Kamis, 17 Maret 2011

“Barbar Kids” Rhapsody (5)


“Nderek Anto, Pak?” tanya Pak Wisnu setelah lampu sein kiri The Gold berkedip. Logis dengan apa yang diputuskan HM21, mengingat kendaraan yang njebur ke jalan lingkar tertahan dan naudzubillah karut-marutnya. (Ikut Anto, Pak?)

“Pak, Anto niku kliru, malah mlebet kota. Pun, medal lingkar mawon. Titeni, ingkang bener rak awakke dhewe.” jawab Pak Shantiko yang seakan haqqul yakin dengan pertimbangannya. (Anto itu keliru, malah lewat kota. Lewat lingkar saja. Ayo dibuktikan, yang benar pasti kita)

Ternyata, kemacetan di ringroad diakibatkan oleh terperosoknya truk tronton ke dalam sawah, dengan seperempat baknya mencaplok badan jalan. Patroli Jalan Raya pun memberlakukan sistem buka tutup.

Setelah masa tempuh terbuang 15 menit-an, antrian terurai. Saat berlomba-lomba adu start, Pahala Kencana divisi Kudus B 7600 PV plus B 7401 NL menekuk derap langkah bus yang dilengkapi handrail di kaca samping ini. Duet armada RG Pak Hendro Tedjokusumo itu tak tersaingi, lenyap menyelinap di keremangan malam.

“Mas, The Gold belum nemu jalur utama, tadi tak bisa lewat kota, dijagain polisi, dibuang kiri ke jalur lama. Malah matot.”

Datanglah kabar dari Mas Fathur saat busku menyalip Kramat Djati B 7265 IS, menyusul kemudian bus plesiran Yen Jaya di teritorial Suradadi. Aku pun pernah merasai “siksa” jalur lama yang dimaksud. Yang muternya jauhnya minta ampun, terlebih kondisinya rusak. Terbukti, Pak Anto kalah awu (abu) disandingkan Pak Shantiko. Hehe…

Faktanya, Barbar Kids menang ubet (lincah) dan lebih tajam insting penjelajahan wilayahnya. Sekarang trap klasemennya lebih unggul dibanding Sang Emas Marcopolo.

Lagi dan lagi, lawan-lawan dilampaui di seputaran Munjung Agung, Tegal. Tercatat Lorena LB-461 Purwodadi, bus wisata Gunung Sembung D 7995 AB, lungsuran Rosalia Indah yang digunakan untuk operasional Ponpes Nurul Huda, Handoyo AA 1689 CA serta Selamet Transformer K 1435 GA.

Penyakit akut malam Senin itu menyerang lagi. Kurang lebih 4 km menjelang pertigaan Pejagan, buntut traffic jam telah menjuntai. Pak Shantiko tak perlu repot-repot dalam berkelit. Dipandu Dewi Sri, berdua bergotong-royong merintis “jalan baru” dengan membajak jalur kanan. Hasilnya, lumayan memangkas waktu.

“Depan polisi, cepat cari putaran!” teriak sopir Sinar Jaya yang arahnya kres. Tak dapat dipungkiri, solidaritas antar sopir masih erat terjalin. Bisa berhemat, mereduksi pengeluaran dana mel-melan buat polisi.

Sayang, satu-satunya u-turn yang tersisa -- itupun lebarnya sempit, tak layak untuk dilintasi bus yang hendak pindah jalur -- justru telah dipasangi palang portal dari bambu, ditancapi rambu-rambu larangan serta dihalangi bongkahan separator jalan.. Mau tak mau, Pak Wisnu dan kenek Dewi Sri bahu-membahu, kerja bakti menyingkirkan kendala ini, seolah merekalah regulator jalan raya, seenaknya sendiri mengatur jalan. Hmm…tengah malam mendapat kerjaan dadakan di luar SOP perusahaan. Alangkah lucunya negeri ini?

Setelah maju mundur agar mendapat haluan, moncong Selamet mulai nongol ke jalur semula. Sialnya, beberapa truk tak mau mengalah untuk memberi kesempatan. Kesabaran di air muka Pak Shantiko tampak habis. Karena pembawaan nguyek factor-nya, beliau melakukan quick kick down terhadap tuas gas, alhasil memotong paksa langkah Hino FM 320 saat akan bergerak maju.

Karena dongkol, didukung watak temperamen serta tersulut emosi, sopir truk angkutan turun, dan menyumpahserapahi Pak Shantiko.
“Nek ra becus nyetir, rasah neng kene!!!” caci orang berpostur tambun kucel itu. (Kalau tidak becus nyetir, ngga usah di sini)


Dengan wajah dingin, tanpa ekpresi dan seakan-akan tak punya dosa, Pak Shantiko dengan santai tak menggubris ajakan adu mulut.

“Mbok sing sabar Kang. Opo susahe bagi-bagi dalan. Trimo nggowo bekakas thok mbok ngalah, aku iki nggowo nyowo…” kilah beliau dengan kalem. (Mbok yang sabar Kang. Apa susahnya berbagi jalan. Cuma bawa barang mati mbok ngalah, aku ini bawa nyawa)

Hihi…pasnya Pak Shantiko ini dijuluki silent killer. Tanpa banyak bacot, langsung menggebuk musuhnya hingga mati kutu.

Zzz…aku terkapar dalam peraduan.

Tersadar bugar kembali saat bus berlivery pemandangan Kota Pati tahun 3000 ini menginjak ranah Pangulah, Cikampek.

Kutelusuri letak jam digital di display ponsel, wow…04.38! Cepet juga rupanya, biarpun armada lawas. Semoga juga berkuasa mengejar waktu, agar aku bisa ontime menjejak kebun pencaharianku.

Kali ini, posisi kru telah bertukar tempat, steering wheel di bawah wewenang penuh Pak Koplak. (Maaf, saya tidak tahu namanya. Pak Wisnu memanggilnya dengan sebutan demikian.)

Rupanya, pola pergantian shift bagi driver yang dianut PO Selamet adalah ½ - ½, ingkar dari kebiasaan PO Muriaan, yang cenderung memakai aturan ¼ - ½ - ¼.

