Selasa, 24 Agustus 2010

Ndilalah kok Apes! (2)

Kututup lembaran koran yang bersemboyan “Selalu Ada Yang Baru” tersebut. Kulempar kembali ke jok belakang, tak jadi meneruskan acara baca berita.Tanpa ragu, kupacu dan kudera “roda pedatiku” membelah keriuhan ruas jalan peninggalan Jenderal Deandels. Setelah melewati gerbang dan pos penjagaan, langsung kutuju kamar tahahan, tempat penitipan tersangka dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Beruntung, aku sedikit paham layout bangunan berikut fungsinya di kompleks Satlantas Rembang, karena aku pernah mengalami hal yang hampir serupa dengan apa yang sedang menyiksa Mas Kun. Dari pengalaman pernah “berurusan” dengan Polantas, aku juga sedikit tahu juga cara-cara penyelesaian masalah pasca laka.

Tak jauh dari lokasi parkir kendaraanku, semakin terlihat jelas armada HS 150 yang tengah menjadi pesakitan. Sayang memang, belum sempat aku mencicipi “makhluk kloningan” irizar, kini bus berwarna biru donker dengan ciri “jidat jenong”nya terkapar menunggu bantuan.

Kudekati dan kulongok ruang penjara yang terdiri dari dua sel berukuran 2X3 m, tapi kok kosong melompong. Benar tidak Mas Kun disel?

Eh, rupanya ada seseorang yang tengah meringkuk bermalas-malasan di emperan penjara. Entah siapa dan keperluannya apa tidur-tiduran di situ, aku bersikap masa bodoh.

“Mas, orang Nusantara-nya mana?” tanyaku sok optimis bahwa kru bus ada di dalamnya.
“Mas pengurusnya?” balasnya balik bertanya.
“Bukan Mas, hanya teman dan pengin menengok.”
“Itu Mas…” sambil tangannya menunjuk jauh ke luar sana.

Kulihat dia…oh, itu kenek NS-19. Meski aku tak kenal namanya, tapi aku hafal betul wajahnya. Kuhampiri dia.

“Mas, kru Nusantara kan?” aku berbasa-basi.
“Iya Mas. Hmm…saya sering melihat Mas, tapi tak tahu namanya. Mas penumpang agen Rembang, kan?” dia berusaha mengingat-ingat tentang aku.
“Benar Mas. Mas Kun-nya mana?”
“Lagi di ruang penyidik, Mas”

Tak salah dugaanku, Mas Kun kini harus menjalani serangkaian penyidikan panjang karena kecelakaan ini pasti disangkakan sebagai human error.

“Mas, kita ngobrol di teras penjara aja ya, sambil nunggu Mas Kun selesai disidik…” ajak Mas Katno, nama asisten driver bus nahas tersebut.

Di ruang yang panas, pengap dan berdebu, kukorek kronologis musibah dari perspektif Mas Katno.

“Itu pintu sebelah mana yang menghantam korban, Mas?” tanyaku penuh selidik.
“Berita itu sebenarnya kurang pas Mas. Yang njeblak (lepas dari penguncinya), pintu tangki solar Mas,”
“Lho, yang nutup tangki solar? Yang kecil di samping pintu kiri depan itu, Mas?”
“Iya Mas, kalau punya Scania kan memang kecil tapi memanjang ke bawah. Ukuran lebar panjangnya 30X50 centi-an lah, Mas”

Kubayangkan sesaat, rasanya muskil barang sekecil itu bisa mendatangkan petaka.

“Ceritanya sesungguhnya gimana, Mas?” kurayu eks pegawai PO Tunggal Dara, Wonogiri, itu agar membeberkannya.

Mas Katno mengambil napas panjang sebelum mulai bercerita.

“Terakhir, bus ini isi solar di SPBU Kudus Mas, sekitar jam 5 pagi. Saya sempat membuka dan mengunci kembali pintu itu. Sebelumnya juga tidak ada masalah.

Pas mau kejadian, saya duduk di kursi kenek. Penumpang tinggal empat, dua Rembang dan dua lagi Lasem. Tiba-tiba, saya mendengar bunyi “dakkk…”, seperti ada sesuatu yang lepas. Saya intip dari kaca spion kiri, tahu-tahu di bahu jalan ada bapak dan anaknya tersungkur dari motor. Saya tambah kaget, melihat pintu tangki solar terpental di pinggir jalan. Pasti barang itu yang menghantam motor tadi.

Ini namanya apes, Mas. Biarlah saya dianggap ceroboh, tapi siapa sangka, pintu yang awalnya tidak kenapa-kenapa, ndilalah membuka dengan sendirinya. Sepertinya, posisi jalan yang sedikit menikung dan tak rata menjelang TKP, jadi penyebabnya, Mas.”

Aku hanya terpekur mendengar alur keterangannya.

“Mas, aku antar ke ruang penyidik ketemu Mas Kun, yuk…” ajaknya lagi.
“Apa ngga mengganggu, Mas?”
“Ngga papa Mas, biar Mas Kun tahu ada orang yang mencarinya. Toh, dia juga sudah lama di dalam…”

Aku pun mengiringi ayunan kaki Mas Katno, menuju ruang penyidik.

“Mas Edhi…!” sambut Mas Kun yang tengah santai menjalani proses investigasi dengan sedikit kaget.
“Mas Kun…,” aku pun meminta izin masuk kepada Pak Penyidik, lalu berjabat tangan dengan Mas Kun.
“Mas, tunggu ya. Ini tinggal sebentar lagi…” bisiknya.

Mas Katno dan aku pun kembali ke teras sel tahanan. Dan dalam hitungan menit, Mas Kun menyusul kami.

“Kok tahu saya di sini, Mas?” tanya Mas Kun penuh keheranan.

Akhirnya kubuka selubung bagaimana jasa Pak Dahlan Iskan lewat media cetaknya melambungkan nama Mas Kun menjadi figur sentral di Radar Rembang hari ini.

Kami bertiga pun larut dalam obrolan ringan serta informal meski tak bisa mengusir kedukaan yang tengah menyelimuti Mas Kun dan Mas Katno.

Penggawa PO Nusantara yang kerap dipanggil “Sinyo” di kalangan para kru memulai poin cerita, “Iya Mas. Kalau saya protes, salah saya apa? Tidak ada rambu yang dilanggar, saya nyetir juga pakai etika, namun gara-gara pintu solar lepas, saya jadi tahanan. Saya memang apes…”

“Awalnya…” Mas Kun meneruskan mengumbar perasaannya yang sedang galau. “Saya jalan dari barat, tidak kencang kok Mas. Hampir jam 7 pagi, jalan mulai ramai dan banyak anak sekolah, mana bisa ngebut. Dari arah timur, 100 m di depan bus ini, saya lihat seorang kakek memboncengkan dua cucunya. Satu duduk di depan dan satu lagi di belakang.

Kok ya ndilalah, kakek itu menyeberang jalan, terus turun di bahu jalan dan berjalan pelan berlawanan dengan bus ini di sisi kiri. Dan tak dinyana…”dakkk”, saya bisa merasakan bodi bis menyenggol dia, meski hitungan saya bus aman melenggang di samping motornya. Sejurus kemudian saya lihat spion kiri.

