka. Pak Khamsin suka menempel bidang pantat kendaraan di depannya, sebelum menjalankan aksi overtaking. Yang membuat adrenalin makin terpacu, saat melakukan pengereman, benar-benar so close dengan jarak calon pecundang di depannya. Berkali-kali telapak kakiku berilusi dengan menginjak lantai kabin, takut pneumatic breaking-nya ngga nutut dengan kemauan pengemudi. Tapi rupanya, pria paruh baya ini cukup menyatu dengan karakter armada yang sebentar lagi bakal diskontinyu ini, digantikan OH 1526.

Adegan dramatisnya terjadi menjelang SPBU km 19, Bekasi Timur, saat navigator telat mengingatkan Pak Khamsin untuk mengisi cairan bersenyawa alkana sebagai nutrisi pokok bagi kinerja mesin. Bisa jadi, sopir-sopir masih beradaptasi dengan kebijakan baru ini, sehingga belum mampu mengingat di luar kepala tempat-tempat pengisian bahan bakar.

“Pak…pak…jangan lupa mampir!!!”

Padahal posisi bus berada di lajur 4 dan dalam kecepatan tinggi. Dengan cekatan, Pak Khamsin men-sinkronkan pedal rem, shift down gigi transmisi untuk memanfaatkan engine brake, dikombinasikan dengan aksi intip spion dan permainan lampu sein, diputarnya lingkar kemudi kuat-kuat ke arah kiri. Bus menukik tajam menyapu lajur lain. Namun, di sisi paling kiri, terdapat dump truck yang berjalan perlahan. Aku sampai memejamkan kelopak mata, karena dari perkiraanku, moncong bus bisa mencium buritan truk tanah tersebut.

Tapi, dengan skill yang tinggi, Pak Khamsin mampu bermanuver lincah, tipis lolos dari hadangan truk dan selanjutnya langsung meluncur ke dalam rest area.

Sampai-sampai aku lemparkan SMS ke Pak Didik, “Wah, bisa-bisa dua hari berturut-turut saya senam jantung, Pak”.

Saat menenggak minuman inilah, kucuri pandang pada bus Arya Prima yang tengah melaju di jalan tol. Yang jadi poin of concern-ku, pasukan Sumatra tersebut menggunakan armada lungsuran PO Haryanto, yang bermodel Skania Restu Ibu dengan livery baru ala armada Madura-nya.

Selepas memenuhi kebutuhan biologisnya, kuharap bakal bertemu lawan-lawan sepadan, yang slottime perjalanan mereka bersinggungan dengan Mercy Electric ini. Setahuku ada Akas Asri, Lorena Banyuwangi, KD Denpasar, Laskar Sakera (Kopral, Karina, KD) atau bus ranah Wonogiren yang lumayang nge-jozz, Aneka Jaya.

Bagiku, kedigdayaan sebuah bus terukur dari cara menampakkan dominasi dan superioritasnya atas bus lain. Tanpa itu, rasanya tak lengkap kalau disebut bus sess…

Tapi sayang, hingga ujung tol sepanjang 72 km ini, tak satupun bus malam yang bertebaran. Meski dibantu kemacetan di km 29, tak membuat arus bus-bus tertahan dan menumpuk. Duh, sepertinya tidak nge-pas dengan peaktime armada kloter siang.

Kalau pun ada prestasi yang boleh disebut, asap Euro 3(?) ini mampu menyembur karbon monoksida ke muka Sahabat Panorama 3, Warbex191 beserta saudaranya 134 serta Agra Mas 3097. Tapi apa sebanding kalau komparasinya dengan kelas bumel-an?

Mendekati pintu keluar Kopo, dengan rukunnya Galaxy Tentrem PK dan Aquarium OBL “XT” beriringan arah Jakarta. Berlomba siapa yang jadi tercepat untuk disematkan mahkota penguasa jalur Denpasar.

Di Pangaluh, penasaranku terjawab. Bus berhenti ketika seseorang melambaikan tangan menghentikannya. Dialah driver tengah, Pak Amir. Mengapa aku yakin begitu?

Karena secara fisik, mirip-mirip yang disebutkan Pak Didik SS, masih muda dan berkumis. Pak Didik sendiri pernah dipameri ketrampilan mengemudinya sewaktu sepulang turing sekaten di Jogja.

Antara Jomin hingga Pamanukan, senioritas Pak Khamsin makin terunggah. Pria yang logat bicaranya ber-genre Jawa Timur-an ini adalah prototipe kombinasi gaya Kudus-an dan bus Wetan-an. Mampu melarikan bus tanpa meninggalkan kenyamanan dan kestabilan armada yang dihelanya.

Sayang, cerita babak I berulang. Pantura disesaki truk-truk barang dan sesekali kendaraan pribadi dan angkutan umum rute pendek. Di daerah Sukamandi, barulah bertemu lawan segolongan, sama-sama bus malam. Tapi sekali lagi kurang mengesankan, karena tak perlu menguras keringat untuk menghempaskannya. Serba Mulya A-8, Sinar Jaya jurusan Slawi, Tunggal Daya armada 16 serta Tunggal Dara kode 23 jadi camilan ringan.

Justru duel dengan saudara sendiri, PK Madura B 7189 XB yang menarik disimak. Cukup alot, namun setelah tempel kanan, dorong kiri, pepet kanan, dempet kiri, RG1JS itu pun memberikan jalan bagi bus yang odometer-nya memampangkan angka 74ribu-an ini.

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (2)


Hitam dan Merah Adanya…(2)

Puas menelisik TKP, kudatangi workshop kerjaku. Di sini, kemarin sore aku berjibaku menembus rapatnya pagar pembatas areal perusahaan. Tak ingin menjadi mangsa konyol aksi massa yang gelap mata dan membabi buta saat mengejar satpol PP yang berlarian ke kantorku, dengan heroik kupanjat “benteng”setinggi ring bola basket dengan kawat berduri di atasnya, yang bagiku sendiri mustahil bisa melakukannya. Alhamdulillah, aku mampu lolos. Tak terbantahkan, kepanikan membidani lahirnya kenekatan serta keberanian.


Tak kuacuhkan lagi motor yang selama ini kujadikan “kaki” saat bekerja, kutinggal tergeletak begitu saja. Andai dirusak, dibakar atau diambil paksa, aku pasrah. Keselamatan badan tak bisa dibarter dengan apapun, pikirku kala itu.

