Kamis, 21 Oktober 2010

Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(4)


Dalam hitungan detik, hujan mengguyur hutan jati dengan lebatnya. Kabut tipis menyelimuti seantero Gringsing. Anomali musin di tahun ini memang di luar prakiraan pakar klimatologi. Lazimnya, bulan 10 adalah tahapan pancaroba. Tapi nyatanya, hampir tiap hari serangan peluru air dari angkasa secara masif membasahi bumi.

Sedang pw-pw-nya meringkuk dipeluk dinginnya udara yang dikreasi AC Thermo King, Mas Kenek kembali mendekat. Ada apa lagi ini?

“Mas, sebentar lagi ada kontrol. Kalau misal nanti ditanya, ngomong saja ‘Saya sopir Malino Putra, temannya Pak J**** (driver bus ini). Numpang ikut sampai Kendal’.” suruhnya laksana sutradara yang mengatur modelnya untuk casting sinetron terbaru.

Haa? Bergidik aku dibuatnya. Aku disuruh berbohong di hadapan controller? Aku jadi “boneka kebohongan” para kru? Aku dipaksa memerankan adegan pura-pura? Dan apa pula salah PO Malino Putra, sehingga namanya dicatut tanpa izin?

Duh…begini tragisnya takdir jadi “komoditas selundupan”.

Di saat itu pula, dua “penumpang tak jelas” yang sama-sama berpostur tambun bersembunyi ke belakang, ngumpet di balik tirai biru penyekat ruang istirahat pengemudi. Top, muslihat dan tipu daya yang jitu.

Rupanya, derai hujan benar-benar membantu sandiwara yang dipentaskan kru kabin. Ketika melenggang masuk halaman rumah makan yang bisa diakses dari jalan lingkar Alas Roban itu, dijauhkannya posisi bus dari check point.

Dan cara itu cukup ampuh. Mulanya, petugas kontrol keluar dari pintu kantor dan terlihat enggan masuk ke dalam bus yang bertujuan pol-pol-an hingga Kelet ini. Dari luar bus, dengan muka galaknya, dia berupaya mengamati secara seksama dari jarak yang tak memadai.

Hal ini dimanfaatkan betul oleh Mas Kenek untuk proaktif mengeksekusi modus operandinya.

“Isi delapan, tambah satu orang, sopir Malino, mau ambil storing-an di Kendal,” teriaknya kuat-kuat, agar modulasi vokalnya bisa menembus gemuruh rinai yang tak menurun juga intensitasnya.

Licik, cerdik dan brilian! Aku sampai acung jempol atas usaha Mas Kenek berkelit dari controlling yang berlapis.

Checker itu pun mendekat dan melantai ke dalam bus, hanya membubuhkan stempel dan tanda tangan di DP, lalu buru-buru turun tanpa memeriksa ulang jumlah penumpang secara teliti.

Selamet…selamet…aku tak sampai bersilat lidah jika saja tukang kontrol sempat menanyai kepentinganku di dalam bus.

Sungguh, kutukan sarkawi benar-benar mengancamku.

Ternyata bus tak berhenti lama dan meroda kembali, untuk selanjutnya justru malah mampir di Kedai Makan Sumber Rasa, Weleri. Inilah uniknya bus pagi dari Pulogadung. Tempat singgah keduanya tak lagi rumah makan rujukan bus malamnya, tetapi diserahkan kepada kebijakan kru. Dan hal itu dilakukan juga oleh “PO 5 langkah” dari rumah, Bejeu, yang saat itu diwakili armada OH 1521-nya, K 1665 BC.



Aku penasaran, bus ini jam berapa take off dari Pulogadung? Jangan-jangan, tadi di belakang bus-ku dan sekarang justru malah di depan?

Di lintasan Weleri-Semarang, prestasi bus bergambar stiker Motorcross-ers lagi bergulat di atas lumpur sedikit ternoda oleh kecekatanan the member of Black Bus Community itu. Unggul setengah menit-an saat start dari rumah makan, kemudian ditempel secara side by side dan lambat laun, armada B3 itu tanpa ampun menghabisinya tanpa bilang permisi di daerah Mangkang. Lincah dan elegan yang mengendalikannya...