Ya ampun, pintu tangki solar terbuka dan ibarat senjata tajam, menyabet kepala anak kecil yang duduk di depan, kemudian merembet menghantam lengan kakeknya. Motor pun langsung ambruk.”

Terlihat ekspresi kesedihan mendalam terpancar di wajah Mas Kun.

“Saya sempat berhenti Mas. Namun, saya khawatir ada tindakan massa yang tidak diinginkan. Tahu sendiri daerah pesisir, orang-orangnya panasan Mas. Saya berketetapan jalan kembali dan berhenti di depan SMA Rembang (1,5 km dari TKP), karena di sana banyak polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Saya menyerahkan diri. Kemudian, bus digiring ke Polres dan sekitar jam sembilan saya dapat kabar, bahwa si anak tersebut akhirnya meninggal setelah dirawat di RSU Rembang”

Kami pun terdiam. Atmosfer siang mendadak hening dan senyap.

Itulah kerasnya kehidupan di atas roda. Selain berada di lingkungan yang berstatus high risk accident, momok menakutkan yang berjuluk keapesan seringkali jadi penentu nasib buruk pengguna jalan. Keapesan sanggup memberangus nilai kehati-hatian, kewaspadaan serta kesantunan di jalan raya, menjadikannya tak berarti. Meaningless…

“Setidaknya, beberapa hari ke depan masih trauma untuk membawa bus lagi ya, Mas?” aku bertanya lagi untuk menghidupkan kebisuan.

“Soal trauma, sih tidak begitu jadi masalah, Mas. Saya dulu juga pernah sekali terlibat kecelakaan, adu kambing dengan truk di Karawang, persis di depan pool Warga Baru. Gara-gara truk sayur itu nekat menyalip truk gandeng, sementara jarak dengan bus saya sudah dekat. Saya habis-habisan membanting setir ke kiri dan alhasil, meskipun muka bus selamat namun truk menabrak sisi kanan bus mulai depan hingga belakang. Sopir truk meninggal seketika, Mas,” kenangnya. “Saya diskors dua bulan tak bawa bus. Namun, saat kembali nyetir, rasanya biasa saja kok, seolah tak pernah terjadi apa-apa…”

“Justru, ada yang lebih membuat saya shock dari kejadian di Rembang ini, Mas?” imbuhnya.
“Karena korbannya anak kecil ya, Mas?”
“Itu yang pertama, Mas, dan yang kedua…” lidah Mas Kun seakan tercekat.

“Apa itu, Mas?” tanyaku dengan tak sabar.
“Lha kok ndilalah…”
“Maksudnya “ndilalah ?”

Sejurus kemudian, Mas Kun mengedarkan pandangan kosong ke sekeliling.

“Nama korban kok ndilalah persis nama anak saya…”

Kulirik kembali Radar Rembang yang mengabarkan kabar pilu tersebut, yang tadi kubawa dan kini teronggok di sampingku. “Berliana Tewas Terserempet Pintu”.

“Berliana ya, Mas?”
“Iya Mas, Berliana. Itu juga nama anak saya. Bagaimana nanti ya, apa saya tidak akan selalu terbayang-bayang wajah korban, setiap kali memanggil anak saya sendiri?” jawabnya sarat nada ketidakpercayaan dan ketidakmengertian.

Masya Allah. Di dunia memang ada beberapa sebab-akibat terjadinya peristiwa yang berbau kebetulan atau ndilalah. Kalau yang satu ini, memang ndilalah yang sendilalah-ndilalahnya.

Kudengar derap langkah kaki mendekati kami.

“Pak Kunardi, dipanggil Pak Kanit Laka. Mohon sekarang menghadap…” perintah salah satu anggota korps seragam coklat.

“Siap Pak…”

Lantas, aku pun segera berpamitan dengan Mas Kun dan Mas Katno, karena di sana, istriku pasti resah gelisah, lantaran penjemputnya belum juga menampakkan diri. Tak lupa kutinggalkan doa, semoga Mas Kun dan Mas Katno dipermudah urusannya, diberikan ketegaran menempuh ujian dari-Nya dan dapat segera kembali berkarya.

Saat berjalan menuju area parkiran, kucoba mengabadikan armada HS 150 yang tengah murung dan merana menunggu kejelasan nasibnya.

Namun, kok ndilalah…batere gadget usang ini juga meregang nyawa, mati suri. Apes…

Arghh…memang apes hidup di negeri ndilalah ini.

---

NB : Turut berbela sungkawa atas meninggalnya Adinda Berliana. Kamu bakal tenang di sisi-Nya, Dik...

*Disarikan dari perbincangan off board antara penumpang dan kru Nusantara di “paviliun” rumah tahanan Satlantas Polres Rembang.

Ndilalah kok Apes! (1)


“Salut...,” demikian kata sanjungan yang pantas kualamatkan, “Dengan sistem online, proses perpanjangan masa berlaku STNK tak lagi lama, berbelit, menjemukan dan relatif bersih dari ulah calo. Jauh dari prediksiku semula.”

Itulah testimonialku usai mengurus “usia produktif” sepeda motor plat K 28xx WD, di kantor Samsat Pemda Rembang, Hari Sabtu kemarin (21/8). Meski terdaftar di urutan 39 (kok ndilalah* sesuai kode jurusan bus langgananku, NS-39), nyatanya tak sampai 45 menit, rangkaian birokrasi dari meja ke meja tuntas terselesaikan.

“Hmm...baru pukul 09.23. Kini aku menanggung beban, bagaimana membuang waktu dua jam ke depan, di tengah terik mentari Ramadan yang membakar, menanti lonceng jam pulang kerja permaisuriku berdentang? Apa yang mesti kuperbuat?” aku setengah kelabakan.

Sambil mencari ide, kuhela perlahan tungganganku menggeluti aspal jalanan kota tempat gerakan emansipasi wanita yang digagas RA Kartini tumbuh berkembang. Pemandangan pagi menjelang siang itu terlihat ramai serta guyub. Hiruk pikuk warga pesisir timur seakan bergerak dinamis, teratur dan sesuai garis edarnya. Masing-masing menjalankan misi jihad menggedor pintu rezeki agar isinya luruh dari langit.

Saat tapak keempat roda menjejak ujung utara Jalan Kartini, tepatnya di traffic light Tugu Kapal Layar (depan gedung DPRD), kuarahkan setir berbelok ke kiri, menyusuri jalan nasional, Pantura. Maksud hati tak lain ingin “mengembara” menuju daerah Pecinan, Gambiran. Tentu saja bukan untuk berburu sate srepeh, menu favorit keponakan tersayang Bah Do, Koh Hary Intercooler, namun demi menyalurkan hasrat untuk mencumbui eksotisme kota tua yang tersisa di Kota Rembang.

