Kamis, 29 Juli 2010

Dari Pulogadung, “Mendaki” Dieng (4)


Indahnya “Sejatinipun Seduluran”

Tuntas sudah jerih payah kami “merangkak” sejauh 500 km dari emplasemen Pulogadung menuju ujung atas Dataran Dieng. Lelah, capai, busleg, badan meriang serta masuk angin, sirna dan menguap dari kamus perjalanan kami. Yang tertulis cuma frasa-frasa keceriaan, kebahagiaan dan kegembiraan. Kami habiskan durasi kebersamaan, kemesraan, canda tawa, serta keakraban sesama Dieng-ers dengan menikmati beragam pesona alam yang ditawarkan.

Inilah tempat-tempat monumental yang menjadi saksi bisu aktualisasi bidak-bidak BMC dalam mengibarkan slogan “Sejatinipun Seduluran”.

1. Dieng Plateu Theatre

Dengan waktu tayang kurang lebih 30 menit, kami disuguhi pemutaran film dokumenter tentang kegunungapian Dieng.





2. Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Gua Semar

Sasaran kedua yang kami visit adalah kawasan Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kedua tandon air ini letaknya berdampingan. Dinamai Telaga Warna karena telaga ini memantulkan berbagai warna. Kandungan belerang yang ada di dalamnya memantulkan warna kehijauan, sedangkan ganggang merah yang ada didasar telaga memantulkan cahaya kemerahan dan jernihnya air telaga yang berwarna biru muncul dari pantulan gradasi sinar matahari. Nama Telaga Pengilon sendiri berarti telaga cermin. Air di telaga ini sangat jernih dan bisa memantulkan bayangan benda yang ada di sekitarnya.





Di kawasan obyek wisata Telaga Warna dan Telaga Pengilon juga terdapat beberapa gua. Salah satu di antaranya adalah Gua Semar. Panjangnya kira-kira 4 m dengan dinding batu, dan biasanya digunakan untuk bermeditasi. Selain Gua Semar, ada bebarapa gua lain yaitu, Gua Sumur dan Gua Jaran. Di dalam Gua Sumur terdapat satu mata air yang disebut “Tirta Prawitasari”.



3. Kawah Sikidang
Selanjutnya Kawah Sikidang. Sikidang adalah nama kawah di Dataran Tinggi Dieng yang paling terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Karena seringnya berpindah-pindah seperti rusa/ kidang, maka orang-orang sekitar menyebutnya kawah sikidang (anak kijang).



4. Kompleks Candi Dieng
Lokasi terakhir yang kami singgahi adalah Kompleks Candi Dieng. Di area ini berdiri lima candi, yakni Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Sembadra, dan Puntadewa. Candi-candi yang tersebar di kawasan ini bercorak Hindu.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat, pada abad ke-7 Masehi, ada seorang putri bernama Dewi Sima. Ia adalah keturunan Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Kalingga, dengan gelar Ratu Sima. Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang bernafaskan Hindu. Pada masa pemerintahannya, Ratu Sima mendirikan candi-candi yang ada di tempat ini sebagai bentuk pemujaan.

Ratu Sima tidak hanya mendirikan satu kompleks candi. Tetapi ia juga mendirikan beberapa candi lain, di antaranya Candi Gatotkaca yang terletak di bukit Pangonan, Candi Dwarawati yang berada di kaki Gunung Prahu, dan Candi Bima yang merupakan candi terbesar di kawasan wisata Dieng Plateu. Candi-candi yang berada di luar kompleks pada umumnya letaknya menyendiri dan dikelilingi pepohonan.




---
Penanda waktu telah menunjuk angka 12.30, yang berarti warning bagi kami untuk segera meninggalkan Dieng. Ada satu obyek lagi yang tadi tertunda dikunjungi sebelum memburu waktu kedatangan armada Nusantara yang akan menghantar Mas Riko ke Semarang, yakni Kalianget.

5. Taman Rekreasi Kalianget

Dengan bus yang sama, kita di-dropping ke Kalianget, yang lokasinya persis di pinggir jalur wisata Wonosobo-Dieng.



Taman Rekreasi Kalianget menyediakan pemandian air panas alami, dimana air tersebut mengandung asam sulfat yang cukup tinggi sehingga berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit kulit. (Bukan berarti, kami punya penyakit kulit lho…hehe)

Di sini Dieng-ers melakukan relaksasi badan setelah hampir seharian penuh berkutat dengan aktifitas fisik, dengan berendam di dalam bathup yang dituangi air panas. Tubuh pun segar serta rileks kembali, hilang sudah kepenatan karena kami harus on fire lagi sebelum menjalani turing balik ke Jakarta.

Jarum jam semakin mendekati setengah tiga. Kami pun beres-beres dari acara mandi ini demi Mas Riko, yang sudah tak sabar dan khawatir ketinggalan kereta, eh, bus.

Saat “melantai” kembali ke Wonosobo, Mas Riko dan Mas Yanuar turun di jalan yang terdekat dengan agen Nusantara. Sementara yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju terminal.

Dan di Mendolo ini, berakhir pula pendakian bersejarah ke Dieng yang diemban “massa akar rumput” organisasi BMC ini.

Mie Ongklok, Penggenap Ritual Turing

Turing takkan lengkap tanpa melewatkan wisata kuliner. Demikian prinsip travelers sejati.

Beruntung, sekembalinya mengantar kepergian Mas Riko, Mas Yanuar membawa armada Suzuki Carry pick up-nya. Atas referensi dia pula, kami diusung beramai-ramai untuk menikmati kuliner trade mark Kota Wonosobo. Apalagi kalau bukan Mie Ongklok Pak Muhadi.



Mie Ongklok adalah salah satu makanan khas daerah Wonosobo yang memiliki cita rasa unik. Mie dengan kuah kental dan sayur kubis ini sangat enak untuk disantap apalagi dengan tambahan beberapa tusuk sate sapi.



Oh iya, ada beberapa selebriti pernah singgah di kedai Mie Ongklok Pak Muhadi, sebut saja Angelina Sondakh dan Mario Lawalata. Cukup populer, kan?



Akhir Kebersamaan

Halimun pekat telah turun, menyembunyikan keteduhan Dataran Dieng. Hawa dingin mulai merasuk kulit, mengusik tubuh untuk segera beraksi mengusirnya. Siang telah menuntaskan garis edarnya, dan senja bersiap menyambut kedatangan malam.

Cahaya matahari mulai redup duka mengiringi kesepian yang menyelimuti setiap jengkal tanah Terminal Mendolo, setelah ditinggal sebagian penghuninya.

Mas Hans, Mas Himawan, Mbak Asti plus Mas Hadi, Mbak Tya dan Mas Rifky telah bersiap di dalam armada 18 J. Armada yang sama, yang akan membawa mereka merapat kembali ke ibukota. Tak selang lama, tangan-tangan dilambaikan seirama “cambuk” Mas Agung menghela pedati Batavia Express untuk meninggalkan Mendolo.

Betapa kejamnya seorang algojo yang bernama sang waktu itu. Belum puas kami merasakan damainya nilai kebersamaan, begitu cepat ia memenggal kemesraan kami. Baru saja kemarin malam bertemu, malam ini kami harus berpisah kembali.

Tinggal penulis bersama Mas Adit dan Kang Asep yang masih tertinggal, menanti bus Budiman Wonosobo-Tasik-Bandung sebagai tunggangan estafet perdana trip menuju Jakarta.



Sembari menunggu jam keberangkatan, kami bertiga mengisinya dengan saling mencurahkan isi hati. Betapa momen-momen indah ini begitu singkat berlalu. Kami tak ingin, kesan mendalam pendakian ke Dieng hanya cukup sampai di sini.

Sebisa mungkin, ritual turing bersama ini akan kami rutinkan, tentunya tanpa ikatan interval berkalanya. Cukup insidental saja.

Kemudian, bertiga menajamkan rencana yang telah diwacanakan sebelumnya. Turing berikutnya akan kita sodorkan. Cijulang ataukah Ujung Kulon?

Biarlah sementara waktu jawaban itu mengambang, belum ada ketok palu keputusan. Toh, ada forum KPK Pulogadung, tempat di mana kami boleh bermimpi dan berangan-angan selaku bocah bismania.

Bukankah turing bareng ke Dieng berawal dari mimpi-mimpi sederhana itu, dan selanjutnya, kita pun sanggup mewujudkannya?

Special thanks to :
- Allah SWT, atas segala kemudahan
- Keluarga besar BMC
- Poniman Gengs : Mas Adit, Mas Hans, Mas Asep, Mas Bugi, Mas Hadi, Mas Pamuji, Mas Rifky, Mas Himawan, Mas Andi, Mas Prima, Mas Rully, Mbak Asti, Mbak Tya dll, terus jaga kesolidan dan kekompakan
- Mas Yanuar dan Mas Faisal, BMC Wonosobo, atas sambutan hangatnya
- Mas Agung dan Mas Agus, kru 18 J atas pembelajaran hidup
- Pak Royan, pengemudi bus mini
- Pak Bambang, agen SJ Wonosobo
- Bu Dedeh, agen Budiman Wonosobo
- Dan semua pihak yang membantu kelancaran turing ke Dieng

Dari Pulogadung, “Mendaki” Dieng (3)


Dieng, We’re Coming…

Matahari telah menyembul sepenggalah dari balik pegunungan di sisi timur Wonosobo. Fajar baru saja berlalu, menyisakan kabut tipis di atas awang-awang kota. Gunung Sindoro begitu kekar tertancap di bumi, sementara dari tempat kami berdiri, terlihat jelas dataran tinggi Dieng berikut puncak Gunung Prahu di sisi utara. Kesejukan udara Kota Asri ini seakan menjadi obat peluruh letih bagi Dieng-ers setelah 10 jam menyusuri etape panjang Pulogadung-Wonosobo.

Kami rehat sejenak, me-refresh pikiran, menata stamina, serta membersihkan badan ala kadarnya dan selanjutnya menikmati sarapan pagi bersama di Warung Makan Mbak Bin, yang lokasinya masih di dalam Terminal Mendolo.



Menu unggulannya adalah nasi gudeg, meski ditawarkan juga sajian lain. Sop, brongkos, gule dan rames sebagai pelengkapnya. Tak lupa kami memesan lauk gorengan khas bumi barat daya Propinsi Jawa Tengah, tempe mendoan.

Saat kami menyantap hidangan olahan Mbak Bin, datanglah Mas Yanuar, anggota BMC yang berdomisili di Wonosobo, yang sekaligus akan menjadi tour guide kami. Inilah tuah institusi sekaliber BMC. Membernya berserak di seantero Nusantara.

Dan kami sungguh beruntung, 18 J bersedia mengantar kami ke obyek wisata pertama yang kami tuju, pemandian air panas Kalianget, yang letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Selain kami bersepuluh, tercatat Mas Yanuar, Mas Agus (Bruno) dan seorang bapak pengurus agen SJ, turut ke “atas”.

Namun, di tengah perjalanan ke Kalianget, kami berembuk kembali dan mesti merevisi rencana awal. Sebab, kami harus berdamai dengan request Mas Riko, yang ingin mengejar The Phoenix Haryanto jam 7 malam dari Semarang untuk kembali ke Jakarta. Setidaknya, jadwal Nusantara Patas Purwokerto-Semarang, pemberangkatan jam 14.30 dari Wonosobo harus diburu.

Mau tak mau, kami membalik rencana. Dieng sebagai prioritas pertama, dan pulangnya baru mampir Kalianget. Selain itu, mumpung kondisi cuaca lagi cerah, akan lebih enjoy menikmati pesona Dieng di pagi hari hingga menjelang siang.