Namun, dalam pelarianku aku merasa tak sendiri. Selain keluargaku nun jauh di sono, Mas Fathur, Mas Hendra, Pak Didik SS, Cah Ayu, Mas Yudi, Mas Imam dan Mas Andi bergantian menanyakan kabarku lewat pesan tertulis. Inilah yang menyumbang support dan meneguhkan sugesti, aku harus mampu “escape from the chaos”. Satu lagi bukti bahwa “BMC sejatinipun pasuduluran”.

Bersyukur, pagi ini kulihat “my matic” masih utuh, mesti 20 m di dekatnya truk kepolisian, Izusu Elf 120 PS, terpanggang dilumat api. Aku yakin, inilah doa dari BMCers yang dikabulkan Sang Penguasa Jagat, atas keselamatanku dan juga harta titipan-Nya.

Rekan-rekan kerjaku hanya segilintir yang hadir. Hari krida dadakan hanya diisi dengan ngobrol santai, sambil menunggu perkembangan keadaan. Aku pun sudah menyiapkan agenda tersendiri. Bila hari ini tidak ada kabar positif dan aktivitas pelabuhan masih berkabung, nanti siang atau sore ini kuputuskan pulang ke Rembang untuk keperluan mengungsi. (Jauh benar ya?).

Dan, who knows, kengebetan yang sejauh ini kupendam untuk menjajal Pahala Kencana Denpasar terbuka lapang dan bisa terwujud hari ini. (Sinting ya, dalam kekisruhan seperti ini masih sanggup berpikir bus apa yang akan dinaiki…)

Ah, mending main internet untuk membunuh kebosanan. Sepertinya iklim sudah kondusif dan aman-aman saja standby di kantor. Aku mesti mengubur rapat-rapat “niat nakal”ku, mengasingkan diri ke luar propinsi lebih dini.

Kunyalakan komputer…lumayan, pasokan listrik tetap terjaga dan koneksi ke dunia maya tetap lancar, tak terkena imbas tindak penjarahan kemarin.

Tentu saja, pertama yang kubuka adalah milis tercinta, bismania@yahoogroups.com. Sambil membaca email yang ada di inbox, kupantau situasi luar dari kaca jendela lantai 2. Di saat kekalutan menyelimuti suasana hati, aku dibuat terhibur dengan caper Mas Hary saat mblakrak ke Pacitan. (Wah, turing prematur itu Mas, mestinya menunggu saat Kota 1001 Goa disulap Tante Jupe menjadi 1002 Goa. Hehehe… peace ya bagi warga Pacitan….)

Lalu kubaca coretan kepingan luka buah karya Pak Didik SS berjudul tragedi Kalisari, tentang elegi cinta yang layu sebelum berkembang (benar ngga Pak Didik?). Tatkala terhanyut aura magis tulisan sesepuh BMC ini, dan mencoba untuk me-reply, tiba-tiba muncul teriakan nyaring dari bawah…

“Hey…pulang, pulang. Kantor dikosongkan. Mau ada sweeping dari F*R…!!! (nama salah satu ormas)

Entah itu intruksi dari siapa atau isu dari mana, di saat traumatis dan dikungkung “teror psikologis” pasca kerusuhan, omongan apa saja dipercaya keshahihannya.

Aku pun pontang panting berkemas dan bergegas meninggalkan kantor, serentak pula teman-teman yang lain. Kularikan roda duaku sekencang-kencangnya meski jalanan tersendat oleh keriuhan masyarakat yang tak jelas tujuannya. Di mulut pintu keluar, barikade aparat kepolisian sedang bersiap memblokade jalan. Duh, jangan-jangan informasi “hoax” tersebut benar adanya.

Dengan nafas terengah-engah seolah sehabis dikejar setan, menjelang waktu dhuhur, aku pun tiba di kost-an.

“Sudah Pa, pulang Rembang saja. Mosok kantormu memaksa karyawannya masuk kalau masih ribut-ribut begitu…”, saran istriku dengan roman rayuan melalui telepon.

Seketika teringat advice Pak Didik SS via SMS yang dikirim petang kemarin, “Mending besok (hari ini-pen) jangan masuk dulu, Mas!

Dua orang yang aku muliakan inilah yang akhirnya menjadi tukang kompor, memeledukkan kebuntuan labirin pikiranku untuk sementara pamit dari Jakarta, mencari suaka politik di kampung.

Yup, tekat bulat. Langsung packing perbekalan turing, ritual yang bagiku mempunyai kekuatan legalitas setaraf fardhu ain ini. Dan barangkali memang arwah Mbah Priok menggampangkan jalan untuk pulang mudik lebih cepat. Barangkali, inilah “durian kecil yang runtuh” dari tragedi 14 April.

“PK Denpasar berangkat jam 12.00 dari Rawamangun. Pasti dapet yang Marcopolo”

Begitu yang tersimpan di memoriku saat chatting dengan Rayyan BBG tempo hari.

Kulirik jam dinding, 11.48. Aduh, terkejar tidak schedule-nya, padahal berestafet dengan angkutan kota kurang lebih satu jam. Kalaupun naik ojek, setidaknya juga 30 menit-an. Aku seketika gusar.

Sudahlah, bis timur-an dari Rawamangun seabrek-abrek. Kalau pun plan meleset, banyak alternatifnya. Memang tidak mudah mengklopkan antara harapan dan kenyataan di lapangan.

“Pak Eko, antar saya ke Rawamangun ya, saat ini juga. Tolong, tunggu sebentar di Semper…”.

Aku pun memberi job order pada Pak Eko lewat alat komunikasi, tukang ojek langgananku yang biasa mangkal di simpang lima Semper.

Sepeninggal Tragedi Tanjung Priok; Kibar Bendera “PKS” (1)


Hitam dan Merah Adanya…(1)

Kamis, 15 April 2010.

Kususuri jengkal demi jengkal permukaan trotoar yang menjembatani perempatan Deli dengan lokasi kantorku. Hampir setiap hari, di jalan yang sama, di saat yang sama dan di lahan yang sama, rutinitas harian yang kulakoni berulang.