Masih jauh dari dari “obyek wisata” yang kubidik, ketika hendak melintas di depan kantor Satlantas Polres Rembang, sontak indra penglihatan ini terbelalak. Dari sudut mata, tertangkap samar armada PO Nusantara berbaring di dalamnya, dengan papan mencolok NS-19 menempel di kaca depan, menempati ruang yang ditinggalkan Karina Super Eksekutif yang kini telah menghirup udara bebas kembali.

Ada apa gerangan? Mengapa bus bertrayek Daan Mogot-Rawamangun-Lasem terdampar di sana? Pasal berlalu lintas apa yang dicederai?

Mulanya, aku tak mengindahkannya dan meneruskan trip jarak pendek, menikmati “mini Canton”nya Bumi Dampo Awang. Sebuah kawasan yang berhiaskan bangunan bergaya oriental khas etnis Tiongha, dengan tata kelola wilayah yang tersusun apik. Lumayan puas melakukan plesiran domestik, kupungkasi perjalananku di alun-alun Kota Rembang.

Kuberhentikan kendaraanku di bawah pohon nan rindang. Kubuka jendela lebar-lebar agar semilir angin laut leluasa mengusik udara siang nan menyengat kulit. Aku sendiri tak beringsut, tetap duduk di balik kemudi, hanya menyetel kemiringan punggung kursi sembari memundurkan tuas pengatur posisi tempat duduk agar pitch-nya kian longgar.

Surat kabar dengan tiras terbesar di Jawa Timur yang tergeletak di jok belakang, kuraih. Koran “mancaprovinsi” yang tadi kubeli dari kios pinggir jalan, kini kuangkat selaku teman dadakanku. Kucerai-beraikan sub-sub beritanya dengan content berbeda, yakni berita nasional, internasional, sportivo, ekbis, radar Ramadan dan radar Kudus.



Dan prioritas utama, kurenggut suplemen berita lokal ala harian Jawa Pos, Radar Kudus, mengesampingkan lembaran-lembaran yang lain. Kubuka satu per satu halaman di dalamnya, dan ketemu juga apa yang kucari, Radar Rembang.



Headline yang terpampang mewartakan soal perbaikan jalan dan jembatan di sepanjang jalur Pantura Rembang yang akan dihentikan pada H-10. Selesai kubaca, pandangan ini turun pada kolom di bawahnya, karena ada judul yang menggelitik logika. “Berliana Tewas Terserempet Pintu”. Kok bisa, bagaimana ceritanya? Aku membatin.



Kusimak secara seksama “goresan pena” si kuli tinta. Ya Allah…diri ini terperanjat setengah mati, menelaah empat alinea pertama dari berita tersebut.

REMBANG- Seorang bocah di Desa Purworejo, Kecamatan Kaliori, Jumat pagi sekitar pukul 06.45 tewas kecelakaan. Diduga, Berliana Tiara, 8, terhantam pintu bagasi bus yang terbuka. Korban yang juga siswi SD Purworejo meninggal dunia setelah menjalani perawatan di BLUD Dr R Soetrasno Rembang.

Awal kejadian naas itu bermula Berliana Tiara akan berangkat ke sekolah yang diboncengkan kakeknya Sukadi. Namun, sepeda motor bernomor K 5668 FD yang dikendarai tiba-tiba terserempet bus.

Saat kejadian itu, posisi sepeda motor yang ditumpangi korban berada di bahu jalan dan melaju pelan dari arah timur. Tapi dari arah barat melumcur kencang Bus Nusantara K 1562 B yang dikemudikan Kunardi warga Kutoharjo, Kecamatan Pati, Pati. Sopir bus tersebut tidak menyadari kalau pintu mesin dekat bagasi masih terbuka, sehingga menghantam motor korban.

Berliana akhirnya meninggal dunia, sedang sang kakek mengalami luka parah. Sontak saja, kepergian Berliana mengundang derai tangis anggota keluarga yang menunggui perawatan bocah mungil tersebut.


Cukup…cukup…aku tak kuasa melanjutkan membacanya. Gambar raut muka tanpa dosa meregang ajal, tak mampu kutepis dari pelupuk mata. Sungguh tragis nasib yang dialami bocah SD tersebut. Anggapan bahwa trek Rembang adalah “utusan malaikat maut” yang terus berkeliaran menjerat korbannya, kian tak terbantahkan.

Astaghfirullah hal’adzim… aku tersadar dan tercenung sesaat. Jadi masalah pintu mesin dekat bagasi yang menghantarkan NS-19 masuk bui.

Kucoba menelisik deretan kalimat yang mencantumkan nama driver Nusantara tersebut. Kunardi…nama “si pelaku” tersebut.

Tak perlu waktu lama, proses searching file tentang Kunardi di dalam laci otakku muncul di atas display ingatanku.

Pasti dan tak salah lagi…Kunardi yang dimaksud adalah “Mas Kun”, panggilan akrabnya.

Mendadak, memoriku menyurutkan waktu, memutar peristiwa di medio 2000-an. Kisah tentang permulaan perkenalanku dengan Mas Kun.

Kala itu, para pelanggan NS-39 kedatangan “pelayan” baru. Kesan pertamaku saat pertama kali berjumpa dengan Mas Kun, orangnya sungguh tak selaras menyandang profesi driver bus malam. Postur tubuhnya agak kurus dan kecil untuk ukuran pengemudi kendaraan besar. Pembawannya kalem, selalu berpenampilan rapi, resikan, nada bicaranya pun datar dan tak punya pribadi temperamental, sifat negatif yang jamak dimiliki para abdi jalanan.

Namun, jangan ditanya saat mempermainkan lingkar kemudi. Halus, lincah, nyaman, quick respon, visioner serta bertipe speedy adalah sederet catatan positif, yang bagiku bisa digadang-gadang untuk mengangkat derajat Mas Kun menjadi “the legend” nantinya. Bisa jadi, setumpuk alasan inilah “kebintangan” Mas Kun di PO Nusantara terhitung melejit.

Pada tahun pertama bergabung di bawah manajemen Pak Hans, Mas Kun diamanati memegang armada NS-96, Semarang-Malang. Tak berselang lama, pria yang sekarang berumur 36 tahun itu hijrah ke NS-39, Pulogadung-Cepu, jadi tandemnya Pak Mintarso, dengan armada batangan MB OH 1521 berkode HS 133.

Tak sampai dua tahun, pria yang berkewarganegaraan Pati itu promosi, naik grade membesut unit Scania. Dan kabar terkininya, dia dipercaya menjadi penguasa tetap HS 150, sekaligus dipersiapkan pula sebagai pemain cadangan untuk kelas Super Eksekutif, bila ada yang berhalangan tugas.

Sejak menukangi Singa Swedia itulah, intensitas pertemuanku dengannya berkurang drastis. Paling-paling bersua lima menit-an di pool pusat PO Nusantara saat menunggu skuad malam Nusantara diberangkatkan ke Jakarta atau tak sengaja bertatap muka di Terminal Rawamangun.

