Rabu, 24 November 2010

Berujung Nelangsa (Bagian Ke-4)



Derap putaran roda sebagai output kerja batang torak mesin Mitsubishi FE 135 PS tertahan oleh kepadatan pengguna jalan. Banyaknya warga yang mengisi aktifitas menguber rezeki menahan driver untuk menginjak gasnya lebih dalam.

Sukasari-Kalijati-Cipeundeuy-Sadang, bagiku, jarak serta waktu tempuhnya begitu panjang dan lama. Barangkali, diri ini sudah dibebat perasaan buru-buru agar cepat sampai tempat kerja. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, perjalanan bersama Bejeu A5 akan berakhir memilukan seperti ini.

08. 05

"Sadang...Sadang..." teriak kenek membuyarkan lamunanku.

Aku bergegas turun dan menyeberang perempatan Sadang, karena di sana telah bercokol dua bus arah Jakarta. Sayang, yang ngetem Warga Baru Subang-Kampung Rambutan dan Budiman Tasik-Cikarang. Duh, berapa lama lagi mesti menunggu yang ke Tanjung Priok?

"Kemana, Mas?" tanya seseorang, yang sepertinya penggawa lapangan PO Warga Baru.
"Priok..."
"Ayo naik saja, nanti oper di pos kontrol km. 42." rayunya. "Sama-sama Warga Baru dan tak perlu bayar lagi..."

Aku percaya saja dan mengiyakan naik armada AC bernomor urut 471, dengan kofigurasi bangku 2-3. Sebagai balas budi atas tarif senilai Rp.13.000,00, aku "diantarkan" T 7558 DC menuju rest area km. 42 Tol Jakarta-Cikampek.

"Sebagai bukti saya penumpang operan, apa Pak?" kuminta kejelasan kepada kondektur sesaat sebelum turun di kantor Controlling.

"Nanti Mas diberi tiket oleh petugas kontrol." terangnya lagi.

08.40

Tak sampai 5 menit, datang bus Warga Baru lain yang kubidik, dengan jurusan Cikampek-Tanjung Priok. Dengan modal selembar kertas sebagai tanda "penumpang titipan", diikutkan armada ekonomi non AC, aku meneruskan metode estafet menuju ujung utara ibukota.

Biarpun armada lawas, Hino AK Ranger (kalau tidak salah terka), serta Pak Kusirnya sudah kelewat sepuh (sering dipanggil "aki" oleh yang lain), larinya bus jangan diremehkan. Lumayan ngebut.

Bukti bahwa aku kesiangan semakin nyata, saat tak banyak kutemui bus-bus malam dari “Jawa”. Tercatat cuma parade “Keong Ijo” yang diasapi bus berkode WB 9707 ini, masing-masing KE-416 Bojonegoro, LE-423 Malang dan LE-351 Ponorogo. Jadi semakin tak meragukan, PO apa yang paling lelet, kan?

Untunglah, yang tersisa dari kekusutan lalu lintas Senin pagi di ruas tol yang diresmikan penggunaannya pada tahun 1988 ini hanyalah mobil-mobil non niaga alias mobil kantoran. Inilah yang sedikit menyumbang kelancaran tugas Warga Baru saat mendekatkan simpul antara km 42 Tol Cikampek dengan km 13 Tol Cawang-Tanjung Priok, jalan keluar dari tol yang terdekat dengan lapak harianku.

10.25

“Thank you...”

Ringtone mesin absensi kantorku “bernyanyi” sesaat sesudah ujung jari jempolku menyentuh sensor pembaca sidik jari. Bunyi itu pula yang kudapuk sebagai lonceng akhir ritual “Ke Jakarta aku kan kembali” yang terjal dan penuh liku, yang baru saja kulakoni.

Kucoba membuang jauh hasutan setan untuk terus meratapi kesengsaraan ini. Aku tak boleh berandai-andai ini dan itu. Aku tak boleh menyesali kekalahanku atas perburuan waktu. Semuanya telah terjadi.

Aku harus tetap bersyukur, diberkahi keselamatan hingga sampai di tempat tujuan. Karena, poin itulah harga termahal dari ending perjalanan.

Kisah yang terangkai semakin menebalkan anggapanku, bahwa luck tetap jadi the first factor yang memberi warna dominan bagi ketepatan waktu perjalanan bus lintas kota lintas propinsi. Bukanlah bus banter, mesin baru, driver balap, ataupun loss solar. Serta bukan pula jalan nan mulus. Sederet variabel itu sekedar bumbu-bumbu pelengkap.

Terima kasih atas laporan dari Sdr. Ferdhi. Kami, manajemen PO Bejeu meminta maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan perjalanan anda. Untuk ke depannya, kita akan cek lagi mesin armada kami supaya tidak terjadi mogok di jalan. Terima kasih. – Manajemen Bejeu –

Tanggapan dari pihak PO Bejeu via Mas Ferdhi, kuterima sore harinya sebagai respon atas keluhanku. Sebuah sikap gentlemen, berani mengakui kekurangan dan semoga, “keberatan yang disampaikan penumpang” diambil manfaat positifnya, sebagai umpan balik bagi manajemen untuk semakin intens membenahi peng-operasional-an armadanya.

Kuputar ulang peristiwa Senin pagi, di pertengahan Bulan November ini.

Lagi dan lagi, Bejeu A5 bertindak sebagai sutradara ulung yang mensetting cerita mengesankan dalam lingkaran perjalananku, sekaligus merangkap peran sebagai aktor utamanya. Tiga kali bersamanya, tiga kali pula lahir fragmen manis yang dirajutnya, meskipun dalam episode pemuncak, dia membuatku nelangsa.

Ya...berujung nelangsa.



Berujung Nelangsa (Bagian Ke-3)


Meski "tak jauh" dari hingar bingar kehidupan kota metropolis, jalan kecil ini ibarat jalan mati. Biarpun hari sudah berganti pagi, tak ada bedanya dengan nuansa malam gelap. Sepi dan lengang seperti daerah tak bertuan. Hanya sesekali truk sarat muatan pasir lewat berlalu.

Tak lama kemudian, dari balik tikungan, muncul Harta Sanjaya Sragen-Jakarta, menyusul kemudian Haryanto Avant Garde Madura-Jakarta. Rupanya, satu dua bus mengambil jalur alternatif ini.

Kulongok kompartemen mesin. Volumenya begitu lapang, karena dimensi panjangnya “membengkak” lantaran gelagar chasis diextend kira-kira 40 cm. Inilah ciri khas armada A5.

Para kru sibuk berkutat dengan masalah yang ada.



"Wah, berat. Tak bisa diperbaiki..." ujar Mas kenek setengah berbisik.

Jelas terlihat, main pulley penggerak tali AC, kipas radiator dan dinamo ampere hendak terlepas dari shaft/ porosnya. Rangkaian V-belt pun tercerai berai, out of position. Spie (pasak) pengunci pulley ke shaft hilang, jatuh entah di mana, meninggalkan strecth (goresan) pada permukaan as yang memutarnya. (Mas Riyanto lebih paham mendetail soal ini)

Secara refleks, driver mengeluarkan telepon genggamnya.

"Pak, tolong kirim montir, ada trouble...bla...bla...bla..."

Beliau meminta bantuan mandor Pulogadung agar mengirimkan teknisi.

Setelahnya, dipencetnya nomor yang lain lagi.

"Pak, sampai mana? Bus-ku trouble di Cikamurang. Bisa ngga, bus-mu ke sini buat operan penumpang?"

Ternyata Bejeu di depannya dihubungi. Namun, jawaban yang diperoleh, lokasi kompatriotnya sudah berada di Sukamandi. Duh, memanggil montir atau menunggu dioper, sangatlah menyita waktu.