Dalam takaranku, masalah speed, pria yang selalu mengenakan peci ini “sadis” serta lebih on fire dibandingkan Pak Shantiko. Bus yang masa uji kirnya habis di bulan Juni 2011 ini seolah haus untuk sesegera mungkin menuntaskan akhir tripnya.

Baru sebentar melek, disuguhi aksi pengasapan terhadap Kramat Djati 7029, Sumber Alam 0306210 serta Santoso seri E.

Kealiman Pak Koplak memang tak dapat disangkal. Padahal koplak sendirinya maknanya gila. Hehe…

Di Jomin, sebuah masjid kecil di pinggir jalan disinggahi, memberi slottime bagi yang punya kewajiban untuk menunaikan, berbarengan dengan Shantika Galaxy Air Suspension chanel Ponorogo. Selesai sholat, kulihat Pak Koplak wirid begitu lama, menunjukkan kedalaman kadar religiusitasnya.

30 menit kemudian, lelaki yang yang sudah mendekati masa pensiun ini unjuk gigi di “nadi” tol Cikampek-Jakarta. Inilah sesungguhnya show off beliau.

Kelihaian memenej pedal akselerator serta memanuverkan kaki-kaki Don King berbuah prestasi manis. Dalam buku catatanku, tertera nama-nama yang dicoret dari medan percaturan. Mulai dari Sari Mustika H 1585 CA, Proteus HT 574, Sinar Jaya Petarukan, bus kesayangan Koh Hary, Madjoe Utama “Amanda”, Warga Baru 051, Santoso B, Sumber Alam 1710 EC, Sumber Alam 1530 BC, Agra Mas 2056, Sumber Alam 0203284, Santoso Seri X, Sumber Alam Panorama DX 37AC, Dewi Sri G 1422 GR, Mayasari Bhakti AC 121 Blok M-Cikarang, Hiba Utama 65 Evolution, Jackal Holidays D 7999 JH, Handoyo AA 1412 CA, Sumber Alam Bogor AA 1476 CL, serta sebagai pemuncaknya, menyalip Haryanto eks OBL, B 7588 IG.

Luar biasa bukan?

Aku pun me-request turun di Jatibening, lantaran gerbang pembayaran tol Pondok Gede Timur -- yang umurnya tinggal mengitung hari -- masih menjadi biang kemacetan utama arus kendaraan yang mengarah ke jantung kota.

Untungnya, aku langsung ditampani bus yang masih satu grup dengan Warga Baru, PO Walet Biru berkode 9701. Armada dengan trayek Cikampek-Tanjung Priok itu pun tak kalah gaya gedornya. Gocekannya dalam menembus kepadatan lalu lintas Senin Pagi mulai Jatiwaringin, Cawang hingga Rawamangun sanggup meruntuhkan kesombongan piranti kehadiran yang ditanam di lobi kantorku.

Tiga kali lagi putaran jarum menit menyentil angka delapan, aku telah lunas menyetor sidik jari ke sensor pembaca finger print, yang berarti pula, aku masih bersih dari keterlambatan di Bulan Februari.

Fabulous ending of my journey!!!

Bukan hendak memandang sebelah peran PO Walet Biru, namun respek dan rasa hormat ini seutama-utamanya kusanjungkan kepada PO Selamet, yang dengan perjuangan sengitnya menundukkan dominasi jarak sejauh 500-an kilo.



Wabil khusus kepada Pak Shantiko dan Pak Koplak. Di pundak mereka, sekedar “per gerobak” yang diramu dengan sedikit sentuhan nakal “barbar kids”, sebuah falsafah kuno “slaman slumun slamet” di-upgrade-nya menjadi “greget (semangat), ubet (lincah), cekat-ceket (tak buang-buang waktu) tur cepet (cepat)”, diselaraskan dengan dinamika zaman kekinian.

Andai aku seorang bule, I will say : “They aren’t only Barbar Kids, but they are Wonder Kids, too…”

T – a – m – a - t


“Barbar Kids” Rhapsody (4)


Pukul 18.24

Dengan bergegas, pintu keluar terminal kelas A Kota Kretek ditinggalkan. Namun tak serta merta determinasi tingkat tinggi dikendurkan. Moda bernomor “KTP” K 1684 FA tetaplah berlari dengan tunggang langgang, cekat-ceket, seakan ingin memperlebar jarak dengan kompetitor-kompetitor muda yang mengintai di belakang.

Bus berkapasitas 40 seat ini sempat dua kali melakukan jeda nafas, saat berhenti di agen Gajah serta menghampiri lima orang yang nyetop di jalan lingkar Kota Wali, yang merupakan titipan agen Demak.

Selebihnya, bus dipacu dengan kecepatan yang “mengagumkan” sehingga memberikan peluang bagiku untuk merasai kreatifitas para mekaniknya Pak Aris dalam mengalihfungsikan “komponen per bekas kepunyaan gerobak”. Menurutku sih hasilnya lumayan empuk, bodyroll bisa diredam, tak sampai mengocok isi perut. Meski tak selembut ayunan leaf springs defaultnya, namun memberikan kenyamanan yang lebih dibanding milik Hino RK8 generasi awal.

Rute jalan tol Muktiharjo-Krapyak lebih dipilih ketimbang lewat kota atau arteri Pelabuhan Tanjung Mas. Sesampai di interchange Jatingaleh -- titik pertemuan dengan jalur Jogja/ Solo – tampaklah Ramayana Setra tengah bernafsu menguber Raya Panorama DX. Selamet tak mau ketinggalan berpartisipasi. Didesaknya duo mercy klasik tersebut hingga bus berlatar dua sejoli tengah menari tersebut didongkel dari posisinya, saat menuruni bentang jembatan Kaligarang. Tak lama kemudian, Rhema Abadi AA 1584 AA pun mengalami nasib serupa, disungkurkan. Sayang gate penghujung menghadang usaha Pak Shantiko dalam melengserkan PO Raya.

Bersua kembali dengan jalan non bebas hambatan, lagi-lagi bertemu pantat PO Raya yang lain, dengan nopol AD 1498 AS. Meski sudah intip kanan intip kiri, seolah kena kutukan “kursi pesawat DC 10”, bus-ku pun gagal mendahului Laksana Clurit berID 37, karena harus mampir di SPBU Wonosari. Bersamaan itu pula, masuklah K 1705 GA, serikatnya yang lebih fresh, lantaran dicangkoki reaktor pembangkit jenis OM 906 LA.