Terakhir pertemuan dengan Mas Kun terjadi di markas Karanganyar, kurang lebih 6 bulan yang lalu. Yang membikin aku tak bakalan lupa, kala itu dia sempat mengucapkan selamat atas kelahiran putriku yang ke-2 sembari memberikan referensi dokter kandungan, dokter anak dan klinik bersalin yang recommended di Kota Pati. Wajar dia punya wawasan luas soal “begituan”, karena Mas Kun beristrikan seorang perawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota-nya Mbah Roso, Sang Peramal Ulung itu.

Kubaca sekali lagi lebih teliti berita mengagetkan hari ini. Kejadiannya Jumat pagi, berarti bus itu baru mendekam sehari dan kemungkinan, Mas Kun juga ikutan ditahan.

Diri ini tersentil oleh kesimpulan singkat itu dan seketika nurani tergerak untuk berspekulasi datang ke Polres Rembang.

Aku ingin membesuk Mas Kun, sekedar menyampaikan rasa simpati atas nestapa yang menimpanya, demikian tekat yang kunyalakan. Kalau bertemu ya syukur, tidak pun malah aku lebih bersyukur lagi, berarti dia “selamat” dari kungkungan jeruji penjara sebagai tahanan sementara pihak kepolisian.

*ndilalah : suatu kebetulan yang susah dipahami nalar; suatu peristiwa yang terjadi di luar skenario.

Rabu, 18 Agustus 2010

Mutiara Yang Hilang Dulu, Jumpa Lagi…(4)


Ready for Show Off


“Gimana Mas, sudah siap perang?” tantang Mas Ferry, sebelum bus beregistrasi K 1555 BC meninggalkan RM Sendang Wungu.

“Ada-ada saja guyonan Mas Ferry. Memang siapa yang mau dilawan?” gumamku. Toh, reputasi dia sebagai driver balap juga tak terbantahkan. Didikan AAPP alias Akademi Angkatan Pagi Pulogadung, gitu lho…Hehehe…

Itulah candaan khas Mas Ferry. Seseorang yang memang spesial di mataku. Karena dalam dirinya terdapat “perkecualian” tentang stereotip seorang sopir bus malam yang selama ini tercetak rapi dalam bingkai pikiranku.

Bus malam yang memprioritaskan kenyamanan, pengemudinya haruslah tiyang sepuh, mriyayeni, selalu jaga image dan pajang wibawa di hadapan penumpang, sosialitas tertutup, berpaham konservatif, berpenampilan formal serta cenderung pendiam.

Namun, Mas Ferry mematahkan semua itu.

Pria kelahiran Jakarta 33 tahun silam ini tak ubahnya anak muda yang gaul, supel, metropolis, gokil, funky, stylish, mletek (melek teknologi), open minded, dan punya idealisme tinggi dalam bercita-cita. Bangku kuliah yang dienyamnya tak mampu memekakkan bisikan nuraninya, yang lebih memilih profesi sebagai abdi jalanan untuk mengaspirasikan kegemarannya duduk di belakang setir.

“Siap, Mas…” kukepal tanganku, tanda bahwa aku merestuinya berjuang maju ke medan laga.

Maaf, Anda-Anda Semua Di Belakang Kami


-- Gringsing – Alas Roban – Batang

Gringsing : 21.15

Awalnya, bus tidak begitu deras melaju. Mungkin, Mas Ferry masih mencari sentuhan handling yang pas dalam mengoptimalkan output varian RK8JSKA sembari membangunkan mood dalam misi menjalankan gerilya malam.

Namun, lambat laun, energi yang telah melimpah ruah hingga berdaya 260 HP sungguh-sungguh termanfaatkan. PO Selamet “Ironman” menjadi hidangan pembuka malam itu.

Adrenalin ini semakin terpompa tatkala PO yang rintisan awalnya ditopang bisnis meubeul dan seni ukiran ini melibas tikungan tajam sebelum memasuki tanjakan Plelen. Lalu lintas dua arah yang padat dibelahnya dengan menyalakkan klakson, meminta keleluasaan jalan.

Sepanjang 35 km antara Gringsing-Batang, tahap warming up dilakukan. Satu persatu, kontestan Pantura Race dipecundangi. Raya Panorama DX, disusul armada Kota Reog, PO Jaya, Bandung Express D7537AB, Mulyo Indah AD1654BA, Sahabat Comfort Semarang-Cirebon, Ramayana Setra Adi Putro, Handoyo Panorama 3 AA1630AA, dan pamungkasnya, Raya berbodi Laksana Comfort.

-- Batang – Pekalongan – Pemalang –Tegal

Gairah malam Modern Travego ala New Armada kian menyengat. Lepas traffic light di depan Polres Batang, memaksimalkan keunggulan dalam tarikan dan ruang yang lebih terbuka, dua kakak senior Yudha Express dari Lereng Muria diasapi. Masing-masing Shantika 1715 dan sejawatnya, Shantika berbalur Grey Colour.

Lari-lari sekuat tenaga, itulah karakter YE25 malam itu. Kurang dari 10 km hingga mendekat palang kereta api lingkar kota Pekalongan, berturut-turut Rosialia Indah kode 240, armada Andalas, PM Toh, Rosalia Indah 213, serta Bandung Express dalam balutan Setra BEC tak kuasa menghadang gelinding roda bus yang dijuragani Pak Haji Agus ini.

“Bendera kuning” dikibarkan, peserta race harus berderet dan mengantri teratur, tersendat oleh kereta api yang hendak pass by. Cocok, Mas Ferry berada di titik puncak gelombang bus malam arah Jakarta. Wadah untuk unjuk gigi terbentang luas di muka.

“Mas, yang bawa Mas Ferry, ya?” tanya Bapak-Bapak sebelahku, yang telah puluhan tahun menjadi komuter dwi mingguan Pati-Indramayu.
“Iya, Pak. Bapak kenal?”
“Saya tahu dia sudah lama, Mas. Sejak dia di Gajah Asri. Bawanya kencang Mas, tipis-tipis kalau nyalip…”

Hmm…ternyata bukan karena aji mumpung ada busmania di kursi penumpang, lantas Mas Ferry memeragakan determinasi tingkat tinggi dalam berlaga di Sirkuit Deandels. Ternyata, memang demikian adanya, sudah bawaan bayi soal gaya balapnya.

Sesudah pintu lintasan dibuka, diseling manuver kanan kiri nan ajib saat injakan gas ditekan dalam-dalam, “korban” keganasan pendatang baru di blantika Pantura terus bergelimpangan. Tak asing dengan corak bodinya, Raya dengan nomor lambung 33, konvoi tiga Bandung Express D7823AA, D7633AC, dan D7568AC, Santoso Setra Tri Sakti, serta lawan yang paling alot, Senja Furnindo Green Hi-Deck K1712AC.

Musuh sepadan kembali didapatkan saat Dahlia Indah AG7155UR beradu speed di daerah Petarukan. Namun, dongeng 1001 malam berulang. Mas Ferry mampu merenggut tahta bus bertrayek Madiun-Solo-Jakarta itu.

Entah sebab apa, banyak bus mengambil jalur dalam kota Pemalang ketimbang lingkar luar. Trio Shantika kembali tertinggal langkahnya di ruas Pemalang-Tegal. Yakni Volvo 105, Si Kuning H1716BG dan Si Merah 110 H1742BG.

