Rabu, 12 Januari 2011

“Budi Kecil” Itu Berkelahi dengan Waktu (Bagian Ke-4)


Jam 21.20, saat pramudi tengah menyuksesi pucuk singgasana driver pinggir. Baru pasang kuda-kuda, menghimpun energi sebelum memulai pelayaran tengah malam, tanpa ba-bi-bu dihempaskan oleh armada H-Deck berbalur warna hijau tua, K 1736 CC kepunyaan Muji Jaya. Sepertinya line Bandung.

Setelah memberi kesempatan para penumpang untuk mengisi lambung pencernaan, kini gantian penumpang yang merelakan waktunya terpangkas demi memenuhi aspirasi tangki bahan bakar Si Budi. Di SPBU Weleri, 100 sekian liter solar ditenggak, sebagai pasokan cairan kimia yang nantinya dikonversi dapur pacu menjadi energi gerak. Saat melakukan pitstop, berlalulah arus kecil bus malam yang mengarah ke ibukota, diwakili Gajah Temanggung AA 1661 JE yang beriringan dengan Shantika DSA Jepara-Pulogadung.

Lagi ancang-ancang untuk mendaki tanjakan Plelen, dengan arogannya Nusantara HS 174 memamerkan kemelimpahruahan output batang torak sebesar 250 HP. Sementara busku harus rajin shift up maupun shift down mengelola rasio gigi transmisi, membimbing rpm dan torsi agar tak kehabisan stamina. Laun tapi pasti, puncak setinggi 200 m dpal mampu ditaklukannya. Sementara itu terlihat Santoso seri J rusak sebelum portal alas Roban, yang merupakan tabir penghalang agar kendaraan besar tak melewati turunan curam Plelen.

Di ruas Banyuputih-Subah-Batang, bus yang berlivery grafis jilatan api ini lumayan mengganas. Kobaran fireball-nya berhasil melumerkan keuletan para legenda bus bumi pertiwi, yakni Pahala Kencana K 1599 B dan Kramat Djati D 7571 AD serta mengasapi Putra Remaja New Travego New Armada, AB 7181 AK. Meski akhirnya rapor sempurnanya “dibata merah” oleh ngacirnya laju Sari Mustika Golden Dragon. Kuacung jempol terhadap performa bus Pati-Sumatra tersebut. Banter banget dan hanya dalam beberapa kedipan mata, bus yang berkandang di Kota Lunpia itu lenyap di telan kegelapan yang menyelimuti salah satu jalur tengkorak di tanah Jawa ini.

Dan virus penyuka turing berupa halusinasi alam sadar itu datang. Zzz…zzz…zzz…

Aku sempat terjaga dari tidur saat bus digeber pada kecepatan tinggi di daerah Dampyak, Tegal. Ternyata, tungganganku berupaya menempel duo armada Pahala Kencana, masing-masing berpendorong Hino RK8JSKA dan kakaknya, RG1JSKA. Luar biasa memang, meski hanya dibekali ruang silinder bervolume 4.249 cc, tak ada rasa minder untuk unjuk gigi, meladeni kapasitas mesin yang hampir dua kali lipat besarnya dari spesies XBC-1518 ini. Hukum alam tak dapat dilawan. Mengutip judul lagu salah satu grup band favoritku -- Five Minutes -- “Semakin Kukejar Semakin Jauh”, demikian gambaran ketidakseimbangan yang terjadi. Kolaborasi ombak biru New Travego Adi Putro dan New Travego rombakan Tri Jaya Union semakin deras mengalir, dan “supervan”ku pun keteteran dibuatnya.

Kota Brebes.

Kemacetan kembali terjadi di sisi barat mengarah Jakarta. Lalu lintas berjubel, semrawut akibat ulah main serobot. Belasan intercity night bus terjerembab di dalamnya. Gara-gara tak sabar dengan nomor urut antrian, dengan mengekor Garuda Mas Evolution E 7938 HA, jalur berlawanan pun dirampas. Rupanya, sumber kekusutan adalah truk pengangkut petikemas yang tengah mengalami gangguan teknis.