Ketika menghisap cairan berenergi sebanyak 115 liter, berbondong-bondong bus malam yang akan bermusafir ke penjuru barat. Satu di antaranya bus yang aku incar, The Gold Haryanto, yang “dijejali” para wisatawan domestik setelah selesai berlibur di Kampung Loram.

Sip, jamnya nyaris bareng, kemungkinan bisa nge-gap di rumah makan.
Bus yang ber-GVW 14.080 kg ini kembali pajang greget di ruas Mangkang-Kendal. Tanpa basa-basi, bus wisata Pandu Jaya yang mengusung model Laksana Comfort, Tri Sumber Urip garapan Morodadi Prima serta Safari H 1463 BC, didepaknya.

Di Weleri, peran kursi CB dioptimalkan sebagai tambahan income bagi kru, sehingga mempersempit kedudukan Pak Wisnu di singgasananya.

Sewaktu absen di rest area Bukit Indah, terlihat The Gold lebih duluan “finish”. Armadaku mengistirahatkan diri di sebelah kompatriotnya, masing-masing Si Puppy (yang dinaiki Bapakku dulu) serta Albert Einstein H+W = LR. Setelah menikmati gala dinner disambung ibadah wajib, kemauan hati ingin mencari Mas Fathur cs, kandas. Gara-gara corong pengeras suara meminta seisi bus agar bersiap. Waktu break for meal aku nilai memang singkat.

Dan benar, sewaktu berangkat meninggalkan tempat rehat yang paling aku benci itu, ngeblong tak jantan idola baru anak-anak Haryanto Mania.

Yang aku herankan, tak ada aplusan driver, hak atas lingkar setir masih atas nama Pak Shantiko, sedang rekan seprofesinya yang terlihat cuma Pak Wisnu. Kemanakah yang satunya? Jangan-jangan engkel, seperti yang dialami Old Butterfly tempo hari?

Tanjakan Plelen bukan batu sandungan bagi kinerja OM 366LA. Dengan entengnya ditaklukan, sembari menundukkan Pahala Kencana B 7275 WV, Selamet Grand Aristo serta Garuda Mas Evolution B 7881 VB.
Di special stage Alas Roban, Selamet kecolongan. Tanpa ampun dilibas salah satu amunisi bertitel “HT”, Setra Ombak Biru B 7401 NL yang malam itu tampil kesetanan. Aku kurang tahu, jurusan Ponorogo, Yogyakarta ataukah Wonogiri.

Ikatan batin sesama member BMC sangat kuat, hingga jagat alam pun sudi menghamparkan bilik pertemuan antar mereka. Dan aku meyakini akan hal itu.

Setelah tertidur agak lelap, di ruas Petarukan, entah sebab pasal apa, tiba-tiba aku terbangun. Dalam sekejap kedipan mata, berlalulah Dahlia Indah “Barata” dan amazing!!!…ditempel secara lekat oleh HM 21, kode bus untuk The Gold Haryanto.

Dan ajibnya, secara bersamaan dan bersebelahan akhirnya tertahan oleh lalu lintas yang melambat menjelang Tugu Selamat Datang Kota Pemalang, meski posisi busku sedikit di belakang The Gold. Dari balik pekatnya kaca, lamat-lamat aku menatap siluet wajah Mas Rully dan Mas Hadi, serta dengan jelas memergoki someone yang sedang merekam momen turing lewat kamera di atas bangku kenek.

HM21 yang kondang akan kelincahan dalam meloloskan diri dari kemacetan, menggunting U-turn lalu menginfiltrasi jalur berlawanan. PO Selamet pun tak kalah gesit. Seolah mendapat guide, dikuntitnya aksi B 7979 VGA tersebut, hingga berhasil mengarungi lautan “pekerja malam” yang terjerembab di jalur yang benar.

Semakin mendekati pertigaan ringroad Kota Nasi Grombyang, di mana banyak “korps baju coklat” berdinas, Pak Anto, pramudi, menyusup kembali ke lintasan semula, diikuti bantingan setir yang diarahkan ke kiri oleh Pak Shantiko.

Dan keajaiban datang lagi. Saat tersendat kembali, kedua bus lain pesona itu persis berdampingan. Dan semakin jelas tampang-tampang penghuni seat-seat depan.

Kukabari Mas Fathur via short messages, “Mas, aku di sampingmu.”

Teettt…Pak Anto mengawali menyapa dengan membunyikan klakson, sembari tangan kanannya melambai dari luar jendela, sebagai salam hormat kepada seniornya. Dan seketika itu pula dibalas Pak Shantiko. Teett…

“Niku Anto ingkang ngasto…” kata Pak Shantiko kepada Pak Wisnu. “Jagoan-e Kajine”, imbuhnya. (Itu Pak Anto yang bawa, jagoannya Pak Haryanto)

Yang membikinku salut, para kru PO Selamet selalu menggunakan bahasa krama dalam berdialog. Barang langka yang sulit ditemukan di atas panggung jalanan era sekarang.

“Barbar Kids” Rhapsody (3)


Baru saja menginjakkan dua kaki di lantai, sudah bisa ditebak segmen pasar seperti apa yang dibidik PO Selamet. Menyapu pandangan ke seluruh ruangan, tampak wajah-wajah golongan sepuh, kebanyakan orang-orang dusun sepertiku dan tentu saja, bukan pekerja formal atau kantoran layaknya penumpang NS 19, The Red Haryanto atau Pahala Kencana Euro 3 yang aku langgani. Sebagian anak kecil yang ikut serta, menandakan bus ini favorit para keluarga dan pemberi solusi bagi yang cekak secara biaya.

Cocoklah pilihan mereka dengan tagline PO yang berhomebase di Jalan Dr. Susanto No. 126, sesuai falsafah orang tua jaman dulu, slaman slumun slamet, alon-alon waton kelakon.

Finally...bus yang mengiklankan diri sebagai “Luxury Art of New Armada” mengawali debutnya, disekondani tiga kru kabin.