Matahari baru terbit sepenggalah. Semilir angin laut lembut menyapa kulit. Langit berwarna biru benhur menularkan aksen teduh di atas perairan Teluk Jakarta. Sementara riak gelombang riuh menciumi break water (pemecah ombak) di dermaga pelabuhan, bersenandung indah membawakan lirik tentang harmoni pagi di belahan utara kota raya.

Keceriaan panorama yang dilukiskan semesta seolah menenggelamkan sebuah tragedi kelam yang belum lama berselang. Episode gegar moral dan cacat perilaku tentang keberingasan anak-anak manusia yang berpikiran keruh menyikapi benturan dalam mempersepsikan kebenaran yang diyakini, kembali mencoreng wajah ibu pertiwi.

Detik ini, hari ini, irama kehidupan ladang pencaharianku berubah begitu drastis dibanding hari-hari yang lampau. Deru truk-truk kontainer yang sedang mengantri masuk ke dalam kawasan pelabuhan senyap tak terdengar. Deretan chasis yang kepayahan membopong paket barang impor berukuran 20 atau 40 feet, menghilang. Praktis, hanya pejalan kaki dan roda dua yang bisa menembus jalan selebar 20 m ini. Krane-krane raksasa menganggur, kegiatan bongkar muat terhenti. Para pelaku bisnis dibekap keresahan, distribusi barang tersumbat. Milyaran income per hari dari jasa sebuah terminal petikemas pun menguap, menjauh dari pundi-pundi profit perusahaan. Karyawan yang biasanya tengah sibuk dengan totalitas dalam menguber target, kini hanya duduk-duduk, jobless, berharap datangnya kejelasan situasi.

Yang tampak di depan pelupuk mataku, sungguh pemandangan memilukan yang tak terperi. Lautan bangkai kendaraan dalam posisi melintang, terguling, dan terbalik, menutup secara total gerbang keluar masuk pelabuhan. Kondisinya luluh hantak, tak lagi utuh berbentuk, serta berjelaga pekat dibumihanguskan sulutan amuk massa.

Bahkan, terlihat obyek kesayangan bus lover, turut jadi korban. Empat buah bus bergelimpangan, seakan sirna sosok gagah dan menawannya ketika melahap aspal.


Alat pelindung diri berupa tameng, tongkat bambu, bongkahan batu, pentungan, helm dan penutup dada bergeletakan di seantero tempat dilupakan tuannya. Ceceran darah yang menggenang mulai mengering, menyebarkan aroma amis menusuk organ penciuman. Serpihan kaca berserakan, mengancam tapak-tapak kaki yang nekat melindas. Di sudut yang lain, pos penarikan retribusi dijarah dan dibakar, ludes tak tersisa. Jalanan beton menghitam, terpapar terik suhu ratusan derajat. Dedaunan tanaman pelindung pucat, menguning dan meranggas tak kuasa melawan jahatnya kobaran si jago merah.

Rabu kemarin, tanah Tanjung Priok berlumur kenestapaan. Kerusuhan yang melibatkan gabungan satpol PP dan polisi versus warga terkait rencana penggusuran makam Mbah Priok, telah memburamkan potret watak bangsa yang penyantun dan menjunjung nilai kemanusiaan. Nyawa-nyawa demikian murahnya dipertaruhkan dengan jargon-jargon pembangunan ekonomi yang kerapkali ditunggangi kepentingan dunia kapitalis. Dan kini, semua mesti menanggung akibat dari pemaksaan kehendak, anti-dialog, premanisme birokrasi dan pola represif dalam menyelesaikan masalah.

“Ya Allah, inilah harga yang harus ditebus oleh blunder para penguasa, yang mengesampingkan kepentingan umat saat hendak menunjukkan ketaatan dan ketertundukkan kepada perintah atasannya?” tolak batinku.

Aku pun tak berhenti melangkah meski rintangan menghalang. Di kanan kiri, titik-titik api masih berpijar, menghabiskan material yang belum sempurna terbakar. Asap tipis kehitaman mengepul ke awang-awang. Belasan orang sibuk mempreteli komponen “mayat-mayat” tanpa dosa, memutilasi puing-puing kendaraan dengan alat seadanya, mengais untung dari ekses huru hara.

Meski bau sisa-sisa kebakaran dan gas air mata begitu menyedak hidung dan memedihkan penglihatan, kuarahkan kakiku untuk melongok makam Habib Hasan bin Muhammad al-Hadad, alias Mbah Priok. Hampir 10 tahun aku “bercocok tanam” di sekitar sini, namun belum sekali pun melihat wujud bangunan yang begitu dikeramatkan oleh para jamaahnya. Harus kutuntaskan rasa penasaran ini, demikian sumbarku.

Sekumpulan orang terlihat menyemut di bawah gapura makam. Sayup-sayup kudengar ceramah yang bisa memantik obor perlawanan dan tentu, bernada provokatif.

“Ini tanah kita. Dan sekarang, milik kita mau dirampok. Jangan sampai mundur selangkah pun mempertahankannya. Wajib hukumnya bagi kita untuk membelanya mati-matian. Itu jihad…”, teriak salah satu oratornya.

Ah, entahlah, siapa yang patut ditunjuk hidungnya atas semua kesalahan ini? Aku terlalu bodoh untuk mengurai akar persoalannya.
[gallery]

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (4)


Di etape pamungkas inilah keluar karakter bus Muria yang sesungguhnya, trengginas jalannya. Bahkan, Gaya Putra tadi berhasil disalipnya dan mampu menguntit dua armada dari grup Ijo, Lorena. Wow, selambat-lambatnya bus Kudus-an, masih lebih lambat bus dari tlatah Mangkunegaran.

Tapi tetap saja, determinasi yang ditunjukkan itu meaningless…

Sementara, raja siang sudah mulai “say hello” di cakrawala timur saat bus keluar dari tol Kanci. Sekarang gantian aku mengkalkulasi, kira-kira telat berapa jam saat melakukan fingerprint di piranti kehadiran kantor, dengan variabel Senin adalah hari potensi macet kota Jakarta.

Bus berhenti di SPBU di daerah Lohsarang. Memberi kesempatan penumpang untuk membuang sampah metabolisme sebab toilet bus praktis tak bisa digunakan lagi karena ketiadaan air bersih.