Di Suradadi, agresivitas bus berkelas VIP ini semakin menggila. Bus-bus yang dipelorotkan gridnya antara lain Rasa Sayang “Selimut Rindu”, menu yang paling dominan, Bandung Express D7645AA dan D7701AC. (Ternyata BE lumayan eksis juga, kukira kaum minoritas…)

Ditambah lagi Safari karoseri Laksana, Bogor Indah Proteus, dan Ramayana Setra Morodadi, membuat langkah Mas Ferry tersisa selangkah lagi untuk menjadi Raja Pantura.

-- Tegal-Brebes-Pejagan

Tegal : 23.35.

Kemacetan parah akibat dampak “pengobrak-abrikan” jalan nasional di wilayah Kota Tegal seolah tiada berujung.

Melihat Rosalia Indah 108 mengambil jalur alternatif Larangan, bus yang bermarkas di Tahunan, Jepara, ini membuntutinya. Tak lama berbelok, tampak armada GMS sedang mogok.

Ditempelnya secara tipis pantat Pendekar dari Palur tipe Concerto di jalan kelas III yang sempit dan nge-press bila dua armada besar berpas-pasan. Sebelum perempatan Balamoa, YE25 berhasil menumbangkannya.

Selanjutnya menyusuri daerah Banjaran-Talang-Pagongan. Di ruas inilah kisah klimaks perjuangan Mas Ferry terukir. Scania Touring Shantika H 1726 BG dikebirinya secara jantan, bersamaan dengan peng-overtake-an GMS Skania Restu Ibu, di ujung jalan Kapten Sudibyo, Tegal.

Setelah kembali ke jalur Pantura, kedigdayaan tak bosan-bosannya ditunjukkan. Kembali GMS B7511BO, Ramayana Setra, serta Rosalia Indah 299 jadi penghisap asap Euro III yang dihembuskan “tungku pacu” bervolume 8.000 cc ini.

Dan show off berlanjut di etape Brebes-Pejagan. Mangsa yang dilumat secara berurutan adalah Ramayana AA1603AB, Handoyo Clurit, Selamet K1602FA, Bus Pariwisata yang masih kinyis-kinyis, AA1600FW (Efisiensi?), Haryanto B7289IG serta Bayu Megah H1474BY.

Sayang, retina penglihatan ini sudah susah untuk diajak melotot. Sejak berangkat dari Rembang, hingga tengah malam saat menapak teritorial Pejagan, tak semenitpun mata ini terpejam. Padahal, belum puas rasanya menghitung berapa lagi bus malam yang disingkirkan Mas Ferry. Tanpa tersadar, diri ini hilang kesadaran. Zzzz…zzz…zzz…

-- Jatibarang-Pamanukan-Ciasem

“Mas, maaf saya mau persiapan turun…” colek penumpang sebelahku pada sisi window.

Akupun membuka kelopak mata kembali, dan mempersilahkan Bapak tersebut melangkahiku dan selanjutnya pindah ke ruang kemudi dan navigasi, karena tujuan beliau turun Jatibarang.

Lohbener : 02.14

Kutatap pemandangan di luar kaca. Ck ck ck… bus yang berslogan “Majesty of Transportation” sepertinya tidak punya lelah untuk terus mengambil langkah seribu secara kontinyu. Dan sejauh ini, Bapak dua putra yang bernama lengkap Ferry Johan Fonda ini masih mampu menjaga performa speedy-nya.

Seakan tak kenal kenyang melahap buruan, daftar bus-bus yang takluk tak berdaya karena gaya dorongnya kembali memenuhi notes kecilku.

Kramat Djati 7065, GMS Fajar Eksekutif, Damri 3236, medium bus Sari Mustika Prestige, PK Marcopolo Kudus K 1604 B dan K 1597 B (what an amazing night!),



Raya Panorama DX, OBL Jogja-Jakarta AA1661BY, Putera Mulya Wonogiri, Ramayana Seri D, Santoso “S” AA1748AA, Sinar Jaya Proteus Pekalongan, Blue Waves B7482WV, Ezri Wisata G1415AC, Puspa Jaya berlatar ondel-ondel, Jaya berbadan Nucleus, Sumber Alama Panorama DX, Rosalia Indah 327, Putra Remaja “Spiderman”, Garuda Mas “Vini Vidi Vici”, Rosalia Indah 264 dan terakhir sebelum terjerembab kemacetan Ciasem, Harum 6L.

Aku pun takjub dibuatnya. Dulu, sewaktu naik Bejeu-nya, terasa kurang kentara daya gedornya, karena perjalanan ditunaikan pada siang hari dengan rute Pulogadung-Kudus. Ternyata, di habitat semestinya bus malam, yakni sepanjang malam, ibarat permainan bola, YE25 boleh dibilang jadi top scores, membukukan donasi sebagai pencetak gol terbanyak dengan prestasi cleansheet yang nyaris sempurna, tanpa sekalipun pertahanannya dibobol kompetitornya. Rekor memasukkan-kemasukkan (50an – 0). Hehehe…

Mas Ferry pun bergantian shift, menyerahkan lingkar kemudi kepada Mas Imron, pramudi pinggir. Lalu lintas tampak stagnan, tak bisa menghindar dari kepadatan menjelang perbaikan jalan Ciasem.

Pria yang malam itu tampil layaknya mount climber, dengan tutup kepala dan jaket nan tebal, kemudian menyisihkan sebagian waktu istirahatnya dengan duduk di sampingku, melakukan perbincangan singkat penghantar tidur.

Akupun angkat topi, acung jempol, dan meninggikan apresiasi atas pertunjukan 6 jam non stop Mas Ferry tatkala “menggulung” aspal Pantura.

Tak disangka, balasan permintaan maaf meluncur dari lisannya sambil memohon izin untuk kembali meniduri area kandang macan.

“Mas Edhi, saya minta maaf karena tak mampu menyalip satu pun armada Bejeu. Jarak keberangkatan Yudha dan Bejeu dari Kudus terlalu jauh, 1 jam lebih. Berat itu Mas…”

“Hahaha…ada-ada saja Mas Ferry ini. Memang saya mematok target, kehebatan Mas Ferry terbukti jika mampu mendului Bejeu masuk Pulogadung?” redamku untuk mengobati kekecewaannya.

Pulogadung : 06.10.

Setelah berkutat di pusaran traffic jam Ciasem dan terhalang pembangunan Gerbang Tol Cikarang, tepat di depan rekan kerjanya, Yudha Express jurusan Purwodadi-Jakarta K1541BC, YE25 mendarat tak jauh dari lapak Pak Poniman Pulogadung yang saat itu tengah kosong.

Aku pun turun dan tak mau menggangu istirahat lelap Mas Ferry. Biarlah, kendati tak sempat berpamitan, persahabatan ini tak serta merta meluntur kadar kualitasnya. Kita berdua mesti paham akan kepentingan, urusan dan kerepotan masing-masing.