Pun saat mengamati raut muka serta penampilan mereka. Pradugaku yang seringkali berbau subjektif, bicara. “Hmm...wajah-wajah oldies, babe-babe, mriyayeni. Semuanya bertampang dingin, pendiam dan terkesan cuek. Style mereka kurang cocok ah dengan kerasnya atmosfer Pantura,” aku membisik. “Sepertinya, untuk urusan “pemain”, “manajer” PO Selamet bukan penganut aliran young guns, namun lebih berguru pada AC Milan, yang demen mengoleksi “balung tuo” (tulang tua). Hmm...Jangan-jangan “three musketeers” ini teman-teman ngaji Pak Aris ya?”

Namun, aku keliru total. Dibawah kendali Pak Shantiko (jangan-jangan di PO Shantika ada sopir bernama Pak Selamet?!?), “feel” pertama yang kurasai benar-benar gahar, kaki pramudi begitu galak dalam membejek gas. Baru saja berbelok menyusuri kawasan Gajah Mati, untuk ukuran bus tua, tarikannya terasa ngacir dan langsung melesat. Entah karena ngga concern atau memang karakter ngototnya, traffic light di perempatan Koramil, -- mulut jalan Syeh Jangkung --, yang sedang menyala merah nyaris diterjang sebelum rem bus diinjak dalam-dalam. Alhasil, separuh badan bus melewati batas marka berhenti.

Wow!...korban pertama yang digasak bukannya kendaraan, namun malah lampu bangjo.

Nguyek detected…nguyek detected…begitu pikiranku menerka.

But, justru itulah yang membangunkan gairah serta moodku untuk sebisa mungkin melek mata, manteng setiap jengkal jalan yang dilahap armada penghubung koridor Pati-Pulogadung-Serang tersebut.

Engine varian Don King aka King Cooler yang nangkring di atas gelagar chasis OH 1518 benar-benar powerfull. Akselerasi begitu enteng dan dari deheman vokalnya, jelas menandakan bahwa unit dapur pacu benar-benar terawat. Shahihlah apa kata Mas Indra, bahwa PO-PO Kudus-an acung jempol kepada Selamet, yang jago mendayagunakan mesin-mesin tua untuk dipekerjakan sebagai alat pencetak uang.

Mulai depan jalan akses menuju situs purbakala Pati Ayam, barisan truk-truk jumbo merayap gara-gara tertahan oleh satu truk gandeng yang ogah-ogahan berlari. Pak Shantiko pun berancang-ancang, memainkan percepatan dan satu persatu didahuluinya. Menjelang jembatan Jekulo, dengan trek agak menikung dan merupakan blind spot area, bus yang dikendalikannya coba diarahkan kembali ke kiri. Namun, monster-monster Pantura itu tak ada yang mengalah, justru jarak antar mereka semakin dirapatkan.

Teettt…teett…teet…terompet menyalak kencang dan tak ada pilihan lain, paham spekulasi dipakai. Bus berbasis model selendang Setra ini terus menganeksasi jalur kanan seakan intuisi perangnya mengatakan bahwa arah berlawanan sepi.

Tak dinyana, dari depan muncul Honda CRV berwarna putih yang terlihat syok dan langsung buang badan ke jalan tanah. Di belakangnya, truk tronton bermarga Fuso dengan kondisi kosongan tak kalah kaget. Sopirnya gedandapan dan secara refleks mengikuti “arahan” mobil kelas SUV tersebut, terhempas, minggir dan menyerah.

Aku dibuat terhenyak, dan menahan nafas. Jangan-jangan inilah pengejawantahan makna “Barbar Kids”, yang acapkali didengungkan di mimbar terminal-an Pati.

Aduh!

Di depan pasar Bareng, kemacetan kecil terjadi karena adanya proyek kanalisasi sistem drainase jalan Pantura. Busku hanya mengekor pergerakan armada wisata Sindoro Satria Mas kode 121.

Pak Wisnu, selaku pemilik abadi bangku CB, kemudian mengambil keping VCD untuk di-run, demi membuktikan apa yang tertulis di sampul tiket, bahwa bus dilengkapi fasilitas VCD dan Tape.

Ah, siapa tahu dari balik layar TV 21’ akan muncul aksi panggung kelompok orkes melayu asal Krembung, Sidoarjo, Monata. Gendang telinga ini sudah terlampau lama menahan gatal dibelai desah merayu suara emas para biduanita semacam Ratna Antika, Anjar Agustin, Nena Fernanda, Citra Marcelina atau Rhena KDI.

“Terlambat sudah, kau datang padaku
Setelah kudapatkan penggantimu”


Yaelah…album Panjaitan Bersaudara (Panbers), ngga nendang babar blas. Bukannya aku pilih-pilih aliran musik, namun di tengah suasana bersiap diri untuk mengayunkan gagang cangkul keesokan hari, kok rasa-rasanya irama lagu begituan malah menidurkan kembali semangat bekerja.

Pasrah, memang semuanya serba djadoel. Komplit, plit...mulai busnya, mesinnya, penggawa-penggawanya, penumpangnya maupun hiburannya.

Berbekal short messages dari Mas Wahyu Nugroho serta Mas Fathur, yang mengabarkan bahwa malam itu ada delapan anggota Lenong (Mas Bagus, Mas Kiki, Mas Nano, Mas Rully, Mbak Astari, Mas Hadi, Mbak Asti plus satu penggemar Luragung Jaya “Gunung Siang”) yang akan “live” di atas Haryanto “The Gold”, aku pun berencana menemui mereka di Terminal Kudus.

Namun, sebelum Selamet berhenti di parkiran, Pak Kenek mewanti-wanti kepada penumpang.

“Pak…Ibu…tidak usah turun ya, cuma sebentar ambil penumpang. Nanti langsung berangkat!”

Yo wis...

Tak sampai lima menit, lekas-lekas bus bersiap melenggang kembali ke lintasan Pantura. Aku hanya menyaksikan Kopral berpangkat Gold masih mematung, menyelinap di antara jajaran line-up armada Pak Kaji yang akan berlaga, menunggu para sewa berkumpul.

Semoga nanti bisa bertemu muka mereka di jalan atau rumah makan, harapku.


