Minggu, 05 September 2010

Ganjaran Bagi Yang Ngga Neko-Neko (3)


Pinggir dan Tengah Seragam

“Biarlah pemain pertama “kurang bergairah”, whow knows, tandemnya tampil menawan…,” aku meretas asa, saat pendulum waktu berayun di angka 15.38, sesaat sebelum bus meninggalkan RM Taman Sari, Pamanukan.

Belum mencapai 1 mil darat memulai petualangan, sudah bisa ditebak performanya. Setali tiga uang dengan starter-nya. Laksana pewaris tahta, hanya jadi pelanjut tradisi adem ayem, semengalirnya saja, tak punya gen agresor, langka ulah neko-nekonya, very-very polite serta lembek dalam mengelola permainan. Istilah rada kasarnya, berhenti segan, berjalan pun tak mau.

Ya wis…enjoy aja. Biar hambar, masak aku harus menolak citarasa yang disajikan. Kusambung lagi pembicaraan dialogis antara wong abangan ini dengan Kyai Jember itu.

Sementara itu, jauh di depan, terlihat Akas Asri yang baru saja keluar dari kedai Singgalang Raya, Losarang. Bagus, siapa tahu jadi pemacu spirit of race LE-440 ini.

Setelah berhasil menyebelahi, oleh driver coba dikembangkan potensi tenaga 250 HP untuk membenamkan puing-puing kekuatan OH King. Namun, bus berpaspor N 7023 US jauh trengginas. Tak butuh lama, seolah dilecut, makin lama makin menghentak. Imbasnya, Lorena kembali tercecer dari persaingan dan hanya jadi pengamat “pantat” Jeng Asri di kala memamerkan sensualitasnya, meliuk-liuk bak penari ular manggung di mimbar catwalk Pantura.

Meski tak terlalu signifikan, tapi usaha penggawa Akas II tersebut berhasil menarik keluar “kemelimpahruahan” daya dorong OM906LA. Tak ingin kehilangan “sex appeal” nan sintal dan putih mulus, dikuntitnya secara lekat dari jarak yang aman. Tapi sayang, semakin dikejar, justru semakin jauh dan akhirnya hilang di tengah temaram senja Tol Cirebon.

Acung dua jempol. Busnya tukang cuci Bi Marpuah yang kadang nyambi jadi ojeknya Jeng Asri (eh, atau kebalik ya?), Si Budi jejaka Ambulu itu, memang tampil impresif dan memukau.

Deal or No Deal

Di atas beton jalan bebas hambatan Pejagan, saat magrib tiba, terpentaskan adegan drama yang bisa “bersayap” ketika nanti dievaluasi keabsahannya.

“Mas, gantiin dulu, mau berbuka…” kata pramudi kepada asistennya, yang sedang duduk manis di kursi CB, sebagai prolog cerita itu.

Dalam hitungan detik, barter posisi terjadi. Meski seribu satu, adalah hal lumrah terjadi subtisusi jabatan antara sopir ke-1 dan sopir ke-2 saat kondisi keenam ban “berpusing”. Tapi kasus yang satu ini, antara sopir dan kenek?

Aku hanya bisa tersentak, termangu. Speechless….

Di tengah beratnya memanggul profesi sebagai “Sopir Antar Kota Antar Propinsi”, tak mengganjal niat driver tengah ini untuk tetap menjalankan kewajiban menyempurnakan rukun Islam ketiga. Betapa dalam kepatuhan religiusitasnya. Sangat jarang kutemukan para abdi jalanan yang rela “tersiksa”, memelihara haus lapar di balik kemudi.

Dan siapa sih kaum shaimin shaimat yang tak ingin menyegerakan berbuka, di saat lonceng penandanya tiba.

Namun, di tengah tol-nya Bakrie yang belum dilengkapi tempat ngaso, mana mungkin untuk menepikan bus yang dibawanya. Dan alternatifnya, adalah mengkaryakan kru ketiga yang lebih sering leyeh-leyeh sepanjang perjalanan. Tapi…apa iya dibenarkan menyerahkan kedudukan bukan pada yang berkompeten?

Penumpang telah menebus harga, dan berangan pula sepadan dengan pelayanannya. Namun apa yang didapat? Apa tidak membahayakan, lingkar setir dipasrahkan bukan kepada ahlinya?