Apa yang mesti kulakukan? Terlambat ngantor sih bukan masalah besar. Justru yang jadi pertanyaan besar, jam berapakah aku tiba di Jakarta?

Tak dinyana, melintas bus tiger alias tiga perempat, bercorak biru gradasi dengan papan jurusan Rajagaluh-Bekasi. Di badannya bertuliskan PO Bintang Sanepa.

Lho, rute ini “jalan setapak”nya bus-bus tujuan Rajagaluh?

Cling...ide itu menyeruak. Demi obsesi agar tidak "siang-siang amat" sampai Teluk Jakarta, aku wajib pindah moda angkutan. Tak apalah merogoh kocek lebih dalam.

Menunggu Bintang Sanepa berikutnya, selanjutnya oper bus Subang-Tanjung Priok -- Warga Baru atau Kramat Djati -- di Sadang, itulah gambaranku.

06.10

Bergegas kuambil tas dari bagasi roof, menentengnya di punggung, sebagai persiapan untuk mengeksekusi rencanaku.

Belum sampai pamit ke kru, mendadak melambat laskar Rajagaluh yang lain. PO Widia disebutnya, dengan trayek Cikarang-Rajagaluh.

“Sepertinya sama-sama lewat Sadang,” aku kompromistis sembari berupaya menghentikannya.

Widia menyambut lambaian tanganku. Diiringi tatapan aneh penumpang Bejeu yang lain, dengan tega hati aku meninggalkan bus yang kerap mendatangkan inspirasi bagiku.

Tak apalah, kali ini aku egois serta mementingkan diri sendiri. Sudah seringkali telat di Hari Senin adalah hal yang memalukan, apalagi kalau sampai tak masuk kerja gara-gara terlalu lama menanti penanganan tanggap darurat atas "keapesan" ini. Aku harus menjatuhkan pilihan yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.

"Sadang berapa A'?" tanyaku pada kondektur.

"Sepuluh ribu A'..."

Sepertinya, itu memang harga resminya. Hitunganku, dengan jarak Cikamurang-Subang 32 km plus Subang-Sadang plus minus 40 km, kurang lebih 72 km, hampir sama dengan jarak Semarang-Pati. Pengalaman naik Akas IV Patas Semarang-Banyuwangi, tiket ATB ongkosnya juga ceban.

Dengan perasaan tak menentu, kupaksakan diri untuk menikmati sisa perjalanan yang nelangsa di atas bus yang selama ini luput kuperhatikan sosok keberadaannya. PO Widia, kini yang malah jadi juru selamatku.

Aku seakan ditohok realita, bahwa pengetahuan ke-busmania-anku cuma seujung kuku dibanding luasnya dunia bus Indonesia. Kalau bukan lantaran Bejeu mogok, mana mungkin aku tahu ada bus-bus jurusan Jakarta-Rajagaluh.

Namanya bus bumel, aku mafhum saat sebentar-sebentar berhenti menaik-turunkan penumpang. Tapi, hati yang gundah gulana ini sedikit terhibur oleh kemolekan alam lintas tengah. Pegunungan yang menyembul di sisi selatan, lahan pertanian yang subur, perkebunan karet yang rindang dan sungai-sungai yang berkelok-kelok, ditambah keberhajaan masyarakat Subang menambah keindahan romantisme pagi di belahan ranah Pasundan.

45 menit kemudian, pelat Z 7440 A sampai di pusat kota Subang. Untunglah, tak masuk terminal dan tak ada istilah mangkal. Bus berID 006 itu langsung mengarah Sadang, sembari menyalip bus Warga Baru, Subang-Kampung Rambutan.

Wuss...dua Malino Putra Jakarta-Malang, masing-masing MPK 01 dan MPK 03 mendahuluinya, sebelum busku berhenti di Rumah Makan Widia Bakti, Sukasari.



Menarik, bus bumel tapi singgah di rumah makan, menyediakan waktu bagi penumpangnya untuk mengisi organ serta saluran pencernaan. Wajar memang, mengingat jarak Cikarang-Rajagaluh yang mencapai 200-an km, sedangkan armada yang melayani hanya "ban double" aka medium bus.

It’s an uniquely bus...

Berujung Nelangsa (Bagian Ke-2)



21.05

Setali tiga uang, rute menantang sekaliber Plelen--Banyuputih-Subah bukanlah iming-iming yang mampu menumbuhkan gairah ragaku untuk menikmati perjalanan. Terlebih, semenjak keluar dari Rumah Makan Bukit Indah, Gringsing, hingga menyusuri Alas Roban, K 1744 BC nyaris tak bertemu lawan sepadan. Hanya Kramat Djati Old Travego yang diblacklist dari persaingan.

Aku juga heran, mengapa tak seperti biasanya, suasana malam itu begitu sepi?

Kurebahkan punggung jok buatan Rimba Kencana, merelaksasi diri dalam kesejukan hawa dingin yang dikondisikan oleh produk Thermo King generasi IV.

Suatu ketika, kurasakan bus tak bergerak sama sekali. Kubuka mata, mengedarkan pandangan sekeliling. Pufh...kendaraan yang tumpah ruah di jalan berhenti total. Penyakit Minggu malam-malam Senin!!!

Dari jauh, kulihat papan penunjuk arah dengan latar hijau; tertera dua jurusan, tanda panah lurus Losari-Cirebon, panah ke samping kiri Tol Pejagan-Purwokerto. Ini pastilah pertigaan akses menuju jalan bebas hambatan Pejagan-Kanci-Palimanan, yang mulut “gang”nya terhalang perlintasan kereta api. Pasca pengopreasian tol yang dikelola PT Bakrie Toll Road, spot ini merupakan sumber kemacetan baru di Pantura.

Posisi PO Bejeu berada di jalur kanan, menerobos batas separator, merenggut lajur 2 arah timur. Aksi menantang dan berbahaya, yang merefleksikan kelakuan adigang adigung adiguno entitas bus malam.

Satu persatu, lalu lintas yang berada di “rel yang benar” terurai, bergerak perlahan ke depan. Gelombang bus malam mengalun pelan, bercampur konvoi truk-truk barang diseling beberapa mobil pribadi. Terdengar peluit Pak Polantas memberi aba-aba kepada pemakai jalan, berusaha mencairkan keruwetan yang diakibatkan oleh ulah main serobot sopir-sopir yang tak sabaran.

Namun teganya, bus-bus yang menyusup dan terdampar ke wilayah yang bukan haknya tak diberi haluan sedikitpun oleh polisi. Di depan bus yang berkandang di Pengkol, Jepara, ini, tampak Bogor Indah berbodi Skania yang menempel Nusantara HS 217, sebagai pimpinan geng anak-anak bengal. Belum lagi, bus-bus yang di belakang Royal Platinum Class ini. Antriannya mengular.

Hampir 30 menit, bus-bus nakal seolah dihukum tanpa peradilan, tak boleh bergeser barang semeterpun. Sementara, di sisi kiri, arus kembali lancar. Bus-bus yang kloter pemberangkatannya di belakang Bejeu mulai melenggang mendahuluinya.

Duk...duk..duk...pentungan petugas dihantamkan pada lambung Galaxy Tentrem saat armada-ku berupaya menyorong Bogor Indah agar selangkah maju. Dan terdengar omelan korps baju coklat muda kepada orang dibalik kemudi.

Sebagai denda vonisnya, semua bus diperintahkan mundur untuk mencari putaran yang bisa mengembalikan ke jalur semula. Gara-gara perintah ini, gigi transmisi Bejeu dicantolkan pada “R” mode dan atret hampir 1 km. Benar-benar melelahkan...

02.15

Kulirik penanda waktu di sudut kiri atas. Duh...alamat telat itu keniscayaan. Idealnya, jam setengah dua-an, setidaknya bus sudah paripurna menuntaskan bentang ruas tol sejauh 70-an km itu.