“Barbar Kids” Rhapsody (2)


Syahwat itu merambat naik ke ubun-ubun tatkala duduk di kursi tweenty one, salah satu dari lapak yang disediakan armada Nusantara HS 214 saat aku mengamalkan ritual mulih ndeso, pada Hari Jumat di minggu terakhir Bulan Februari silam.

Kesempatan bersetubuh dengan Selamet menghampar luas. Minggu sore lusa, sebelum balik meladang ke Jakarta, aku mesti bertemu dengan Mas Indra sebab ada satu hal yang ingin kubicarakan dengannya.

“Sudah kepalang nyebur di Terminal Pati, mengapa tak sekalian mencoba PO Selamet?” batinku menghasut.

Terlebih, selama bulan ke-2 tahun Masehi ini, aku masih mengantongi rekor cleansheet alias tak pernah datang telat. Misalkan saja perjalanan nanti berujung keterlambatan, kantor masih bersedia menolerir, tanpa ada potongan ini dan itu. Alasan tambahan itulah yang menyokong kenekatan untuk mengeksekusi cita-cita usangku.

Saat tapak roda bus berkode jurusan NS-57 -- pemberangkatan pagi jurusan Pulogadung- Jepara -- menyisir daerah Demak Bintoro, kukirim SMS kepada pentolan BMC Muria Raya itu..

“Mas, kalau plan ngga berubah, Minggu sore aku berangkat dari Pati. Pripun Selamet, kita-kira jatah armada Pulogadung apa?”

Tak menyalahi hukum kan andai aku berangan-angan berjodoh dengan Evobus-nya? Hehe...

Tak lama berselang,

“Oke, siap Mas. Minggu jam 3-an saya kabari dapat armadanya apa. Ini langsung saya pesankan tiket ke agennya.”

Great!!!...Itulah nilai plus geng Muria, selalu quick respon menuruti permintaan calon pelancong yang hendak sowan ke Kesultanan Pesantenan.

---

Minggu sore.

Di dalam kamar hunian tipe Nucleus 3, kepunyaan PO Indonesia L 7015 UV, nan super duper leletnya minta ampun, yang membawaku menuju kota kelahiran putri keduaku, telepon genggamku mewartakan rentetan pesan dari Mas Indra.

“Info terakhir Terminal Pati. PO Selamet berangkat dengan armada-armada lama karena yang baru dipakai wisata”

“Sampeyan dapat Mercy lawas. Maaf ya, ngga bisa ngasih bus bagus. Jangan ada perasaan buruk di hati ke PO Selamet ya, Mas!”

“Apa ganti aku pesankan Tri Sumber Urip (TSU) Scorpion King, Mas? Tapi ngga seat depan.”

Sepertinya Mas Indra sendiri dibayangi keresahan, ke-tidakpede-an jikalau PO Selamet gagal memanifestasikan ekspektasiku. Makanya, dia setengah hati merelakan armada kebanggaan wong Pati itu untuk ku-assestment tentang performanya.

Padahal aku ini orangnya simpel, tak banyak menuntut, kurang aware bab gengsi serta selera dan tentu, bukanlah speedmania. Sudah tujuh tahun berkecimpung di komunitas wira-wiri, sudah cukup nrimo lan legowo dipasangkan dengan model armada apa dan bagaimana pun polahnya. Bukankah itu – meminjam moto Pahala Kencana – “Art of Travelling”? (Hayah…gayamu Dik! Diplekotho Old Butterfly saja sampai curhat!)

Kubalas tawaran dadakannya itu,

“Wis, ngga usah ngga enak sama aku, Mas. Aku bosan naik bus-bus baru terus. Tapi ngomong sama kru ya, jam 7 kudu masuk Pulogadung. Haha...– Kompor Mode : On – “

Tiba di Stanplat Pati, aku disambut wadyabala Muria Raya. Di samping Mas Indra, turut memeriahkan Mas Hafiz, Mas Ferdhi, Mas Bayu, Mas Dimas, Mas Ipin, serta Mas Iwan, agen TSU.

Belasan bus yang sedang pamer kemegahan di pelataran terminal – pun umpama saja dilengkapi umbrella girls -- tak akan memburamkan pandanganku agar sedia berpaling. Tak jua membuat kepalaku cenat-cenut gara-gara dibakar api kedengkian menatap rumput garasi tetangga yang lebih hijau dan lebat.

Kali ini, Selamet adalah harga mati…Titik!

Setelah merampungkan rembukan “satu hal yang tak penting” di Warung Mak Ni, dan jangkah kaki sang waktu mulai merambah ke jarum angka 5, Mas Indra mengajakku mendekat ke agen sekaligus mengintip bus seuzur apakah yang akan berjodoh denganku.

Dengan tiket VIP senilai Rp85.000,00 include jamuan gala dinner, dipadu armada yang lumayan berumur, akankah menghadirkan sensasi yang berbeda dalam perjalanan perdanaku bersama kereta “Kyai Selamet” ini?

Hmm…let’s see, what will happen on 12 hours towards?

“Mas, coba aku selidiki siapa krunya, kelakuannya di jalan. Biar sampeyan dapat gambaran, gimana larinya bus ini?” gagas Mas Ferdhi saat injury time sebelum take-off.

Berbekal bocoran dari Mas Topeng, personel agen Selamet, Sang Bejeuholic itu membuka tabir rahasia.

“Mas, jangan kaget dan nyesel ya. Sebutan armada sampeyan itu “Per Gerobak”!”

Olala…habis kandang pithik (ayam), sekarang ketemu istilah baru lagi,
“Per Gerobak”.

“Maksudnya, Mas?” aku dibuat termangu.
“Pernya keras, bukan bawaan Mercy lagi. Sudah diganti sama punya gerobak kali, Mas.”

Waduh…failed customized?

“Tapi jangan khawatir, Mas. Krunya sippp! Kata agen, di terminal-an, krunya dijuluki “Barbar Kids”,” lanjut Mas Ferdhi.
“Barbar Kids?!? Artinya apa lagi itu, Mas? Kok kesannya serem…” tanyaku semakin bingung
“Pokok-e anak-anak barbar Mas, nguyek ae (tak mau minggir, bakal digasak).” terangnya singkat.