Jalan kembali dengan driver I yang “urang awak” sebagai Pak Kusir-nya. Yang lucu, gara-gara concern pada kecepatan, terlupa masuk RM Taman Sari. Sehingga bus memutar di kolong jembatan layang Pasar Pamanukan. Ternyata “kekacauan” bus ini belum berakhir.

“Napa masuk rumah makan segala sih Pak, sudah kesiangan ini…”, protes penumpang di kursi depan.

“Kalau ngga mampir, kita yang disalahkan Mas…”, ungkap driver dengan tampang yang dihiasi kumis tebal.

Mendingan lah, cuma nge-cek jumlah penumpang, tidak sampai makan pagi. Tapi kok ya jadinya absurd, masak kontrol ketat masih saja ada celah bagi kru untuk menaikkan penumpang haram.

Di sinilah kru diomeli oleh controller.

“Temenmu sudah masuk setengah empat, bus ini kemana saja?”

Sebelum kru menjawab, penumpang bersahutan memberikan penjelasan akar penyebabnya.

“Ya…ya…nanti saya lapor bos-e. Mosok jam setengah delapan baru masuk Pamanukan”, katanya untuk mendinginkan suasana.

“Jangan lapor thok, tapi ya diperbaiki busnya….”, eyel penumpang.

Lalu lintas mulai padat oleh kegiatan warga, sehingga laju OH-1521 tidak bisa lagi maksimal. Mulai Pamanukan hingga Jatisari, saling beriringan dengan dua Karina, Rasa Sayang, OBL Mataram dan Gaya Putra.

Di pertigaan Jomin, Si Pinky mulai tampil agressivitasnya. Seperti kesetanan, diblongnya deretan kendaraan yang tengah merayap, hingga bus-bus Tegal-an dari arah depan dibuang ke bahu jalan. Lampu dim kendaraan bergantian mengedip, saat bus ini nekad merenggut jalur berlawanan. Padahal di daerah ini seringkali Pak Polisi “rajin” mengintai mangsa.

Jangan-jangan sopir dihinggapi stres akibat molornya waktu tempuh perjalanan dan menghadapi problem sulit di jalan?

Tapi kok ya sia-sia usahanya barusan, saat bus kembali mampir di ruko Cikampek, tempat pos Pahala Kencana dan Lorena.

Mau apalagi bus ini?

Waduh….unloading beragam paket di depan kantor Pahala Ekpress divisi Cikampek. Dan petugas PE ikut membantu mengalokasikan kargo. Jangan-jangan ada kerjasama antara TSU dan Pahala Ekpress ya? Karena di salah satu bungkus kemasan paket tertulis tujuan pengiriman “Palembang”, kemungkinan barang ekspedisi diestafetkan dari TSU ke Pahala Kencana jurusan Sumatra.

Untung saja, jalan tol Cikampek relatif lancar. Kemacetan parah hari Senin pagi menjelang jam kerja tampaknya sudah terurai. Sehingga bus VIP ini terbantu untuk menuntaskan kewajibannya mengantar penumpang ke terminal AKAP tertua di Jakarta.

Jam 10.15, sapu jagat landing di Pulogadung. 16 jam 30 menit total time on board-nya. Ceritanya malah sapu jagat tersapu malam. Ffuhhh…I am so tired now.

Tapi omongan Pak Sopir terbukti, Gaya Putra berhasil dipukul balik, diberi pelajaran setimpal gara-gara merampok penumpang bus lain yang sedang kesusahan. Hanya beda tiga menitan, Gaya Putra baru bisa menyusul kemudian. Aku pikir, pasti penumpang yang pindah bus bakal menyesal. Sudah bayar ekstra, waktu kedatangan di terminal destinasi tak signifikan jedanya.

Beraneka ekpresi dari roman muka penumpang yang hendak melangkah turun. Ada yang mengomel, berkomentar pedas, menggerutu, cemberut dan sebagian ada yang memaklumi, yang penting tiba di tujuan dengan selamat.

Semua itu disikapi driver dengan senyum yang sarat keakraban.

“Matur nuwun ya Mas, Pak, Bu. Semalam sudah banyak dibantu. Saya hanya mohon maaf sedalam-dalamnya atas perjalanan semalam yang jauh dari harapan. Kalau semuanya tidak memaafkan, dosa saya makin bertambah besar. Jadi sekali, sepurane nggih…”, ucapnya tulus sebagai salam perpisahan.

Kuacungi jempol pada twin brother Cak Brodin ini atas manajemen konfliknya yang begitu elegan dan luar biasa. Serasa kami sebagai penumpang mudah melupakan kenangan pahit serta sengsara tadi malam. Justru yang akan selalu kami ingat tentang kedewasaan, kebersahajaan dan kebijakan Bapak Sopir dalam mengatasi gap kekisruhan dengan para penumpangnya.


Kapokkah aku naik bus “Sapu Jagat Pemangku Buana” pendekar dari Karangturi ini? Hmm…(sambil menerawang langit).

Rabu, 09 Juni 2010

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (3)


Greg…tiba-tiba bus mendadak shutdown sesaat akan go setelah lampu hijau di traffic light pertigaan Genuk, Semarang, menyala. Saat kunci starter berkali-kali dihidupkan, tetap tak mau on. Deretan kendaraan di belakangnya mulai mengular, tersumbat mogoknya bus ini di lajur tengah.

“Mas, tulung ewangi nyurung…”, pinta kenek seolah tanpa dosa pada penumpang. (Mas, bantu dorong)

Belasan laki-laki berbaik budi membantu mendorong bus ini. Sebagai warga sekampung dengan TSU, aku jadi malu menyaksikan PO kebanggaan wong Rembang didorong bergotong royong. Jadi lahan proyek padat karya para penumpang. (Pripun niki Mas Hary?)

Setelah melahap tol Kaligawe-Jatingaleh-Krapyak, sapu jagat ini kembali tertatih-tatih menyusuri trully pantura circuit. Serasa tidak ada pemandangan menarik bagiku, karena hati mulai dibekap kegondokan.

Lewat kompleks rumah makan, semuanya hampir sama, tinggal acara cuci priring karena selesai melayani hajat dinner penumpang. Sari Rasa, Sendang Wungu, Gerbang Elok, Jaya Giri dan Bukit Indah nyaris kosong melompong.