Yang membuatku setengah terperanjat, bus yang melayani line Tayu-Pati-Pulogadung tak berbelok, namun lurus ke arah Cirebon, ingkar dari adatnya. Usut punya usut, ada paket yang harus di-unloading di Losari. Dan dugaanku tepat, bus akhirnya tersendat lagi oleh pembangunan flyover Gebang. Aku menyerah...hanya mukjizat yang bisa menghantarkan Bongkotan Jati Utama tiba on time di Pulogadung.

Aku terpejam kembali.

Sayup kudengar gaung azan subuh menyelinap masuk ke dalam ruang interior berkapasitas 40 seat. Kukucek mata dan terlihat di sampingku sebuah masjid besar. Samar-sama kubaca “Kecamatan Terisi” di plang identitasnya.

“Terisi...”. Sungguh, daerah yang bagiku "negeri antah berantah" dan pastinya, bukan terletak di jalan Pantura. Masuk wilayah Cirebon, Indramayu, Subang atau Majalengka-kah?

Kutunaikan sholat wajib “darurat” di atas bus dan selanjutnya meneruskan tidur ayamku.

05. 45

Cahaya mentari telah menyemburat, bertengger di atas cakrawala timur. Kabut tipis belum sepenuhnya sirna dari awang-awang. Di kanan kiriku, himpunan vegetasi dirajai oleh daun-daun jati berusia muda, bak permata hijau yang memijarkan pesonanya. Hujan semalaman menyisakan basah serta genangan di hamparan bumi.

Entahlah, aku tak tahu pasti ini di mana. Yang jelas, jalur alternatif, berkaca pada kondisi jalan yang sempit tanpa marka. Mungkin hanya kelas III. Rasa-rasanya, sejumlah bus yang aku naiki pernah melintas jalan ini, namun karena jam lewatnya tengah malam, sehingga membatasiku untuk mengenal lebih dalam kawasan ini.

Teppp...riuh bunyi kompressor AC di atap lorong tengah menghilang. Tak selang lama, suara itu hidup kembali dan kemudian mati lagi untuk selamanya. Kutekan louver di atas kepala, tak ada sedikitpun angin yang berhembus.

Ini tanda-tanda ada masalah di sistem pendingin udara.

Sahih! Pengemudi segera menepikan busnya dan meminta asistennya untuk mengecek ruang mesin. Tiba-tiba...tiittttt...bunyi alarm nyaring menyalak. Cepat-cepat, kunci kontak di-off-kan.

Jangan-jangan, itu sensor engine overheat bekerja. Pasti, tali AC dan radiator putus, tebakku.

Sembari menunggu pemeriksaan, para penumpang turun, mendarat ke tanah yang becek di tepian jalan. Beruntung, ada sungai kecil yang mengalir deras, sehingga ada tempat bagi yang ingin melaksanakan hajat kecil maupun besar. 13 jam berjibaku di dalam kendaraan, tentu bukanlah hal yang menyenangkan bagi mereka untuk ditolerir.

Di “buk” jembatan, terpampang prasasti “Jembatan Cikamurang-Sanca” yang sekaligus petunjuk bagiku bahwa inilah rute buangan Sadang-Subang-Cikamurang untuk menghindar dari siksa amburadulnya Pantura.

Di dekatnya, berdiri tiang tripmeter atau penanda jarak, bertuliskan “Subang - 32 km”.

“Aduh, ternyata Subang masih jauh,” kesahku sambil menghela nafas.

Berujung Nelangsa (Bagian Ke-1)


15.35

"Harga tiket Pulogadung; Haryanto: 100, Nusantara: 80, Bejeu: 80, Shantika: 85. Bejeu jatah Pati armada A5 (Tante Galaxy)..."

Sepenggal pesan di atas dilempar balik Mas Ferdhi ke gadget-ku, saat aku on the way dari Rembang menuju kota yang tempo doeloe bernama Kadipaten Pesantenan. Dalam pengapnya kabin PO Restu N 7373 UG, aku mencoba mengorek price list ter-update untuk bus-bus VIP jurusan Pati-Pulogadung yang berlaku hari itu. Maklum, dalam acara pulang kampung dua hari sebelumnya, aku dikenai ongkos yang naudzubillah mahalnya, Rp110.000,00, untuk menebus satu kursi di dalam HS 205 berkode trayek NS-43.

"Maaf ya Mas, tiket naik, mau lebaran...” rajuk Mbak Tini, agen Nusantara, memohon pengertianku kala itu.



Ternyata, perkiraanku meleset. Tarif relatif "tenang" tanpa gejolak berarti. Barangkali, hanya arah timur yang terkatrol nilai jualnya.

Minggu sore itu, aku kembali memasrahkan diri kepada jasa Pati Bus Station sebagai titik tolak perjalananku ke Jakarta. “Pengrusakan” jalan Pantura adalah landasan justifikasinya. (Saking geregetannya, aku menyebutnya bukan lagi “perbaikan”, tetapi “pengrusakan”.)

Kubalik lembaran cerita kemarin-kemarin.

Tiga kali berturut-turut meleset menepati absensi kehadiran di tempat kerja, Pahala Kencana “Euro 3” akhirnya kudepak sebagai sandaran. Ironis memang. Meski dibekali "persenjataan" mutakhir, terjangan Ombak Biru selalu mentah, kandas meruntuhkan biang kerok yang bernama proyek “penghancurleburan” properti peninggalan si meneer, Herman Willem Daendels.

Pekan lalu adalah awal pertaruhanku menyusun “peta baru” demi menggapai ibukota sebelum pagi menggantikan fajar. Kunci jawaban yang kutemukan, aku kudu hunting bus-bus yang diamanati juragannya untuk “putar kepala”, yang habitnya beradu cepat menggapai front row angkatan pagi Pulogadung. Dan di sana, Terminal Pati, adalah gudangnya "barang" yang kuincar.

Tak kuacuhkan lagi meski hanya dilayani kelas VIP, bagiku, kecepatan datang sebelum pintu ladang pencaharianku dibuka adalah target yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Yang beruntung sebagai penyambung harapanku waktu itu adalah PO Bejeu. Berdua bersama Mas Eko (BMC Jakarta), kami menjadi saksi bagaimana armada B5 pun keteter dalam upayanya menjadi yang nomor wahid tiba di lapaknya Pak Poniman. Terbilang dua kali terjadi fuel flow failure alias masuk angin, Jupiter Tentrem itu disalip terbitnya matahari saat menggilas Tol Cikampek. Beruntung, mandor Pulogadung “membelokkan kemudi” K 1538 BC, setir tidak diarahkan lewat dalam kota yang kerap dilanda kemacetan, namun nekat menerjang area larangan bagi bus AKAP, yakni exit Cakung. Pleidoinya, bus sudah ditunggu penumpang fanatiknya lantaran kelangkaan armada di Pulogadung.

Meski bersusah payah, dengan bantuan ojek yang kusewa untuk memangkas jarak Cakung-Tanjung Priok, puji syukur, di masa injury time sebelum “teng” jam kerja, aku mampu menekan perangkat finger print di lobi kantor.

Sungguh terlalu...Senin pagi selalu bikin repot!!!

Lolos dari lubang jarum adalah isyarat alam bahwa Bejeu pembawa hoki sekaligus ujung tombak andalanku untuk menaklukkan “bopeng” wajah Pantura.

Dan alasan itu pulalah, tanpa berpikir njlimet, aku membalas SMS owner blog Multiply “Bejeuholic”,

“Kulo dipesenke Bejeu malih nggih, Mas...” (Saya dipesankan Bejeu lagi ya, Mas)

Seturunnya dari bus bumel penghubung Bungurasih-Terboyo, aku pun disambut pentolan BMC Muria Raya itu.