Hahaha…aku pun tertawa ngakak. Aneh-aneh dan seenaknya saja warga lempeng Muriaterania memberi gelar pada bus-bus yang unik berikut krunya yang eksentrik.

Benarkah kolaborasi “Per Gerobak” feat “Barbar Kids” bakal segokil dan segarang penamaannya?

“Barbar Kids” Rhapsody (1)



Ekspresi hati berupa rasa kesengsem ini sebenarnya sudah lama bermula. Mungkin tiga atau empat semester yang lalu. Kalau saja bukan di-makcomblang-i sedulur BMC Muria Raya, belum menjamin aku bakal dibuat takjub terkesima olehnya. Tetapi, nyatanya kini, relung kalbuku tak sungkan menembangkan langgam kekaguman serta lirik puja puji akan sosok keberadaannya.

Kala itu, berkat uluran tangan hangat Mas Indra Walls dkk, dikenalkannya pada “si dia” yang akhirnya benar-benar mencuri perhatianku. Diperlihatkannya aku sebuah rumah besar dengan halaman luas, tergolek di pinggir jalan propinsi penghubung Kota Pati dan Kecamatan Tayu. Dipertemukannya aku dengan seorang “bapak asuh” nan agamis, berwibawa namun supel, yang tak lelah merawat dan membesarkan “si dia” dengan sepenuh kasih sayang. Dan betapa mulianya kami, selaku pelawat diizinkan menjelajahi setiap sudut “tangsi kebesaran”nya, berakrab ria dengan “prajurit-prajurit” yang tengah sibuk merawat penampilan “si dia” sebelum berkarya melanglang buana.

Tentulah gampang ditebak, siapa tokoh di balik layar prolog di atas. Yup, “si dia” itu merujuk PO Selamet, dan “bapak asuh” tersebut akrab dipanggil Pak Aris.

Maksud diri hendak bersilaturahmi, sembari menyerahkan piagam penghargaan sebagai bentuk apresiasi terhadap PO Selamet yang telah mendukung acara BMC Goes to Laksana, serta ingin sedikit mengorek tentang company profil yang dikelolanya, alih-alih yang kami dapatkan bukan itu semata.

Justru yang belia-belia ini disirami petuah bijak; semisal pemaknaan hakikat ikhtiar dan doa, cara menghindar dari goda nafsu dunia serta beragam wejangan agar kami lebih siap mental dalam menghadapi hidup. Sungguh-sungguh mauidhoh hasanah di siang bolong, yang menohok kejemawaan darah muda kami. Hehehe...

Ada rangkaian tutur kalimat yang meninggalkan jejak mendalam di ingatan kami, yang sekaligus bisa menyimpulkan bagaimana mahdzab beliau bersama Pak Heri (kakak kandungnya) dalam memimpin PO yang diwariskan mendiang ayahanda mereka berdua, Bapak Soekarno Lilik.

“Biarlah PO-PO sebelah jor-joran dengan armada dan mesin baru, Mas. Selamet ya tetap Selamet yang seperti ini. Saya tak akan gegabah, panas kemudian pengin ikut-ikutan. Kelangsungan usaha ini bukan untuk hari ini thok, tapi sebisa mungkin langgeng selamanya.

Tak jadi apa bila kata orang bus-bus Selamet itu tua dan jelek. Tapi saya bertekad, walaupun cuma satu armada, namun setiap hari harus tetap ada yang jalan, agar nama Selamet tak hilang, akan selalu diingat orang.

Jujur Mas, tidak gampang mengurusi armada dengan puluhan kru Menguras pikiran, tenaga dan waktu. Mudah bagi saya andai melepas PO ini, toh tanpa Selamet pun, untuk sekedar hidup saya masih bisa. Tapi, saat melihat karyawan-karyawan itu, saya teringat, di belakang mereka ada anak istri yang butuh dinafkahi. Itu yang membuat saya semangat, memegang teguh amanat Bapak saya dalam meneruskan tinggalan ini. “


Serasa mendapat guyuran embun penyejuk, aku pun menganulir anggapanku selama ini bahwa bisnis PO hanyalah hitung-hitungan untung dan rugi, soal mesin dan karoseri, ngopeni isu tentang kesejahteraan kru, urusan trayek serta tetek-bengek yang bersifat administratif-birokratif, berikut intrik-intrik dalam memenangkan persaingan. Ternyata ada kepekaan terhadap sisi filosofis-humanis, yang mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan sebagai sandaran dalam pengambilan keputusan sebuah perusahaan otobus.

Itulah yang dicontohkan Pak Aris, seorang big boss yang layak pula diposisikan sebagai guru spiritual bagi siapapun juga.

Buah dari ke-zuhud-an Pak Aris, menurut slentingan, armada-armada PO Selamet telah “dikontrak mati” oleh Pemkab Rembang, Pemkab Blora serta Pemkab Purwodadi sebagai angkutan jamaah haji, baik untuk keperluan pemberangkatan maupun kepulangan para tamu Allah itu.

Benarlah akan satu nasihat, rezeki jalannya dari mana saja dan selalu tak terduga bagi hamba-Nya yang mengabdikan hidup demi kemashlahatan sesama.

Sejak itulah, aku terperdaya oleh kesederhanaan serta kebersahajaan Selamet. Meski tergolong kawakan, namun buku sejarah akan mencatatnya sebagai PO dengan predikat awet, senantiasa survive dan tahan pukul di tengah pusaran kompetisi transportasi darat yang selalu ketat dan membara.

Berkali-kali kuungkapkan keinginanku kepada Wakil Bupati Muria Raya untuk merasai tuah Pak Aris dengan menaiki armada PO Selamet. Namun, bagi perjalananku yang menempatkan orientasi waktu sebagai panglima, memelototi aset-aset PO Selamet yang terkesan “ala kadarnya” dan “biasa-biasa saja”, bahkan diklasifikasikan sebagai “club 90’s”, keraguan kerapkali membekap niatanku. Aku belum punya nyali untuk mendobrak ke-sok ekslusif-anku itu.