Di sisi yang lain, perasaan Mas Kenek (mungkin) juga senang hati menerima tongkat estafet ini. Apa iya…sepanjang hayat masih mampu, akan selamanya jadi navigator? Apakah salah berharap pangkat karirnya akan gemilang, dari cuma barisan pendukung, ke depannya berubah jadi garda terdepan operasional sebuah PO? Kalau bukan momen seperti ini, kapan lagi mematangkan keterampilan tangannya.

Ah…deal or no deal. Benar-benar konflik batin untuk menetapkan ukuran kepatutannya. Semoga kenek ini adalah mantan pengemudi, sehingga keselamatan bus tetap terjaga dan terlindungi dari hal yang tidak diinginkan. Hanya doa itu yang kutengadahkan.

Dalam suasana jantung deg-degan, harapanku terkabul. Meski sesekali telat “oper transmisi”, tapi kelihaiannya menyetir lumayan meyakinkan. Tapi, tak lantas sopir utama “cuci tangan”. Sambil menyantap isi “kardus nasi”, beliau acapkali memberikan arahan dan aba-aba, agar pilot dadakan ini tetap melaju di rel yang benar. Buktinya, hingga lampu merah Kota Tegal, anomali pengaplikasian sebuah SOP (Standar Operasional Prosedur) di dunia per-bus-an ini terselenggara dengan safe, aman serta sentosa.

Ganjaran Sebanding

Aku terbangun saat dapur pacu B 7136 XA ini meraung-raung memanjat tanjakan Banyu Putih. Efek kekenyangan takjil, kesejukan angin yang dihembuskan louver Mark IV Thermo King, serta dininabobokan oleh bunyi mesin yang berirama dan beritme monoton, rupanya mengajakku melayang-layang dalam peraduan, mengeksplorasi alam mimpi yang membentang antara Petarukan hingga Alas Roban.

Tetap, tak ada yang spesial. Bus yang disemati sertifikasi ISO 9001:2000 dari UKAS Quality Management dan AJA Registrans ini tetap berderak sepeti biasa. Iming-iming jalan sepi tak juga membuat tertarik Pak Kusir untuk menyantapnya bulat-bulat. Hingga akhirnya…wuss…wuss…Lorena Denpasar minta permisi lewat, saat “mengoyak” emas hitam di ringroad Kaliwungu.

Mungkin karena alasan “ngga sopan ngelunjak” pada seniornya, dia pun menunggu kompatriotnya di check point Krapyak, saat diadakan sidak “pengontrolan”. Di sisa etape, Semarang-Rembang, sama-sama klan OH 1525 itu -- LE-610 dan LE-440 -- jadi teman seiring sepenanggungan. Dengan posisi di depan, New Travego memandu sesepuhnya, Setra Selendang, agar tak perlu kerja keras memelototi jalan. Cukup berkomunikasi lewat bahasa isyarat lampu sein dan hazzard, kondisi jalan bisa terbaca.

Tapi, solidaritas dan laku tepo seliro itu pun terlukai. Setelah melewati pabrik kacang Garuda, Pati, tiba-tiba disorong mobil F1 seri MP-24 McLaren-Mercedes yang menempel di lambung PO Coyo, eksekutif Cirebon-Malang. Secepat kilat, bus adikarya New Armada, Magelang, itu membenamkan duo Lorena yang tengah terlena dalam romantisme berpacaran. Seakan tak mau diremehkan ataukah hilang kesabaran, B 7636 IV segera keluar arena membidik G 1686 AA yang berlari secepat cheetah. Tak diacuhkannya lagi nasib bus yang bangkunya cuma laku separuh ini. Yang tak punya ghirah memeragakan determinasi level tinggi, mempertontonkan nama prestisius sebuah perusahaan otobus, PT Sari Lorena. Dan samar-samar, pandangan kedua armada beda karoseri itu makin tenggelam di kegelapan malam areal tambak Kaliori. Dan Lorena-ku, sendiri lagi…Pantura alone…

Tak lama berselang, aku pun turun di seberang Satlantas Polres Rembang, lokasi tunggu penjemputku. Kurogoh telepon genggam, sekedar ingin memastikan, “Lorena Tiba Pukul Berapa?”. Sebab, sepanjang perjalanan, aku tak mempedulikan soal hour by hour, karena di awal sudah underestimate terhadap kinerja LE-440 ini.