Selesai menjamu makan malam di RM Kota Sari, Gringsing, bus bersiap mendaki tanjakkan Plelen di bawah kendali sopir kedua. Bus yang nge-line Tuban-Jakarta ini mulai dihela. Lumayan…

Puluhan bus malam dari Jakarta berparade, memberi sejuta warna pesona jalan Deandeles. Sementara lonceng waktu mewartakan jam 23.30. Hitung-hitunganku, tak bakalan tercapai target waktuku.

Sialnya, kondisi headlamp semakin mengkhawatirkan. Kian lemah cahayanya dan sopir hanya mengandalkan lampu penerang jalan umum dan sorot lampu kendaraan dari depan. Di luar itu, terlihat kalau Marcopolo buatan Tri Sakti ini berjalan dalam kebutaan. Jelas driver meraba-meraba posisi jalan dengan melambatkan putaran mesin OM 366 LA ini. Lampu kabin semuanya dipadamkan, seakan ada penghematan energi.

Aku mulai tak tenang bila memejamkan kelopak mata. Retina ini kubuka paksa, mewaspadai setiap guliran detik dengan kengerian yang diciptakan, menaklukan keganasan Alas Roban dalam kegelapan. Aku mulai mencari jawab, mengapa bus ini kehilangan tegangan untuk memijarkan bohlam lampu flight-nya? Dugaanku, dinamo ampere tak mau men-charge bateray kembali. Tapi mengapa, sejauh perjalan Rembang hingga Batang, accu-nya tak juga tekor, tetap saja sanggup menyuplai strum kelistrikan bus ini?

Musuh biologis yang berbentuk uapan kantuk tak bisa aku lawan. Tanpa kusadari, aku tertidur. Zzz…

Terbangun kala bus berhenti dan mesin kembali dimatikan menjelang ringroad kota Pemalang. Aku pun turun untuk menyidik apa gerangan yang terjadi. Jam di HP-ku terpampang angka 01.32

“Ada apa Mas, kok berhenti?”, tanyaku pada drivernya.
“Lampunya mati Mas, dinamonya ngga mau ngisi…”, terangnya.
“Rusak apa fan beltnya yang putus?”
“Fan beltnya kendor Mas. Biar ngisi, bus harus berjalan pelan, karena rantai fanbelt akan menegang dan bisa memutar pulley alternator. Kalau bus kenceng, fanbeltnya ngga mau nyantol. Tapi kalau begini, bisa jam berapa sampai Jakarta?” jelasnya dalam kebingungan juga
“Ngga bawa v-belt cadangan Mas?”
“Ngga Mas”

“Mata saya pedas dan lelah Mas, melototin jalan terus,” curhat driver yang rautnya sekilas mirip ikon Orkes Melayu Sera, Cak Brodin, “Makanya, bus ini istirahat dulu…”

Sembari ngaso, kru menyuruh tukang tambal ban di dekat lokasi pemberhentian untuk membersihkan filter udara dan menyemprot ruang mesin dengan hembusan angin yang dihasilkan kompressor. Apa hubungannya coba, toh masalah bukan di dapur pacu, tapi di kelistrikan?

Dipaksa untuk jalan lagi, dan sekali lagi bus didorong ramai-ramai.

Entah berapa kali sopir gedandapan (tergagap-gagap) karena buram melihat kondisi jalan. Bahkan, sempat akan menyium bak truk gandeng di ruas jalan yang sedikit penerangan, hingga kenek member aba-aba keras kepada sopir.

“Hey…hey…awas….awas…!!!”

Kemudian, entah berapa sering pula celutukan serta celometan penumpang yang menjelek-jelekkan kru maupun bus. Sudah tahu bus dalam kondisi tidak fit, tapi diperkosa untuk jalan, itulah yang membuat mereka tidak habis pikir.

Defile bus-bus jurusan Banyuwangi, Jember, dan Malang satu persatu mengasapi nafas muda bodi tua bus ini. Kulanjutkan tidur-tidur ayamku meski masih diliputi perasaan was-was.

Hawa pengap kabin kembali menyadarkanku dari peraduan. Bus berhenti kembali di daerah Tanjung, Brebes. Dan sesuai perkiraanku, waktu sudah menjelang Shubuh, jam 03.35. Demi menghirup udara segar, kulangkahkan kaki keluar dari Sprinter yang bukan jago sprint ini. Terlihat sopir dan kenek belanja kabel di toko onderdil “Roda Maju” (kalau tidak salah) yang buka 24 jam.

“Ada apalagi Mas?”, tanyaku saat sopir kembali ke armadanya.
“Gara-gara saya kebut, akinya tekor Mas. Semua lampu sudah padam, klakson tak bunyi, sein tak fungsi. Saya tak berani jalan lagi Mas, benar-benar tak tahu jalan. Keselamatan penumpang yang saya pikirkan. Daripada terjadi apa-apa, malah saya yang dituduh melakukan kesalahan berat”

“Terus bagaimana Mas?”
“Ini coba diakali, di”bandrek”, strum diambil dari dinamo AC. Kali aja mau nyala…”

Saat perbaikan, tiba-tiba satu warga Soloensis, PO Gaya Putra AD 1514 CF ikut berhenti. Pura-pura ikut membantu, tapi ada muslihat tersembunyi. Kru merayu penumpang TSU untuk oper ke busnya. Beberapa penumpang termakan iklan iming-iming dari kepandaian kenek bus yang berhomebase di Karanganyar tersebut dalam bersilat lidah. Padahal mereka menanggung sendiri biaya tambahan, tanpa ada kompensasi dari pihak TSU.

Sopir-ku pun naik pitam. Tapi apa daya, itu kemauan penumpang sendiri.

“Kalau saat ini bos menelepon untuk mengoper penumpang ke bus lain, saya malah lega Mas. Tapi kalau seperti ini, terus ada yang komplain ke kantor, saya pasti dimarahi sama Mbah Do. Coba nanti, aku balas bus kupret tersebut. Siapa yang akan duluan masuk Pulogadung”, tantang sopir.

Dalam batinku, “Modalmu apa Pak Sopir?”. Sesama sapu jagat dilarang saling mendahului. Hehehe…

Selesai merekayasa sistem elektrikal, bus dijalankan kembali dengan start awal didorong lagi.