Kami menghentikan sebuah bus mini, yang akan ditunjuk sebagai pengawal rute pendakian kedua, Wonosobo-Dieng. Setelah negosiasi harga, deal di angka Rp250.000,00 dengan kompensasi jasa hantaran ke semua obyek wisata yang tersebar di Dataran Tinggi Dieng.

Saat kami pindah armada, dari PO Sinar Jaya ke PO HR Utama –nama micro bus tersebut-, bergabung lagi Mas Faisal, member BMC yang secara umur seangkatan dengan Rayyan BBG.



Jadilah, kami berempat belas mendaki Dieng.

Mitsubishi 120 PS berkaroseri Raendo Semoyo itu membelah jalan yang terus menanjak dan berliku menuju Dieng. Jeritan mesin nyaring terdengar, nafasnya ngos-ngosan, menandakan keempat silindernya memeras keringat untuk memproduksi energi gerak demi mendorong bis engkel ini.

Di sepanjang jalan yang diapit Gunung Sindoro dan deretan Dataran Tinggi Dieng, pemandangan begitu elok, hijau dan segar. Lahan-lahan pertanian menumbuhkan tanaman yang mempunyai nilai profit, semacam kentang, kubis, carica, purwaceng, terong belanda, cabai dan jamur. Menandakan bahwa Dieng, Sindoro, dan Sumbing adalah emas hijau bagi alam Wonosobo.

Kami sempat melewati jalan yang longsor Januari silam, yang memutus jalur Wonosobo-Dieng dan meruntuhkan batu segede micro bus ini, yang kemudian terjun bebas ratusan meter dan menimpa kampung di bawahnya. Saat ini, badan jalan sedang dilakukan perbaikan dan penguatan talud. Penulis sempat bergidik menyaksikan posisi jalan di pinggir jurang yang begitu dalam. Saking dalamnya, pedesaan di bawahnya terlihat mungil dan nyaris tak terlihat karena terhalang awan tipis.

Setelah menempuh jarak 30-an km dengan waktu tempuh satu jam lebih, kami tiba di dataran yang berketinggian 2093 m dpl, Dieng.

Akhirnya terjawab, ini tho yang konon taman nirwana para dewa-dewi itu?


Dari Pulogadung, “Mendaki” Dieng (2)


Anomali Spesies “Keong”

Salah satu poin mengapa kami pasrah menyerahkan diri pada 18 J adalah faktor the man behind steering wheel. Mengacu iklan promosi para SJM, Mas Agung –pengemudi batangan 18 J- adalah sosok anomali di keluarga besar PO terbaik se-Indonesia ini. Mantan driver bus kota PAC 26 Bekasi-Grogol seolah memutarbalikkan olok-olok sosial bahwa bus Sinar Jaya tak ubahnya keong sedang melangkah alias “Keong Stroke”, untuk menggambarkan saking pelannya bus Sinar Jaya saat berjalan.

Bukti kecil tentang kelihaian tangan dan kaki Mas Agung memang nyata saat menyusuri ruas Pulogadung-Cakung. Menurut penulis, Mas Agung adalah etalase ideal seorang pengendara kendaraan besar. Halus cara pembawaanya, mahir mengharmonisasikan kerja pedal akselerasi, tuas kopling, piranti pengereman serta me-manuver-kan roda-roda bus saat menyibak kepadatan lalu lintas.

Hal demikian bisa penulis rasakan saat mulai meninggalkan apron terminal. Boleh dibilang, bus nyaris tanpa hentakan ketika posisi stop and go, pengeremannya pun lembut dan pandai me-menej rpm di kala shift-up maupun shift down.

“Ah, itu semua belum cukup memadai,” batin penulis. “I believe when I see it on Pantura…”

Menginjak aspal jalan tol Cakung-Jatibening-Cikampek, meluaplah karakter asli Mas Agung dibalik kemudi. Pembawaannya kalem, tak ada kesan grusa grusu dan jauh dari sikap agresifitas yang bar-bar. Biarpun hanya membawa armada ekonomi, Mas Agung begitu menjaga kenyamanan para penumpang fanatiknya.

Ketenangannya itu terlihat saat di Km. 10 ketika di-overtake Gunung Mulia Panorama DX dan Menara Jaya cap Thoyibah di lajur empat. Dia tetap aja cool sambil terus membejek gas secara smooth, dikuntitnya kedua bus tersebut dan ketika speed sudah mumpuni, aksi balas pun dilakukan.

Di SPBU Bekasi Timur, bus ber-jersey Travego Panorama 2 hasil tempaan Mpu Laksana ini singgah untuk keperluan kontrol dan meminum asupan gizi, bersamaan dengan belasan Sinar Jaya dan DMI yang lain.


Lepas dari Km. 19, kinerja mesin RG1JSKA generasi pertama ini terus dioptimalkan. Setingan mesin dan karakter pribadi Mas Agung memang duet yang klop. Apalagi saat itu, Mas Chandra (adik kandung Mas Himawan), tukang seting RG Built Up ini, turut serta di dalamnya. Sepertinya dia ingin mengobservasi hasil pekerjaannya sendiri sembari menjalankan tugas kantor untuk menangani armada Sinar Jaya yang lagi storing di Banjarnegara.

Yang membuat penulis heran, bus-bus AKAP tak terlihat sama sekali, termasuk bus-bus Sinar Jaya dan DMI yang berangkat lebih dulu. Apakah memang malam ini, koloni keong itu menjelma menjadi sekawanan cheetah, gesit dan cepat dalam berlari?

Hiburan audio non visual diperdengarkan untuk membunuh “kesunyian” di dalam kabin, sekaligus membangkitan spirit touring para Dieng-ers. Tembang-tembang western semi oldies macam I Want to Break Free, Hotel California, You’re All I Need, Heaven, Temple of The King, Zombie, You Give Love A Bad Name dll bergantian menyapa lembut sensor pendengaran. Serasa kami naik bus double decker buatan Jepang yang sedang melaju di highway US Route 93, Nevada, Amrik. Hehe…

Barulah di Km. 47, pemandangan menarik terlihat. Tanpa perlu ngotot, Gunung Mulia 61 dan tiga chasis gelondongan MB OH 1526 direnggut posisinya.

Menjelang exit Dawuan, lagi-lagi bus lain dilangkahi. Jaya Mulya Utama dengan lambung berhiaskan gambar burung, kompatriot 18 J, Sinar Jaya Proteus jurusan Pekalongan serta lagi, dua chasis Mercedes Benz terbaru mesti mengalah memberi jalan.

Cikampek. Inilah sesungguhnya ujian buat Mas Agung. Dengan lincah, dia mencari celah kosong di tengah keramaian truk-truk angkutan berat yang bergerak lambat. Sempat mendapat perlawanan alot saat hendak mendahului bus Damri ber-ID number 3450, AB 7333 AK, yang malam itu tampak perkasa, meski berbekal armada lawas.

Menyusul berikutnya SJ 8 Y Panorama 2, Bhineka Ragil, dan Harta Sanjaya AD 1409 CE dilempar dari persaingan.

Dan penulis mendapat satu catatan positif lagi. Cara Mas Agung berbicara dengan pengemudi lain lewat bahasa lampu, cukup ciamik. Lampu sein, hazzard, dim difungsikan sebagaimana konsensus antar pengemudi bus malam tentang penggunaan kode lampu untuk berkomunikasi. Sampai-sampai penulis yakin, jikalau ada kendaraan di belakang membuntuti 18 J ini, akan dipandu sepenuhnya oleh Mas Agung, tanpa perlu khawatir bakal terjerumus.

Di depan, kemacetan Sukamandi menghadang. Rupanya, “peningkatan” jalan di daerah Subang ini masih berpotensi menjadi bom waktu, yang siap-siap meledak dan melumpuhkan jalur Pantura. Lautan night bus terjerembab di dalamnya. Di antaranya Sinar Jaya 27 VX berbodi Concerto, Nusantara Courier Service, DMI 13 A, Dedy Jaya G 1429 GR, dan bus Mataram-Septi Jaya EA 7264 XA.

Dua bus lain, Damri Wonosobo 3132 dengan tulisan “Merpati” di kaca belakang dan Sahabat Esa pemberangkatan Lebak Bulus nekat menerjang bahu jalan.

Mas Agung pun hanya bisa mengekor kendaraan di muka dan sempat mencicipi lajur pinggir, sebelum akhirnya kembali ke posisi aman, setelah merasakan goyangan bus yang tak nyaman bagi penumpang saat menjejak jalan tanah.

Setelah 30 menit-an terdampar dalam traffic jam, bus bernopol B 7534 XB kembali dihela dengan kekuatan jelajahnya. Tak terdengar mesin meraung keras, meski kecepatan dipacu di kisaran 80-100 km/ jam. Tak ada demo “transmisi netral” atau kalkulasi njlimet soal penggunaan bahan bakar. Sepertinya, semuanya let it flow saja.

Menyandang gelar “sapu jagat”, bus harus fight dalam memangkas waktu. Meski dikategorikan bus cepat, menurut obrolan dengan Mas Agung, setiap kali PP, dia masih bisa menge-save lebihan dana solar, tak kalah dengan sopir-sopir lain yang memilih karakter keong untuk mengirit uang jalan. Mas Agung kaya akan trik dan tips bagaimana bus bisa berlari tanpa banyak menenggak cairan solar. Satu lagi tipikal Mas Agung mengemuka, economical driving. Ternyata, banter tak selalu identik dengan boros.

Fakta itu semakin kuat, saat Mas Agung membuka selubung. Ketika training mengemudi sebagai wakil Mayasari Bhakti di workshop Hino Jatake, dia adalah lulusan terbaik dalam hal the most economical for fuel usage.

Kembali on track, satu lagi bus dipecundangi tepat di atas fly over Pamanukan, yaitu Dewi Sri berjudul Janur Kuning.

Usai menyeberang jembatan Cipunegara, tertangkap mata buritan Dewi Sri yang lain. Setelah saling berdekatan, kedua bus pun mempertontonkan laku solidaritas dan gotong royong saat roda menggelinding. Soal permainan kode lampu, bus yang berhomebase di Tegal dan mengusung slogan “Bule Pulang Kampung” tak kalah elegan. Lampu sein, lampu segitiga dan lampu dim berkedip bergantian, membimbing Batavia Express agar tak perlu melotot memantau kondisi lalu lintas dari depan akibat ruang pandang terbatas. Cukup mengawasi isyarat sinar lampu, niscaya akan terbantu meski bus dalam kondisi kecepatan tinggi.

Melihat “kebaikan” Dewi Sri varian Intercooler itu, 18 J pun mengacungkan jempol. Tak ada niat untuk menyalip, hanya menempel dari jarak yang aman atau menyejajarkan diri saat jalanan kosong. Mas Agung juga tak terlihat egois dan maunya menang sendiri. Bahkan, dia terlihat merajut pertemanan dengan kawan senasib sepenanggungan. Sopan di jalan, bakal banyak teman. Itulah prinsip pria kelahiran kulon, Banten, itu.

Pantas saja, Mas Hans dan Mas Hadi memonopoli kursi CD dan CB. Ternyata memang mengasyikan menjadi saksi mata show off Mas Agung yang agung itu.

Sayang, proyek “pengrusakan” jalan di Pusakanagara menghentikan keindahan aspek humanis di jalan raya. 18 J perlahan ke depan, sementara Dewi Sri G 1431 GR itu tertahan di sisi kanan. Tampak bus-bus lain sedang mengantri memasuki jalur arah Jakarta yang difungsikan untuk dua arah. Terlihat Sinar Jaya 75 DX, bus wisata Gunung Harta Hino Setra RG dan Sumber Alam 306209.

Jarum jam menunjuk angka 00.35 saat tiba di Rumah Makan Taman Selera, Losarang. Halamannya nan luas dijejali skuad Sinar Jaya dan DMI. Hal ini semakin meneguhkan realita bahwa populasi bus AKAP terbanyak di lintasan Pantura tetap lestari dipegang Sinar Jaya Group.