Selanjutnya ngobrol ngalor ngidul menggali kabar dan info teranyar, -- baik yang nyata maupun masih berbau gosip --, serta membahas kasak-kusuk yang memenuhi rongga atmosfer stanplat yang berdiam di jalur Pati-Gabus-Purwodadi.

Sayang, keguyupan di warung Mak Ni mesti berujung setelah “Mas Agen” mendekat dan mempersilahkan aku menaiki busnya.

“Mas, aku pamit dulu...” kalimat perpisahanku pada Mas Ferdhi dan Mas Bayu, yang belum lama datang menyusul.

16.45

Soal armada yang berjodoh denganku, Galaxy hasil garapan Karoseri Tentrem, berkode bodi A5, aku hapal di luar kepala. Mengapa tidak?

Sudah dua kali aku “menyetubuhinya”, dan dua kali itu pula aku mengapresiasi dengan mengabadikan dalam wujud catatan perjalanan. Meski di tulisan terakhir, aku sekedar membagi sekelumit biografi sang drivernya. Siapa lagi kalau Mas Ferry “Johan” Fonda?

http://cintanismara.multiply.com/journal/item/12/Bejeu_Bis_Jepara_Unggulan

http://cintanismara.multiply.com/journal/item/48

Yup, bis berbalurkan background hitam pekat inilah bilik pertemuanku mengenal sosok pengemudi yang aku kagumi. Meski sekarang “diikat” PO Yudha Ekspress, namun kenangan indah merajut persahabatan dengannya di dalam A5 akan senantiasa terpatri di dinding ingatanku.

Terus terang, perjalananku malam itu kurang didukung “penjiwaan” yang pas, karena aku sedang dirundung badmood. Banyaknya urusan yang masih terbengkalai dan tertunda di rumah, membuatku lelah pikiran, fisik dan semangat.

Terlebih sepanjang Pati-Semarang --- terpangkas 30 menit berhenti di Terminal Jati, Kudus --- laju bus kurasakan kurang greget untuk ukuran Muria-an. Menurutku, umur mesin adalah kendalanya. Hanya dibekali enam silinder era Mercy King, member of Black Bus Community hanya tertunduk lesu ketika disalip secara serampangan oleh HS 217 di Klaling dan gagal mengekor secara lekat Muji Jaya Jepara-Bandung di ruas Karanganyar-Trengguli.

Memasuki tol Jatingaleh, aku pun tertidur. Posisi duduk di kursi no. 20 tak mampu membangun frame yang luas untuk memandang eksotisme Pantura. Ketidaknyamanan inilah yang justru menciptakan suasana syahdu untuk menyandarkan letihku di pangkuan Dewi Malam.

Kemesraan kami berdua sempat terganggu saat kaki-kaki yang disangga teknologi suspensi leafspring “membajak” aspal di jalanan Kota Kendal. Berbarengan itu pula, tersuguhkan tayangan di luar kaca berupa lomba speed to speed dengan Ramayana model Setra Adi Putro. Pertarungan selevel tentunya, antara OH 1518 vs OH 1518.

Dan selanjutnya aku hilang kesadaran lagi, sebelum nyala terang lampu-lampu kabin menstimulasi saraf penglihatan untuk membukakan katupnya lebar-lebar.

Jeda istirahat di rumah makan terkadang menjadi pengusik ketenteraman mata ketika badan tengah asyik melepas penat. Huh...

Rabu, 17 November 2010

Ngunduh Mantu


“Pa, besok ibu ada undangan acara pernikahan. Bagaimana kalau kita yang datang mewakili?” rayu istriku pada Jumat siang, tepat sepekan setelah Hari Idul Fitri. Ibu mertua sendiri memang lagi tak ada di rumah, lantaran semenjak H+1 merayakan lebaran di kampung halaman beliau, Padangan, Bojonegoro.

“Memang siapa yang punya hajat, Ma?” balasku balik bertanya dengan nada malas-malasan. Maklum, kesannya kok mendadak ngasih tahunya. Masalahnya, Sabtu besok aku terlanjur punya rencana mengumpulkan anak-anak muda, yang kukaryakan untuk membantu proyek “bersih-bersih” pondok tinggalku.

“Bu Munis, teman muslimat* Ibu. Itu lho Pa, yang punya toko kitab, pigura dan kaligrafi di seberang agen Nusantara, Rembang” jelasnya.

(*Muslimat : organisasi bidang kewanitaan Nahdhatul Ulama)

Aku hanya diam. Kurang merespon apa yang dimaui pendamping hidupku itu. Toh, kalau sekedar “kehadiran” pan bisa nitip, batinku.

“Pa, kabarnya besan Bu Munis juragan bus di Jepara lho…” pancing istriku lagi, agar aku tertarik dengan tawarannya.

“Oh iya? Bus apa, Ma?” sergahku bersemangat, gairahku menyala laksana bensin tersambar api. Wow, dasar busmania ya?
“Mana aku tahu. Kan Papa yang lebih tahu soal bus…” kilahnya.

Hehe…aku lupa, istriku bukanlah busmaniatun, ngertinya bus ya cuma Nusantara dan Pahala Kencana.

“Undangannya mana, Ma?” pintaku bergelora. Siapa tahu, dari lembar undangan, tersirat “PO” apa yang diunduh mantu oleh keluarga Bu Munis.

Disodorkannya sehelai kartu berlatar warna hitam pekat. Kubaca perlahan-lahan isinya dari aksara permulaan hingga akhir. Kupandangi pula foto-foto pre-wedding mempelai berdua.



Ah…tak ada petunjuk yang nyata, selain alinea :

Telah menikah putra-putri kami :

H. Ahmad Nahidl Silmy, Lc (Putra Bapak H. M Ridlwan Muslich-Rembang)

Dengan

Hj. Analisa Indasah, S. Ked (Putri Bapak H. Kholil Ridwan-Jepara)

Akad Nikah :
Hari Ahad, 8 Syawal 1430 H/ 27 September 2009 M
Pukul : 14.00 WIB
Bertempat di Troso-Pecangaan, Jepara.


Rupanya, ijab kabulnya hampir setahun yang lalu, dan pestanya baru dihelat sekarang.

Hmm…kira-kira PO apa ya? Dalam catatanku, ada beberapa PO dari ranah bumi Jepara. Tetapi yang mana? Muji Jaya, Shantika, Bejeu, Senja Furnindo, Yudha Jovie, Jepara Indah, atau....

PO Jepara yang punya truk pun banyak. Bisa Muji Jaya, Senja Furnindo, atau Bejeu. Masih terlalu melebar alternatif jawabannya.

Kalau menilik latar warna kertas undangan hitam pekat sepertinya sih Bejeu.

Nama H. Kholil Ridwan pun asing bagiku. Dia big bos PO apa ya?

Jangan-jangan alamat tempat ijab kabul dilangsungkan bisa jadi petunjuk? Tapi PO apa yang bermarkas di Pecangaan?

Ah, aku bingung karenanya. Sabar ah, tunggu jawabannya besok di TKP.

Sabtu tengah hari, aku, istri, putri sulungku serta ibu-ibu muslimat tetangga rumah yang juga mendapat serat uleman, bareng dalam satu mobil menuju Balai Kartini, Rembang, tempat resepsi dilangsungkan.

“Itu benar Bulik, besannya Bu Munis pengusaha angkutan bus?” tanyaku pada Bulik-ku, yang jaman dahulu pernah satu pesantren dengan Bu Munis, saat dalam perjalanan.
“Benar Mas Didik. Dengar-dengar punya bus belasan, belum lagi truknya…” terangnya yang semakin meyakinkanku.
“Itu cerita pertemuan pengantin pria dan wanitanya bagaimana, Bulik?” kucoba telusuri kisah perjodohan mereka.
“Ketemunya di tanah suci Mas. Kan Mas Nahidl kuliah di Madinah, jadi pas senggang kadang-kadang mengisinya dengan ibadah umroh. Dan satu saat, Mbak Lisa kebetulan juga lagi umroh. Awalnya berkenalan, terus akrab, sama-sama suka, ya sudah... akhirnya berlanjut hingga menikah,” papar Bulikku, ”Nah, kenapa baru sekarang diramaikan, karena menanti Mas Nahidl selesai ambil S2-nya dan Mbak Lisa menunggu pengangkatan jadi dokter.”