Sesaat sebelum menjauh menuju debarkasi bus kota P-51, kupandang lagi secara seksama bus berwajah legam metallic namun penuh kenangan itu. Sebuah armada yang membawa keberkahan di bawah ufuk timur Ramadhan, menggenapi ekspektasi perjalanan rutin mingguanku kali ini, khususnya ditatanya ruang pertemuan di dalamnya, tempat perjumpaanku dengan mutiara yang dulu hilang, Mas Ferry.



Di genggaman tangan Mas Ferry, PO “kecil” itu menjelma menjadi jawara sesaat jagat Pantura malam itu. Hebat, bukan?

Yudha Express, The Real Majesty of Transportation…

Selamat menjalankan ibadah puasa.

-T a m a t –


Mutiara Yang Hilang Dulu, Jumpa Lagi…(3)




Di Ruang Rindu, Kita Bertemu

“Kepada para penumpang Yudha Express, dipersilahkan memasuki armadanya, karena bus akan diberangkatkan.” seru mulut TOA, penyambung lidah petugas Terminal Pati.

Akupun memungkasi forum Mak Ni Community, kemudian undur diri dan say goodbye pada Mas Ferdy dkk.

Kutuju bus hasil produk kerajinan tangan penggawa-penggawa New Armada itu dan segera kucumbui ekslusivitas “kamar pribadi” bagi para penyewanya. Memang terkesan mewah, anggun dan lebih privasi dengan adanya sekat partisi yang memisahkan ruang kemudi dengan kompartemen penumpang. Tujuh LCD 6 inchi dibenamkan di bawah bagasi kabin, berikut speaker merek Boston dan head unit Panasonic yang sanggup memutar DVD Player plus dilengkapi koneksi USB, untuk saling bahu membahu memanjakan passangers need yang haus akan hiburan audio visual. Tempat duduknya pun elegan dan bergaya, menggunakan sarung jok semi kulit yang adem dan sejuk saat menerpa punggung penduduknya. Sepertinya bus ini latah mengekor tren fashion interior bus-bus teranyar.

Pati : 17.04

PO Yudha Express berkode lambung YE25 mengawali kiprahnya. Sempat aku melongok dari balik kaca dinding pemisah, siapa tahu Mas Ferry yang bawa. Ternyata bukan.

Selepas Tugu Bumi Minatani, bus yang hanya membawa 9 “nyawa” berjalan biasa-biasa saja meski jalanan empat lajur itu lengang. Belum tampak gregetnya menyandang status bus malam.

Mendekati bottle neck sebelum kawasan industri Dua Kelinci, ada insiden kecil yang melibatkan Muji Jaya “Lily White” dengan sebuah light truck. Sepertinya, MD027 jurusan Pulogadung itu mencium pantat truk box tersebut.

Kira-kira 1 km di depannya, Nusantara boomel juga mengalami trouble sehingga penumpangnya terlantar di pinggir jalan, menanti armada operan. Dan selanjutnya di dekat pabrik kertas PT Pura, teronggok Scania Van Hool B 7168 IE milik Safari Dharma Raya, storing dalam perjalanannya menuju Denpasar.

Ah, terpikir untuk mencolek Mas Ferry lewat bantuan salah satu operator telekomunikasi.

“Mas, bagaimana kabarnya? Aku naik YE25 ini…”

Lama tidak ada jawaban. Sikap putus asaku membersit. Dunia bus itu terlalu luas, rasanya muskil bisa mewujudkan harapan suciku yang terkesan berlebihan. Aku harus mengubur kembali asa untuk berjumpa dengannya di kesempatan senja ini.

Di pertigaan lampu merah Ngembal Kulon, Kudus, pengemudi menghentikan laju keenam rodanya. Seseorang masuk melalui pintu depan dan tanpa basa-basi langsung membuka pintu partisi, dan dalam hitungan sepersekian detik menyapaku yang (sementara waktu) sedang duduk di kursi baris pertama.

“Mas Edhi…!!!”

“Haaa…Mas Ferry!!!” aku kaget tergagap, tak siap dengan situasi di hadapanku yang jauh di luar skenario. Rupanya, dia menyiapkan “a litle surprise” buat pertemuan dramatis ini dengan tak membalas SMS-ku.

Seantero alam akan berbaik budi kepada para penghuninya selama mereka menjunjung tinggi nilai persahabatan antar sesamanya. Aku dan Mas Ferry adalah manusia yang dipilih untuk men-haqqul yakin-i kebenaran “fatwa” tersebut.

Siapa sangka, dari pertaruhanku untuk mencicipi citarasa PO Yudha Ekspress, hingga ikhlas bersusah payah datang jauh-jauh ke Pati, Sang Pencipta menghamparkan karpet merah, sebagai permadani agung yang menjembatani kelekatanku dengan sahabat lama yang sekian waktu menghilang, Mas Ferry.

Ringroad Kota Kretek hingga Terminal Jati jadi ruang klangenan antara aku dan Mas Ferry. Ngobrol ngalor ngidul, laksana duo sahabat yang telah terpisah satu dekade.

Di tepian Sungai Wulan, saat bus menambah populasi jumlah penumpang di Terminal Kota Kretek, kusambung perbincangan dengannya. Ibarat narasumber yang berkompeten, kukorek sedalam-dalamnya “company profil” PO Yudha Jovie, yang bagiku masih sangat minim diulas di mimbar cangkrukan para buslovers.



Di sekeliling, ada penampakan yang mampu menyilaukan indra penglihatanku karena kedua obyek tersebut menjepit letak parkir YE25. Kemilau itu terpancar dari masa keemasan PO Shantika. Masing-masing Scania “termuda” dan Shantika Ijo Lumut, Hino RK8 Hi-Deck. Scania Scorpion King jilid II malam itu perdana nge-line sedangkan “keistimewaan” Si Ijo Lumut adalah livery-nya yang cuma beda 11-12 dengan Muji Jaya armada Rawamangun, menanggalkan sama sekali grafis pakem PO Shantika. Bahkan, slogan “The Five Star Bus”-nya pada panel “jepit rambut” bodi Muji Jaya dimirip-miripkan menjadi “The Style Five Star Bus”. Nada-nadanya, api eker-ekeran antar “tetangga lima langkah” bisa kembali tersulut. It’s wild world, Man…



Kudus : 18.55

Berbarengan dengan pemuncak waktu take off skuad Kudus-an, bus yang namanya diambil dari panggilan kesayangan sang owner buat kedua putranya, Yudha dan Jovie ini, juga dilepas keberangkatan oleh agen Kudus. Menyisakan sepuluh-an bangku yang nantinya diisi penumpang Demak dan Krapyak, Semarang.

Lagi dan lagi…kulanjutkan wawancandaku dengan Mas Ferry. Suasana yang mengasyikkan membuat kami berdua terlena oleh guliran detik-detik yang terus berlalu. Karena ada tanggung jawab dan panggilan pekerjaan yang lebih utama, Mas Ferry pun tersadar dan pamit mundur badan menuju kandang macan.