Kesempatan makan malam kami digunakan untuk mengakrabkan diri sesama Dieng-ers. Maklum, baru kali mengadakan trip bersama. Tema utama obrolan tetap seputar Mas Agung, Dieng, Mas Agung dan Dieng kembali. Hehehe…

“Hey, ayo…berangkat!!!” perintah Bruno (nama panggilan Mas Agus), memecah keasyikan paguyuban kami, yang tanpa disadari sudah melebihi ambang waktu istirahat bus.

Selepas Rumah Makan, steering wheel tetap dicengkeram Mas Agung, karena Sinar Jaya memberlakukan sistem engkel untuk jurusan Wonosobo. Penulis sempat menyaksikan sebentar keanggunan persahabatan sesama bus malam yang terulang kembali. Kali ini dengan teman satu garasi, 49 E. Jalan ceritanya mirip Sinar jaya-Dewi Sri yang belum lama berselang. Namun, karena daya tempel 18 J begitu lekatnya, driver 49 E pun menyerah. Mungkin takut tekor solar, diberikannya jalan buat Batavia Express untuk ke depan.

Sejak itu pula, kantuk berat mendera. Karena pagi harinya sederet acara masih menunggu, penulis rebahkan diri di jok sebelah kanan, mengangkangi tiga kursi untuk menyelonjorkan badan.

Masih terdengar guyonan antara Mas Adit, Mas Rifki, Mas Hans, Mas Himawan dan Mas Hadi, dan sebenarnya masih ada keinginan penulis untuk terus bergabung, namun energi ini sudah habis untuk melek. Tak kuasa…Zzz…zzz…zzz…

“Penumpang Bumiayu siap-siap…” teriak kenek yang mantan driver Dahlia Indah, kepada para penumpang tujuan Bumiayu, sekaligus membangunkan tidur nyenyak penulis.

Hans pun mundur dari singgasana dan menghibahkan tempatnya kepada penulis. Di ruas Bumiayu-Purwokerto, penulis bertambah takjub dengan style Mas Agung. Bagaimana metode dia mengambil tipis sang legenda, Lorena B 7646 WB kelas bisnis jurusan Purwokerto, sembari melahap tikungan. Begitupun saat memundurkan Sinar Jaya 20 AC dan 38 VX di daerah Paguyangan serta 55 B menjelang Ajibarang, yang merupakan jalur sempit dan hanya safe untuk kres-kresan kendaraan kecil saat melaju kencang.

Penulis menghidupkan waktu dengan berbincang ringan bersama Mas Agung saat 18 J menyusuri kota-kota Cilongok, Purwokerto, Sokaraja, Bojong, Purbalingga hingga Banjarnegara. Yang tersisa dan masih sadar cuma Mas Adit, sedangkan yang lainnya meringkuk dalam kehangatan bus ekonomi. Dari obrolan akrab, lama kelamaan penulis pun tahu bahwa Mas Agung ternyata pribadi yang terbuka, supel dan menyenangkan. Semua persoalan tentang dunia bus yang dia ketahui, dibeberkan. Hal ini tentu menambah wawasan dan ilmu seorang bismania.

Raja siang mulai bersolek menampakkan diri. Hawa dingin menerobos kaca jendela bus yang terbuka, memberi kesejukan pada kulit ketika bersinggungan. Pemandangan di luar sungguh elok. Di sisi kiri, tampak Sungai Serayu mengalirkan berjuta kubik air, dengan batu-batu besar sebagai penghalangnya. Dedaunan dan sawah yang menghijau, laksana permadani alam yang dibentangkan Penguasa Jagat Raya, agar hamba-Nya pandai men-tadabur-inya. Sementara, di kejauhan puncak Gunung Sindoro berwarna keemasan, terkena sorot cahaya mentari pagi. Betapa indahnya pagi ini…

Di rute pamungkas, Banjarnegara-Leksono-Selomerto-Wonosobo, kondisi jalan didominasi dengan tanjakan panjang dan berkelok-kelok. Hampir 9 jam Mas Agung duduk di belakang kemudi, namun kebugaran dan konsentrasi tinggi masih tergambar jelas di raut mukanya.

Dicambuknya mesin bus yang kuasa menyemburkan daya hingga 240 HP ini menaklukan jalur berat menuju tujuan akhir perjalanan kami. Tapi sekali lagi, tak ada pemforsiran putaran mesin, tak ada bunyi ngeden atau over running. Seakan serba “auto pilot”, kapan waktunya gas ditekan dan kapan bus butuh torsi - tambah gigi ataupun turun gigi -, semua bekerja secara otomatis.

“Orang itu kalau sehati sama kendaraanya, bakal punya feeling tajam, Mas. Tidak perlu lihat rpm mesin di spedometer, kita bisa merasai kapan tenaga mesin “berkumpul” dan kapan mengatur rasio presneling…” terangnya bijak, sesaat setelah menyalip Sinar Jaya jurusan Wonosobo yang lain, 13 D.

Sementara itu, jalanan semakin ramai, dan kanan kiri didominasi bangunan-bangunan beton sebagai penanda telah masuk kawasan kota. Wonosobo pun menyambut para Dieng-ers dengan segala pesonanya. Di pinggir jalan, dipenuhi baliho dan spanduk kampanye calon bupati dan wakil bupati periode 2010-2015, yang akan beradu nasib pada Pilkada tanggal 2 Agustus nanti.

Pukul 05.35, 24 Juli 2010, etape pertama pendakian menuju Dieng paripurna di Terminal Mendolo, Wonosobo. Rangkaian kisah semalam sungguh mengesankan, terutama tentang attitude driver 18 J, Mas Agung. Bagaimana defensive driving, safety driving, polite driving dan economical driving secara komplit berpadu dalam diri, determinasi serta keterampilannya saat di belakang lingkar setir.



Tak diragukan lagi, jika SJM berani memasang sticker “This Bus is Fully Recommended” di kaca depan armada ini.

18 J adalah sebuah anomali spesies keong…

Dari Pulogadung, “Mendaki” Dieng (1)



Poniman Plan

Menapak usianya di tahun ketiga, keberadaan berikut “tingkah polah” BMC (BisMania Community) secara tak langsung menyentuh pula kehidupan orang-orang yang awalnya tidak tahu menahu tentang the largest Indonesian bismania community ini. Beragam aktifitas yang digulirkan BMC secara intens rupanya mendatangkan berkah tersendiri bagi mereka, sehingga simbiosis mutualisme pun tercipta untuk menjembatani hubungan demand and supply antar keduanya.

Salah satu khalayak yang kecipratan untung adalah Pak Poniman. Pria kelahiran Delanggu, Klaten, 52 tahun silam semakin intim dengan member BMC dan seakan telah resmi menjadi bagian dari keluarga BMC itu sendiri.



Kakek dua cucu yang mengaku Harta Sanjaya Holic, menyumbangkan tikar lesehannya untuk dijadikan tempat cangkrukan favorit saat perhelatan kopi darat (kopdar), baik Kopdar Mingguan maupun Kopdar Pulang Kerja (KPK) di Terminal Pulogadung.

Sambil menikmati sajian menu yang dijajakan Pak Poniman, letak warung yang strategis, yakni di lokasi perpal-an dan menghadap area debarkasi, mengkreasi lanskap nan eksotis saat memandang jajaran serta hilir mudik bus yang sedang bergumul pamer “jatidiri” agar tetap survive di tengah tensi persaingan moda transportasi darat yang meninggi.

Meski jarang bisa “melebur” dalam setiap agenda yang diadakan BMC, namun ajang temu muka pada pertengahan Juni di lapak non permanen yang lebih dikenal sebagai Warung Sate Pak Poniman, penulis rasakan begitu istimewa. Dari sekedar obrolan ringan hingga berat, santai berujung serius, membicarakan never ending story yang dijalin oleh “kotak besi beroda enam”, tercetuslah ide dari Eko Prihantoro untuk mengadakan turing bareng ke Dieng.

Itulah hebatnya seorang yang berjuluk Hans SJM (Sinar Jaya Mania) beserta kroni-kroninya, antara lain Mas Adit, Mas Pamuji dan Mas Bugi Kurnia. Api kompor mereka begitu panasnya melumerkan “keengganan” penulis setiap kali di-invite untuk mengikuti gawe BMC yang digelar pada akhir pekan. Dengan pertimbangan Dataran Tinggi Dieng merupakan obyek wisata yang belum kesampaian dikunjungi, adanya hasrat laten untuk mencicipi atmosfer jalur selatan Purwokerto-Bandung-Jakarta serta adanya sedikit keleluasaan waktu dari urusan rumah tangga, tanpa berpikir panjang lagi, penulis menyanggupi gagasan tersebut.

Setelah mematangkan rencana dan finalisasi rundown acara tour ke Dieng di kesempatan KPK berikutnya, beberapa simpatisan BMC dan (tentu saja) penulis bersetuju bulat meng-eksekusinya di minggu ketiga bulan Juli, tepatnya tanggal 23-24 Juli 2010. Dan sifat acara ini terbuka untuk umum, dengan satu syarat, yang berminat ikut serta telah mengukir tiga huruf sakral secara berderet, “B-M-C-”, di lubuk hatinya. (Kena virus lebay deh…)

Dari cuap-cuap kecil di sudut terminal Pulogadung, lalu gaungnya menggema di ruang milis, akhirnya kami menelurkan kesepakatan bersama yang dinamai Poniman Plan (Rencana Poniman) berupa rencana menggelar hajatan informal BMC bertajuk “ Touring Batavia Goes To Dieng”.



The Advanture Begins

Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan, mengapa acara ini berlabel “Batavia”?

Nah, salah satu keputusan lain di dalam Poniman Plan adalah bab tentang bus yang akan membantu menuntaskan etape pertama pendakian Dieng, yakni rute Pulogadung-Wonosobo. Dan “Batavia” adalah pilihan aklamasi kami. (Sebenarnya ini untuk menutupi kenyataan, bahwa Si Hans lah yang memaksa kami naik bus kesayangannya ini…)

Kata “Batavia” berasal dari penggalan nama “Batavia Express”, tagline dari armada Sinar Jaya berkode lambung 18 J, kelas ekonomi, dengan trayek Pulogadung-Purwokerto-Wonosobo untuk jam keberangkatan 20.00 malam. Alias bus sapu jagat-nya Sinar Jaya di jalur Wonosobo, pemberangkatan dari Pulogadung.



Dan homonim dari Batavia yang lain, bisa juga berarti “lambang area” bahwa host turing kali ini adalah anggota BMC lingkup Jabodetabek.

Dalih sederhana mengapa kudu “Batavia”, terjawab sudah.

Jumat malam, 23 Juli.

Gulita mulai menyergap setiap penjuru Terminal Pulogadung. Malam menampakkan taringnya, menggantikan siang yang tengah lelap dalam peraduan. Lampu-lampu penerangan ratusan watt berkonspirasi untuk menghalau gelap, menyuguhkan nuansa remang-remang cahaya sebagai bukti keringat perjuangan. Lalu lalang para penjemput rejeki telah menyurut, seiring menjauhnya puncak kesibukan penghuni kota tatkala pulang kerja.

Di sudut belakang terminal, para Dieng-ers (penulis menyebutnya demikian) telah berkumpul di lapak usaha Pak Poniman, dengan perbekalan layaknya petualang backpackers. Penulis, Mas Adit, Mas Rifki, Mas Hans, Kang Asep, Mbak Agustina Setyawati aka Tya, Mas Hadi beserta couple setianya, Mbak Asti, dan Mas Himawan telah mengisi absen kehadiran.