Bahkan, aku sempat dipermalukan oleh “keberanian” ayahku tercinta, sewaktu turing terakhir beliau ke ibukota yang lebih meng-klik Selamet, menyisihkan PO-PO papan atas yang lain. Barangkali, beliau memiliki kedekatan geo-historis dengan Selamet, yakni sama-sama lahir di bumi minatani, sehingga lebih mempercayakan acara bepergian kepada PO yang cikal bakalnya bernama Ikha Jaya itu.

“Bis-e penak kok Le. Masio tuo, mlakune banter, nyaman, sewengi aku yo iso istirahat...”
(Busnya enak. Biarpun tua, jalannya cepat, nyaman, semalaman aku bisa istirahat)

Begitu testimoni beliau saat aku menjemputnya di Pulogadung, sesaat setelah turun dari armada ijo PO Selamet, berkaroseri Restu Ibu dengan gambar Si Puppy alias anak kucing.

Ah, kapankah aku mewujudkan slogan “buktikan merahmu”? Hampir tiap akhir pekan mengembara, ada sehari dalam seminggu aku habiskan “mengkonsumsi” aspal pantura, hingga beragam citarasa PO sudah aku jilati, tapi mengapa, untuk mengecup PO Selamet saja aku masih segan serta enggan?

Tak henti bisikan nurani ini meledek kebergeminganku.

Rabu, 02 Maret 2011

Rest Your Wings, Old Butterfly! (5)



Dunia Cepat Berbalik

Perjuangan nan luar biasa dalam “membinasakan” jalur pendakian Muria menyulut euforia di palung jiwaku. Aku yakin, kalau sekedar jalan Pantura barat minus Alas Roban, yang mayoritas berkontur rata serta datar, HT 718 bakalan jauh lebih ngedap-ngedapi (mengkilap), seperti yang telah ditunjukkan di etape pertama, Rembang-Juwana.

Namun, saat menyusuri jalan menurun sejauh 18 km antara Colo-Kudus, harapan itu sirna. Pak Eko membuka selubung kegelisahan akan kondisi mesin tuanya. Dengan lirih, beliau berucap pesan kepada pemilik kekal bangku CB,

“Wis, mlaku saktitahe, sing penting sesuk tekan Pulogadung.” (Kita berjalan sekemampuan saja, yang penting besok sampai Pulogadung).

Sebuah isyarat halus bahwa bus tak lagi berorientasi masa tempuh, melainkan asal sampai tujuan.

Saat mampir di pool, bus dengan trayek Bangilan-Senori-Jatirogo-Pamotan-Lasem-Pulogadung ini laksana anak tiri di antara anak-anak emas Pahala Kencana, Kudus. Sudah bus paling merana, justru diberangkatkan paling akhir dibanding saudara-saudaranya. Terlebih lagi, nanti kudu mampir di agen Cipto, Semarang, menghampiri satu orang penumpang.

Kru sempat menego pengurus. Dengan dalih “engkel”, penumpang tersebut diminta dititipkan bus lain ke agen Siliwangi, biar tidak memakan waktu karena mesti menyusuri jalan-jalan Kota Semarang. Namun, penghibaan tidak digubris.

Dan “sabda keramat” penggenggam setir kemudi memang terbukti. Dunia berbalik 180 derajat.

Jam 19.15, bus berpendingan udara Thermo King memulai kisah gerilya malamnya. Determinasi tinggi tak lagi tampak. Kobar semangat, gairah serta greget pembawaan, berikut ulah mayak-mayak di atas karpet hitam memadam. Dan lagi, negative habit bus-bus Pahala Kencana sektor Kota Kretek menyeruak.

Bus hanya pelan melaju -- di kisaran angka 50-70 km/ jam -- dikendalikan dalam kecepatan serta putaran mesin yang aman dan ekonomis. Semua dilakukan demi berempati dengan keterbatasan ketahanan mesin bervolume 5600 cc dan telah berumur 15 tahun-an, yang vitalitasnya jauh menurun, setelah habis-habisan dicaplok keganasan rute Gembong-Colo.

Di Karang Tengah, Demak, Haryanto Phoebus B 7889 VGA tertulis sebagai bus pertama yang “mempermalukannya”.

Setelah menjelajahi jalan-jalan protokol Kota Atlas, Krapyak pun jadi saksi aksi pecah telur sekaligus catatan positif yang pertama sekaligus terakhir bagi “Kandang Ayam”. Mulyo Indah Antero Coach di-skak mat.

Selebihnya, bus yang berportal di www.pahalakencana.com hanya jadi bulan-bulanan makhluk sebangsanya.

Dari Mangkang hingga Gringsing, disalip oleh poolmatenya B 7589 WV, Muji Jaya Renault K 1408 CC, serta Bogor Indah model Skania.

Lepas dari tempat persinggahannya di Rumah Makan Sendang Wungu, semakin banyak yang menyungkurkannya. Di trek Alas Roban, Harta Sanjaya Panorama 3, Bogor Indah Galaxy Coach, Harta Sanjaya AD 1476 CE, Budi Jaya OH 1526 K 1408 H, serta Rosalia Indah 230 Laksana Comfort jadi pendepaknya.

“Tujuan Jakarta-nya kemana, Bu”, tanyaku pada penumpang sebelah yang terlihat asyik menikmati gawe bepergiannya, meski hatinya tengah dihujani kekecewaan atas kekurangberuntungan dalam mendapatkan armada jodohannya.

“Ke Senen, Mas. Mau ke tempat keponakan saya,” jawabnya.

“Ada acara apa, Bu?” tanyaku lagi. Ketimbang muka kecut gara-gara diasapi bus lain, ada baiknya mengalihkan fokus turingku. Lebih bijak menjalin keakraban sesama penumpang.

“Ini Mas, nganter pesanan. Sepasang burung emprit,” dia tersenyum sembari memperlihatkan kotak kecil yang diletakkan di bawah kursi.

“Lho?!? Lebih mahal ongkos busnya dari harga burungnya ya, Bu?” aku bingung, seakan tak percaya.

“Ya iya Mas. Ini belinya juga ngga sampai 50 ribu. Buat pulang pergi naik bus paling ngga 300-an. Tapi gpp, demi keponakan,” ungkapnya dengan nada datar.