00.25. Jam nol nol lebih 25 menit, dinihari.

00.25 dikurang 12.43. Tak sampai 12 jam??? Ah, yang benar? Mosok bis leuleut punya prestasi yang spektakuler? Bercermin pengalamanku, jarang bus yang bisa menundukkan target waktu.

Kugali penyebabnya…Hmm, apa ya? Oh, pantas. Sepanjang rute yang “didaki”, nyaris tanpa halang rintang yang berarti. H-14, infrastruktur jalan mulai halus rata, bersih dari gangguan, minim bopeng-bopeng, karena memang – siap tidak siap --- dipaksa untuk siaga menampung aliran para pemudik lebaran. Berbekal cruising speed yang cenderung konstan dan stabil, di ceruk kecepatan ekonomis, nyatanya mudah bagi another member of “Keong Stroke” ini menggapai rekor best lap-nya. Inilah buah keuntungan, namanya.

“Kok cepet, Pa? Belum jam satu sudah sampai rumah…,” sambut “menteri keuangan”ku saat membukakan pintu.

Ternyata tak keliru. Versi cepatku sama sepemahaman dengan yang dirasakan pendampingku. Kecepatan boleh lambat, namun LE-440 terhitung tak lambat secara raihan waktu.

Ku-rewind perjalanan dua kali terakhirku selama Ramadan ini.

Dengan Haryanto Avant Garde Madunten, hasilnya menjulang hingga 13 jam lebih. Tentu bukan faktor internal, (siapa yang meragukan Kudus-an’s habit) namun perbaikan jalan Sukamandi dan sekitarnya, serta istirahat tambahan berbuka puasa di rest area Tol Palimanan, berpengaruh banyak meng-extend waktu tempuh.



Pun saat naik Pahala Kencana Denpasar seminggu setelahnya. Dengan gaya ngeblong-nya tak sanggup menembus 12 jam, dikarenakan kemacetan parah di km 30-an Cikarang dan sedikit ketersendatan di Kota Tegal.

Coba compare dengan LE-440 ini. Tanpa ngotot, tanpa bedigasan, tanpa slonang-slonong, tanpa selap selip atau ringkasnya tanpa neko-neko, limit setengah hari Jakarta-Rembang pun bisa ditumbangkannya. Apa tidak hebat?



Konklusinya, tak selamanya bus banter itu identik dan berbanding lurus dengan torehan catatan waktu yang positif. Tak dapat disangkal, aspek keleluasaan, kemulusan dan kelancaran jalan raya adalah kunci di atas segala-galanya.

Slowly or Speedy, just 11-12, a slim difference…

------
Moral of The Lesson buatku pribadi.

“Dik, mengisi hidup ini, berteladanlah pada LE-440. Jauhi berbuat zalim, baik pada dirimu sendiri, lebih-lebih pada sesama. Berjalanlah selaras dengan norma-norma yang telah diundangkan untukmu. Gusti Allah ora sare. Yang Maha Kuasa niscaya berbelas kasih, memberi ganjaran setimpal. Dia akan membukakan jalan bagimu, memudahkanmu melewati onak-duri penghalang, serta meringankan pergeseran langkahmu dalam menggapai cita-cita akhir kehidupanmu, selama kamu tidak berbuat neko-neko.
Camkan sekali lagi, tak perlu neko-neko*!”

*neko-neko : berulah negatif

------

Lorena, don’t you know that I still care for you…

Ganjaran Bagi Yang Ngga Neko-Neko (2)


Sabar Tiada Berbatas

Tak sampai 15 menit dari start pemberangkatan pada jam 12.43, LE-440 mulai menggilas Tol Wiyoto Wiyono. Setelah mendaki entry gate Pedati, jalan layang terlihat ramai lancar.

“Ini kesempatan untuk show off sesungguhnya...” harapku.

Sedikit demi sedikit, pedal gas dibejek driver pinggir dan secara perlahan mengangkat derajat kecepatannya. 30...40...50...terus-terus, aku bersorak menyemangatinya. 60...70…ayo, terus!!! Lho…lho???

Ahhh...aku meremas rambut. Tak ada lagi gelagat injakan kaki untuk menambah kucuran solar. Cuma mentok di angka 70+1 km/jam.