Dan sangat disayangkan, saat injury time, kami menerima kabar kurang menggembirakan. Salah dua penggagasnya, Mas Bugi dan Mas Pamuji ter-diskualifikasi. Hiks…

Mas Bugi menjalankan dinas kantor ke Manado dan Mas Pamuji mendapat panggilan mendadak untuk job interview di Tangerang. (Okay guys, no matters, your future is your first priority…)

Wis gapapa, berapapun Dieng-ers… the show must go on.

Mas Bob Andi dan Mas Prima pun menyempatkan diri datang. Tugasnya tak lebih dari pemandu sorak, tim da-da-da-da yang akan melepas kepergian kami. (Maaf ya Mas Andi dan Mas Prima, selera kami rendahan, naiknya bukan bus kinyis-kinyis…). -- Hehe…j/k –

Waktu take off sempat tertunda 20 menit, lantaran menunggu Mas Riko yang masih terjebak macet di Matraman. Beruntung, kru bus dapat memaklumi.

Perlahan, bus “1/6 sewaan” kami keluar dari persembunyiannya, di pojok belakang terminal AKAP tertua di Jakarta. Disebut 1/6 sewaan karena kami memang bukan menyewa bus secara utuh, melainkan “menumpang” operasional reguler Batavia Express. Berdasarkan kapasitas penuh mencapai 60 seat, dengan perhitungan 1/6-nya, kami dilegalkan menguasai 10 kursi sebagai hak milik.

Di bawah kendali Mas Agung Kurniawan, 18 J langsung membelah kerumunan bus-bus Tegal-an, Cirebon-an serta kloter terakhir Solo-an di pelataran embarkasi dan mulut terminal untuk mencapai jalan raya Bekasi. Bis tanpa ngetem, dan sepertinya, hanya kami bersepuluh yang nantinya membayar jasa atas kerja lelah bus ber-livery pelangi ini.

Hal ini membuat kecele dan kaget Mas Andi serta Mas Prima yang mengira bus akan mengantri di jalur keberangkatan. Berdua bergegas turun dari bus. Khususon Mas Andi, tampaknya dia sedang mencari “feel” bagaimana naik bus ekonomi itu bisa “enjoy”. (Hehe…piss ah, Mas.)

“Sobo…sobo…kerto…kerto…marang…marang…solo…solo…” teriakan sarat sindiran yang dialamatkan pada bus sapu jagat terlontar dari lisan Mas Agus, navigator 18 J, menyeruak di antara deru kendaraan yang menyemut, saat berupaya mengais calon penumpang di sepanjang Pulogadung-gate entry Cakung.

“Semarang…Boyolali…Rampung nggoyang…Ojo lali…” imbuhnya. Kami pung tertawa ngakak menertawai gaya gokil, kocak dan heboh Mas Agus sehingga membuat semuanya terhibur sepanjang perjalanan.

Lumayan juga, beberapa pemudik bisa dijumput untuk menambah perbendaharaan jumlah penumpang.

Di mata penulis, ada kesamaan unik antara 18 J dengan The Phoenix Haryanto. Keduanya sama-sama mengkaryakan seorang pramugari, yang ber-jobdesk melayani keperluan penumpang, dan duduknya mendampingi driver selama bekerja. Sayangnya, pramugari 18 J ini kurang tampil cantik, karena tidak mengenakan pakaian wanita, tetapi malah berdandan gaya cowok. (Hayo Hans, ngga boleh protes…)



Menjelang bangjo Pasar Cakung, kemacetan panjang terjadi. Kami akhirnya bisa merasai fasilitas ekslusif yang disediakan bus kelas SE (Super Ekonomi) non AC, berupa mandi sauna. Jaket tebal ditanggalkan, kaca samping model geser dibuka lebar-lebar dan terlihat Mbak Tya mengeluarkan senjata konvensional, kipas angin manual, untuk mengusir hawa panas di sekelilingnya. (Mestinya Hans yang bertanggung jawab karena telah menyiksa perjalanan Mbak Tya nih…)

Sebelum memasuki gerbang Cakung, bus berhenti kembali untuk menaikkan belasan “sewa” yang telah mem-booking sebelumnya. Separuh kapasitas tempat duduk terisi, yang berarti, tiap penumpang mendapatkan bonus tambahan berupa satu seat kosong. Ujar Mas Agus, 18 J tak perlu singgah di pool Cibitung, sehingga tak ada lagi tambahan penumpang.

“Ini nih sejatinya bus SE 1-2, satu penumpang dapat dua kursi..” seloroh Mas Adit.



Kamis, 15 Juli 2010

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-4]


Kubuka mata lebar-lebar menikmati goyangan “Kupu-Kupu Malam” yang bekerja, bertarung seluruh jiwa raga untuk memuaskan pemakainya. Dikuntitnya Mercy Electrik B 7908 IW yang diampu divisi Malang membelah keheningan dinihari di rute Kudus-Pati-Juwana. Inilah kuncinya, mengapa bus bertenaga 180 HP ini begitu berdaya dan bakal mampu menembus batas setengah hari untuk perjalanan Jakarta-Rembang.

Saat menapak daerah Ngerang, kurang lebih 5 km selepas Kota Juwana, tiba-tiba saja Proteus MB OH 1525 itu melambat. Namun driver-ku memaksa menyalipnya dan terus ngeblong puluhan angkutan berat dari berbagai jenis. Tapi, aku merasakan hal aneh dan instingku mengatakan “there is something wrong”.

Kendaraan-kendaraan berukuran jumbo yang didului ternyata dalam kondisi rodanya tak bergerak. Dan lazimnya “kelakuan” bus malam, bilamana menghadapi situasi macet, sah-sah saja menyita paksa jalur berlawanan.

Tepat di belakang Lorena LE-452 yang juga “memakan” sebelah kanan, akhirnya langkah penguasa Bojonegoro-Jakarta ini terhenti. Di depanku, tampak kerumuman orang-orang mengerubuti “sesuatu yang tak jelas”, karena jarak pandang dari dalam kabin terbatas dan suasana masih remang-remang cahaya.

“Pasti ada kecelakaan…” pikirku.

“Ada apa, Bos?” tanya kenek pada sopir-sopir truk yang malah asyik ngobrol di tengah jalan.
“Tuh, gandengan di depan copot…” urainya singkat.

Aku pun “lengser tahta” untuk menyidik apa gerangan yang terjadi. Tak sampai 100 jengkal, “si trouble maker” itu terlihat. Sebuah truk trailer arah Surabaya dengan bawaan segede gaban, gandengannya lepas dari deck pivot (poros pengunci) sehingga melorot dan menimpa frame chasis kepalanya. Tak pelak, truk varian Hino SG 260 Ti itu tak bisa bergeming sama sekali lantaran tertindih muatannya sendiri. Posisinya melintang dan memenuhi ¾ badan jalan.

Mulanya, jalanan yang tersisa coba dimanfaatkan bergantian, dengan cara buka tutup. Sialnya, satu truk impor utuh dari pabrikan Nissan jenis CDA 260 yang jatahnya lewat mengalami kenaasan. Daya dukung tanah di bawah bahu jalan tak kuat lagi menyangga bobot kendaraan yang mencapai puluhan ton itu sehingga ambles. Truk bernopol D 9443 AC itupun miring 70 derajat dan nyaris terguling ke selokan di samping jalan warisan Jendral Deandels.



Alhasil, jalan Pantura yang lebarnya “masih orisinal” tersumbat total baik arah barat maupun timur, menyebabkan kendaraan bertumpuk-tumpuk tanpa ada jalur alternatif yang lain. Hanya meninggalkan space yang sempit dan cuma cukup diterobos setang sepeda motor. Dan kata saksi mata, stack ini sudah berlangsung mulai jam setengah empat pagi.



Bus-bus malam terjerembab di dalamnya. Antara lain Setra Ijo Banyuwangi B 7586 XB, OBL Mataram, kembaran bus-ku - Setra Kupu-Kupu B 7597 -, ALS Medan-Surabaya, Bandung Ekpress Bandung-Surabaya, Proteus Malang, PK Tangerang-Bojonegoro. Sedang bus bumel yang jadi “penggembira” adalah Indonesia dan Sinar Mandiri.


Di TKP, tepatnya di daerah Lengkong, Batangan, puluhan awak truk berkumpul, bekerja sama, saling membantu dan mengunggah azas tenggang rasa yang tinggi antar sesamanya untuk mencarikan jalan terbaik melepaskan truk dari gandengan yang menyiksanya. Meski beda perusahaan, tak ada egosentrisme dan cuek social menghadapi kesulitan yang dialami kawan seperjuangannya. Mereka meminjamkan peralatan yang dipunya, mulai dongrak, balok kayu, tali tambang hingga (velg) roda serep untuk mengangkat trailer yang out of position. Mereka tak kenal satu dengan yang lainnya, buktinya ada beragam logat bahasa – Batak, Jawa, Sunda dan Bali- yang terlibat pembicaraan di dalamnya, namun tak menghalangi niat murni mereka untuk tolong-menolong. Hikmah dari malapetaka di jalan rupanya bisa jadi “pupuk” untuk menyuburkan sikap empati dan kesetiakawanan antar pribadi.

Aku seakan tak mempercayai peristiwa di muka. Rasa optimisku padam dan keberuntungan kembali menjauh seiring terbitnya mentari pagi hingga sepenggalah. Apalagi tak ada tanda-tanda evakuasi ini akan cepat berakhir meski telah didatangkan tiga mobil derek dari Dishub Pati dan belasan aparat kepolisian turun berkiprah.

“Ma, aku kayaknya telat sampai rumah,” kutelepon ibunya anak-anak.
“Ini di mana, Pa? Ada apa? Kira-kira jam berapa sampai rumah?” berondong istriku dengan beragam pertanyaan.
“Batangan Ma, ada kecelakaan. Sepertinya lama, ini saja kendaraan tak bisa bergerak...”
“Ya ampun. Sudah dekat rumah masih saja ada masalah ya, Pa. Kasihan Naura, pasti kecewa…”
“Habis gimana lagi, Ma. Resiko di jalan kita tak pernah dapat menduganya. Gini aja Ma, biarkan anakmu berangkat bareng rombongan sekolah. Semoga (kemacetan) ini cepat kelar, aku nanti nyusul…”

Pendamping hidupku itu menutup telepon dengan nada kekecewaan pula. Kupasrahkan ending perjalananku pada Yang Kuasa. Man proposes, God disposes.

“Satu…dua…tiga…yak, maju…horee…”, sorak sorai orang-orang kegirangan seolah dimabuk kemenangan. Dan bunyi itu berasal dari para sopir setelah berhasil menyelamatkan kepala truk yang terhimpit gandengan dan meminggirkannya, tepat pada pukul 06.45. Berarti, dua jam “The Butterfly” dkk menikmati gerakan diam diri ini.

Finally, satu persatu lautan pengguna jalan yang terjebak dapat terurai. Bus-ku pun menyodok masuk di kloter pertama yang diperbolehkan lewat. Saat perpas-pasan dengan barisan kendaraan dari timur, termasuk di dalamnya Muji Jaya Denpasar, Septi Jaya Bima-Jakarta, dua patas Jaya Utama dan lima armada Symphonie Nusantara, buntut kemacetannya hampir mencapai Tugu Selamat Datang Kota Rembang, yang berarti mendekati 7 km panjang antriannya. Luar biasa memang, jalur sevital Pantura langsung lumpuh hanya gara-gara insiden remeh.

Setengah delapan pagi, setelah diantar tukang ojek dari perempatan Sulang, akhirnya jalan terjal yang mesti kulalui berakhir dan aku lolos dari lubang jarum. I’m lucky laki…

“Na, tuh Papa pulang. Ayo, bareng Papa saja…”, teriak istriku pada anakku yang tengah bersiap ikut rombongan, saat aku tiba di rumah menjelang detik-detik keberangkatannya.