“Mas, nanti malam kita akan tempur. Saya harus jaga tubuh dan sekarang saatnya untuk beistirahat dulu…”

Demikian kalimat pemaklumannya.

Aku pun mengikuti jejaknya. Sesaat setelah The Black Bus menghentikan sabetan “Clurit” Harta Sanjaya di Tol Jatingaleh, aku memeluk kembali singgasana resmi, membaringkan diri sembari mengunggah bahagia sebab derita kerinduan setelah pencarian panjang selama 20 purnama paripurna di sini.

Mutiara Yang Hilang Dulu, Jumpa Lagi…(2)


Kuncup Itu Bermekaran

“Mau naik apa, Mas?” selidik Mas Ferdy sesaat setelah segelas teh manis terhidang di hadapanku.
“Yudha aja, Mas. Pengin aku ngerasain pemain baru Tayu-Jakarta ini…”

Itulah hebatnya Mas Ferdy. Meskipun di luar link, tetapi network ticketingnya cukup rapi. Tahu tahu, seorang penjaga loket Yudha Express (YE) menyambangi kami yang tengah bercengkerama.

Tiket seharga Rp80.000, 00 kutebus dan kursi nomor 5 sebagai mahar jual beli.

“Jam lima berangkat ya Mas…” pungkas agen saat menutup transaksi.

Kuhidupkan waktu dengan share isu-isu perkembangan dunia bus dengan Mas Ferdy cs. Berita-berita ter-update soal perseteruan abadi PO-PO ranah Muria Raya yang kembali menghangat, kutangkup. Dan pasti, yang hangat jadi topik perbincangan adalah geliat kebangkitan sang legenda. Siapa lagi kalau bukan Pahala Kencana divisi Kudus?

Berangsur-angsur, penghuni sore terminal berdatangan. Tercatat Garuda Mas B 7701 BK, Shantika Big Top, Senja Furnindo Merpati Bali, NS 47, NS 29, NS 19, Bejeu B3, Muji Jaya Lily White, Budi Jaya corak F1, Sido Rukun Panorama 2, TSU New Travego, keluarga Haryanto --HM26 dan The Phoebus--, tiga armada PK lama dan yang baru saja kita rasani, tiga armada terbaru PK, Hino RK8 Marcopolo Adi Putro.

“Mas, aku sholat dulu ya…” aku meminta break sebentar, menunaikan kewajiban ibadah yang tertunda.

Sekembalinya dari mushola yang terletak di sudut barat, dari kejauhan kutatap lekat-lekat sebuah bus dengan warna dominan hitam, memasuki area parkir. Oh, itu tho armadaku, PO Yudha Express. Dan seketika teringat, bus itu pernah disalip NS 39 yang kunaiki di daerah Kendal. Namun, waktu itu label bodynya masih bertuliskan Shantika Pariwisata. Bus seken eks kepemilikan Pak Taufik kah?



Dari lanjutan perbicangan dengan Mas Ferdy, akupun well informed tentang rekam sejarah bus yang memajang branding livery-nya Evobus ini.

“Eh Mas, kalau tak salah, bus itu batangannya Mas Ferry lho…” imbuh Mas Ferdy di sela-sela obrolan.
“Oh iya?” akupun setengah terperanjat.

Tanpa sadar, uraian singkat Mas Ferdy merangsang memoriku untuk memutar ulang kejadian yang mengawali rangkaian cerita persahabatan dua manusia yang telah terjalin hampir satu setengah tahun.

----

“Mas, sekarang saya di PO Yudha Jovie. Jalan wisata, Mas.” Demikian pesan singkat dari Mas Ferry, mewartakan kabar baiknya setelah dua minggu nasibnya terkatung-katung pasca resign dari PO Bejeu.

Akupun turut bersuka cita, meski lidah ini tiba-tiba menelan ludah kegetiran. Pertemanan singkat yang terajut saat aku naik Bejeu yang dibawanya, dan janjiku untuk menumpang kembali armada Galaxy A7-nya pada satu hari nanti, tak mungkin mampu kupenuhi.



Aku bakal kehilangan teman sebaik dia. Pasalnya, waktu itu PO Yudha Jovie belum mempunyai line Jakarta, sehingga rasanya mustahil bertemu dengannya karena dimensi waktu dan kesempatan kami jauh berbeda.

“Mas, Yudha babat alas Purwodadi…” berita gembira itu datang lagi dari Mas Ferry via layanan SMS, menjelang bulan puasa tahun lalu. Dan bukti itu makin cetho welo-welo, kala menyusuri jalur mudik Rembang-Blora-Cepu-Ngawi-Solo-Jogja pada tahun 2009 silam, aku menangkap penampakkan PO Yudha “The Yellow Marcopolo” di agen Sambong, sebuah kecamatan kecil sebelum masuk Kota Cepu. Ternyata, trayeknya tidak hanya sampai Purwodadi, melainkan hingga kota minyak, Cepu.

Semenjak itu, PO Yudha Jovie pun melebarkan sayapnya, dari bus pariwisata merambah bus reguler, dengan bendera PO Yudha Express.

“Untuk Jakarta, berangkat dari mana, Mas?” kugali kejelasannya.
“Bitung terus ke Grogol, Mas.”

Secercah asa itu datang meski aku sendiri masih sangsi, bagaimana bisa nge-date untuk bertemu Mas Ferry. Bitung…Grogol…duh, jauh benar dari ladangku yang berada di Teluk Jakarta.

“Mas, aku merintis angkatan sore Pulogadung. Ayo, bareng…” lagi-lagi, tulisan pendek kuterima, kira-kira empat bulan yang lalu. Wow…PO Yudha semakin menggigit, seakan tak mau jadi semut kecil di antara gajah-gajah Laskar Kalinyamat.

Sayangnya, meski periode kuartal II tahun ini aku seringkali memakai jasa NS 39, dan sesering itu pula starting grid bus langgananku itu berdampingan dengan Yudha Express di Terminal Pulogadung, tak pernah sekalipun aku bisa menjumpai bleger-e Mas Ferry. Sahabat laksana mutiara dan mutiara berharga itu hilang tak ketahuan rimbanya. Hanya kesia-siaan belaka untuk berharap menggapai sinarnya kembali. Dia bagai lenyap ditelan bumi. Hanya komunikasi lewat bantuan telepon genggam yang terus memupuk tali silaturahmi ini.

Dan fenomena mencengangkan itu belum berujung. Di era paling kini, kuncup PO Yudha Jovie terus bermekaran. Seminggu ini, PO Yudha Express mulai menyusup ke dalam jalur panas dan sarat tensi rivalitas, Tayu-Pati-Jakarta.

Two thumps memang pantas dialamatkan buat newcomer ini. Tidak sampai dua tahun, ladang Jakarta-Purwodadi, Jakarta-Jepara dan Jakarta-Tayu telah dicengkeramnya.
---

Akankah pernyataan Mas Ferdy kali ini membawa tuah, aku akan nge-pas-i jadwal dinas Mas Ferry? Dua hari menjelang pintu Ramadhan dibuka, hendakkah titah takdir beriba hati kepadaku, mendekatkan dua sahabat yang tengah menggebu-gebu mendambakan pertemuan di bilik nyata?