Pun mirip saat menyusuri Tol Cikampek. Jarum speedometer malas untuk bergeser dari range 60-70. Sesekali saja menembus 80 km/jam saat mendahului pengguna jalan yang lain, sesudahnya, arah tapak roda berpulang ke lajur 2 atau 3, dan kembali ke selera asal, eco-speed.

Tanpa ampun, mendekati “gerbang tol baru” Cikarang, Centrium “Buruk Rupa” B 7494 WB memuntahkan residu bahan bakarnya untuk dihirup hidung Mercy Electric lansiran 2004 ini. Tak selang lama, gantian skuad Madura-an yang lain, Haryanto B 7589 IG membuatnya terjengkang. Bahkan, tanpa sopan, langsung “melipat” jalan produk 263 ini sebelum masuk SPBU km 39. Gila, Laskar Sakera ngacir, sementara tungganganku malah melakukan ritual “sai”, lari-lari kecil.

Tiba-tiba..sliutt…bus sedikit oleh ke kanan. Haaa??? Jelas terlihat Pak Sopir didera kantuk yang luar biasa. Matanya kuyu dan mukanya sedikit pucat, sambil tangan kirinya terus memukul-mukul tengkuknya.

“Ngantuk ya, Pak?” tanyaku, yang bersinggasana 1B.
“Eh…iya. Aneh Mas, setiap lewat tol antara Cikarang-Karawang, kok jadi gampang ngantuk ya?” jawabnya agak kaget. “Tapi, kalau sudah sadar gini, lha terus ilang begitu saja…”
“Jangan-jangan ya saking pelannya ini yang membuat engkau mengantuk, Pak?” selorohku.

Menjelang exit Cikampek hingga seputaran Jomin, hujan mengguyur dengan lebatnya, seakan meniadakan kemarau di peredaran tahun shio macan ini. Jarak pandang terbatas, tak kuat menerobos jarak 50 m. Denyut putaran roda bus pun semakin melemah.

Kemungkinan, serangan titik-titik air yang impulsif itu jadi causa prima kecelakaan beruntun yang melibatkan lima kendaraan di daerah Jomin, masing-masing antara pick up, avanza, grand max, truk trailer serta bus Dedy Jaya. Keuntungan fisik menentukan kadar kerusakaan. Bus dan truk hanya lecet di bumper depan, avanza dan grand max ringsek, sementara mobil box terguling. Meski terhitung accident frontal, tapi tak sampai memacetkan jalan.






Mengaspal ruas Kopo-Pamanukan yang relatif lengang, derap langkah properti Ibu Eka Sari ini seolah tak ada greget dan kurang stamina. Jangankan mempertontonkan naluri membunuh aktor “The Legend”, memanfaatkan keunggulan postur dan tenaga pun tak ditampakkannya. Beberapa light truk berdaya 120-135 PS malah dengan enteng mengasapinya. Pokok-e alon-alon waton kelakon, kelewat sabar dan selalu “istiqomah” mengekang kecepatan jelajah di kisaran 65 km/jam. Masih beruntung, tak menganut aliran “gigi 8” atau netralisme.

Mengurai arus lalu lintas, pun setitahnya. Ada kesempatan ya nyalip, tidak ada pun tak pernah memaksa meminta jalan pada yang lain. Kalem, melow, nuwani, mlaku thimik-thimik, taat aturan, serta tak banyak tingkah alias tak neko-neko.

Kurang cocok dengan budaya dan karakterku sebagai warga Muria Raya. Hehehe…

Tapi, justru di situlah letak tantangan, “How I can find where is the beauty of this bus?”

Belum juga memulai pencarian “keindahan” bus berkonfigurasi 30 seat ini, Kopral “Blue Marcopolo” yang tadi menendangnya di tol Cikampek, mencampakkannya kembali di depan RM Sari Wijaya Rasa.

Pufh…aku hanya menghela napas. “Biar bermodal kaki-kaki modern OH 1525, rasanya masih kekar punyamu yang dulu, Ren, saat mengampu generasi OH1113.”

Bersanding dengan Kyai

“Tujuannya mana, Pak?” tanyaku pada seorang bapak (mungkin tepatnya malah kakek) di sebelahku, untuk mengalihkan fokus dari pemandangan yang menjemukan.