Tanpa mandi, ganti kostum, sarapan pagi dan persiapan yang lain, lantaran khawatir terlambat, bergegas kuantar buah hati pertamaku menuju sitihinggil Kecamatan Bulu yang berjarak sekitar 10 km dari rumah, yang lokasinya tak jauh dari pusara pahlawan emansipasi wanita, RA Kartini.

Dari balik kemudi, kuputar ulang “kotak hitam” perjalananku semalam. Dan kuhayati betapa kisah yang terjadi laksana sandiwara belaka. Skenario alam benar-benar mempermainkan dan mengombang-ambingkan nasib dan pengharapanku di atas panggung kehidupan, ketika adegan kemujuran dan babak keapesan mengaduk-aduk langkah 600 km-ku untuk menggapai pertemuan nan indah, berbagi kebahagiaan bersama keluarga tercinta.

Life is not always what it seems, people are not always true at heart. Life will always be a mystery...

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-3]


“Gimana kalau naik bus Bojonegoro, Mas?” Mas Yudi menawarkan solusi sekaligus meredam kekalutanku.

“Hmm…maaf Mas, busnya tak senyaman dan secepat bus Malang” argumenku untuk menolaknya secara halus. Benakku sudah menyudut pada pangkuan NS 19, meski efeknya besok bakal sampai di tujuan tak sesuai harapan.

Mas Yudi hanya tersenyum dan sepertinya mengakui bahwa penumpang yang well educated soal daleman PK prefer dengan bus-bus timuran.

“Kalau Mas mau, ini kursi 1C belakang sopir masih kosong. Tinggal ini lho, Mas,” dengan gaya bak seorang marketing handal, dia berusaha mempengaruhiku.”Mas, bus ini juga ngga mampir Cikarang. Langsung bablas, semua penumpang naik dari sini.”

Kutatap lebih lekat bus berjurusan Rawamangun-Rembang-Cepu-Bojonegoro tersebut. Secara tampilan cukup manis, model besutan Adi Putro memang tak lekang dimakan zaman. Terlebih dengan sekawanan kupu-kupu yang menempel di dinding lambungnya, berbalurkan body painting dengan kombinasi warna nan menawan, seakan menyembunyikan keuzuran mesin dan reputasi armada divisi Kudus yang kuanggap “nothing special”.



“Ya sudah Mas, kalau adanya ini…” pungkasku sebab aku tak mau lagi membuang-buang tempo dan kini saatnya bersahabat dengan keapesanku.

Pukul 16.52, bus berkode HT 723 pun menggunting pita start, berbarengan dengan Proteus. Tak banyak yang kuharapkan dari armada langsiran awal 90-an ini, selain lancarnya jalan Pantura. Bis bergerak perlahan, say goodbye pada petugas terminal, dan berbalik arah ke Jalan Pemuda.

Baru saja berlari, Neoplan OBL B 7168 NR menyalipnya tanpa ampun dari sebelah kiri. Wuss…

Justru momen inilah titik balik dari underestimate-ku terhadap “The Butterfly” ini. Pancingan “Si Gajah” rupanya berhasil membangkitkan gairah “Si Kupu-Kupu Malam”. Dihelanya dapur pacu Mercedes Benz jadoel ini untuk melebarkan kepak sayapnya.

Tak selang lama, Smiling Neoplan dengan trayek Jakarta-Solo itu gantian di-overtake dari sektor kiri. Wuss…

Sip… mantap, baru sebentar berangkat sudah disuguhi adu balap.
Dan benar adanya, karakter Kudus-an style mengalir di darah pengemudi pinggir ini. Kalau di-compare, mirip dengan Pak Khamsin, “kusir” Marcopolo Denpasar yang kutunggangi sebelumnya. Bergenre speeder, suka nempel-nempel kendaraan dan lincah bermanuver.

Di tol Jakarta-Cikampek, benar-benar kuacungkan jempol dan layak disanjungkan nilai nyaris sempurna, 9 dari skala 10 atas keterampilan mengemudinya. Dalam kepadatan lalu lintas di saat bubaran jam kerja, beliau memamerkan senioritasnya di jalan raya. Rajin mencari celah kosong serta bernafsu tinggi untuk terus memimpin di depan.

Dan aku pantas berterima kasih atas hiburan yang disajikan olehnya, berupa skor yang cukup telak setelah menyungkurkan lawan-lawannya. Tak kurang dari Sinar Jaya 90VX, Laju Prima Marcopolo, Rhema Abadi, Raharja (tumben jalan?), SAN Phoenix, ALS, Bandung Ekspress Wisata, Prima Jasa Garut, Rosalia Indah 144, Budiman E327, Ramayana B, dan Gunung Mulia 74, diasapinya.

Di ruas Cikampek-Pamanukan, bersama Kramat Djati Orbits dan Rosalia Indah Evolution 135 mengkreasi laku solidaritas yang ciamik. Dipimpin Hino RG-nya Rosin, ketiganya beriringan, berkonvoi tanpa ada keinginan untuk mencederai, saling memandu “teman sesaat”nya di belakang. Hanya rumah makan yang akhirnya memisahkan kebersamaan ini.
Kini aku berani melambungkan asa, rasa-rasanya limit 12 jam Jakarta-Rembang bisa ditembusnya.

Dan K 1565 AB ini juga melakukan meal break di kedai makan UUN, pada jam 20.15. Parkiran tampak didominasi armada “Blue Waves”, yang merefleksikan hegemoni Pahala Grup di lintasan Pantura. Proteus HT 913, Jupiter Jogja, New Travego TriUn Tangerang-Bojonegoro, Setra Kupu-Kupu-ku dan Setra livery Ombak mensejajarkan diri di depan beranda, menjepit dua armada Muji Jaya, MD 22 dan MD 77.

Setengah jam kemudian, jatah driver tengah mengendalikan kinerja OH 1518 ini. Dan aku harus menahan nafas kembali, karena metode injak gasnya tergolong malu-malu. Bahkan, dari obrolan dengan asistennya, kumenangkap kesan bahwa sopirnya begitu njlimet soal fuel calculation. Bahkan, katanya, mesin yang sudah di-on-kan dari jam satu siang akan berpengaruh banyak terhadap konsumsi bahan bakar. Wah, jangan-jangan etape Pamanukan-Rembang jadi ajang pengiritan solar?

Baru saja beruneg-uneg dalam hati, Shantika Grey Hi-Deck mencundanginya. Oh me…

It’s sleep time…Berhubung semalam aku hanya tidur dua jam, serta tak ada tontonan pembukaan World Cup 2010 dari televisi berdimensi 14 inchi yang nangkring di langit-langit depan, kini saatnya menikmati ayunan empuk leaf spring chasis OH King ini. Kujulurkan selimut tebal, menepis hawa dingin dari louver AC dengan merek Thermo Air. Kurebahkan jok Alldila yang telah usang ini, meringkuk dalam hangatnya perjalanan di atas bus eksekutif.

Seingatku, aku hanya dua kali terbangun. Pertama di daerah Losari yang sedang direhab jalannya, sehingga jalur barat dipakai bersama untuk dua arah. Pasalnya, penumpang sebelahku membuang badan ke arahku lantaran bus hampir adu muka dengan truk petikemas, saat “The Butterfy” memaksa menyalip spesies yang sama, Kupu-kupu dari Bumi Andalas, ALS. Meski dag dig dug, aku sempat takjub dibuatnya. Wah, nyali besar juga rupanya. Dan yang kedua saat beberapa penumpang turun di Kalibanteng, Semarang. Lain dari itu, benar-benar full kuisi dengan gelaran mimpi-mimpi indah, karena tak lama lagi halaman depan rumah akan segera kupijak.

Indra penglihatan ini terbuka kembali saat lampu kabin dinyalakan. Bus yang mempunyai kecepatan 6 speed ini melakukan “wajib lapor” di kantor pusat Kudus. Dan prasangka burukku menguap saat kutahu Proteus Malang II berhenti di depannya. Tak kukira sebelumnya, ternyata mulai dari Pamanukan hingga Kudus, bus-ku mampu mengimbangi daya jelajah divisi Malang yang kondang akan aksi banternya.

Kukeluarkan gadget lawasku. Yes…di pojok kiri bawah terpampang angka 03.14. Tinggal 1 ¾ jam lagi untuk sampai ke wisma kediaman. Dan kini tawa riang anakku membayang, karena bapaknya dapat menepati janji mengawalnya saat show kolosal dalam rangka menyemarakkan datangnya libur tahun ajaran baru.

Ada satu berkah tersendiri yang kuraup dengan diikutkan Setra Butterfly ini. Sebab aku bisa langsung turun Sulang, kota kecamatan di jalur Rembang-Blora yang dilewati bus-bus Jakarta-Bojonegoro, sekaligus titik penurunan terdekat dari rumahku. Bila saja aku di dalam Proteus, bakal mendapat tambahan kerepotan, karena kudu nyambung, dengan mencari mikrobus dari pasar Rembang untuk menuju Sulang.

Berawal dari ketidakberuntungan, kini aku jadi manusia berkalung nasib baik. Jalanan relatif lancar dan laju bus pun tak perlu dikeluh-kesahi. Aku pun dihinggapi euphoria, “Kupu-Kupu Malam” sungguh-sungguh membawaku terbang melayang, memudahkan jalan mewujudkan ekspektasiku di awal perjalanan.

Rabu, 14 Juli 2010

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-2]



Pukul 14.25, kakiku sudah berdiri di halte depan Polres Jakut. Akhirnya aku berketetapan untuk tetap pulang kampung via Rawamangun. Keluarga adalah segalanya, itulah pertimbanganku.

Tak lama berselang, berhenti bus kota PPD P43. Bus built up “hibah” dari negeri Jepang segera kunaiki. Entah bermesin Mitsubishi, Hino ataukah Isuzu, yang pasti mengusung tema low deck. Baru separuh dari kapasitas kursi terpenuhi, tapi tak mengurangi kegarangan pramudi untuk “meloncatkan” armada batangannya ini. Tapi kurasakan ketidakberesan pada sistem transmisi. Tiap kali oper gigi, terasa susah dan perlu dipaksa ketika shift up maupun shift down.

Dan momok ibukota itu menyergap kembali. Di daerah Plumpang dihalang kemacetan. Berulang kali bus bertarif jauh dekat Rp2.000,00 ini dalam posisi stop go sembari mengeruk calon penumpang. Kondisi lalu lintas padat merayap, hanya melaju di kisaran 5-10 km/ jam.

Tiba-tiba, ggrraakkkk…terdengar suara kasar dari kolong. Grreekk…bus bertrayek Cililitan-Tanjung Priok ini langsung shut down. Tak ayal, kendaraan lain dibelakangnya menyalakkan klakson keras-keras karena berhentinya bus ini tepat di tengah jalan di seberang kantor TMMI, Sunter. Inikah tanda-tanda keapesanku?

Sayang seribu sayang, bus yang mulanya didatangkan dalam status seken namun terurus ini, semakin amburadul perawatannya di tangan manajeman “plat merah”.

Terlihat kru bus mengambil botol air kemasan 1,5 liter yang (sepertinya) berisi oli transmisi. Dituangnya cairan berwarna kuning emas ke dalam gear box di bawah kabin depan. Di starting up, dan jalan kembali.

Namun, kemacetan kian parah. Dari atas fly over depan Mall of Indonesia (MoI), terlihat kendaraan tersendat hingga seputaran pabrik Astra Honda Motor. Sudah lebih setengah jam, namun bus kota ini belum bisa beranjak dari pusaran traffic jam, masih terjebak di daerah Cempaka Putih. Duh, tanda-tanda kesialan itu semakin kentara…

Perlahan tapi tak pasti, dengan kepayahan perempatan Utan Kayu dicapainya, saat jarum waktu menunjuk angka 15.25. Perkiraanku, bakalan miss dengan schedule Malino Putra atau Kramat Djati Malang, pemberangkatan jam tiga sore. “Ah, tak masalah, masih ada alternatif yang lain, so don’t be panic, be calm,” aku menenangkan diri.