“Ora sisan disurung tekan Jakarta Pir…!!!’, umpat salah seorang penumpang. (Tidak sekalian didorong sampai Jakarta, Pir)

Tapi hasilnya nihil, no result. Baru 2 km berjalan, bus berhenti lagi. Kemungkinan salah instalasi kabel.


“Bus baru-barunya ke mana, Mas?”, kucoba lagi untuk mengakrabkan diri dengan kru.
“Pokoke Mas, yang diurusi juragan ya wisatanya. Bus ini juga bukan batangan saya. Di pool ngga ada bis lagi, tinggal bus remek ini. Kalau sampeyan nanti dapat bus ini atau yang warna biru, tak usah naik Mas. Itu bus ra nggenah semuanya,” nasehatnya sambil menahan geram.

Aku pun tertawa, karena aku pun pernah tersiksa di dalam armada biru TSU.

“Sore nanti jalan ke timur lagi Mas? Dari Lebakbulus ya?”, tanyaku kembali.
“Walah Mas, mana mau penumpang Bulus dikasih beginian. Pulogadung saja belum tentu laku…”, bebernya.

Di sisi lain, kekesalan penumpang makin menjadi-jadi. Kru seakan menjadi sangsak hidup cemoohan, makian dan caci maki dari mereka.

Tapi yang aku salut, sopir kedua tampak tenang dan tidak terpancing emosi. Padahal, kalau dilihat dari garis wajahnya, masih terbilang muda. Dibalasnya aksi tak terpuji penghujatnya dengan tutur lembut dan permohonan maaf.

“Pak, silahkan merendahkan saya atau Tri Sumber Urip. Saya terima kok, memang begitu kenyataannya. Baiknya, Bapak-Bapak jangan hanya menyalahkan saya. Saya cuma babu, bekerja sesuai perintah bos. Kalau ditugaskan berangkat…ya saya berangkat. Soal busnya layak apa enggak, itu wewenang mandor. Kalau mau lapor, silahkan saja biar besok-besok ada pembenahan. Maaf ya Pak, bukannya saya membela diri, Bapak-Bapak juga harus ngerti posisi saya”, ujarnya kalem.

Sopir pertama yang mulai dari Gringsing hanya molor, sekarang turut membantu mengutak atik trouble yang terjadi. Eh, ndilalah kok ya teratasi. Entah bagaimana caranya, fan beltnya bisa di-adjust kembali kekencangannya. Strum kembali bisa mengisi. Lha kok jurus ini tidak dikeluarkan dari awal saat penyakit itu muncul?

Tapi sayang, yang dikorbankan adalah air conditioning-nya. Bus mematikan pendingin udara, karena lebih mementingkan power mesin untuk berlari, bukan untuk menunjang kesejukan kabin. Yes already, no what what…kalau keadaan darurat, sebagai penumpang ya mesti mengalah.

Unit bus yang produknya telah diskontinyu ini didorong lagi dan artinya sudah empat kali dibantu tangan-tangan manusia saat proses starting.

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (2)


Pukul 16.24, saat berangkat dari pondok kedamaianku yang terletak jauh di pelosok kabupaten, diantar ibunya anak-anak berboncengan naik roda dua.

Ketika di tengah jalan, tiba-tiba ada SMS masuk. Sambil tetap di atas motor, kuminta istri untuk membacanya, khawatir agen memberi info kalau busnya sudah menunggu. Ternyata dari sohibku, Mas Hary Intalan Intercooler yang mengabarkan habis kres dengan NS 19 serta NS 39 di Kaliori. Loh, kemana arek ini? Sedang menunaikan ritual wajib bismania-kah?

Ternyata oh ternyata… Petinggi PO Cendana beserta couple-nya ini sedang turing tanpa restu orang tua, naik RK8 berbaju Prestige yang dipunya PO Indonesia. (Hayo, tak bilangin Papi nanti…)

Dan kuminta istriku untuk menjawab pesannya karena aku sedang pegang setang kemudi. (Maaf ya Mas Hary, kalau bahasa SMS bukan aku banget, soalnya istriku yang menulisnya. Hehehe…)

Jam 16.50, tiba di Terminal Rembang. Suasananya sudah lengang, tinggal empat orang yang senasib sepenanggungan denganku, menunggu kedatangan armada TSU.

Sekali lagi datang SMS dari lelaki berpostur atletis ini, sesaat setelah bus patas Semarang-Surabaya yang disewanya melewati kota kecamatan Lasem.

“Karangturi tainment : Calon mantu Bah Do abal-abal mengabarkan ada TSU biru panorama 3, gubuk reyot part 2. Hahaaiii…”

Aku hanya tersenyum kecil selepas membacanya.

“Mau dapat armada “sebusuk” apapun, aku sudah siapkan mental Mas,” gumamku.

Sesuai adat, armada sapu jagat TSU ini tak pernah seragam, lebih bersifat untung-untungan. Kalau nasib baik, bisa berjodoh dengan Mercy XBC-1518 New Travego Morodadi Prima, setengah beruntung naik OH King Setra Morodadi Prima, kalau apes ya dihadiahi Sprinter ala Tri Sakti, yang sering dicap gubuk reyot dengan pagupon doro nangkring di atasnya.

Lantunan ayat-ayat Al Qur’an dari corong Masjid Besar Alun-Alun Rembang lantang berkumandang, penanda Maghrib akan segera tiba. Tapi, TSU tak kunjung juga terlihat sosoknya. Sinar terang mentari telah menyurut, berganti rona lembayung senja yang mulai menggantung di ufuk barat tanah kelahiranku.

Satu penumpang yang sedang duduk di emplasemen terminal mulai resah dan gelisah.

“Sudah setengah enam, kok belum datang ya Mas,” tanyanya padaku.
“Ah, biasa telat kok Mas. Pernah jam enam seperempat baru datang” kilahku.

Aku sih tidak kaget, namanya juga sapu jagat. Semua serba asal-asalan. Jadi wajib hukumnya berdamai dengan segala keterbatasannya.

Justru yang terlihat melintas Pahala Kencana Madura dengan bodi racikan Centralindo. Tumben, cepat benar sebelum matahari tenggelam sudah menjejak jalanan kota Rembang.