Sontak, diri ini dibekap kerinduan, ingin bernostalgia naik bus ber-livery jilatan api itu. Bus yang berhomebase di Pengkol, Jepara, yang menurut subyektifitasku, masih sebagai bus banter di jajaran keluarga Muria Raya.

Dan ada satu momen lain yang selalu kutunggu, yakni memandang defile kavaleri roda enam yang bertolak menuju ibukota saat berhamburan di permukaan jalan raya.

Menjelang petang itu, berdasar urutan dari terdepan, pawai “kendaraan hias” dimeriahkan oleh Purwo Widodo, Puspa Jaya, Tunggal Dara, Tunggal Daya, Purwo Putro, Gunung Mulia, Sedya Mulya, Sumba Putra, Putra Mulya, dua Garuda Mas, Tunggal Daya, Gunung Mulia, Garuda Mas, Putra Mulya, Aneka Jaya dan tiga Garuda Mas.

Kesimpulan nisbiku, setiap sore, kloter pertama “penerbangan” Semarang-Jakarta didominasi oleh Si Ijo dari Kedaung, Cirebon, jawara jalur Purwodadi dan sekitarnya, Maskapai Garuda Mas.

Pukul 19.05, cengkeraman “Sarkawi” pun lepas saat kakiku merumput di pojok Kota Kudus. “The Five Star Bus” yang kutumpangi itu kian menghilang ditelan cahaya remang-remang lampu kota. Bagaimana aku mengucapkan terima kasih padanya, sementara kolaborasi rasa senang dan sedih bercampur aduk mencarut-maruti suasana sanubari?

Berbinar-binar itu pasti, karena 90% rentang jarak telah dipangkas, yang artinya, kediamanku berdiri tak jauh lagi. Sedangkan di bilik yang lain, batin ini meronta. Mengapa untuk tujuan kebahagiaan, aku harus menggapainya dengan sepak terjang yang kotor, terjaring dalam jeruji sarkawi?

Di atas bus Sinar Mandiri Mulia Nucleus 3 bertagname “Sexy” yang memanggulku menuju tanah kelahiran, Rembang, kugali pelajaran dari babak kelam ini.

Aku berpikir positif saja. Bisa jadi, Sang Pencipta memang “sengaja” menggiringku terjerumus ke dalam kubangan sarkawi. Dia ingin memperluas cakrawala ke-busmanian-ku dengan menghadirkan sensasi perjalanan yang baru dan berbeda, saat melakoni ritual wira-wiri mingguan.

Dia berkehendak menghiburku agar tak selalu monoton menikmati turing wajib dengan menyandang status penumpang halal, namun sesekali pula merasakan pahitnya “kenekatan” seorang begundal berlabel sarkawi.

Sekaligus, Dia pun menguji seberapa “kekuatan ikrar”-ku untuk memegang teguh fatwa “katakan tidak untuk sarkawi”, meskipun aku kandas melewati audisi ini.

Dan kini, setelah aku mencicipi kembali kenistaan jadi penyusup gelap, Dia pun memberikan tambahan suntikan moral agar aku lebih lantang lagi mendengungkan kalimat sakral “say no to sarkawi” bagi diriku sendiri.

Semoga sederet hikmah itu yang bisa kurengkuh…

Kick sarkawism out of our land!

T – a – m – a - t


Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(3)



Hingga sesuap nasi terakhir yang tersisa, benar-benar kurasai legitnya fasilitas “wah” yang diperuntukkan bagi sarkawi. Bayang-bayang sindrom “tak selamanya sarkawi itu indah” kian menjauh dari anganku.

Tapi...

Dunia berubah drastis saat Mas Kenek menemuiku.

“Mas, sehabis makan, Mas jalan ke depan ya. Sampai ujung, terus belok kiri. Di situ ada toko, Mas menunggu bus di sana! Yang penting ngga kelihatan dari sini...”

Deg, aku hampir tersedak ditampar kata-katanya. Apa-apaan ini? Inikah awal derita “si benalu kutu kupret” itu?