“Jember, Mas. Lha Sampeyan ini turun mana?” balasnya dengan pitch yang agak susah dicerna. Maklum, beliau sudah cukup sepuh.
“Rembang, Pak…”
“Rembangnya mana?” beliau terus mencecar pertanyaan.
“Sulang” jawabku sambil berbisik “Palingan beliau juga tidak tahu kota “Sulang” itu persisnya di mana.”
“Hahaha…,” tunggu...tunggu, mengapa beliau malah tertawa, dan sejurus kemudian berujar, “Sampeyan itu wong ndeso, Mas.”

Asem ik…Bukannya memungkiri kalau aku ini orang dusun, tapi please deh, mbok yao jangan diverbalkan gitu deh, Pak. Sudah busnya “memprihatinkan” begini, masih saja diri ini dihina dina sebagai wong ndeso. Kurang apa biru dukaku ini?

“Bapak kok tahu Sulang itu ndeso?” aku masih habis tak mengerti, penasaran.
“Lha gimana ngga tahu, biar saya lahir di Jember, tapi alm. kakek dan nenek saya kan asalnya dari Lasem. Jadi saya ya sedikit paham soal Rembang…”

Wow…bukan hal aneh bin ajaib. Aku pun terdiam, tak menyanggah lagi.

Berawal dari “olok-olok” kecil inilah, kami berdua kian akrab. Aku pun berusaha mengorek tentang siapa sosok dirinya, sampai akhirnya terbuka “selimutnya”. Beliau adalah salah satu pengasuh Pondok Pesantren As-Shidiqy Putri Jember. Wajar saja, dari gaya bicaranya, keilmuwan agama yang mendalam serta guyonan cerdasnya khas kyai NU, aku menduga pasti beliau seorang ulama kharismatik di sono.

Berbekal aji mumpung, mumpung berdampingan dengan seorang kyai, banyak hal-hal yang kutanyakan terkait ajaran Islam, khususon ilmu fiqh. Mulai polemik jumlah rakaat salat tarawih, tata cara bersuci dan salat shubuh di atas bus, masalah jamak taqdim dan jamak takhir ketika safar dan lain sebagainya.

Beliau pun bermurah budi dan secara gamblang membeberkan semuanya, memberikan pencerahan pada santri anyar tanpa kopiah ini. Hehehe…

Tak cuma itu, beliau juga membagi cerita dan pengalaman me-manage pondok pesantren dan sekolah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah) yang dikelolanya. Bagaimana mengasuh 500-an santriwatinya, mencari sumber pendanaan bagi operasional kegiatan belajar mengajar hingga mengajari anak didiknya berwirausaha di dalam lingkungan pesantren.

Meski telingaku sedikit terganggu dengan logat Banyuwangi-an yang kental, tetapi enak juga menyimak penjelasan beliau yang runut saat bertutur. Serasa mendapat tambahan ganjaran pahala, “itikaf” di atas bus, seraya mendapat tausiyah dari narasumber yang mumpuni.

Keramat seorang ulama memang luar biasa. Di tengah pelayaran bahtera LE-440 yang membikin bete, di tangan beliau, kebosanan ini dikreasikan menjadi sesuatu yang menyenangkan, dihadirkannya keberkahan waktu dan (insya Allah) forum empat mata ini akan berkacamata ibadah.

Menurutku, beliaulah the beauty of this bus, oase di tengah tandusnya gurun Pantai Utara Jawa hari itu.

Ganjaran Bagi Yang Ngga Neko-Neko (1)



Ini Soal Syahwat, Bung!

Pernah dalam suatu kajian yang kuikuti, Pak Ustadz melontarkan nasihat kebajikan.

“Hikmah puasa bukan semata berlapar-dahaga ria, namun di balik “penderitaan” itu, ada perjuangan akbar untuk diraup maknanya. Yakni pengendalikan hawa nafsu.”

Bisa jadi -- meski dalam kapasitas yang seujung kuku -- godaan hawa nafsu juga tak lelah menari-nari di atas altar “kealiman” seorang busmania sepertiku. Dari detik pertama permulaan Ramadan bergulir hingga pertengahan bulan suci ini, tak jua berhenti merayu “iman” untuk asyik bermasyuk di pangkuannya.