Hambatan belum juga sirna. Mulai stasiun kereta api hingga Alun-Alun Kota Bawang Merah, arus kendaraan tak kalah ruwet. Dengan space sempit di sebelah kanan, bus yang emisinya ramah lingkungan ini memaksa menyusup di antara deretan pengguna jalan, melengserkan posisi Ramayana Seri A, kompatriotnya – Budi Jaya K 1678 GA, GMS model Skania, Rosalia Indah Concerto 275 serta Pahala Kencana make over-an Triun.

Jangan memandang sebelah mata pada yang kecil... Barangkali, itulah ungkapan yang terunggah di benak anggota keluarga Mercedez Bens ini.

Tak tahan diserang kantuk kembali, aksi pejam mata jilid II kuselenggarakan dengan “khusyuk”.

Tatkala membuntuti PO Dewi Sri besutan Karoseri Equator, aku terbangun kembali. Kutengok samping kanan kiri, hmm...daerah yang asing bagiku. Pada satu papan nama di depan suatu instansi pemerintahan, lamat-lamat kubaca nama Jatiwangi, Majalengka. Terbakanku, pasti ini jalan alternatif, demi menghindar dari kubangan neraka pantai utara Jawa Barat.

Saat melenggak-lenggok di rute yang lebarnya kurang lebih hanya 5 m, kusadari, ternyata bus-ku berempat sedang berkonvoi. Selain Dewi Sri, ada Shantika Oranye, dan pemimpin parade dinihari itu adalah Laju Prima New Marcopolo. Tak bisa dipungkiri, menaklukan etape tengah tanah Pasundan cukup merepotkan. Nafas Budi Kecil terengah-engah dan tarikan pun jadi boyo, susah bersaing dengan bus dengan kapasitas cc yang lebih mumpuni. Terlebih ditambah postur tubuh yang gempal sekaligus bobot bodi yang cukup membebani. Bisa menjaga jarak dengan Dewi Sri di depannya, bagiku sudah merupakan capaian yang perlu diapresiasi.

Di daerah Subang, bus yang berkekuatan torsi hingga mencapai 675 Nm ini berhenti untuk aplusan sopir. Kinerja mesin sempat diposisikan idle relatif lama. Sepertinya, kru menyediakan masa istirahat setelah armada bekerja keras menggulung jalan sepanjang hampir 400 km, sembari mengecek kesiapan unit penggeraknya.

Berbondong-bondonglah arak-arakan model-model cantik yang biasa menari-nari di atas catwalk Pantura. Kontestannya terdiri dari Tri Sumber Urip Setra Morodadi Prima, Nusantara CN Old Travego, Sido Rukun sentuhan Piala Mas, GMS Setra Adi Putro, Sido Rukun bodi Laksana, serta Nusantara HS 150. Mereka bersatu padu menyimpang dari track utamanya.

Masuk entry gate Sadang, fajar baru saja menyingsing. Hatiku seketika bersemburat harapan bahwa Senin Pagi ini aku bakal “mempermalukan” mesin absensi di lobi kantorku. Kali ini, I’m The Champion dan tepatlah pilihanku menyandarkan terminal Pati sebagai “penjinak ranjau” kerusakan sirkuit peninggalan Belanda era GubJen Daendels.

Terlebih, performa bus yang berpendingin Nippon Denso di jalan bebas hambatan Cikampek-Jakarta cukuplah spektakuler. Tercatat olehku, armada-armada yang menepi oleh pemaksimalan kemampuan jelajahnya antara lain Safari berjahitkan Laksana, Sumber Alam Panorama DX, Gunung Mulia Proteus 04, Setia Negara 27, Gege Trans AB 7360 AS, Purwo Widodo 06, Lorena berkasta Bisnis jurusan Purwokerto, Lorena LB-463 Purwodadi, Raya 26, serta poolmatenya, Raya 18. Bahkan Bejeu K 1665 BC dan Pahala Kencana B 7189 WV yang terus menguber dengan memeragakan atraksi goyang patah-patah, terobos kanan tusuk kiri, hingga nekat menerjang bahu jalan tetap tak berdaya untuk melampaui seribu langkah “Bocah Pesantenan” ini.