Dengan langkah gontai, kususuri jalan tanah yang kering dan berdebu. Enam tahun sudah aku menjalani komuter mingguan, dan baru kali ini aku dijerembabkan oleh tindakan bodohku sendiri.

Kulewati segerombolan neng geulis bermake-up menor, menenteng tape recorder dan speaker yang di-casing-i box kayu, hendak menjual suara emasnya pada bus-bus yang keluar dari rumah makan.

Sungguh, harkat dan martabatku jatuh berkaca diri pada mereka. Begitu terhormat dan mulianya para pengamen tembang karaoke itu. Di tengah sengatan surya yang membakar, tak kenal malas menjemput setetes rezeki dengan “amalan” yang benar. Sedangkan aku, kini dihina-dinakan jagat alam sebagai budak sarkawi.

Tak sampai lima menit, “Smiling Face” Royal Coach E itu muncul dan menghampiriku. Tatapan tajam para penumpang yang lain menyorotku nanar saat menginjak tangga. Tengsin aku dibuatnya!

Saat duduk kembali, tiba-tiba dari balik gorden yang mempartisi bangku penumpang dan kandang macan, nongol dua orang yang tadi naik dari Cikampek. Oalah, begini trik untuk mengelabui petugas. Main kucing-kucingan. Enakan mereka berdua tetap di atas bus, sementara aku tersiksa, berjalan hampir 100 m.

“Ya Allah, cukup sekali ini saja, jangan tambahkan deritaku dengan derita-derita yang lain...” pintaku mesti aku pesimis doa itu bakal terkabul. Aku dekil dan itu jadi penghalang diluluskannya permohonanku.

Bus kembali “meroket”, tak meninggalkan speedy habit seperti di intermediete pertama. Namun, itu tak menciptakan daya tarik buatku lagi. Hatiku menyenandungkan kidung gundah gulana, nuraniku berbalut keresahan, sehingga kurasakan perjalanan ini begitu panjang, menjemukan dan lama.

Kuhapus eksotisme pantura yang membentang antara Widasari hingga Suradadi dengan metode pejam mata sepulas-pulasnya. Saat kelopak indra penghilatan terbelalak kembali, raja siang mulai tergelincir dari zona waktu ashar dan di belahan utara, perairan Laut Jawa terlihat teduh tenang, serasa menyejukkan jiwaku yang sedang tandus gersang dicakar kuku-kuku jahat setan sarkawi.

Back to the track, di seberang, kusaksikan konvoi Laskar Dewata, Lorena LE-613 dibuntuti secara ketat dua Marcopolo Pahala Kencana. Kira-kira mana yang duluan menjejak Jakarta, The Green Legend or Blue Waves?

Di bawah tugu perbatasan Tegal-Pemalang, berhenti bigbus bertuliskan Gading Mas. (Semoga tak salah lihat). Yang jelas, bus dengan papan trayek Solo-Wonogiri ini masuk perbendaharaan baru nama PO yang kukenal. Berangkat dari manakah gerangan bus ini? Jakarta, Bandung, Cirebon ataukah Tegal?

Predikat predator terus identik melekat pada bus yang telah merekrut sekitar 600-an followers di grup Facebook ini. Buruan yang dimangsanya sepanjang Pemalang hingga Batang berupa Dedy Jaya Kampung Melayu-Pekalongan serta duo Coyo, masing-masing berpaspor G 1639 AA dan G 1666 AA.

Ternyata oh ternyata… mitos sarkawi pembawa sial ada benarnya juga. Dan Alas Roban merupakan padang pembalasan atas dosa-dosa manusia.

Baru saja menyusuri rute lama yang penuh kelokan dan turunan tajam, tiba-tiba…prittt..pritt…peluit sangkakala berbunyi nyaring. Seseorang dari korps baju coklat yang berdiri di pinggir jalan berhasil mengerem laju bus.

Bergegas, Mas Kenek keluar dan sepertinya berdua menjunjung tinggi semboyan “TST=Tahu Sama Tahu”. Tanpa banyak cing-cong, diselipkannya selembar duit yang nominalnya tak seberapa, tapi sukses membopengkan wajah salah satu lembaga penegak hukum di Republik ini.