Ck…ck…ck…hanya decak kagum yang bisa aku sanjungkan. Begitulah “legitnya” jadi putri boss Perusahaan Otobus. Masih muda sudah mendapat gelar Hajjah, kerapkali menjalankan umroh dan tentu saja, pencapaiannya menggayuh profesi sebagai seorang dokter.

Demikianlah adanya garis hidup seseorang, masing-masing memiliki alur yang berbeda. Soal manis getir, suka duka, senang susah, untung apes, sukses gagal itu hanyalah persepsi dari kita pribadi dalam memaknainya.

Tapi, tetap saja rasa penasaran itu berkecamuk memperkeruh alam pikiranku sebelum mendapat titik terang. Tabir misteri itu terus saja mengusik level pengetahuanku selaku busmania untuk menyingkap jawaban tentang sosok mempelai wanita, Mbak Analisa Indasah aka Mbak Lisa.

Sebenarnya, dia "putri kerajaan" PO apa ya?

Saat memasuki gedung resepsi, aku masih mengantongi jawaban PO Bejeu, sembari mengendus-endus jawaban pastinya. Siapa tahu, ada “ubo rampe” yang menonjolkan sisi satu PO tertentu. Entah motif dekorasi ruangan, merchandise tamu, atau ucapan lewat karangan bunga. Siapa tahu juga, ada hasil bisik-bisik dengan sesama undangan tentang sosok Pak Kholil atau si “MC” menyinggung sedikit tentang profil keluarga besan Bu Munis itu.



Ternyata nihil, sampai acara selesai, tak ada satu petunjuk pun tentang PO yang dimaksud.

Justru, kutemukan kunci jawaban yang tepat saat kususuri area parkir Balai Kartini, yang terletak persis di samping Kantor Bupati Rembang.





Oalah...ternyata oh ternyata, PO Senja Furnindo tho?

Berkat alat bukti ini, aku pun mengoreksi jawaban PO Bejeu dan berganti haqqul yakin, bahwa Mbak Analisa Indasah adalah “putri mahkota” kerajaan Senja Furnindo.

Gajah Kebayoran On The Move... (Bagian ke-3)


Lonceng waktu tepat berdentang di angka 14.35, ketika Sang Gajah yang baru tiga bulan mbrojol dari kandungan ini mengawali migrasinya. Dan joki yang mengekang kendali dipegang seorang bapak yang secara umur terhitung paruh baya.

Sebagai prolog, sesuai karakter gajah, bus berjalan glinak-glinuk. Dan itu didukung fakta, ketika Warga Baru 321 dan Bhineka “Dempa” tanpa susah payah melabraknya di km-km awal tol Cikampek.

Namun, pelan tapi pasti, torehan positif mulai dicatatnya. Sambil menikmati roti olahan Holand Bakery sebagai snack yang dihidangkan, kusaksikan Gardena Wisata B103 berarmor Galaxy EXL serta Warga Baru 461 didepaknya sebelum tersendat oleh proyek pembangunan gerbang tol baru Cikarang.



Tertib antrian pun dilakukan, sementara bus bumel Diana Utama Garut-Bekasi serta Hiba Utama Proteus ber-ID 125 seperti kesetanan menyusup di bahu jalan untuk menerobos kemacetan yang mengular.

Timangan suspensi OH 1526 yang masih kurang ramah bagi pinggang, tak bisa menghentikan serangan musuh kemanusiaan berupa kantuk. Jam begadang semalam kutebus dengan tidur pulas. Setelah terakhir melihat Tunggal Daya Purwantoro yang tengah mogok di km. 35, alam sadar ini terbang menghilang, berganti fantasi semu yang memabukkan.

Aku terbangun kembali ketika menapak daerah Sukamandi dan sesaat kemudian kres dengan OBL Denpasar, yang sedang memburu waktu untuk tiba sebelum senja di bumi Si Pitung. Rupanya, “lawan arah”nya adalah MB OH 1526 berkaroseri model “NN(?)” tempaan Adi Putro.

Mulai sinilah, kebenaran bahwa gajah adalah binatang lamban terbantahkan. Jangankan berlari, meloncat di tempat saja tidak sanggup, demikian penelitian pakar zoologi.

New Travego Series ini memutarbalikkan realita. Setali tiga uang dengan Setra Sprinter, kaki-kaki nan kekar bukan sekedar menuntunnya berlari, tapi sanggup membawa badan bongsornya melayang. Gas dibejek dalam-dalam, RPM dapur pacu digeber pada zona kuning (2200-2500), merefleksikan bahwa pengemudinya memang tampil trengginas dan all out.

Korban pertama yang sekaligus paling alot memberikan perlawanan adalah KE-554 Sumenep. Meski beda dua generasi, selisih daya hingga 50 tenaga kuda, tak menggaransi bahwa sekelas Intercooler akan gampang diredamnya. Gajah Kebayoran ngos-ngosan juga mengejar “pagupon doro” yang seolah jadi rambut sanggul Tante Karina, saat menyibak kepadatan lalu lintas yang dijejali angkutan berat. Barulah, di jalan lurus dan sepi, Ijo Celcius B 7736 WV dipaksa menyerah.



Selanjutnya, hanya camilan ringan yang dilahapnya. Yakni Harapan Jaya Galaxy AirS AG 7682 UR, sebelum OBL mengambil time out, menepi dari lapangan, rehat di Rumah Makan Taman Sari. Tak lama kemudian, disusul kompatriotnya, B 7788 BK, Sprinter kembaran B 7168 XT, yang mengisi trayek Banyuwangi.

35 menit kemudian, kemudi pun beralih. Kali ini, aku masih ingat betul siapa suksesor sopir pinggir. Dia adalah Pak Yongki, yang dulu kondang sebagai tandem Pak Tessy di armada Sprinter XT. Tentu gampang ditebak, bagaimana habitnya saat di balik lingkar setir. Driver balap sekaligus agresif pula.

Baru saja dalam upaya pencapaian kecepatan jelajahnya, wuss...wuss...disusul secara serampangan oleh Setia Negara 24 beriringin dengan Putra Luragung Sindang Laut. Dan pertarungan klasik antarpendekar Gunung Ceremai tersuguhkan. Dua-duanya saling ngeyel, tak mau ngalah dan sebisa mungkin menutup celah agar yang belakang tak punya kans untuk mendahului. Masing-masing kenek, ibarat mayoret yang didapuk sebagai tukang sapu jalan, dengan semangat 45 memberikan aba-aba kepada Pak Kusir sekaligus membersihkan kendaraan yang mengganggu laju bus yang dibawa koleganya.

Aku dan penumpang yang lain hanya jadi penikmat tontonan Tom & Jerry ala Pantura, meski endingnya harus berakhir di Pasar Patrol, saat keduanya menurunkan penumpang, dan Pak Yongki memanfaatkan keunggulan armada lintas pulau yang tak perlu mikir uang setoran lagi.

Bus yang “baru” berkilometer di bilangan 38.000-an ini pun unjuk agresivitas. Tunggal Dara Celcius B 7733 WV dan Bhineka berbadan Laksana Comfort dilumatnya. Di sisi berlawanan, deretan kendaraan tampak merayap hampir sepanjang 5 km, terganggu oleh proyek perbaikan jembatan di Kandanghaur.