Kusambung approaching-ku ke terminal Rawamangun dengan Metromini 49. Beruntung, di depan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) hingga TPU Utan Kayu, lalu lintas ramai lancar. Biasanya, sewaktu ada prosesi pemakaman, macetnya juga ngga ketulungan.

15.34 saat aku menapak pintu masuk terminal yang berlokasi di Jalan Perserikatan No. 1, Jakarta Timur. Overtime dari waktu tempuh normalnya, yang kurang lebih 45 menit.

Di lapak sisi utara, diisi empat armada Pahala Kencana (PK). Masing-masing Marcopolo Denpasar, Proteus Malang, Jupiter Jogja dan Setra Bojonegoro.

“Hmm…ada dua bus yang bisa kupilih, Denpasar atau Malang. Simpan dulu ah…”

Kuarahkan kaki ke midle grid. Siapa tahu ada Malino Putra berbusana baru nge-line. Ternyata nihil, sudah berangkat. Flying Eggs Malang juga telah raib, yang tertinggal dua Kramat Djati Ponorogo dan satu lagi Palembang. Pupus sudah harapan berburu Jupiter berlampu Marcopolo maupun air suspension Kutelusuri terus sampai depan. Duh, LE-450 Banyuwangi dan Karina Super Eksekutif 420 juga tak ada. Hal ini semakin mempersempit pilihanku.

Apek jan apek tenan! Gara-gara momok itu, aku kandas mengincar target bidikan. Terpaksa, balik ke paddock Ombak Biru, berencana menumpang Denpasar II. Baru saja melangkah, oalah…MB OH 1525 Euro III itu dilepas keberangkatannya, dengan banyak seat yang tak berpenghuni.

Mau tak mau, suka tak suka, lantaran tinggal satu-satunya, angan-angan ini kusandarkan pada bus Malang II.

“Mau kemana, Mas?” sapa personel agen PK saat aku memasuki blue area.
“Mau ketemu Mas Yudi, Mas,” jawabku.
“Dia ada di depan, Mas…”

Kuhampiri Mas Yudi yang sibuk mengatur penumpang Jogja, di samping New Travego ala Tentrem, B 7198 XB.

“Mas, turun Rembang ikut bus Malang ya!” pintaku.
“Maaf Mas, sepertinya kok habis,” balasnya diiringi gestur penuh keramahan.
“Lho, masih banyak yang kosong itu, Mas,” kilahku seakan tak percaya sambil menatap bodi bikinan karoseri Ungaran yang masih ngglondhang.
“Hmm…Ayo ke loket saja, Mas. Saya cek dulu, barangkali masih ada kursi,”

Kuikuti langkah Mas Yudi hingga di depan loket dan selanjutnya memeriksa daftar manifes penumpang. Hingga dia mengeluarkan pernyataan :

“Benar Mas, sudah pesanan semua. Kalau Mas ngga telat, tadi bisa saya ikutkan bus Denpasar …”

Astaghfirullah…Seketika lemas dan lunglai lutut yang menopang kaki ini. Bus apalagi yang bisa kuandalkan, setidaknya sebelum jam 5 pagi sudah bisa menurunkanku di Kota Rembang. Ingin rasanya menggerutu pada diri sendiri, ternyata pertaruhanku ke Rawamangun adalah keliru. Kubayangkan NS 39 Pulogadung jam segini sudah masuk pool Perintis Kemerdekaan dan kemudian lepas landas menuju Cepu dengan habit balapnya.

Ternyata, nasib tak mujur terus mendekapku. Apa kata anakku nanti kalau bapaknya gagal menemaninya saat naik pentas. Hiks…

(Tak) Banyak Jalan Menuju Rembang [Bagian Ke-1]


“Pa, Sabtu besok Naura mau tampil di pendopo kecamatan,”
“Oh iya? Acara apa, Ma?”
“Pentas seni antar TK se-kecamatan Bulu,”
“Jam berapa?”
“Kata gurunya, jam 07.00 rombongan anak-anak diberangkatkan dari sekolah. Eh, Naura penginnya Papa sendiri yang nganter. Papa harus ikut nemanin lho, ya beri semangat lah buat anakmu…”

Seperti masa-masa yang telah terlewati, menurutku, hadirnya malam Jumat terasa begitu istimewa ketimbang hari-hari lain. Andai diumpamakan (meski dengan kadar yang tentu saja jauh berbeda), malam Jumat boleh dibilang malam takbiran-nya kaum komuter mingguan, selaku penanda akan hadirnya “hari raya” yang akan segera tiba.

Tak terkecuali malam itu, hari kesepuluh di bulan Juni. Kuncup-kuncup kebahagiaan mulai tumbuh di taman hatiku dan menunggu akan bermekaran keesokan harinya. Sejenak meninggalkan riuhnya ibukota, me-refresh pikiran menikmati lanskap malam pantura, dan tentu saja, melepaskan dahaga kerinduan bersua orang-orang terkasih sebagai happy story-nya.

Terlebih, adanya pesan dari sepenggal pembicaraan dengan istri lewat telepon lusa sebelumnya. Menonton aksi putri sulungku yang akan jadi team leader buat kawan-kawannya di atas panggung, dengan keluguan, kelincahan dan keceriaannya memeragakan atraksi gerak dan lagu, kian menggelorakan semangat turingku.

“Akan kupenuhi permintaanmu, Nduk…Sabtu pasti akan Papa dampingi,” demikian janjiku.
---

Tapi, kejadian tengah malam itu sungguh-sungguh mengguncangkan mental dan psikisku. Di saat lelap dalam tidur, tiba-tiba…

“Dik, bangun…Bangun, Dik!!!” kudengar teriakan lantang seseorang sambil menggedor-gedor pagar kost-an. Kusimak intonasi dan warna suaranya, jelas itu office boy kantorku, yang sekaligus tetanggaku di gang-an.
“Ada apa, Frend?” sahutku dari dalam kamar.
“Cepat keluar…!!!” ajaknya.
“Ada apa sih?” gumamku “Tumben-tumbennya...”
Kulirik jam dinding, 00.45. Dengan ogah-ogahan, kutarik gagang pintu.

Belum sepenuhnya terbuka, masya Allah, aku terperanjat setengah mati.

Sebuah mobil ambulance dengan kedipan lampu rotary yang menyilaukan mata persis berhenti di depan teras rumah Bapak Kost-ku.

“Ada apa, Frend?” tanyaku dengan penuh selidik sekaligus keheranan.
“Anak Pak Kost meninggal, Dik, kena DBD,”
Innalillahi wainna ilaihi rajiun…
“Lho? Kok ngga ada beritanya sakit?” kucoba kukorek keterangan.
“Iya, semua pada kaget. Siang masuk rumah sakit, jam sebelas tadi ngga ada…”

-- Ya Allah, nyawa dan maut adalah kuasa-Mu. Engkaulah yang menggenggamnya. Bila Engkau berkehendak untuk mencabut, siapa yang punya kekuatan untuk memundurkannya barang sedetikpun --

Jadilah nuansa dinihari di sudut kota tempatku menumpang hidup berubah kelabu. Tetangga-tetangga Pak Kost pun bahu membahu mengurus mayat, dari semenjak datang hingga fajar menyingsing. Tamu-tamu datang silih berganti untuk sekedar menghaturkan rasa bela sungkawa bagi keluarga yang ditinggalkan.

Jumat pagi, aku hanya absen di kantor kemudian izin pada rekan kerja untuk pergi takziyah. Kuantar jenazah menuju kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU) Semper, tempat peristirahatannya yang terakhir. Sewaktu kain kafan yang menutup muka sang mayat dibuka, sesaat sebelum liang lahat dikubur tanah, terlihatlah raut wajah putih bersih tanpa dosa. Tak mengira memang, di usianya yang belum genap 10 tahun, paripurna sudah almarhumah mengecap kefanaan dunia.

Ada satu drama yang mengharukan, saat Pak Kost yang dikenal pula sebagai Ustadz, menyampaikan ceramah singkat selepas pemakaman. Dengan vokal berat seolah tertekan kesedihan yang mendalam, beliau berujar :

“Ada satu permintaan almarhumah yang belum saya penuhi. Seminggu ini anak saya merengek minta baju muslim. Bukannya saya tak mau membelikan, tapi saya sudah berusaha mencari namun belum juga ketemu ukuran yang pas dengan badannya yang gemuk dan besar. Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak lain. Ternyata pakaian yang pas buatnya adalah kain kafan…”

Tanpa kusadari, pelupuk mata berlinang menitikkan air mata. Seketika terlintas wajah duo putriku. Betapa berharganya bidadari-bidadari kecil itu dalam kehidupanku ini.

“Percayalah Nak, meski tak setiap saat Bapakmu bisa mendampingi tumbuh kembangmu, tapi perhatian, rasa sayang dan cinta kasih ini segalanya tercurah untukmu berdua,” bisik batinku.

Sepulang dari melayat, kekisruhan menghinggapi pikiranku. Antara pulang ke Rembang atau kubatalkan. Hendak pulang, sepertinya kurang bijak di kala diliputi duka. Memang bukan aku yang “kehilangan”, tapi aku menganggap merekalah keluargaku di sini.

Selain itu, konon katanya, pergi di tengah suasana berkabung, seringkali kena kutukan “apes” di jalan. Dan mitos itu seakan menghantui, meski aku sendiri kurang percaya pada masalah demikian.
Semisal tak pulang, aku juga sudah terlanjur berikrar pada si bocah. Aku akan bersalah jikalau ingkar. Ah, mana yang mesti kudahulukan? Akankah aku tetap berkeras hati mudik ke kampung halaman kali ini?

Kamis, 01 Juli 2010

Karena Kesetiakawanan Itu Mahal Harganya (3)


Etape panjang Pamanukan-Rembang kini membentang.
Hmm…hampir setengah dua. Dalam situasi normal, di kala dinihari begini, air intake NS 19 semestinya sudah menghisap hawa segar Alas Roban.

Bus seakan malas bergerak, bahkan aku mendakwa luntur kegarangannya. Tidak ada gregetnya dan tentu saja, lenyap sudah momen lomba cepat dan tanding nyali dengan bus-bus malam yang lain. Jalur Pantura telah lengang, hening, bahkan mirip gang buntu. Cuma satu dua kendaraan bergardan yang bersliweran, dengan interval tempo yang lama.

Ah, aku belum menyapa “si dia”. Siapa tahu, aku bisa membunuh penyakit gubug reyot syndrome. Terkadang selintas bayangan menghampiri, bahwa “si dia” pun sebenarnya mengerti bahwa aku anak BMC namun kami sama-sama jaim dan khawatir nantinya rikuh serta kaku saat bercuap-cuap. Tapi segera kubuang jauh laku underestimate itu.

“Turun mana, Mas?” sapaku.
“Lasem, Mas,” jawabnya dengan logat Melayu.
“Memang tujuan akhirnya Lasem ya, Mas?”
“Ngga Mas, mau ke Malang?”
“Lho, kok?” aku pura-pura bego, “Mau ke Malang kok malah naik bus Lasem?”
“Saya biasa seperti ini kok, Mas. Nyambung-nyambung. Nanti nyari bus Semarang-Surabaya dan lanjut lagi bus Surabaya-Malang…”

Nah, pancinganku berhasil. 70% kevaliditasnya bahwa si dia memang "warga samping rumah". Siapa lagi kalau namanya bukan bismania, yang lebih suka bepergian dengan sistem estafet.
Kami pun larut dalam keakraban. Makin lama aku makin mencatat bahwa 95% memang benar bahwa si dia anak sebelah, berkaca pada pengalaman, wawasan serta pengetahuan akan tetek bengek per-bus-an, khususnya bus-bus Sumatra-an. Wajar saja, dia berdarah Minang sehingga perihal PO-PO bumi Andalas dan rute-rute jalur Sumatra --- lintas barat, tengah maupun timur -- hafal di luar kepala. Dan dari cerita-cerita itu pula, ternyata lelaki asing ini seorang Ijo Lover.
Tak terasa, satu jam lebih kami menjalin komunikasi yang intens, sharing tentang perkembangan bus tanah air hingga tema-tema di luar bus itu sendiri. Biarpun begitu, dia cukup hati-hati dalam menyembunyikan kerahasiaannya terkait “alirannya”. Aku sendiri mengira-ngira, sepertinya “si dia” pun ngeh kalau aku tak sepaham dalam ber”mahdzab”.