Sebut saja muslihat penjerumus itu “Syahwat Lorena”.

Entah karena alasan apa, mendadak ada dorongan berahi yang kuat dari dalam diri untuk “meminang” Lorena demi melakukan perburuan tempo 12 jam perjalanan Jakarta-Rembang. Ini bukan “perjudian” main-main, karena di ujung sana kupatok deadline berupa zona batas imsakiyah, yang kudu mampu disergapnya.

Sejujurnya, aku sendiri tidak pede saat menampik advice para pakar turing yang menyarankan agar berpikir ulang sebelum melakukan trip bersama Lorena. Dengan indeks prestasi yang menukik tajam, dari grade cumlaude di awal 80-an hingga medio 90-an, lalu menyurut dan sekarang bertahan di angka 2.5 dari skala 4.0, plus omongan miring terhadap reputasinya yang saat ini pas-pasan, sepertinya kok lebay andaikata kubebani kerja praktek bertema “600 km; Seberapa Perkasa Waktu Tempuhmu?”

Namun, lantaran tak nyaman bersengketa panjang dengan hasrat yang menggebu-gebu ini, mau tak mau, aku harus lancang melawan gelombang realita kebenaran yang ada. Aksi tutup kuping dan merem mata pun tak aku tabukan.

“Apa tugas berat ini tidak dilimpahkan ke bus lain, yang lebih mentereng kehandalannya?” sergah akal sehatku, berupaya menyeretku kembali ke jalan yang lurus.

Aku menggeleng. Tak apalah, aku takluk dan “menjual” syahwat rendahan ini ke dalam pelukan Lorena.

Rawamangun, Hari Ke-20 Bulan Ke-8

Tanggal itu adalah simpulan betapa jiwaku ini labil, masih terkungkung paham dilematis, gampang diombang-ambingkan bisikan kanan-kiri, yang kadang tak jelas dari mana sumbernya.

Mulanya, aku tak begitu menghiraukan jikalau nanti “bersetubuh” dengan LE-440, LE-450 ataukah LE-610, terlepas apapun daleman dan busana yang membebatnya. Semenjak setengah langkah meninggalkan ladang pencaharian, diri ini sudah berbulat tekad untuk mengerucutkan Lorena sebagai tambatan.

Namun, berdiri di pelataran terminal, aku pun drop menjadi insan lemah, tak cukup tangguh saat “dikeroyok” pasukan negeri timur. Pukulan tinju bakbikbuk bertubi-tubi dilancarkan Pahala Kencana Denpasar, sekondannya, Jupiter Banyuwangi dan Proteus Malang serta dibombardir jab-jab ringan Akas Asri yang mengenakan sarung cap Dafi Putra. Mereka seakan berkonspirasi tingkat tinggi untuk menjauhkanku dari Lorena LE-450 Banyuwangi, yang siang itu tampil tak kalah ayu, menyembunyikan keuzuran Mercy Intercooler dalam jubah kebesaran Adi Putro, New Marcopolo.

Dan akhirnya aku terkapar, KO, diterjang upper cut telak Ombak Biru Pulau Dewata, B 7689 IZ, yang kembali melabuhkan pilihan hati sekaligus melanggengkan slogan untuk “Say No to Ijo”.




Uh...sekali lagi pemeo “keramik rumah tetangga lebih mengkilap”, mutlak adanya.

“Maafkan aku Ren! Masih saja diri ini diliputi seribu keraguan untuk mengandalkan perjalanan di bawah ketiak sayapmu sebelum ada revolusi besar-besaran di markasmu. Aku mengaku khilaf, kali ini kembali memalingkan kepala dari penghibaanmu…,” aku bersimpuh memohon maaf kepada Tuan Putri Kerajaan Tajur.

Sebagai bentuk penyesalan, kumampatkan tujuh hari kemudian sebagai durasi peruncingan niat dan keyakinan bahwa Jumat depan, Lorena adalah satu-satunya peluncur andalan untuk mengejar waktu sahur di kampung. Aku berikrar, tak mau berkompromi dan tergelitik mengelus “binatang” yang lain lagi. Lorena adalah harga mati.