Di atas rute Eretan-Arjawinangun, mangsa-mangsa pun bergelimpangan, ditombak ujung gading The Elephant ini. Kembali bus Tunggal Dara B 7214 PV, Kramat Djati Madura B 7956 XA, Sinar Jaya 2 WX, DMI 30Y, Bogor Indah Proteus B 7164 XA, Laskar Pelangi 90 VX, Luragung Jaya Setra Laksana serta Purwo Widodo AD 1546 FG disungkurkan.

Menggilas jalan bebas hambatan Palimanan-Pejagan, speedometer jarang terbaca pada skala dua digit. Seringkali kulirik jarum kecepatan, hanya bergeser di range 100-120 km/ jam. Cukup cepat dan harmonis pergantian rotasi kerja 6 silinder hingga aliran darahku berdesir dan nyaliku bergidik dibuatnya. Alhasil, Safari H 1615 BC, Maju Lancar AB 2775 AC Marcopolo Tri Sakti, Gajah Mungkur Integra, Bus Wisata Plat E (kurang jelas namanya), Pahala Kencana Jupiter trayek Banyuwangi, berikut Harapan Jaya Scania “Be Groovy” dibabatnya.

Sebelum perlintasan KA Pejagan, disempurnakan dengan mengasapi LE-420 Marcopolo dan Tri Sumber Urip model Galaxy.

Dan daftar menu yang disantap mesin berkapasitas 6.374 cc terus memanjang. Tak usah menghitung kendaraan non bus, cukup “ban enam” saja yang dijadikan bukti kedigdayaan Gajah Kebayoran.

Sahabat Panorama 2 E 7615 AB, Sedya Mulya kode 33, Harapan Jaya AG 7034 UR, Sindoro Satria Mas 210, Lorena Denpasar LE-610, Coyo G 1665 AA, Purwo Widodo powered by Volvo B7R dicaplok di ruas Klampok hingga SPBU Muri Tegal.

Giliran selanjutnya Gajah Mungkur Fajar VIP AD 1516 EG, Harapan Jaya 15 AG 7494 UR, Rosalia Indah 216 OH 1521, dan Sumba Putra Hino AD 1506 CG.

Jam 21.15, saat armada bertenaga 260 HP ini singgah di agen Terminal Pemalang. Menurut penuturan kru, pasar penumpang OBL di Kota Nasi Grombyang ini lumayan prospektif, khususnya untuk tujuan Mataram. Pantas saja, meski cuma menempati kios sederhana, namun agen OBL terlihat paling informatif dengan mencantumkan jam-jam keberangkatan jurusan Mataram dan Denpasar.

Tak sampai 10 menit, bus ber-GVW 15 ton ini “berlayar” kembali, dan kini tercecer dari parade bus malam yang tadi sempat disalipnya.

Tensi yang meluap-luap dan determinasi tingkat tinggi tetap diperagakan oleh Pak Yongki. Tanpa kenal lelah terus menghela kemelimpahruahan tenaga yang didukung teknologi Intercooler Turbocharger sehingga berhasil mengasapi Harapan Jaya AG 7555 UR dan Damri 3142 beregistrasi AB 7354 US.

Di Kota Batik, bus berhenti kembali, memunggut tiga lagi penumpang yang mengatrol load factor mendekati 100%, hanya mengosongkan nomor kursi #01 yang tak laku. Luar biasa memang, di saat PO-PO berjuang keluar dari fase paceklik, OBL tetap stabil dalam memenetrasi pangsa penumpang.

Nothing is perfect, tak ada apapun yang sempurna...

Setelah mencundangi “kawan-kawan main” di sirkuit Deandels, keperkasaan itu ada tepiannya. Justru di habitat sesungguhnya binatang Gajah, di jalan lama Alas Roban, dia gantian dijadikan bulan-bulanan dua pasukan Wonogiren, yakni Sumba Putra Sprinter Laksana dan Serba Mulya A.06. Gara-garanya, Euro III ini terlambat mengintip situasi lalu lintas depan yang terhalang konvoi truk-truk bertonase berat.

Mengutip semboyan “Jangan tukar nyawamu dengan waktu sedetik”, rasanya tepat bila dicamkan juga “Jangan abaikan waktu sedetik, karena yang lain akan menghabisimu”.

Beruntung, peluit akhir pertandingan belum berbunyi. Di balasnya kelakuan nakal mereka di trek lurus Gringsing, sebagai isyarat agar jangan menyepelekan kecepatan lari Elephas Maximus.

Di Ringroad Kaliwungu, susbtitusi driver tanpa menghentikan putaran roda bus diperagakan, persis yang dilakukan penggawa Akas Asri tempo kemarin. Menurutku, inilah aksi akrobatik sopir-sopir bus Indonesia yang tiada duanya di alam raya ini. Top…

Malam kian luruh dalam kegelapan. Langit teduh berselimutkan permadani pekat. Dewi malam menebar senyum pesona padaku, mengerlingkan sudut matanya sebagai bahasa kemesraan untuk mengajakku bergumul badan dalam bilik peraduan. Lidahku tercekat dipameri lekuk indah tubuh yang bersembunyi di balik keanggunan busana tipis terawang.

Sungguh, tak kuasa aku menolak bujuk rayunya. Kelopak mata ini mengatup rapat, tatkala usapan lembut jemari lentik menerpa kulit punggungku. Hasrat bercinta semakin menyesak dada saat kuhirup aroma harum semerbak bunga-bunga cinta yang dihembuskan olehnya. Desah nafas kian memburu, saat bibir merah merekah menempel di ujung telingaku, seraya berbisik “Reguklah aku demi menuntaskan dahaga kasih asmaramu, Arjunaku…” (Hayah…mau cerita tidur molor saja pakai lebay-lebay-an segala?)

Tet…tet…tet…

Rentetan suara klakson itu sontak menutup layar mimpiku. Ugh, sialan…

Bus tak bergerak sama sekali. Kukucek-kucek mata untuk memastikan posisiku sekarang. Di depan, truk-truk berhenti, menutup dua jalur beralaskan aspal hitam nan mulus. Aku hafal, pasti lingkar luar Kota Demak.

Kuedarkan pandangan ke samping, lhadalah…ada HT 614. Wah, jangan-jangan ini Pahala Kencana Jember, favorit Pak Didik SS, yang populer aksi ngejosnya itu?

Ada apa gerangan, kecelakaankah?

Ngeng…ngeng..ngeng…Deru knalpot sepeda motor riuh terdengar. Ya ampun, jalan penyangga perekonomian nasional ini dijadikan arena balap liar para ababil (istilah untuk ABG labil). Edan!!!

Berani-beraninya mereka merintangi pengguna jalan yang memang punya hak penuh untuk memanfaatkan keberadaan properti negara ini. Kemanakah engkau Pak Polisi? Sudah tak adakah pranata hukum dan pewenang keadilan di bumi pertiwi ini? Semuanya melempem. Seolah tanah ini negeri tak bertuan.

Kepada siapa lagi harus mengadu?

Barulah 5 menit kemudian, host acara track-track-an tengah malam memberi haluan kepada kendaraan untuk lewat. Dan kibaran bendera yang digenggamnya seakan jadi lampu hijau untuk lomba adu sprint antara Gajah Kebayoran vs Ombak Biru. Armada gres tidak pernah berbohong. Proteus itu tertinggal, tak mampu mengimbangi daya sembur mesin OM-906LA nan powerfull.

Sayang, OBL harus minggir karena kehausan dan menenggak cairan ber-cetane number 48 dari “waduk solar” Wono Ketingal, yang masih satu wilayah dengan markas PO Nusantara, Karanganyar. Diberikannya waktu 20 menit kepada para penumpang untuk sekedar melepas penat atau melepaskan hajat biologisnya.