Sayang…kemudian mimpi manis dan keyakinanku pupus. Aku pun hanya bisa pasrah, menatap penyakit kronis di depan pelupuk mata. Mulai Km. 18 Cibitung, meski jarum jam masih menunjuk angka 06.15, jalan penghubung kawasan satelit dengan ibukota telah dilanda traffic jam. Dan kemacetan ultra parah di Senin Pagi tiada putus hingga interchange Cawang, dan tak pelak menyita masa perjalanan. Akhirnya jerih payah dan perjuangan Budi Kecil kandas, menghadapi karang yang berwujud arogansi sebagian warga-nya Bang Foke, yang lebih suka menjejali wilayah Jakarta yang sudah sempit dengan kendaraan pribadi, ketimbang merelakan diri bercapai dan berpeluh ria naik angkutan massal.

Apa yang mesti diperbuat lagi? Sebuah kesalahan kolektif yang mau tak mau, ikhlas tidak ikhlas, bersama-sama kita harus menanggung akibatnya. Benang kusut pengelolaan lalu lintas serta transportasi ibukota membikin jatah umur habis dan tua di jalan.

Pukul 08.15, Budi Jaya menurunkanku di Terminal Pulogadung. Yang berarti pula, aku disungkurkkan lagi oleh sang waktu…

Tapi, kekecewaan dan rasa frustasi tak pantas kualamatkan pada Budi Kecil. Dia sudah habis-habisan dengan segala daya upaya memenangkan pergumulan melawan kejemawaan waktu. Kalaupun akhirnya kalah, itu bukan karena aspek dari dalam, melainkan faktor luar yang terlalu tangguh untuk dibinasakan, bahkan oleh hari kiamat kurang dua detik pun.

Itulah yang membuatku terkesan atas penampilan impresif Budi Jaya selama hampir 15 jam di atas “permadani hitam”.

Aku optimis, selama Budi Kecil konsisten dengan top perform-nya, selalu “istiqomah” mengusung cruising spirit-nya, dan senantiasa menjaga high determination-nya, seperti yang telah diteladankan sepanjang malam, kegagalan hari itu hanyalah benih kemenangan yang sedang ditanam, sekedar menunda sejenak tentang kisah kesuksesan.

Bukan begitu?


Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal

(Sore Tugu Pancoran - Iwan Fals)



--- T a m a t ---


“Budi Kecil” Itu Berkelahi dengan Waktu (Bagian Ke-3)


Pukul setengah enam teng, “juru selamat”ku mengunci pintu terminal. Pasalnya dialah bus paling akhir yang angkat roda dari stanplat Pati.

Kabin penuh sesak, bahkan lorong pemisah konfigurasi seat 2-2 dijadikan lapak dadakan oleh penghuni non bangku. Tak usah menggugat fitur kenyamanan, toh seisi bus juga mafhum jika sore itu sedang ramai, sehingga tak ada yang melemparkan nota protes ke kru. Masing-masing meredam egosentrisnya, menjunjung aspek toleransi dan tepo seliro, bahwa tiap penumpang punya kepentingan yang sama, semuanya ingin sampai di ladangnya esok hari.

Di tengah rinai yang kian menipis, armada dengan registrasi penerbangan K 1405 H melenggang meninggalkan Tugu Bumi Mina Tani, Kota Pati, yang oleh putriku disebut “patung ikan mandi”. Setelah sarana transporter kudapat, kini apa salahnya aku menantang Si Budi. Mampukah dia berkelit dari momok molornya waktu tempuh, ekses dari kerusakan dan perbaikan jalan Pantura?

Semoga...

Kuamati interior hasil tempaan penggawa Morodadi Prima. Atap, lantai, kaca, dinding, gordyn, bagasi atas serta reclining seat “Hai” masih terjaga kebersihan, kerapian serta fungsinya. Dari tempat dudukku di kursi nomor 13, sedapat mungkin kulirik panel dashboardnya.

Oh, XBC-1518/59 tho? Memang sekilas mirip kepunyaan MB OH 1526, tetapi berkaca pada temuan telingaku soal raungan mesinnya, aku yakin, bus ini mencangkok “cc kecil ” di atas chasisnya.

Si “Budi Kecil” dong? Demikian imajiku menjulukinya.

Saat tapak ban berpusing di seputaran “Mangga Besar”nya Pati, lampu sein dinyalakan, lingkar kemudi diputar ke kanan. Ternyata, bus singgah dulu ke pool di daerah Margorejo. Selama ini, bagiku, rumah Budi ini laksana menara gading, yang dipandang wah dari luar tetapi tak bisa dijamah. Kini, tanda tanya besar tentang “apa sih isi kandungannya” bakal tunai terjawab?