Namun, kami berdua saling menjunjung sikap toleransi, tenggang rasa serta kesetiakawanan. Tak pernah sekalipun menyinggung soal “perbedaan-perbedaan” itu, kami lebih meninggikan sisi-sisi kesamaannya. Karena saat ini bukan saat yang tepat untuk berdebat dan adu argumen. Kami punya kedewasaan berpikir dalam memutuskan sesuatu yang kami yakini merupakan pilihan terbaik. Apalagi aku, harus empan papan sebagai member BMC, untuk menebar semboyan “BMC Sejatinipun Seduluran”.

Pukul 02.35, saat kami memungkasi dialog serius tapi santai ini. Kurebahkan punggungku senyaman mungkin di jok Aldilla, karena mesti menghimpun tenaga. Sabtu dinihari besok bersiap melakukan perjalanan panjang dan lama kembali, Rembang-Sidoarjo.

Matahari mulai menyembul di ufuk timur ketika bus berdaya 360 HP ini menjejak daerah Banyu Putih. Kecepatan jelajah Pak Rokhim biasa-biasa saja. Bisa jadi, karena permasalahan semalam telah memadamkan api determinasinya. Tak ada lagi aksi injak gas dalam-dalam. Meski begitu sempat mengasapi bus malam yang tercecer dari kabilahnya, yakni New Travego LE-350 dan Handoyo Hino RK.

Ada sedikit kelucuan yang dapat dikisahkan. Saking lambatnya pergerakan NS 19, NS 18 yang semalam ditolong hilang kesabaran saat menguntit di belakangnya. Alhasil, disalipnya armada langsiran 2008 ini. Namun, menyadari kekeliruannya yang dianggap ngelunjak, NS 18 pun minggir ke salah satu SPBU. Tentu bukan untuk mengisi solar, tapi memberi jalan NS 19 agar bisa ke singgasana depan kembali.

Bus makin tak bisa dipacu lebih kencang, karena pagi hari adalah jam tayangnya para cebong (anak kodok=istilah para sopir untuk motor) keluar dari kolam. Sempat menyalip armada pariwisata Kalisari berbaju Setra Selendang Adi Putro dan bus Demak, Pulung Sari, sebelum akhirnya jam 08.35 mendarat di pool Karanganyar, beriringan dengan Super Eksekutif HS 182, NS 01.

Tinggal 10-an penumpang yang tersisa untuk tujuan Pati ke timur. Di ruas Kudus-Pati sempat berpas-pasan dengan Nusantara London Bridge dan Haryanto yang hendak pulang ke garasi Kudus. Dua bus bumel, Indonesia dan Sinar Mandiri meledeknya dengan menyembur asap hitamnya ke wajah Setra ini. Jelas-jelas NS 19 kehilangan muka menahan malu, sesiang ini masih bekerja dan tampak terhuyung-huyung menyelesaikan misinya, menuntaskan trayek Daan Mogot-Rawamangun-Lasem.

Dan trip-ku paripurna di angka 10.24, saat kuinjak tanah kelahiranku, bumi Dampo Awang tercinta.

Ugh…otot-otot terasa capai meski semalaman dimanjakan ayunan suspensi yang highest rank di kelasnya ini. Kini, aku merekontruksi ulang mindset bahwa tak selamanya naik bus-bus solorun tanpa ada teman se-PO akan merepotkan bila terjadi trouble di jalan. Untuk menghindari hal yang demikian, lebih aman memilih bus yang banyak konco-konconya.

Tapi nyatanya, peristiwa tadi malam seolah menggugatnya. Biarpun punya teman seiring sejalan, saling berkonvoi satu di depan lainnya, namun atas nama asas solidaritas, “problematika” yang dialami salah satu armada di jalanpun bisa sukses menodai rapor biru pelayanan terhadap penumpangnya, yakni molornya waktu tempuh.


====================================

Memang, kesetiakawanan itu mahal harganya…

Karena Kesetiakawanan Itu Mahal Harganya (2)


Setelah berpamitan dengan duo member of BMC Jabodetabek itu, kususuri selasar panjang armada The New generation of Setra untuk mencapai bagian rear cabin.

Saat hendak menghempaskan tubuh…alamak!!!, guyonanku jadi kenyataan. “Si dia” bermukim di bangku 29, persis di sampingku. Seketika itu pula suasana hatiku bercampur aduk. Antara percaya tak percaya kok ndilalah berjodoh dengan komunitas seberang, senang sebab malam ini bakal jadi malam yang mengasyikkan, (andai saja benar) bisa duduk bersebelahan dengan sesama buslover, harap-harap cemas dikarenakan kali ini harus berhadapan langsung dengan orang yang berlainan “bendera” dan juga dikungkung kebingungan untuk bersikap. Haruskah dengan “tetangga baru” aku nanti memasang tingkah cuek bebek, pura-pura tak tahu, ataukah mengulurkan tangan menjalin solidaritas, ataukah mengajak berkonfrontasi tentang “mahdzab” yang dianut.

Ah, mengapa aku terjebak dalam primordialisme sempit begitu. Sekarang ini, aku dan dia senasib sejalan, diikat dalam kesamaan armada , dipersatukan oleh satu jurusan dan berteduh di atap yang serupa, NS 19. Selama ini dalam setiap perjalananku, sebisa mungkin mengakrabkan diri dengan teman sebangku, tak membedakan usia, gender, kelas sosial ataupun dinding kesukuan. Karena bagiku, kita bukan lagi pribadi nafsi-nafsi, namun telah dibangun menjadi keluarga sesaat oleh bus yang hendak membawa kita pada tujuan akhir masing-masing.

Kali ini kutanggalkan dulu “baju kebesaraanku”, BMC. Kalau ada kesempatan, pasti “si dia” akan aku ajak bertegur sapa, berkenalan dan ngobrol tentang apa saja. Toh, tak ada ruginya berteman dengan siapapun, bukan?

Tapi tetap kuingat yel-yel salam damai, “Elu asyik gua santai, elu ngusik gua bantai”. (Hehe…just joke)

Bis berkode lambung HS 184 ini melenggang keluar meninggalkan sarang persinggahannya. Beruntung mendapatkan “Raja Singa” yang relatif muda, tak setua HS 157 yang kunaiki sebelumnya. Performanya masih mumpuni dan suspensi udaranya cukup mentul-mentul untuk menopang kenyamanan penumpang.

Herannya, belum lama take off, “si dia” sudah menjulurkan selimutnya dan memejamkan mata. Memang, aku belum sempat “say hello”, tapi hal itu membuatku bimbang. Jikalau benar dia punya darah bismania yang terbenam dalam urat nadinya, itu bukanlah ciri-ciri seorang bismania. Sudah jamak lumrahnya, manusia-manusia aneh itu pasti akan menikmati perjalanan di atas bus dengan menyimak live show apa saja yang ada di depan, di dalam, di samping atau (kalau bisa) di belakang bus.

Tapi, yang satu ini malah kebalikannya. Jangan-jangan, “si dia” bukan anak sebelah yang Mas Riko dan aku maksud. Itu hanya soal kemiripan wajah saja. Masa bodoh ah, mau apapun yang diperbuat, itu urusan dia. Aku harus hargai dia sebagai penumpang.

“Mas, mau kemana?” sapaan seseorang di seberang lorong mengagetkanku, saat roda-roda bus hendak memasuki gate entry Pedati, Prumpung.
“Rembang Mas, sampeyan?” balasku.
“Loh, sama Mas, cuma aku turun Lasem.”

Ternyata, bukan aku yang mendahului membuka “forum dadakan”. Inilah enaknya kalau orang satu kampung halaman dipertemukan dalam satu bus, jadi cepat intim. Dari perbincangan ringan, akhirnya aku tahu bahwa kenalan baruku itu adalah orang yang profesinya bergelut dengan batik Lasem. Sehingga aku berhasil menguak cerita dan seluk beluk tentang dunia batik tulis Lasem yang adiluhung itu. Bahkan, beliau mengajakku untuk mengunjungi galery batiknya yang tak jauh dari pool pusat PO Tri Sumber Urip.

Bis pun terus berlari, memamerkan dominasinya. Soal attitude pengemudi-pengemudi besutan Pak Hans, tak usah ditanya lagi. Full speed dan ngeblong abis, menyibak lalu lalang pengguna jalan. Bagi penggila kecepatan dan Pantura race interest, nama HS dan CN selalu masuk topchart “the speed that you can trust”. Dan itulah salah satu pasal yang sanggup membunuh kebosananku meski sebagian besar turing mingguanku kuhabiskan bermalam di dalam “omah mlayu” PO Nusantara.

Sayang, laju Scania K124iB tersendat di daerah Ciberes. Tentu bukan karena keisengan kru untuk mengintip aktivitas terlarang di dalam kompleks warung remang-remang yang berderet di pinggir jalan Pantura Subang. Bukan pula untuk memelototi wanita-wanita penggoda syahwat lelaki yang memajang diri di depan posnya, menebarkan aroma BB17+ + dengan busananya nan seronok dan dandanannya yang menor. Melainkan adanya proyek perbaikan jalan di sekitar Pasar Ciasem, yang buntut kemacetannya telah memanjang hingga mencapai “black area” ini.

Pelan tapi pasti, bus yang bernopol K 1436 BB bisa memindahkan posisinya ke depan. Kendaraan makin berjubel dan terlihat makin tak terkendali etika berlalu lintasnya. Yang dari belakang menyodok dengan mengambil jalur berlawanan (arah Jakarta) sedangkan yang berada di jalur yang benar mulai mengambil lajur paling mewah (mepet sawah) alias bahu jalan. Tak terkecuali NS 19 ini.

Dipandu NS 01 di depannya yang tadi berhasil menyusul, diserobotnya jalan tanah yang kondisinya cukup labil. Karena sering diterjang aneka ria mobil roda empat ke atas, kontur tanahnya jadi tak seragam, naik turun. Di satu sisi membentuk cekungan, di sisi yang lain jadi gundukan. Bus pun oleng kanan kiri dan ajrut-ajrutan, karena nekat mengambil jalan yang mestinya tidak safe lagi buat dilewati.

Sedikit demi sedikit, akhirnya bisa bergeser hingga di depan kantor Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi. Sampai di sini, barisan NS 01 dan NS 19 benar-benar berhenti. Aku pikir memang stag karena kemacetan demikian akutnya. Kubaca jam yang nangkring di kiri depan interior, 21.15. Kuputuskan untuk tidur, karena mata tak kuat lagi melawan musuh biologis yang berupa kantuk. Zzz…zzz…zzz…

Kurasakan bus diam tak bergerak dan lambungku berteriak minta dipenuhi disebabkan siang harinya melalaikan ritual lunch. Kubuka mata, kulihat jam digital memampangkan angka 23.11, menelisik sekeliling dan haaa??? Hampir dua jam tak ada perubahan, masih terdampar di seberang BB Padi, Sukamandi. Di samping kanan, antrian kendaraan masih mengular, meski kondisinya padat merayap. Trio Tegal-an – Sinar Jaya, Dewi Sri dan Dedy Jaya -- bergantian minta permisi lewat. Di depan, pemandangan masih diisi pantat NS 01. Jangan-jangan NS 19 ini sedang trouble. Tapi kok tak ada tanda-tanda ada perbaikan? Mengapa jalur paling kiri tetap tak bergerak?