Mutiara Yang Hilang Dulu, Jumpa Lagi…(1)



Jurus Gunting Jaya Utama

9 Agustus
Rembang : 14.28, di ambang siang nan layu…

5 menit…10 menit…15 menit…, laun perlahan diri ini mulai dirambati kegelisahan. Tak satupun armada yang kunanti menampakkan diri. Bus AKAP Semarang-Surabaya atau bumel Semarang-Lasem/ Cepu seakan menghilang dari garis edarnya. Aku hanya diam mematung, bertumpu pada permukaan trotoar di seberang obyek wisata Dampo Awang Beach, tempat angkutan umum arah barat biasa mangkal. Ya Allah, kemanakah mereka, adatnya tak sesepi ini?

Bayang-bayang kemacetan parah Pantura yang akhir-akhir ini mewabah di Sluke hingga Tuban, serta potensi ketersendatan arus lalu lintas menjelang Jembatan Tasikharjo, Kaliori, yang sedang mengalami tahap perluasan, kian menghantui eksekusi rencanaku. Jangan-jangan, aku tak mampu mengejar schedule keberangkatan bus malam dari Pati, yang rata-rata take off antara jam 16.30-17.00. Hasratku untuk menyusun peta baru perjalanan balik ke Jakarta, dengan metode go show dari Terminal Pati, kini terganjal kelangkaan bus-bus feeder untuk menuju Kota 1000 Paranormal itu.

Di sampingku berdiri -- hanya dipisahkan gang sempit -- terhampar halaman nan luas dan rindang yang diampu Kantor Satlantas Polres Rembang. Di pojok barat daya, terbaring merana Tante Karina bertarif Super Eksekutif, dengan nomor punggung B 7606 XB, menjalani peran selaku makhluk pesakitan. Entah pasal apa yang telah dilanggar, yang pasti, keberadaannya di sana seolah meneguhkan anggapan bahwa bentang jalur 70 km sepanjang Pantai Utara Bumi Kawista adalah trek neraka bus-bus malam. Masih terpatri jelas di ingatanku, kurang lebih sebulan yang lalu, tiga bus secara bersamaan menginap di hotel prodeo outdoor ini, yakni Pahala Kencana Setra Ombak, Karina Evolution serta OBL Neo Travego Morodadi Prima.

Barulah, di menit 20 sekian, sosok bus Jaya Utama berkasta ATB (AC Tarif Biasa) bergerak melambat dan sejurus kemudian berhenti menghampiri. Aku dan belasan penumpang yang sedari tadi setia menunggu, bergegas naik ke dalamnya.



Ya ampun, full seat. Lantaran tak mau lagi membuang-buang tempo, aku harus berkompromi dengan keadaan yang ada. Kugelantungkan lengan tangan pada handrail yang disematkan di atas langit-langit kabin.



Yaelah, baru saja mencari PW (Posisi Wuenak), sopir, kondektur dan kenek malah menghambur turun dari armada dan terlihat ngopi di warung kecil pinggir jalan. Hey, berapa menit lagi yang kau dihabiskan untuk ngetem? Jarak bus di depanmu sudah cukup jauh, apalagi yang kau mau? Tak berbelas kasihankah dengan para “pendiri” di bus-mu ini?

Beruntunglah aku, keasyikan yang baru sebentar dinikmati kru terusik, saat kondektur melontarkan aba-aba, “Cepat…cepat… belakang nyundul!!!”

Oleh driver, flywheel A215 berkerudung putih jahitan Tri Sakti ini langsung dicambuk sekeras-kerasnya. Maklum, kenyamannya mulai ditempel kompatriotnya, Jaya Utama berkelas ekonomi.

Meski kawan satu pool, tak ada sikap ngalah, tenggang rasa, atau bagi-bagi sewa, dua-duanya saling berkejar-kejaran, larut memikirkan pendapatan kantong pribadinya masing-masing.

Imbasnya, bus-ku pun gelap mata. Meski pengguna jalan di ruas Rembang-Juwana dalam kondisi padat, tindakan nekat dilakukan. Deretan truk-truk berat dicerai-beraikan dengan aksi overtake-nya yang bar-bar sembari mengeruk penumpang di titik-titik pengumpan. Titik Tambak Omben, Kaliori, Batangan, Ngraci, Bendar dan Ngebruk merupakan tambang emas bus-bus jarak menengah ini.

Saking gilanya, di daerah Dresi, Kaliori, L7051UZ berusaha menggunting jajaran kendaraan yang tengah melaju dengan kecepatan sedang dari sisi bahu jalan. Injakan pedal gas dan tuas rem tak lagi berirama. Menghentak-hentak tanpa intonasi. Teriakan lantang sang kenek memberi komando kepada pengemudi begitu heroik terdengar. Sopir pun tak henti-henti mengkaryakan gadget-nya, sepertinya mengubungi para informan yang bertugas memotret posisi bus di depan dan belakang Jaya Utama ini. Sebagian penumpang hanya geleng-geleng kepala dan sepertinya sudah mafhum dengan habit brigade Pantura Pesisir Timur itu.

Bisa jadi karena alasan geram, sebuah truk gandeng yang baru saja disalip dari sebelah kiri tak memberinya jalan saat bus berkapasitas 60 tempat duduk ini berupaya goyang ke kanan.. Jadilah, bus kembali tercecer dari barisan kendaraan yang mengular.

“Hufh…kalau tidak hati-hati, bisa terjerembab ke dalam tambak-tambak yang membujur di tepian jalan.” berontak batinku.

Namun, ulah “negatif” bus lansiran awal 2010 ini lumayan menggunting waktu tempuh. Apalagi mengaspali “jalan bebas hambatan” Juwana-Pati, cukup ditebas dalam hitungan 15 menit. Alhasil, pukul 15.45, akupun didaratkan di runway Stamplat Pati.

Ah, ternyata masih sepi. Hanya Selamet, Teguh Muda dan Bayu Megah yang sudah merapat. Lainnya diisi bus-bus medium Purwodadi-Pati dan dua bus lokalan, Sumber Larees.

“Mana, Mas? Gadung, Bulus, Merak, Bitung…” rayu sekawanan calo informal saat mengerubutiku yang lagi berjalan.
“Maaf Mas, saya mau ketemu teman dulu.” kilahku.

Dan teman yang aku maksud, pastilah gampang diterka. Dialah “Eric Cantona”, pemain asing yang dibajak Persipa sekaligus empunya kawasan terminal. Hehehe…Piss ya Mas Ferdy.

“Ayo, Mas, minum-minum dulu…” ajak Mas Ferdy sebagai jamuan seremonial selamat datang di kampung asal para leluhurku dan tentu saja, tanah kelahiran ayahanda-ku, Pati.

Selanjutnya, bergabung dua lagi member BMC Pati. Jadinya, kami berempat cangkrukan sore di warung pojok Mak Ni, sembari menunggu keberangkatan bus yang nantinya kupilih untuk membawaku pulang kandang ke ibukota.