Saat gerbang utama dibuka, terlihat populasi truk yang cukup mendominasi, baik light truck, heavy duty atau yang bertonase besar, seperti truk gandeng dan tronton. Baru di pojok utara, ada sekitar 6-7 armada Budi Jaya yang sedang berdinas “menjaga gawang”. Menurutku, ini sih garasi bus menumpang di pangkalan truk? Hehehe...

Bisa jadi, core bussiness perusahaan yang berkantor pusat di Jl. Bulumanis No. 160 adalah angkutan ekspedisi barang, sedang usaha perusahaan otobus adalah side job. Pantas saja, Budi Jaya terkesan kurang serius menggarap pasar penumpang Pati-Jakarta.

Soal lari dan determinasi bus dengan chanel Tayu-Pati-Pulogadung-Lebakbulus ini, bolehlah aku nilai lumayan greget serta trengginas meski memiliki keterbatasan tenaga. Syak wasangkaku, golongan darah drivernya pastilah serumpun dengan kusir-kusir bus Kudus-an yang lain. Meski semburan tungkunya “redup” dan lebih cocok untuk narik wisata, nyatanya pedal gas tak pernah malu-malu diinjak dalam-dalam. Kaki pengemudi tetaplah AKAP style...

Menjelang kawasan industri PT Pura, hujan kembali menggeliat dengan derasnya. Lalu lintas tersendat, ekornya panjang mengular, kemacetan kedua arah begitu parah seakan ingin menguji tingkat kesabaran pengguna jalan. Saat terjebak, secara bersamaan diblong secara tak santun dari kedua sisi. Dari kanan, oleh KE-461 Bojonegoro serta dari kiri, pelakunya PO Widji Lestari, Terboyo-Bungurasih. Aku hanya bersaksi, betapa agresifnya kedua bus itu menggempur barisan kendaraan yang rapat, bahkan permainan gila Setra Adi Putro B 7676 XA sungguh-sungguh membelalakkan mataku. Tanpa ampun, the family of Ijoers menepikan kendaraan berlawanan, saat membangun jalur bagi dirinya sendiri. Walhasil, Budi Jaya tertinggal jauh.

Lantaran ringroad Kudus sedang tahap peninggian badan jalan dan potensi stuck juga tinggi, bus diarahkan lewat kota, beriringan dengan Bandung Ekspress Lasem-Bandung D 7690 AA.

Hanya mampir sebentar di Terminal Jati, Kudus, untuk keperluan lapor, bus memulai reli panjangnya, membuka front peperangan, berkelahi dengan sabetan pedang sang waktu.

Kondisi cuaca di luar yang gelap, gerimis, berangin diseling kilatan petir, rupanya mengkontaminasi atmosfer di dalam bilik penumpang. Suasana senyap dan mati tak beranjak pergi, lantaran penumpang malah asyik dengan sikap diamnya masing-masing. Mungkin, kelelahan tengah mendera mereka setelah menikmati liburan, sedangkan rutinitas menjemput rezeki telah menantinya esok pagi.

Beruntung, kru menyadari hal ini. Perangkat audio-video dinyalakan, dan kami disuguhi pentas budaya rakyat berupa kethoprak humor lokal Pati. Gelak tawa dan senyum riang muncul tak tertahankan menyaksikan dagelan yang diaktori Kang Mogol dan Kang Thukul, yang duetnya kompak bak komedian Cak Kirun versus Cak Bagio. (Mungkin Mas Aneez lebih tahu detail grup kesenian ini!). Dengan gaya banyolan yang khas, tema obrolan yang sarat sindiran sosial, dan lelucon cerdasnya benar-benar mengocok perut seisi bus, seakan inilah panggung hiburan berjalan.

Di ruas Demak-Semarang, bus yang berlogo copas lambang maskapai penerbangan plat merah, Garuda Indonesia Airways, hanya sanggup membuntuti Setra Adi Putro OH -1525 HS 200 sebelum ditelantarkan dan selanjutnya dipecundangi Haryanto OH-1525 “The Ocean” B 7889 IG di Tol Jatingaleh. Kekalahan yang wajar, mengingat varian mesin tidak apple to apple untuk dikomparasikan.