Entahlah apa yang terjadi. Kulanjutkan acara my sleeping sleeping chicken, meksi badanku mulai bergetar dibekap kelaparan yang amat sangat dan kedinginan. Karena tak ada lagi yang kuharap, selain menenangkan diri dengan beristirahat.

Nyala lampu kabin yang terang kembali membangunkanku dan penumpang lain. Sudah sampai RM Taman Sari rupanya. Ck ck ck…pukul 00.40, berarti telat 3 jam dari biasanya.

Ada sedikit pemandangan yang menghiburku dari kegalauan perjalanan ini. Di samping NS 19 terparkir armada terbaru PO Haryanto, MB OH 1526 berjuluk The Phoenix. Kok jam segini baru sampai sini juga ya?
Belum sempat menduga-duga jawabannya, The Sweet Black Red itu malah menjauh dan meninggalkan aku yang takjub terkesima memandang sosoknya. Kapan ya bisa nyicip legitnya si Phoenix itu?

Menu hidangan yang disajikan sudah dingin, hambar dan tak lagi mengundang selera. Demi memenuhi aspirasi perut, kugelincirkan beberapa suap nasi ke dalam kerongkongan.

Saat menyantap makan kemalaman, datanglah NS 18 di belakang. Tapi kok aneh perujudannya? Bumper depan lepas dan tak terpasang lagi di tempatnya. Seakan ompong tanpa gigi. Apa yang gerangan terjadi dengannya?

Kutanyakan pada driver I Nusantara, yang tengah merokok di teras rumah makan.

“NS 18 kenapa, Pak?”
“Lha ini tadi Mas yang membuat repot. Waktu ambil kiri, roda belakangnya terperosok ke dalam lumpur dan apesnya chasisnya nyangkut, bus tak mau dimajukan lagi. Terpaksa, kita nungguin sambil mencarikan jalan keluarnya.”
“Gimana caranya tadi, Pak?”
“Minta tolong truk tronton yang lewat untuk menariknya, Mas….”

Duh, pantas saja berhenti lama sebagai wujud solidaritas sesama koleganya. NS 18 seri HS 173 ini tho biang keladinya…

Karena Kesetiakawanan Itu Mahal Harganya (1)


Rinai gemiris yang sedari sore turun kian menampakkan amarahnya. Semakin lama semakin deras mendera. Bentang langit menghujami bumi dengan milyaran bulir air, laksana busur raksasa yang memberondongkan anak-anak panahnya.

Hujan itu mengingatkanku akan perjalanan Rembang-Jakarta sepekan sebelumnya. Betapa anomali musim – mestinya bulan-bulan ini menapak fase kemarau – begitu menyiksaku, hingga aku bersama teman-teman kelana berjibaku melawan pekatnya malam dalam guyuran hujan, menghalau rintang berupa “bopeng-bopeng jalanan” yang disuguhkan medan Pantura, meredam panasnya atmosfer kehidupan di atas jalan raya, demi meringkas waktu memangkas jarak 600-an km yang harus kami lalui dari balik mobil small MPV.

Perlahan, senja mulai merambat naik. Sementara aku masih terpaku di emper kost-an. Gemuruh bunyi misil-misil cair ketika menghantam atap seakan mengisyaratkan bahwa alam untuk sekian kalinya akan menguji hajat mingguanku. Dada bergemuruh, lidahpun getir, dan keraguanku memadat, menatap lapisan mendung gelap yang bersiap menyetubuhi seantero wilayah ibukota. Beuh…ujian apalagi ini yang mesti aku hadapi?

Andaikan saja Sabtu pagi tak ada undangan mantenan sepupuku di Sidoarjo, Jatim, kutunda saja rencana pulang ngetan sore ini. Bisa kuundur Jumat pagi untuk menunaikan agendaku. Toh, aku juga belum mengantongi tiket, tak terikat janji dengan agen ataupun jadwal keberangkatan bus. Lebih baik berdiam diri di sini, menghabiskan malam meringkuk dalam hangatnya peraduan di kamar sederhana ini.
Ugh, tapi sudah kepalang tanggung. Jumat dan Senin depan sudah kurengkuh sebagai my offworkdays, hari-hari cutiku. Mosok, slottime yang melimpah ruah justru aku habiskan dalam kesendirian, bukannya berkumpul dengan keluarga. Alangkah tidak bijaknya aku ini.

Kulirik jam yang bersandar di dinding yang selama ini setia menjadi penunjuk waktu bagiku. 17.35. Hmm…masih ada satu jam lagi untuk memburu departure bus-bus Muria Raya dari Rawamangun. Tapi apa ya mungkin, dengan kondisi hujan lebat dan potensi kemacetan yang ditimbulkannya, aku bisa mengejarnya? Ah, segera kutepis bayang-bayang kekhawatiran itu. Aku belum mencoba, mengapa aku jadi pengecut?

“Aku harus pulang sekarang, tak kuacuhkan seberat apapun halangannya…” demikian tekad yang kusemai dalam benakku.

Yang kupertimbangkan pertama adalah moda transportasi apa yang akan meng-assit ke Terminal Rawamangun. Tampaknya taksi bukan lagi alternatif, satu-satunya yang bisa kuandalkan adalah angkutan roda dua.

Kukeluarkan gadget usang, memanggil ojek langganan yang biasa mengantarkan ke Pulogadung ataupun Rawamangun. Tapi sayang…

“Maaf Mas, saya lagi ngga narik…” jawabnya di ujung telepon.

Matek aku.

Tanpa banyak berhitung, nekat kuterjang deraian “tirta nirwana” yang semakin tak terhitung intensitas serbuannya. Kususuri jalan sepanjang 50 m yang menghubungkan rumah tumpanganku dengan jalan besar, mencari angkot APB 02 yang biasa membawaku ke Simpang Lima Semper, pusat mangkalnya para tukang ojek.

Tapi, petang itu lain dari biasanya. Pangkalan Semper itu mendadak sepi. Cuma ada segelintir ojekers yang “tabah” untuk tetap mengadu nasib di ambang malam.

“Pak, antar saya ke Rawamangun, ya!”
“Baik Mas…”
“Tapi ada mantel kan, Pak?”
“Ada Mas, tapi kecil…”

Aduh, ini mah mantel anak-anak, saat aku ditunjukkan piranti penangkal hujan yang cupu dan supermini itu. Wis lah, gapapa…yang penting bagian leher ke atas aman dari serangan hujan.

Tak kupedulikan lagi jalur mana yang dipilih Pak Ojek untuk mencapai Rawamangun. Kepalaku kubenamkan di punggungnya, sembari meretas asa, semoga lancar dan terjauhkan dari kemacetan yang merupakan momok harian warga Jakarta.

Butir-butir air yang menganak sungai di permukaan jas hujan jatuh menetes, membasahi pundak dan lenganku. Seringkali air yang menggenang di jalanan terpercik ke arah kaki, disibak tapak-tapak roda kendaraan yang membelahnya. Jaket hitam dan celana panjang yang kukenakan mulai diresapi air, membuat kulitku mencumbui kesejukannya. Bbbrrr…begitu dingin.

Kukembangkan payung sesaat setelah mendarat di pelataran Taman Surgawi, Rawamangun. Hujan pun tak meredakan tensinya, seolah meruntuhkan segenap isi awang-awang. Kucoba calling Mas Medriko, yang berniat menemani sebelum melepas keberangkatanku. Tapi tak ada respon. Mungkin terjebak macet, pikirku.

Kususuri emplasemen terminal eksekutif ini. Row pemberangkatan dihiasi Shantika Ijo Tosca, Senja “Pinky” Furnindo dan quatro Karanganyar, NS 18, NS 19, NS 01 dan NS 04. Sedang laskar Jepara yang lain, Muji Jaya, belum satupun menampakkan diri.

“Lho, Mas, pulang Rembang? Biasanya dari Pulogadung?” tegur seseorang berkemeja merah putih colourmark PO Nusantara.

Wah, ternyata Pak Rokhim, eks driver NS 39 yang sekarang naik derajat mempiloti armada Scania.

“Eh, iya Pak. Habis baru bisa pulang setelah jam kantor,” kilahku.
“Ikut busku saja, Mas, aku bawa NS 19 kok, dijamin sampai Rembang…” beliau menawarkan diri.

Tak pelak, ajakannya benar-benar menghimpit kebebasan dan mengerucutkan pilihanku. Terlebih kupikir, jalan Deandels sedang dikuasai kehancuran, alangkah nyamannya dibuai kenyamanan air suspension makhluk berkebangsaan Swedia ini. Dan juga, perjalanan nanti bakalan kuhabiskan untuk tidur semalaman, bukan menikmati layar hidup menonton para aktor antagonis beraksi di panggung Pantura. Hujan di luar akan semakin memanjakan tubuhku untuk menetap di dalam kabin bus bikinan Adi Putro Wira Sejati ini, tak perlu repot bernomaden andai naik bus jurusan Jepara.

Mungkin, bagi “penumpang nakal” kalimat rayuan dari pengemudi itu berarti dibukanya pintu sarkawi. Namun, aku yakin, reputasi Pak Rokhim yang kalem, nrimo dan tak banyak menuntut saat “memegang” trayek Cepu-Pulogadung, bujukannya itu hanya semata-mata ingin menolongku untuk mempermudah perjalanan. Tak ada udang dibalik batu, tak ada maksud tersembunyi.

Aku segera merapat ke loket yang digawangi Mbak Delima dan puji syukur, masih kebagian seat meski hanya di deret ke-8, nomor 30.
Selesai memenuhi kewajiban yang diperingan, menjama’ sholat Maghrib dan Isya’, tiba-tiba di inbox-ku muncul pesan dari Mas Riko, yang mengabarkan sudah menunggu di depan kantor terminal, tepat di depan armada NS 19.

“Mas, ada anak sebelah naik NS 19 juga lho. Itu orangnya…” itulah pembicaraan pembuka setelah kami berdua berbasa-basi di awal perjumpaan.

Kuamati “si dia” (sebut saja begitu) yang tengah berdiri di samping bus. Samar-samar sepertinya sih iya, soalnya raut mukanya pernah kulihat di salah satu Multiply penggemar bus saat aku melakukan blogwalking.

“Semoga saja duduknya sebelahku Mas, jadi ada teman ngobrol…” candaku pada lajang berjuluk Riko Flanker ini.

Tak lama berselang, Mas Bob Andi tiba untuk bergabung. Barangkali sebagai tombo gelo, karena kemarin tak bisa urun kehadiran di Kopdar Pulang Kerja (KPK) Pulogadung.

Tapi sayang, kebersamaan kami bertiga direnggut corong TOA terminal yang gembar-gembor memaksa penumpang NS 19 untuk bersiap, karena armada telah kehabisan jam berlabuhnya.

Meski hanya sebentar bersua, tapi tak mengurangi kesakralan pertemuan tripartit bismania yang bernaung dibawah panji-panji BMC. Saudara bukan, kerabat juga bukan, tapi ikatan brotherhood sesama member melebihi segalanya. Cuaca yang tidak bersahabat dan jauhnya lokasi kantor dari stamplat bus, tak serta merta memberatkan langkah Mas Riko dan Mas Andi untuk sekedar menjadi teman pengantar perjalanan bagiku. Rasa kesetiakawanan yang ditunjukkan mereka berdua sungguh-sungguh membangunkan mood turingku.

Mas Riko dan Mas Andi pun melepas kepergianku, bak aku ini seorang pahlawan yang hendak maju berlaga di kancah peperangan. Hahahaii…