Belum tuntas melahap beberapa tikungan ekstrem di wilayah wingit yang diampu Kerajaan Batang ini…

Pritt…pritt…suara tengik itu terdengar riuh untuk kedua kalinya. Dari arah berlawanan, dua orang dengan pangkat di lengan yang sedang berboncengan berusaha menyetopnya. Ck…ck…ck…rajin-rajin sekali kerja mereka di sini.

“Sudah Pak, sama yang belakang!!!” ngotot Pak Sopir setelah membuka jendela geser, sambil terus berjalan perlahan.

Bukannya berlalu, sepeda motor dinas itu berbalik haluan dan menyuruh “bus bandel” ini untuk menepi.

Dan refrain “lagu lama” diputar lagi. Sekian puluh ribu melayang, terbang ke saku oknum aparat yang lebih senang “dilayani masyarakat” ketimbang melayani masyarakat itu. (No offense lho, ya…)

Deritaku menjalar dan sekarang dirasakan juga oleh kru. Secara beruntun, sebagian hasil praktik sarkawi mesti dihibahkan kepada pihak ketiga yang kewenangannya sama sekali tak pernah menyentuh urusan pelanggaran etika menjadi penumpang umum ini .

Ulah sarkawi yang patut dipersalahkan?

Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(2)


Meski perjalananku kini berlumur noda, namun tak akan kusia-siakan waktu hanya untuk meratapi kesialan hari ini. Kekhilafanku bukan karena kesengajaan, dan semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memaafkan. Aku harus tetep enjoy menjiwai trip sejauh 600 km selama 12-13 jam dengan keceriaan dan sukacita, ibarat pemudik yang kangen akan kampung halaman.

Perlahan tapi pasti, saat bandul jam menunjuk angka 08.05, “Intercooler Jumbo” mulai melindas permukaan aspal tol Jakarta-Cikampek. Tak bisa kupungkiri, soal speed dan greget putaran flywheel-nya, bus ini memang luar biasa. Seolah fardhu ain hukumnya bagi armada-armada pesisir timur Jawa Tengah untuk tampil ofensif tatkala berlaga di panggung Deandels.

Meski aku tak berharap muluk “diorama malam” pantura tersuguhkan pula di siang hari, nyatanya “warna” bus siang ini tetaplah bus malam.

Poin keindahan pertama, ketika beberapa saat beradu kecepatan dengan armada D104 Hino RG milik Doa Ibu, Karangnunggal-Tasik-Jakarta. Dan itulah korban pertama yang ditumbangkannya. Menyusul kemudian Mayasari Bhakti PAC 124 Cikarang-Lebakbulus yang didepaknya sebelum masuk paddock di km. 19 untuk mengisi BBM.

Saat bus berkode trayek XX-039 -- dua bilangan terakhir sama plek dengan langgananku, NS-039 -- bergerak ke timur, acapkali berpas-pasan dengan bus-bus yang “bangun kesiangan”. Tercatat Raya Panorama DX, Pahala Kencana Galaxy, dua Pahala Kencana Proteus, Karina Evolution “vermakan”, OBL Old Travego, ALS Proteus dan sapu jagatnya Soloensis, Gaya Putra.

Sekeluarnya dari SBPU Bekasi Timur, menempel dengan rekat buritan Prima Jasa jurusan Harapan Indah Bekasi-Bandung, B 7962 YL. Namun apa daya, Hino “Semprong Kiri” (istilah Hans SJM) tak kuasa menandingi daya 210 HP dari output OM 366LA. Kemudian, disungkurkannya pula Dedy Jaya Nucleus 3 Cibinong-Pekalongan, Sinar Jaya 18WX, serta MGI Skania Restu Ibu, Bandung-Cibinong.

Kembali, bus-bus malam yang tercecer dari habitatnya terpindai. SAN Celcius, dua Pahala Kencana Marcopolo, Lorena LE-115 Banyuwangi-Lampung, dan Kramat Djati Malang. Sedangkan bus Sumatra-an ”paling pagi” yang bersiap mengarungi wahana Andalas adalah Bengkulu Kito, berkaroseri Galaxy Coach Restu Ibu.