Di susul kemudian Galaxy Tentrem memajang jurusan Madura-Jakarta. Nah, ternyata benar soal gosip kalau armada-armada kelas premium Ombak Biru mulai digeser ke jalur Madura, setelah Marcopolo Adi Putro mulai berdatangan memperkuat skuad divisi Jakarta.

Tepat di belakangnya, akhirnya datang juga.

Oh me…, yang datang ternyata kembaran Marcopolo Tri Sakti berlivery dunia bawah laut yang pernah aku naiki sebelumnya.

http://didiksalambanu.wordpress.com/2009/05/26/ada-cerita-dari-balik-gubuk-derita-1/

Meski beda dalam hal body painting, yang ini mengusung corak grafis minimalis dengan theme “Pinky”, tapi soal “kesederhanaan” armada, setali tiga uang. Sami mawon. Bahkan, plat nomornya yang dipakai “The Blues” dulu sekarang berpindah kepemilikan ke bus ini. Akal-akalan yang jamak lumrah dilakukan para pengusaha otobus.

Tak apalah, toh aku sudah men-declare, “I’m busmania not PO mania”. Aku harus belajar menyayangi bus yang tampil apa adanya ini.

Kondisi interior sungguh memprihatinkan. Kulit jok dan langit-langit tampak kusam dimakan usia edar bus ini. TV tabung dan CD Player hanya jadi pajangan semata. Jok bermerek “Perfect” yang aku duduki piranti reclining sudah rusak, tanpa dilengkapi selimut, apalagi bantal. Kaca samping mengusung dual mode, kaca mati dan kaca buka tutup, yang notabene ciri khas bus bumel. Meski tubuh luar masih terlihat mulus, tapi di beberapa titik cat terlihat mengelupas. Bahkan, di sisi kanan, tulisan “Urip” telah hilang, menyisakan sepenggal nama “Tri Sumber”. Benar-benar tak terawat sebagaimana mestinya.

Meninggalkan terminal Rembang, dengan 70% kapasitas kursi reserved, bus langsung disambut hujan lebat. Entahlah, apakah Sang Pencipta sedang memberkahi bumi kawista yang beberapa hari ini dihujami panas terik ataukah alam sengaja memandikan bus bernomor K 1585 AD agar terlihat segar, wetlook dan kinclong? Petir yang menggelegar bersahutan seakan memberi cambuk bus ini agar segera berlari, sekaligus membentakku karena melupakan teman lama (Nusantara) setelah kenal sahabat baru.

Ya Allah, tak mengapa Engkau pertemukan hamba dengan bus macam begini, tapi hamba mohon, lancarkan perjalananku malam ini. Amin…

Baru saja selesai berdoa, tiba-tiba penumpang di seat 23 dan 24 meloncat.

“Oalah Pir, gendenge bocor…”, teriak salah satunya dari belakang. (Oalah Pir, gentengnya bocor)

Hahaha…cucuran air dari atap deras membasahi jok berwarna merah maroon kucel itu.

“Ember bocor ngene kok isih dilakokno tho Pir. Koyok ra nduwe bis liyo…”, imbuhnya.
(Ember bocor begini kok masih dijalankan. Seperti tak punya bis yang lain)

Demikian kekritisan, kevokalan dan kevulgaran penumpang Muria Raya dalam menyampaikan uneg-uneg, keluhan dan aspirasinya.

Tiba di Batangan, bus mampir di agen. Tapi herannya, setelah penumpang naik, bus tak jua berangkat. Malah terdengar tools beradu dengan komponen bus…kluthak kluthik…entah kru sedang memperbaiki apa, karena rinai gerimis masih membumi serta suasana agak gelap sehingga tak tampak jelas apa yang dikerjakan.

Bus berjalan kembali. Tapi sungguh di luar dugaan, bus malah menyiput. Tak ada greget cara pembawaan pramudinya. Yang aku tak habis pikir, lampu besarnya begitu redup, tak kuasa menerangi jalan. Bahkan, acapkali separo roda bus terbuang ke bahu jalan karena tak bisa melihat jalan. Ada apakah ini?

Jam menunjuk angka 18.29 ketika melenggang masuk Terminal Juana. Sekitar 8-10 penumpang naik memenuhi kursi yang masih kosong. Aku akui, kota bandeng adalah tambang emas PO berlogo bola dunia ini. Selain banyak loyalis dari daerah ini, banyaknya pengusaha kuningan memanfaatkan TSU sebagai bus paket untuk mengusung produk mereka ke Jakarta.

Telah 15 menit berhenti, bus tetap tak beranjak dari tempatnya. Malahan, sopir mengajak kenek makan malam di belakang terminal. Ya ampun, mana pendekatan ke konsumen agar TSU makin dipercaya kalau seenaknya begini dalam melayani penumpang?

Menyinggahi terminal Pati, laksana masuk area kuburan. Sepi, hening dan remang-remang karena tak ada lagi aktivitas. Yang menginap di dalam terdapat dua armada Sumber Larees dan beberapa bus medium Purwodadi-Pati.

Di jalur Pati-Kudus, seolah Mercy Intercooler ini semakin tak berdaya. Bahkan suara gemlodagan makin menjadi-jadi karena jalur sepanjang 25 km ini penuh lobang dan konturnya bergelombang. Tak ada aksi pecicilan, yang ada malah jadi bahan blong-blongan truk-truk bermuatan sedang. Aku semakin bingung, sebenarnya bus ini sakit apa? Kapan kau tunjukkan merahmu, TSU? Kalau very very slow begini, jam berapa sampai Pulogadung?

Tiba di Terminal Jati Kudus, tak terlihat satupun armada Muria Raya. Yang sudah-sudah, saat singgah di kota Mas Fathur Raras ini, setidaknya masih menemui kabilah bumi Kartini, PO Muji Jaya dan satu armada PO Haryanto.

Yang semakin aku tak mengerti, di saat TSU perlu memangkas waktu, yang ini malah masih sibuk mencari penumpang. Padahal semua kursi telah terjual. Tebakanku, yang dicari adalah sarkawi-an.

Memang profit bagi kru, 3-4 penumpang ilegal didapat. Meski harus berdesak-desakkan di space depan toilet, karena sudah tidak ada bus alternatif yang lain lagi.

Penumpang mulai menggerutu. Apalagi ada dua penumpang baru sebagai tambahan memaksa turut.