Di penutup etape, antara Kudus-Rembang, “belalai Gajah” masih sempat mengaspirasi rasa laparnya. Lagi dan lagi, Karina Madura dan satu bus bumel Sinar Mandiri Mulia “Big Boss” ditelannya. Dan hampir saja, PO Ezri G 1504 AA Setra Morodadi Prima yang lekat dibuntuti mulai dari Kaliori juga ditumbangkannya sebelum aku menghentikan upayanya karena Pantai Kartini, Rembang, sudah tampak bentuk rupanya. Dialah area penanda bahwa aku bersiap-siap untuk lengser dari singgasana “satu malam”.

Pukul 01.55 atau 11 jam 20 menit, durasi yang dibutuhkan untuk mendekatkan jarak Rawamangun-Rembang. Not bad…

Berkaca pada perjalanan-perjalananku bersama Gajah Kebayoran, baik Sprinter, V-engine B 7168 MK maupun Neoplan “NR”, semuanya bergenre streetfighter dan greget dalam berlaga di jalan raya. Meski aku bukan penyuka kecepatan semata, namun trip bersama OBL, Safari Dharma Raya atau Gajah Kebayoran selalu menjadi “kemewahan” yang menggairahkan untuk dikenang, bahkan pula untuk diulang, diulang dan diulang.



Jadi, siapa yang masih sangsi bahwa Gajah pun sebenarnya bisa berlari?

-- The End --


Gajah Kebayoran On The Move... (Bagian ke-2)


“Kepada satu lagi penumpang OBL tujuan Denpasar atas nama Bapak A***, dimohon segera naik armadanya karena armada akan segera diberangkatkan!”

Itulah “olah vokal” petugas lewat corong TOA, seakan jadi “nyanyian” penyambut kedatanganku saat menginjak pelataran Terminal Rawamangun.

Wah, OBL mau take off? Duh, aku harus cepat-cepat kalau tak ingin buruanku terlepas. Tak kugubris lagi binar kemolekan Pahala Kencana Marcopolo Denpasar, Kramat Djati Malang ber-air suspension atau Lorena OH 1525 Banyuwangi.

OBL, Safari Dharma Raya dan Gajah Kebayoran. Hanya nama-nama itu yang mengerucut dalam benakku. Mumpung dia masih di sini, sedapat mungkin aku harus bisa menangkapnya. Tak kutimbang-timbang lagi dapat “jenis”nya seperti apa, yang penting Gajah. Itu saja. Titik…

Mengapa harus bus itu, sih?

Kubuka selubung saja. Salah satu PO yang selalu menggoda untuk kubidik sekaligus jadi “targetman”adalah Safari Dharma Raya, menyisihkan legenda-legenda yang lain semacam Pahala Kencana, Kramat Djati atau Lorena.

Alasannya, “kerajaan otobus” yang dikomandoi Pak Hendro Darmoyuwono adalah PO “kaya” dan “dinamis”. Tentu bukan semata kaya modal dan armada, melainkan pula kaya akan ragam mesin, model karoseri, hal-hal yang berbau modifikasi, dan tentu saja, selalu terdepan dalam meng-update jajaran line-up nya.

Yang bergelayut di benak pikiranku; Mercy, MAN, Scania, Hino, Sprinter, Neoplan, Legacy, New Celcius, Integra, B 7168 VK, B 7168 IS, Allison Automatic Transmission, V-engine, Yuchai, Wechai, Kinglong, Tessy, Yongki, Johny, Denpasar, Mataram hingga angkutan TKI Indonesia Timur adalah sederet variabel yang menggambarkan keunikan keluarga Gajah Kebayoran.

Jadi, setiap kali jam 2-an aku telah berdiri di “showroom bus” yang berlokasi di Jalan Perserikatan, seringnya OBL yang kutempatkan di rack pertama pilihanku. Karena, kemungkinan kecil aku bakal mendapatkan “spesies gajah” yang sama dengan yang telah kunaiki sebelumnya, karena saking “kaya”nya PO yang lahir di lembah Sindoro-Sumbing tersebut.

Apalagi, dengar-dengar OBL mendandani 7 unit OH 1526 dengan “jubah” terbaru dari 7 karoseri yang berbeda, kian menebalkan niat pencarianku. Siapa tahu, salah satu dari mereka, hari ini ditugaskan mengantarkan “tamu” ke kampung I Nyoman dan Ni Ketut.

“Mas, boleh ikut OBL?” sesaat setelah kudekati dua “Mas Agen” berdresscode batik OBL yang tengah berjalan berdampingan.
“Tujuan mana, Mas?” balas salah satunya.
“Rembang.”
“Mau?? Tapi tiket agak mahal, Mas!” cegahnya skeptis bahwa aku bakalan mau.
“Ga papa Mas, lha wong saya pengin naik OBL.” aku hanya tertawa kecil dalam hati.
“Alhamdulillah. Terima kasih Mas, ini rejeki saya hari ini….” papar singkatnya penuh bijak.

Hmm…baru kali ini aku menemui personel agen yang seketika mengucap kata syukur di depan penumpang yang sukses dijaringnya.

“Ayo, ke loket Mas…” ajaknya sembari memberi kode temannya, agar bus ditunda dulu keberangkatannya.

Sip, aku berjodoh dengan obyek incaranku.

“Berapa, Mbak?” tanyaku setelah diserahkan kepada Mbak Agen di ruang loket No. 10.
“165 Mas. Mau no 1 apa 2? Kosong dua-duanya…”
“2 saja Mbak.”

Langsung saja kubayar tunai, toh, nominal itu pula yang dibebankan padaku saat naik Sprinter B 7168 XT beberapa bulan yang lalu. Bahkan kali ini, aku dapat satu kursi ekstra.

“Busnya di jalur 3 paling depan ya, Mas!” imbuhnya sebagai pemungkas transaksi.

Dengan setengah berlari, kucari gajah-gajah yang seringkali jadi pemicu perselingkuhanku. Armada apa yang akan “kugauli” kini? Degup jantung ini semakin tak menentu dibuat penasaran olehnya.

Eng…ing…eng…



Mpfuh…rupanya bus ini, yang dahulu (kalau tidak salah) direnggut keperawanannya oleh BMCers ketika assestment armada kinclong ke Anyer. Hii…dapat barang bekas. Hehe…

“Hei, buat apa mengeluh? Beda jauh lho rasa road test sama ngelen?Mana ada macam-macam PO berbarengan ngetes armada baru, terus memeragakan aksi blong-blongan di jalan?Itu adanya di dunia bus malam.” hiburku mencari pembelaan diri.

Benar juga!

Kucoba menelisik hasil rancang bangun tangan-tangan terampil Morodadi Prima dalam membungkus kemutakhiran teknologi “adik Mercy Elektrik” ini. Tiga kali ini aku nge-klik engine varian terbaru Mercedes Benz, masing-masing Red Phoenix Haryanto B 7689 VGA,



Garuda Mas E 7552 HA



dan Budiman 3E 21,


semuanya “handmade” Adi Putro. Sore ini, tampil dalam balutan baju bikinan “tukang jahit” yang lain.

Bicara sisi luar, aku layak acungi jempol. Mengusung genre H-deck, dengan minor change di sektor buritan dan haluan, membenamkan hi-beam original Travego, benar-benar membuat maskulin, kekar dan berwibawa. Menurutku, dibanding saat masih menggunakan lampu depan model Marcopolo atau Smiley, inilah produk New Travego karya anak bangsa yang nyaris mirip versi eropa-nya sono.



Terlebih, corak livery coklat susu yang dilukis di permukaan lambungnya benar-benar fresh, keluar dari jalur pakem OBL yang berbackground gradasi warna biru langit dan putih dihiasi tarikan garis merah-biru. Hanya menyisakan kesamaan berupa sekawanan gajah yang sedang menjalani kehidupan yang rukun, akur dan bersinergi dalam berkomunitas. Kita patut belajar dari mereka ya? Hehe…

Soal interior pun tak kalah sentuhan. Langit-langit terlihat wah dengan permainan lekuk atap kabin dan penataan cahaya dari lampu-lampu ruangan. Ditambah panel-panel bermotif wooden panel di dashboard dan sudut-sudut atas, menambah keekslusifan moda B 7799 TK ini.