Sedang asyik cuci mata, Mas Kenek undur ke belakang dan kemudian duduk di sebelahku. Aku semakin gemetaran, keringat dingin bergolak untuk dialirkan. Inilah detik-detik krusial penobatanku sebagai sarkawi.

“Mas, pakai tiket apa langsung ke sampeyan?” inisiatifku sebagai mukadimah gelaran acara jual-beli. Siapa tahu, dia membawa tiket dan didapuk selaku agen berjalan, meski itu mustahil karena di luar adat kebiasaan entitas “Plat K”.

Dibarengi senyum sumringah, karyawan berkemeja merah putih itu berujar, “Langsung saya, Mas.”

Kusodorkan selembar uang Rp 100.000,00, sembari aku mengunci tawaran, “Samakan dengan tarif resmi saja, Mas!”

To the point dan mengalah saja, itulah maksudku. Aku tak mau bertele-tele hingga alot dalam negosiasi. Diserahkannya kertas rupiah bergambar ibu-ibu pemetik daun teh sebagai kembalian. Tanpa ada tiket, tanpa kupon breakfast, tanpa payung hukum, tanpa jaminan asuransi keselamatan, serta tanpa legalitas sebagaimana jamaknya penumpang, itulah “barang berharga” yang tak kudapatkan.

“Nanti pas makan ikut saya ya, Mas!” pesannya saat menutup trafficking jahanam ini, diiring sorak-sorai serta gelak tawa sekawanan iblis di pundakku atas kesuksesan misi mereka. Asy*m…

Di luar perkiraanku, bus berkelas eksekutif ini keluar di gate out Karawang Timur untuk mencapai Terminal Klari. Pasalnya, ada satu orang penumpang yang telah mem-booking. Aku bersyukur, bus “berziarah” di tempat yang belum pernah aku jamah. Hitung-hitung pengalaman baru. Meskipun mini, tapi geliat kehidupan terminal ini cukup nyata. Berjejer agen-agen bus ke Jawa dan Sumatra, dihiasi armada Sumber Alam 298201, DMI Evolution, Danau Ranau Indah dan laskar Warga Baru serta Agra Mas yang berjejalan di dalamnya.



Sepulangnya dari Klari, ditutupnya aksi penuntasan etape Jakarta-Cikampek dengan meng-overtake Budiman Tasik-Cikarang.

Di pertigaan Mutiara, Jomin, bus yang konon punya trayek Jakarta-Madiun ini berhenti karena ada isyarat tangan dari pegawai toko oleh-oleh yang merangkap calo jalanan untuk menghadirkan “rezeki nomplok”. Masuklah dua orang penumpang yang statusnya setali tiga uang denganku.

Lumayan hasil seseran kali ini, mungkin itulah risalah kegirangan kru.

Kedigdayaan bus bernomor lambung XX-033 di jalur Cikopo-Pamanukan mencuat karena memang tiada musuh sepadan. Kondisi lalu lintas yang relatif sepi dari kendaraan berat, kian menambah gairah nge-gas drivernya. Apalah arti Sinar Jaya 52VX Air Suspension, teammatenya, Proteus 75S, Dewi Sri G 1415 CE, dua Dedy Jaya bersenjatakan Clurit bikinan Mpu Laksana, Bhineka bodi Celcius, Luragung Jaya berselendang Tri Jaya Union, Handoyo Setra New Armada, serta Damri Bogor-Bumiayu? Tak satupun yang menghalang-rintangi ayunan kaki OH 1521 ini.

10.25, tibalah di pelataran rumah makan terkenal di daerah Pamanukan dan selanjutnya bus diparkir bersebelahan dengan Pahala Kencana Marcopolo, K 1597 B. Inilah yang mencuri perhatianku. Faktanya, Ombak Biru divisi Kudus gerah juga dengan aroma persaingan sengit pemberangkatan pagi Pulogadung. Tak tanggung-tanggung, armada ter-update beremisi Euro 3 dikaryakan menggawangi trayek hingga pelosok Rembang-Lasem-Bangilan. Andai saja tadi aku dapat menangkap bus ini, pasti petang nanti tak perlu repot oper di Kota Kretek.