Selepas Krapyak, Si Budi Kecil mulai berlari-lari, berjibaku meredam guliran waktu. Meski helaan nafasnya “pendek-pendek”, namun kaki-kakinya gigih dan tak kenal letih untuk melesat, saat cambuk pengemudi disalurkan ke pedal akselerator.

Di Mangkang, slow but sure, berhasil memecah telor kebuntuan, saat menggasak Raya “29” berjersey Panorama DX, sebelum dilibas PK limolas sewale yang dinaiki Mas Aam. Berikutnya di Kendal, PO tetangganya disingkirkan, yakni Senja Furnindo “Flying Squash”.

Menginjak aspal Brangsong, Kendal, tindakan balasan dilakukan oleh Smiling Face ini. Dengan sekali hentakan, Ombak Biru “Sirip Hiu” Bandung dilengserkan, sembari melancangi Ramayana seri B, AA 1637 AB.

Namun, kiprahnya terhenti sesaat karena outlet Sari Rasa, Jenarsari, sebagai singgahan wajibnya telah menunggu. Rumah makan yang selepas isyak seolah menjelma menjadi garasi PO Nusantara.

Kendati grade-nya medioker, namun dalam hal memanjakan urusan “nutrisi” penumpang, PO yang bersaudara dengan Bus Wisata Budi Jaya, Semarang, ini tak kalah kelas dengan perusahaan sejenis yang lebih mapan. Bahkan menurutku, plafon kupon makannya sedikit di atas Nusantara. Soal takaran menu, baik lauk, sayur serta minuman nyaris sama. Yang jadi pembeda, Budi Jaya menghidangkan kudapan pencuci mulut berupa buah pisang. Ini yang tidak kutemui pada service makan armada berkode HS dan CN.

Yup…berani memberikan pelayanan yang beda!


“Budi Kecil” Itu Berkelahi dengan Waktu (Bagian Ke-2)



“Pak, bisa nyarkawi?” tanyaku pada seseorang berkemeja kelir merah putih, dengan tulisan “Aku Cinta Indonesia” di lengannya, yang berdiri di sampingku.

Aku sudah putus asa dan tak mampu berpikir bening di saat kepepet. Sarkawi adalah langkah terbaik dibanding aku urung berangkat karena kelangkaan tiket. Aku bukanlah busmania suci yang bisa benar-benar terbebas dari jejaring “benalu transportasi” itu.

Orientasiku sekarang bukan lagi nyari bus nyaman, berburu jet darat, ataupun menggaungkan kalimat “say no to sarkawi”, melainkan bagaimana aku tiba di seberang propinsi esok pagi dengan cara dan metode apapun. Biarlah aku dicap “Jarkoni”, iso ujar ora biso nglakoni (bisa menasehati, tetapi tidak bisa menjalankan), terkait isu sarkawi.

“Tinggal depan toilet Mas, bagaimana?” sambutnya.

Aku hanya menggeleng. Incaranku bangku CB atau sarang macan. Menurutku, ruang di depan toilet terlarang dan tidaklah manusiawi, sangat menggangu kebebasan penumpang yang ingin menggunakan fasilitas tersebut. Sudah ilegal, masih juga mengusik hak orang lain. Demikian teguran nuraniku. Lebih-lebih, wilayah di sekitarnya (maaf) rawan terkena najis.

“Hei Mas, ikut bus-ku saja?” ajak seseorang sambil menunjuk bus dengan slogan di kaca samping “your smile is our happines”. “CB masih kosong.” imbuhnya. Sepertinya, tadi dia nguping pembicaraanku.

“Jurusan mana dulu, Pak?” aku meminta kejelasan.
“Poris, Mas”

Aku bergeming, dengan isyarat tangan kutolak tawarannya. Batinku mengingatkan “Jangan dulu, masih ada Tri Sumber Urip, sang dewa sapu jagat”.

“Betul...betul...betul...” jawab pikiranku yang latah meniru vokal bicara si Ipin.

Panjang umur!!! Baru saja dirasani, jasad Tri Sumber Urip, “The Doctor”, Hino RG eks properti PO Efisiensi, melenggang masuk.

Kucoba mengirim pesan lagi kepada Mas Ferdhi yang saat itu memanduku dari rumahnya, menanyakan stock tiket untuk busnya Bah Do tersebut.