Tema bus jangkung benar-benar ditunjukkan. Beda altitude dudukan seat pengemudi dan penumpang cukup lumayan, sekitar 40-50 cm. Penumpang yang duduk tampak menjulang hingga kepala “mendekat” pada louver AC. Harus bersiap terpapar tiupan hawa dingin Nippon Denso yang nangkring di luar sebagai kreatornya.

Kejulangan ini “didukung” juga fasilitas reclining seat yang hanya mampu berputar 30 degree dari posisi tegak. Dan menurutku, inilah salah satu kelemahan yang perlu dikritisi sebab mengurangi keergonomisan jok merek Hai ini. Susah mendapatkan mode PW saat rebahan.

Sekali lagi, ini penilaian subyektifku. Sah-sah saja, kan?

Gajah Kebayoran On The Move... (Bagian ke-1)


--- Long weekend, H-7 Lebaran hingga H+14, musim Haji, liburan sekolah, Natal dan Tahun Baru, plus Harpitnas (Hari Kejepit Nasional) ---

Dalam kalender tahunan imajinerku, tanggal-tanggal penyusun holiday seasons di atas sudah lazim kutimpa dengan ujung spidol warna merah, kugoreskan garis silang di dalam bingkai angkanya. Tanda yang berarti "terlarang" itu sebagai reminder, bahwa pada momen-momen tersebut, aku kudu mengebiri berahiku yang suka “berselingkuh” dari bus-bus yang selama ini jadi sandaran ritual wira-wiri.

Aku demen berselingkuh !?

Sebagai penglajo rutin, menyandang gelar loyalis satu PO alias POmania amatlah menjemukan. Semakin lama berkubang di dalamnya, kurasai monotonitas ritme berikut derap iramanya. Dunia bus yang begitu luas serasa menciut, wawasan serta pergaulan sosial terbatasi.

Bahkan kalau tidak hati-hati, “ia” bisa membunuh obyektifitas ke-busmania-anku dalam menyorot PO-PO lain. Handicap dalam diri seorang buslover inilah yang sedapat mungkin kueliminir.

Tak bisa kupungkiri, di awal perkenalan dengan entitas komuter, aku terjerumus pandangan sempit, terjebak dalam lingkaran POmania. Mengenakan “kacamata kuda”, membabi buta men-judge “my bus is the best, no other is like it...”.

Jadilah pulang pergi bersama PO yang sama, yang beda hanya kode bodi. Duduk di kursi yang bentuknya serupa, yang beda hanya posisi. Kedai makan singgahan tahunya di situ, di sana atau di sini, yang beda hanya harga menu yang tersaji. Bertemu kru itu-itu saja, yang beda hanya panggilan diri. Koleksi tiket sampulnya seragam, yang beda hanya nomor seri. Pun saat menjalin hubungan dengan agen, dia lagi dia lagi, yang beda hanya lokasi di mana lapaknya berdiri.

Kalau ditanya orang soal PO lain, “Pernah naik bus itu, Mas?”, “Bagaimana rasanya?”, “Bagus tidak pelayanannya?” dan lain dan sebagainya, aku cuma bisa menggeleng. Malu rasanya. Selaku insan yang dengan bangganya mengaku busmania, tapi tak berkutik ketika dijadikan sumber referensi bagi yang membutuhkan.

Ah, apa seninya berkelana di jalanan kalau begitu?

Lagi pula, dahulu aku juga acapkali menelan “pil pahit” yang dihadiahkan bus kesayanganku. Nama indah sebuah perusahaan transportasi yang tertanam dalam relung sanubari tak serta merta menjamin bahwa PO itu akan selalu mendekatkanku pada puncak kepuasan. Nyatanya, dia seringkali tergelincir sebelum sampai pada tujuan yang kuasakan. Nothing is perfect, tak ada apapun yang sempurna…

Itulah “cubitan pedas” yang akhirnya mendukung premisku bahwa “Setiap bus menyimpan “berlian” yang berbeda, tinggal bagaimana aku mendulang kemilaunya”.

So, kian lengkaplah dalih yang menjustifikasi “ulah ketidaksetiaanku” pada PO tertentu. Aku lebih merdeka jadi penumpang kutu loncat, yang bebas terbang kemudian mendarat dimanapun, lalu pindah hinggapan kemanapun yang hendak kutuju.

Beruntung Rembang -- kampung halamanku – disinggung beragam trayek serta bus dari/ ke ibukota. Di saat aku bosan, misalnya, dengan satu PO “Plat K”, aku bisa melirik PO tetangganya. Ketika aku “overdosis” dengan armada Cepu-Jakarta, aku bisa mengobatinya dengan armada timur-an. Atau tatkala dibekap ke-bete-an menunggang yang direct line, aku bisa melawannya dengan berestafet, transit Semarang atau Blora. Yang demikian caraku mengakali trip 600 km tiap akhir pekan, agar semakin lama, citarasa “bersetubuh” dengan bus tak kian hambar.

Nah, rentang Oktober sampai dengan permulaan November, bagiku adalah wadah pesta pora perselingkuhanku.

Bagaimana tidak?

Setelah ditinggal berlalu Idul Fitri, sementara bulan haji, Natal dan pergantian tahun masih jauh menghadang, slottime ini begitu menyenangkan untuk dilalui. Inilah saatnya melakukan perburuan sensasi serta petualangan anyar “memeluk” bus yang belum pernah kucicipi “kehangatan”nya.

Sudah lumrahnya, okupasi bus-bus jarak jauh melorot -- khususnya untuk jalur Malang, Madura, Jember, Banyuwangi, Surabaya, serta Denpasar -- lantaran penumpang non-reguler menahan diri untuk bepergian. Imbasnya, bus-bus seolah menghiba raga, menjual jasa lebih murah, membanting harga agar tetap terbeli dan tentu, penumpang “numpang jalur” sepertiku pun dengan gembira ria diangkutnya. Merekalah yang memajang pesona, mencari simpati serta menebar bujuk rayu kepada calon penumpang. Bukan konsumen yang repot dan kepayahan mencari armada selayaknya pada saat musim ramai.

Keleluasaan dalam memilih bus, keunggulan nilai tawar, fare yang negotiable, adanya peluang buy one get one free (beli 1 tiket dapat 2 kursi), ditambah laba immateriil, yakni “the new advanture” dengan bus asing adalah keuntungan dari aksi coba-cobaku. Biarpun kantong yang kurogoh lebih dalam ketimbang ongkos dedicated bus ke Rembang, bagiku, tetep jauh lebih murah dibanding selaksa makna yang kuraih.

Pengalaman merupakan barang yang tak bisa dinilai cost produksinya, bukan?

Dalam upaya hunting sensasi dan experience seeking, aku menerapkan metode sederhana. Tak perlu nge-book tiket sebelumnya, cukup on the spot atawa go show saja. Datang langsung ke terminal, lihat-lihat, pilih bus, nego, naik, berangkat dan tinggal menikmati suasana on board. Itu lebih menantang adrenalin, menguji keberanian, ada pertaruhan nasib di dalamnya, serta efek harap-harap cemasnya begitu nendang.

Tak ada kamus “kecewa, dongkol, kesal, geregetan, muak, gondok dkk” sesudah perjalanan. Sepahit-pahitnya perjalanan di kamar kabin bus “baru”, tetap akan jadi cerita manis untuk dikisahkan. Beda dengan “luka hati” akibat perbuatan tak mengenakkan bus langganan. Yang demikian justru sayatannya lebih pedih, dan butuh tempo lama untuk penyembuhan.