Kuikuti langkah Mas Kenek menuju ruang yang dikhususkan buat para kru. Tersaji hidangan yang serbaneka dan komplit, tanpa ada amar “Maaf, ambil satu potong!”, dengan bebas dipersilahkan mengambil sekehendak nafsu. Minumnya juga tinggal tunjuk, cukup bilang pramusaji sesuai selera. Sarkawi dimanjakan bak raja diraja. Penumpang non-ilegal kalah layanan segala-galanya.

Jikalau aku menilik satu sisi enaknya jabatan sarkawi, bolehlah aku berseloroh, “rumah makanmu adalah surgaku”. Hehehe…


Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(1)



Semestinya, aku menuruti kaidah berpikir yang sederhana menyikapi “episode hitam” kisahku kali ini. “Bungkam seribu bahasa, itu saja…,” demikian hasut logikaku. Bukan karena aku pelit berbagi cerita, namun ada semacam kegentaran psikis ketika nanti menghadapi ragam tanggapan di penghujung tulisan yang kutuai dari teman-teman serumpun; busmania.

Andai aku mau, lembar catatan ini lebih aman kulipat rapi lalu kusimpan dalam laci pribadi, terlarang kubeberkan kepada publik. Rahasia negara tak bakal bocor oleh pembobolan. Dan imbasnya, tingkah polah berikut rapor biru-ku sebagai duta anti sarkawi (setidaknya) bagi diri sendiri, citra serta reputasinya lestari terjaga.

Kegetiran nasib sebagai penumpang haram atau kaprahnya dijuluki sarkawi, sudah kapok kupungkasi bersama Tri Sumber Urip. “Ke depannya, aku tak lagi bermain api menjadi sarkawi…”, demikian tekadku kala itu.



Sayangnya, aku bukanlah orang yang pandai berlagak sok suci demi memendam cela. Aku lebih suka blak-blakan menceritakan lika-liku perjalanan, terlepas dampaknya akan mencoreng kapasitasku sebagai busmania. Biarlah, aku sedia dihimpit risikonya. Aku siap menerima sanksi sosial, cibiran sinis, nota protes ataupun tendensi negatif, dan tentu saja, berlapang dada untuk menanggung malu.

Segalanya ini aku niatkan agar kita-kita yang mengaku pencinta bus lebih membuka mata, bahwa di tengah hingar bingar bisnis gelinding ban, bersarang “lintah transportasi” yang terus menghisap darah induk semangnya, yakni operasional PO, sekaligus jadi “pupuk organik”, penyubur sesaat kesejahteraan kru.

Sarkawi, sang “makhluk gaib” yang fenomenal dan penuh kontroversi memang lambang keabadian. Seolah, keberadaannya tak mampu dimatikan oleh kebijakan setegas apapun.

Budaya mudik menjelang akhir pekan, perjalanan Pulogadung – Rembang dengan transit di Kudus yang belum lama kutunaikan adalah refleksi bahwa momok itu terus menebar perangkap sehingga begitu gampangnya insan lemah sekaliber aku berpaling sumpah, cidro ing janji untuk “Say No to Sarkawi”.


“Turun di dalam apa di luar terminal, Mas?” tanya tukang ojek yang mengantarku dari Semper menuju Pulogadung, saat corong knalpot motornya menderu di depan Pulogadung Trade Center (PTC).
“Di dalam saja, Pak!”

Sepengetahuanku, tak ada slot, baik tempat, kesempatan maupun waktu bagi bus Muria-an untuk ngetem di luar terminal. Yang punya “hak” ya bus Cirebon-an, Tegal-an dan Solo-an. Wajar saja, kuperintahkan si penjaja jasa hantaran itu untuk langsung “menusuk jantung” terminal AKAP paling uzur di “lapak”nya Fauzi Wibowo, agar aku lebih leluasa memilih bus.