“TSU sami mawon telas Mas. Cobi kulo nembe telepon konco-konco sopir mbok menawi CD/ CB taksih kosong” (TSU sama saja habis, Mas. Coba saya telepon teman-teman sopir siapa tahu CD/ CB masih ada yang kosong)

Arghh...pupus harapanku.

Kutuju mushola Nurul Iman di pojok barat terminal. Kerepotan mencari selembar tiket nyaris melupakan kewajibanku untuk menunaikan shalat ashar. Di akhir doa, kutinggalkan permohonan agar dalam kesempitan ini, Dia Yang Maha Pemurah sudi memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang terlunta-lunta tak tentu nasib ini.

“Pak, Budi Jaya sampun mlebet?” tanyaku sebelum berjingkat pergi pada Bapak penjaga mushola. Entah ada angin dari mana, tiba-tiba aku teringat, di halaman “masjid mini” inilah sering dijadikan “peristirahatan sementara” PO tersebut. (Budi Jaya sudah masuk, Pak?)

“Dereng Mas”. (Belum, Mas)

Yup...PO Budi Jaya adalah kesempatanku terakhir. Andaikan luput juga, aku pun bersiap jinjing koper, balik badan ke Rembang, menunda bepergian sampai besok pagi. Dengan konsekuensi, aku bolos kerja di Hari Senin. Tak apalah, ke-karutmarut-an yang terjadi di luar kuasaku.

Eh, tak dinyana, aku menatap seraut wajah “bule Eropa” dengan kulitnya yang legam terbakar matahari, tengah berlari-lari hendak masuk ke dalam bus Pahala Kencana. Dialah Mas Mirza Amran Halim, salah satu penghuni armada N 7442 UA yang akan membawanya ke Bandung. Setelah bertegur sapa, dia pun nangkring di atas “sofa”nya nan nyaman, sementara hatiku semakin teriris oleh kecemburuan. Coba kalau aku tak menempuh rencana seperti ini, niscaya aku telah duduk manis di kursi NS-39 atau Pahala Kencana “Euro 3”, seperti Si Aam, panggilan akrabnya.

“Ayo...ayo...penumpang Budi Jaya. Busnya sudah datang!” seru Mas Agen membuyarkan lamunanku.

Dari tempatku termangu, kusaksikan New Travego berbalut warna kuning kenanga berhenti tepat di depan Mushola, dan tak lama berselang didekati secara berduyun-duyun para penumpang yang sedari tadi sudah tak sabar menunggu kedatangannya.

“Masih ada tiket, Mas?” tanyaku memelas, saat kudekati Mas Agen.
“Habis, Mas.” sahutnya singkat.
“R-R an juga?” masih saja aku berusaha mengais bangku yang belum laku.
“Sama Mas, di depan toilet saja ada empat.” jelasnya singkat.

“Tolong ya Mas, kalau ada cancel-an, saya dikabari...” aku benar-benar menghiba, tak berdaya. Dan Mas Agen itu berlalu, cuek, tak merespon permintaanku.

Habis sudah..no chance anymore!

“Mas, sampeyan aku tunggu di terminal ya. Aku mau balik Rembang, ngga dapat tiket. Kita nongkrong di sini dulu. Aku pulang agak malaman saja” sekali lagi aku menelepon Mas Ferdhi.

15 menit kemudian, di tengah rintik hujan yang tersisa, pemilik blog Bejeuholic itu datang. Sepertinya, “beliau” juga galau melihat aku merana tak kebagian secarik tiketpun. (Hehehe...tenang Mas Ferdhi, aku tetap salut dan berterima kasih dengan upaya sampeyan mencarikan tiket.)

Berdua kami saksikan, satu persatu armada Jakarta-an menghilang di pintu keluar, hanya menyisakan Budi Jaya yang masih sibuk menata penumpang. Keheningan petang mulai menyergap, menggantikan nuansa hiruk pikuk slottime keberangkatan bus-bus malam yang baru saja berlalu.

“Mas...Mas...” teriak Mas Agen Budi Jaya tiba-tiba, sambil tangannya ngawe-awe, sehingga mengagetkanku.

Dengan setengah berlari, kudekati dia,

“Ada apa, Mas?”, tanyaku penuh selidik.