“Iki tok anggep gabah opo piye Pir…ditumpuk-tumpuk ngene”, olok-olok dari salah satu penumpang. (Ini apa dianggap gabah…kok ditumpuk-tumpuk begini).

Akhirnya, jam 20.48 keluar dari terminal baru tersebut dan bertemu pantat LE-411, bus Lorena pertama dari Surabaya. Secercah rasa pesimis mulai merambat dalam pikiranku. Besok aku terlambat ngantor. Hiks…

Lagi dan lagi, sopir masih berusaha memungut Si Sarkawi di depan Ponpes seberang SPBU Nusantara.

Duh…duh…duh…pan sudah full seat, mestinya sekarang kan waktunya berlari, apalagi yang mau dicari?

Bis kembali melaju, tapi tak ada kemajuan, tetap saja pelan. Kalau aku kira-kira tak sampai 80 km/ jam. Satu persatu laskar Sakera mendahului. Karina, Kramat Djati, Haryanto dan Pahala Kencana.

Untunglah, ada poin baiknya dari bus kelas VIP ini. Selain bunyi klaksonnya yang unik mirip bus Cirebon-an, adalah hembusan pendingin udara yang begitu dingin menusuk tulang. Hati penumpang yang sedang panas bisa diredam kesejukan AC Thermo King kandang merpati ini.

Ya sudah, pasrah. Obat kecewa ya tidur…

Berdamai dengan “Sapu Jagat” (1)


Di entitas railfans, fusi dua kata “Sapu” dan “Jagat” yang membentuk idiom “Sapu Jagat” tentu bukanlah barang baru yang terdengar asing di telinga. Kosakata yang diadopsi dari istilah “Doa Sapu Jagat” menjadi “Kereta Sapu Jagat”, seringkali menjadi salah satu bahan pembicaraan hangat di forum masyarakat transportasi tentang keberadaannya yang kontroversial. Meski penampakan wujudnya hanya saat momen ramai penumpang, -- semisal arus mudik lebaran -- sebutan yang merujuk pada kereta terakhir yang dibebani tugas mengangkut sisa-sisa penumpang yang tak tertampung kereta reguler, sempat diakui secara resmi oleh Pemerintah sebagai penamaan baku salah satu rangkaian kereta api. Meski kini kereta sapu jagat dihapus dan bermetamorfosis menjadi kereta komunitas, namun kepopuleran sapu jagat terlanjur melekat dan melebur di dalam dunia perkereta-apian tanah air.

Tak perlu ditanya soal kenyamanan di atas kereta sapu jagat. Kereta yang berstatus moda angkut tambahan ini diterjunkan ala kadarnya, minim fasilitas dan cenderung tidak manusiawi. Hingga kereta kargo sah-sah saja disulap menjadi jajaran gerbong tanpa isi, hanya los tanpa sekat dan tempat duduk. Penumpang dipersilahkan duduk lesehan bila dengan terpaksa mau ikut. Karena kembali kepada fungsi awal Sang Sapu Jagat, “membersihkan” penumpang yang masih tertinggal di stasiun lantaran tidak mendapatkan tiket kereta terjadwal.

Meski dalam konteks berbeda, di kosmos perbisan pun tertular “virus” sapu jagat ini untuk mewakili “the last bus standing”, menawarkan solusi bagi penumpang yang kemalaman tiba di terminal, melakukan trip tanpa perencanaan atau tak kebagian kursi yang diincar sebelumnya. Mengambil contoh, di trayek Jakarta-Surabaya ada Setia Bhakti dan Agung Bhakti, PO Tri Mulia di jalur Solo-Jakarta atau Purwokerto-Jakarta yang diisi Anggrek Cempaka.

Sekali lagi, jangan menuntut soal pelayanan berkelas dan armada yang up to date. Karena yang dijual bus ini adalah waktu take off paling akhir dengan harga yang bersahabat, mengais rejeki dari ketidakberuntungan calon pengguna bus.

Dan dalam persepsiku, tak jauh berbeda dengan PO berkebangsaan Lasem, Tri Sumber Urip (TSU). Bus ketiga yang berangkat setiap harinya dari timur ini layak kalau aku angkat sebagai sapu jagatnya jalur Rembang-Kudus-Jakarta.

Mengapa tidak?

Dengan pemberangkatan paling malam dibanding bus-bus lain, yakni jam 5 sore dari Terminal Kota Rembang, 1-2 jam dibelakang Pahala Kencana, Nusantara, Haryanto, Karina maupun TSU I dan II, melayani segala jurusan mulai Pulogadung, Lebakbulus, Cibinong hingga Gunung Putri serta fare tiket yang sedikit rendah dari pesaingnya, adalah sederet requirements yang mampu dilengkapinya untuk mendapatkan gelar sapu jagat.

Aku juga paham diri untuk tidak berharap banyak dari “tukang sapu” ini. Aku sungguh rela hati berkompromi soal armada yang tua, tingkat kenyamanan yang pas-pasan, service on board yang biasa-biasa saja, skill driver yang kurang smooth dan anti ngeblong, asal satu harga mati yang kudu dipenuhinya. Yup, absensi kerja kantor Senin pagi jam 08.00 (meski mepet di injury time) harus bisa dikejarnya.

Dalih shahihku mengapa aku berani menyandarkan badan pada sapu jagat ini karena ada nilai berharga yang bisa kuunggah, yakni berupa bonus tambahan waktu di rumah. Bayangkan, biasanya jam 3 sore sudah sibuk berkemas mengejar schedule Nusantara, kini selepas waktu ashar masih cukup leluasa buat berleha-leha di rumah. Bisa ikut momong yang kecil, mengantar jemput si sulung sekolah di madrasah diniyah, ngurusi sawah atau bbs (bobo-bobo siang) barang sebentar.

Sebagai bukti pertaruhanku, hampir dua bulan terakhir ini saat bertandang kembali ke ibukota, penguasa jagat ini kupilih sebagai tungganganku. Dan puji syukur, meski pesona armada Muria Raya jarang aku rasakan bersama TSU ini, namun rekor cleansheet tak pernah terlambat sampai kantor bagiku prestasi yang fenomenal.

Tak terkecuali Minggu sore, 11 April silam. TSU kembali kucontreng sebagai “bouraq” yang membawaku balik ke ladangku. Tak terbesit bayangan untuk melirik bus lain.