Dipacunya kuda Nippon berspesies Suzuki Smash, larut dalam lalu lalang kendaraan yang menyemut di salah satu jalan arteri kawasan Jakarta Timur. Matahari telah menyembul sepenggalah dari ufuk timur. Dengan energi terik sebagai tajinya, mencoba menghalau gumpalan awan mendung yang bulan-bulan ini terus merecoki fase kemarau di langit Pulau Jawa.

Saat “taksi roda dua”ku menyerobot traffic light pertemuan exit terminal dan Jalan Raya Bekasi- Pulogadung, dari sisi kiri terlihat sosok yang tak asing lagi bagiku. Sebuah bus berbalur latar “deep purple” yang ngglondhang tengah tergesa-gesa melaju ke arah Cakung, sebab didorong-dorong oleh “lawan main”nya, bus berkode HM 17. Di balik kaca depannya nan bening, terlihat jelas tiga penggawanya, yakni driver beserta asistennya, dan satu lagi “Mbak Agen”, yang sedang sibuk mengkalkulasi pendapatan dari tiket.

Ah, buat apa aku buang-buang waktu ke dalam terminal? Mengapa tak naik bis itu saja? Toh, banyak kursi yang tak berpenghuni. Aku pun berdalih dan jadinya berubah pikiran.

“Pak…Pak…putar arah!” kutepuk bahu Pak Ojek.
“Ada apa, Mas?”
“Kejar bus itu, Pak!” instruksiku sambil jari telunjuk menuding target bidikan.

Setelah melakukan u-turn, dan dengan gesit selap-selip membelah keruwetan lalu lintas akibat banyak angkutan kota yang mangkal, naga-naganya, armada berplat X 1867 AX bisa tersusul, persis di depan pul PO Muncul, Pulogadung.

Aku pun mendarat di samping markas Garuda Mas untuk mengambil jeda, menunggu bus berbodi New Travego Adi Putro versi pertama itu mendekat. Segera kulambaikan tangan, dan direspon oleh pramudinya.

“Kudus kan, Mas?” basa-basiku.
“Ayo, Kudus…Jepara…” balas sang “pemilik bangku CB” sambil membuka gerbang depan.

Kutiti permadani berundak menuju singgasana Alldila. Kuedarkan pandangan sekeliling dan selanjutnya kususuri lorong menuju lokasi di baris ke-6 sebelah kiri. Duh, nyaris kosong melompong, cuma terisi 8 nyawa dari 34 seat yang tersedia. Apa gara-gara arus balik baru saja berlalu, bus-bus ke timur terpercik getahnya, sepi penumpang.

Saat badanku menekan punggung kursi, tiba-tiba aku tersadar, mana “Mbak Agen”? Kuamati lebih jeli ke segenap penjuru, tapi kok nihil. Nah lo…jangan-jangan, waktu di tengah kemacetan, “Si Mbak” turun, lantaran jobdesk-nya telah usai. Kukira dia akan mengawal bus hingga entry Cakung, seperti yang dilakukan ticketing girl busnya Bah Do waktu itu.

Astaghfirullah… benar-benar di luar skenarioku. Roman-romannya, aku kena jerat sarkawi. Pintu transaksi resmi dengan agen praktis tertutup, dan kini, klienku adalah kru. Ceruk kalbuku meradang, meski sejatinya ragaku juga ambigu harus berbuat apa. Mosok aku membalas budi baik Bapak Sopir dengan meminta aku diturunkan kembali demi seutas nilai kejujuran? Aku pengecut, belum punya kegagah-beranian untuk itu.

“Ah, mengapa aku menganulir keputusan untuk turun di dalam terminal? Ya Tuhan, mengapa Engkau jodohkan hamba-Mu dengan situasi yang serba sulit ini?” kesahku.

Mpfuh… nasi sudah menjadi bubur, telur sudah jadi martabak, apel sudah menjadi jus, apalagi yang perlu kusesali. Biarlah, sekarang aku jadi pendosa dan mau tak mau, kudu secara jantan, lahir-batin memikul potensi kesengsaraan jilid II sebagai seorang sarkawi.