“Ada tiket batal. Cuma tiket seratus, mahalan sedikit. Mau ngga? Soalnya...”

“Tak masalah, Mas”

Kupotong saja penjelasan mengenai alasannya, tanpa perlu berpikir panjang lagi. Tiket VIP seharga Rp100.000,00 masih murah bila disandingkan dengan kehilangan jam kerja di awal pekan.

Baru saja selesai transaksi, ada sedikit “kegaduhan kecil” sesama personel Agen Budi Jaya. Rupanya, seat yang kubeli telah dibook oleh calon penumpang Mas Agen satunya. Namun, karena pemesannya tak kunjung datang, tiket itupun dijual Mas Agen yang lain kepadaku, yang memang sudah pasti ada di tempat dan bersedia membayar “lebih” dari harga normalnya yang berada dikisaran angka 80-90ribu.

“Sudah...sudah...ini saudaraku. Lagian ini sudah malam, penumpangmu itu bikin bus telat berangkat. Kasihan yang lain...” kilah Mas Agenku mengakhiri perselisihan soal perebutan kursi.

Terserah Mas Agen lah, aku diakui sebagai saudaranya. Ya...memang saudara sih, lain bapak lain ibu. Hehehe...

Yang penting, “lembar pengakuan” sudah di tangan, (alhamdulillah) aku terbebas dari belenggu sarkawi, batal return to base ke Rembang dan aku tidak sampai mengorbankan orang lain. Bukankah karena keteledoran penumpang itu sendiri, akhirnya pesanannya dihanguskan dan diberikan kepadaku?

Dan, tentu saja ada yang lebih istimewa. Aku dientaskan oleh-Nya dari situasi terjepit dan dijodohkan dengan bus yang selama ini belum pernah aku cumbui sekalipun.

Ya...PO Budi Jaya. PO kawakan dari gugus Muria Raya yang menantang rasa penasaran dan keingintahuanku untuk mencicipi elok rupa yang disembunyikannya. Seringkali dia kuincar namun kondisi selalu tak mengizinkan. Tawaran berkali-kali teman komuterku yang Budi Jaya addict untuk mengajakku bareng se-bus, belum bisa kupenuhi sampai sekarang.

Hingga akhirnya, menjelang malam itu aku merengkuh armada Budi Jaya, yang justru berawal dari ketidaksengajaan yang tidak direncanakan. What an amazing life...

Puji syukur kepada-Mu Ya Allah, do’aku terkabul bahkan Engkau lipat gandakan.


“Budi Kecil” Itu Berkelahi dengan Waktu (Bagian Ke-1)



Dengan skor 1-1, hasil dari dua kali memainkan “peta baru” perjalanan Rembang-Pulogadung via Terminal Pati, bagiku belum cukup untuk memilah mana yang lebih digdaya, “PO Bejeu” ataukah “mesin absensi kantorku”?

Setelah leading melalui gol yang dicetak strikernya, B5, dan sepekan kemudian gantian piranti finger print membalas kedudukan dengan membobol gawang yang dikawal A5, akankah pemain Bejeu yang lain mampu menorehkan poin kemenangan kali ini?

Sekali lagi, ingin kulakoni pertandingan hidup mati, fase knock out untuk menentukan siapa yang lebih berjaya di antara dua seteru bebuyutan tersebut, sebagai tolok ukur sukses tidaknya pertaruhanku. Andai bus Pengkol, Jepara, itu tumbang dan kalah waktu lagi, aku akan pulang kandang, menunjuk kembali tanah kelahiranku sebagai landasan take off balik maning nang Jakarta.

Asa ini meninggi tatkala Mas Ferdhi mengabari bahwa jatah Pati pada Minggu sore itu dipersenjatai the young gun, armada B3 berhulu ledak OM 906 LA.

Berkaca dua partai sebelumnya, mengandalkan sisa-sisa kekuatan enam silinder era Mercy King amatlah membuatku ketar-ketar. B5 terpapar masuk angin, sedang A5 ibarat dihantam “cedera metatarsal”, main pulley mesin rontok di hutan Cikamurang.