“Di Indonesia ini cuma ada dua PO, Lorena dan yang lainnya…” aku pun latah, sok-sok-an jadi POmania. Hehehe…

Bukannya aku ngeyel, berani berseberangan dengan koreksi para penggemar bus, bahwa saat ini eman-eman duitnya kalau hanya “dibuang” untuk membayar jasa Lorena.

Kendati kini berkutat dalam pusaran masa suram, namun ada tonggak sejarah yang takkan sanggup kuhapus jejaknya. Enam tahun silam, Lorena adalah satu di antara sekian saksi bisu yang kelak bisa beriwayat tentang rajutan tali asmara antara aku dan istriku, di kala mengecap manisnya “kehidupan asing” sebagai pengantin baru. Meski pertamanya kami berdua gagap menghadapi pola long distance relationship, akan tetapi, setiap kali “Sang Permaisuri” da-da-da-da melepas kepergianku kembali ke ibukota, dari balik dinding kaca bus LE-381 Bojonegoro-Pulogadung (sebelum diubah LE-461), kupandang dan kutemukan sorot mata teduh tegar, raut muka nan tabah ikhlas serta senyum mengembang merefleksikan semangat yang berkobar, bahwa kami memang harus lillahi ta’ala menjalani konsekuensi sebuah keputusan yang tak mudah ini.

Lorena adalah “kereta kencana”ku waktu itu, yang mengantarku memasuki gerbang jagat wira-wiri. Yang selanjutnya mengenalkan lebih mendalam tentang arti cinta dan kepercayaan, beratnya tanggung jawab yang dipikul kepala keluarga, pergumulan eksistensi antar manusia yang begitu masif dan tentu, Lorena adalah “guru spiritual” pertamaku di atas jalan raya. Tak akan lekang dari ingatan tentang keluhurannya dalam membimbingku, menempatkan Pantura sebagai kaca benggala yang mengajarkan moralitas dan hakikat kehidupan, berbahan tingkah polah para penghuninya.

Walaupun kini aku jarang menggandeng tangannya lagi, namun kenangan manis berkimpoi dengan Lorena terprasastikan lestari di lubuk sanubari, hingga tak terasa kami telah “berbuntut” dua.

Jadi, jangan didebat bila aku senantiasa mengucap kalimat sakral “Selalu ada cinta buat Lorena…”.

Sepekan kemudian…

Kupercepat jangkahku dari front row parkiran Pahala Kencana, di sisi barat Terminal Rawamangun, setelah turun melantai dari Metro Mini 03. Aku hanya sempat menoleh, tapi tak sampai menatap detail ragam armadanya. Takut kena goda.

Akas Asri pun kuperlakukan tak jauh beda. Meski sempat kulirik, no…no…apa istimewanya travego usang? Aku mencari pembenaran sendiri agar tak gampang goyah.

Terlihat di depan, “calon kekasih” buruanku. Kutuju dan kuhampiri dua green armada yang sedang berpose di grid keberangkatan. Berderet dari sisi belakang, terbujur MB OH 1521 Celcius yang menggawangi trayek Banyuwangi, LE-450, dan di depannya sosok Setra Adi Putro yang memajang papan jurusan LE-440, Jakarta-Jember.

Yup, sesuai janji, jiwa raga ini sudah madep mantep. Dengan style yakin, kusambangi loket Lorena.

“Masih ada yang kosong, Mas?”
“Banyak Mas. Tujuan mana?”
“Cuma Rembang. Bisa, kan?”
“Boleh, pek go ya harganya...”

Aku mengangguk setuju, tak ada kemauan untuk menego besaran tarif.

“Diikutkan bus yang mana, Mas?”
“Jember Mas, itu sudah mau berangkat…”

Transaksi di pasar resmi itulah pemungkas dari episode kebimbanganku antara mengiyakan atau menidakkan untuk memfasilitasi test case “kehebatan” Lorena di tengah taraf “kesehatannya” yang sedang meriang. Berbarengan itu pula, keabadian ungkapan “Katakan Tidak untuk Si Ijo” yang selama ini kupegang erat, tercederai.

Seberapa lamakah dia menghabiskan masa untuk “mendekatkan” dua kota, Jakarta-Rembang? Termasuk irit ataukah rakus memakan waktu? Luluskah dia menyempurnakan ekspektasiku untuk menikmati acara sahur mesra bersama ibunya anak-anak?