Kehadiran B3 tentulah berita menenteramkan hati. Diri ini bersimbah keyakinan, bahwa “bopeng” Pantura bakal bisa ditambal oleh sepak terjangnya. Masih lekat terpatri di dinding ingatanku, bagaimana Muji Jaya MJ-039 yang kunaiki dalam trip pagi Pulogadung-Kudus dijadikan media bulan-bulanan oleh the member of Black Bus Community itu di ruas Kaliwungu-Krapyak.



Semoga, cerita kebintangan “Si Royal Platinum Class” berulang dan malam ini, dia mampu menaklukan perbaikan jalan Pantura yang tak kunjung rampung, bahkan semakin masif tingkat kehancurannya.

Namun, rancangan tinggal rancangan, konsep hanyalah konsep, mendadak, cita-cita itu menguap ke awang-awang...

Saat bus Restu “Baron” yang kujadikan wahana estafet dari Dampo Awang’s Land menapak pertigaan Gemeces, Pati, tiba-tiba Mas Ferdhi menelepon.

“Mas, sepurane ingkang kathah, tiket Bejeu sampun telas...” (Mas, maaf beribu maaf, tiket Bejeu telah habis)

Aku pun cepat tanggap, dan bersegera mencari opsi lain.

“Shantika, Haryanto, Nusantara mboten masalah, Mas.” (Shantika, Haryanto, Nusantara tak masalah, Mas)
“Sekedap nggih Mas, mangkeh kulo hubungi maleh.” (Sebentar ya Mas, nanti saya hubungi lagi).

“Bupati Muria Raya” itu memohon jeda tempo untuk mencarikan tiket yang lain. (Duh, aku ngrepoti terus, Mas Ferdhi!)

Saat kaki hendak beranjak turun dari kabin Setra Laksana N 7036 UG, datang SMS yang isinya membuat deg jantungku.

“Maaf Mas, tiket ke semua jurusan habis.”

Alamak, seketika aku mengutuk diri sendiri yang benar-benar lalai. Kenapa aku jadi “buta kalender”? Bukankah ini sedang musim haji, “waktu haram” bagiku berselingkuh dari bus-bus yang selama ini jadi sandaran wira-wiri. Dipastikan, di akhir liburan lebaran idul adha, travellers membludak dan persaingan mendapatkan kursi akan sengit.

Dengan langkah gontai, kususuri ruang embarkasi Terminal Pati.

Benar dugaanku. Calon penumpang berjubel, seolah tak seimbang dengan ketersediaan armada yang ada. Bejeu, Garuda Mas, Bayu Megah, Muji Jaya sudah tak tampak lagi. Sido Rukun selangkah lagi berangkat. Shantika pamer tiga amunisi terbaiknya sedangkan Haryanto menerjunkan dua unit “bus pariwisata” untuk beroperasi. Ironisnya, The Phoebus MB OH 1526 malah perpal karena trouble.



NS-43 dan NS-45 tinggal menunggu penumpang, setali tiga uang dengan tiga armada PO Selamet. The Squad of Blue Waves Bangilan dan Bojonegoro juga datang dan langsung pergi, tak perlu berburu sewa lagi. Senja Furnindo cuma hadir dengan satu bus jurusan outer Jakarta.

Hujan mulai mengguyur kampung para leluhurku dengan lebatnya, seakan menumpahkan muatannya dari langit. Pelataran tergenang air, memaksa para warga terminal beserta calon penumpang berhimpitan di area yang terlindungi dari berondongan titik-titik air nan impulsif.

Ah, aku tak boleh panik dan harus tetap tenang. Terbiasa hidup menggelandang di jalan sedikit banyak memupuk mental petualanganku.

Kuhampiri secara acak satu persatu agen bus mulai Pahala Kencana, Shantika dan Selamet, berharap ada keajaiban, misalkan saja ada pembatalan tiket. Tapi, jawaban seragam yang kudapatkan.

“Sampun telas ket jam sekawan wau, Mas.” (Telah habis sejak jam empat tadi, Mas)

Dari kabar yang kukorek, hari itu sebagian bus Plat K tak ngeline, karena dicharter untuk menjemput kepulangan Kloter 1 dan 2 jamaah haji Kabupaten Jepara. Oh, pantesan...

Hal ini semakin membuatku terpojok dan angan-angan besok pagi tiba di ibukota menjauh dari bayanganku. Aku membuat blunder besar dalam titah hidup sebagai komuter mingguan.