Duh, betapa sayangnya “tante” itu kepada keponakannya.

Kadang, alasan orang bepergian itu sepele dan remeh temeh, tak sebanding dengan ongkos perjalanan yang dikeluarkan.

Back on track...Babak-babak yang menyesakkan dada terulang kembali.

Menjejak kota Batang hingga Pekalongan, berturut-turut Safari Setra Adi Putro H 1521 AB, Muji Jaya H-deck Ijo K 1736 CC, Raya 26 Panorama DX serta Langsung Jaya AD 1480 AF melengserkeprabonkan-nya dari persaingan, sebelum racun busmania berupa kantuk itu datang.

Akhirnya, cahaya terang di pagi hari benar-benar membelalakkan indra penglihatanku. Jam 06.30, member of Blue Waves baru menapak daerah Patrol, Indramayu. Entah busnya yang lelet, ataukah telat karena semalam macet, itu tak penting. Tetap saja, mukjizat tak lagi bisa diharap.

Raut wajah Pak Eko masih saja menyorotkan kebugaran, meski telah 18 jam duduk di belakang kemudi. Hebatnya, tanpa doping rokok! Beliau begitu santai, tenang, tidak ngoyo, tidak grusa-grusu dalam memutar roda-roda busnya. Toh, baginya, mendarat di Pulogadung adalah prestasi spektakuler, mengingat nilai busnya yang berada “di bawah standar”. Tak jadi masalah besar, saat armada-armada kesiangan mendahuluinya; Raya Panorama DX, Rosalia Indah Concerto, Handoyo Comfort, Haryanto Madura Advant Garde, Selamet “Einstein”, Sumber Alam “Jeng Any”, Gunung Mulia Bogor-Solo AD 1452 BB, dan Rosalia Indah 326.

Berkelana di jalan tak ada indah-indahnya kalau cuma jadi sangsak blong-blongan.

Setali tiga uang saat menyusuri daerah Jatisari, Subang. PO Madu Kismo serta Tri Sumber Galaxy yang mengangkut rombongan wisata, Nusantara NS 81, Sumber Alam 306219, Pahala Kencana Centrium B 7589 XB, Harapan Jaya New Travego Smiley serta Lorena LE-251 ramai-ramai memakzulkannya sebelum masuk SPBU Km 52 Tol Cikampek untuk kepentingan kontrol dan menambah asupan solar.

Dan menurut checker, busku ini jadi armada terakhir yang masuk Jakarta, di antara gerombolan Pahala Kencana Bojonegoro, Lasem, Jogja serta Wonogiri.

Kalaupun ada yang bisa dinarsiskan, B 7279 WV ini sanggup mencampakkan Lorena Old Travego, Santoso Ekonomi, Family Raya Ceria Marcopolo, SJLU Setra Adi Putro, serta Sedya Mulya gubahan Tri Sakti. Namun, bus-bus itu dipayungi satu nasib, mogok dan perpal di jalan, kandas terdampar di ruas penghubung antara Patrol dan Jomin.

Ujung perjalananku akhirnya berakhir di pelataran terminal yang sekaligus “homestay” Si Hans SJM, tepat ketika jam digital HP-ku menunjuk angka 10.20. Sepertinya, Pahala Kencana-ku jadi juru kunci armada Muria-an yang hari itu ditugaskan ke Pulogadung.

Pfuh...Andai bukan sebab SMS nyasar, mustahil aku bakalan tahu, perusahaan otobus sekelas Pahala Kencana masih menyimpan “spesies unik” di line-up armadanya. Dari sanalah, aku pun bisa merasai cerita dramatis tentang kehebatan kupu-kupu tua dalam usahanya mendekatkan aku dengan ladang pencaharianku di ibukota. Walaupun akhirnya, dia layu setelah berkembang, gagal total melumpuhkan kejemawaan mesin absensi kantorku.

Andai aku bisa berbicara dengannya, akan kubisikkan larik-larik nasihat basi.

“My Lovely Butterfly,

Berkaca pada perjalanan pembuka tahun yang kulakoni, sekarang adalah masa yang tepat untuk merebahkan sayapmu. Hinggaplah engkau, lalu berdiamlah di wisma kedamaianmu.

Kekagumanku padamu tak serta merta luntur, meski kau hanya ditempatkan sebagai penghuni museum keabadian. Itu lebih baik bagimu ketimbang kau memaksakan diri untuk memamerkan kepak sayapmu yang kian menua. Aku cemas hati, itu bakalan jadi bumerang yang akan menghantamku balik, karena pecintamu tak lagi dapat melihat pesona mudamu. Performamu tak seperti yang dulu, yang elok, anggun lagi perkasa.

Aku justru berbelas kasih kepada Pak Eko. Dia “penghela pedati” yang handal dan mumpuni. Sayang, menerbangkanmu, dia tak lebih dari “The Right Man on The Wrong Place…”

Ingat Butterfly, kau mesti menjaga reputasi satu PO papan atas, jangan pertaruhkan kemilau nama itu demi segilintir obsesi murahan.

Meski kau menjunjung agung semboyan “The Art of Travelling”, namun perjalanan yang memboroskan waktu, melelahkan raga, bahkan dengan jamuan armada ala kadarnya, belum bisa dimaknai sebagai “art” bagi sebagian pemujamu, termasuk diriku sendiri.

So, now it’s better to rest your wings, Old Butterfly...”




-- T a m a t --

Rest Your Wings, Old Butterfly! (4)




Ujian Tiada Putus

Jalur selebar 1½ badan bus benar-benar menguji kesabaran. Dari arah berlawanan, bus berkapasitas 36 seat ini kres dengan armada-armada pariwisata yang tengah pulang plesiran, sehingga pergerakannya seringkali tersendat karena harus pintar-pintar berbagi ruang. Yang sempat bertatap muka adalah empat properti PO Budi Jaya, PO Bahagia Utama dan PO Era Trans. Sedang untuk non-wisata tercatat bus Patas Surabaya-Semarang, Restu Panda.



Memasuki Desa Tergo, yang merupakan perbatasan Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus, sekaligus titik percabangan arah Kandang Mas dan Colo, OH 1518 kembali berjuang melawan tanjakan landai memanjang, serta berkelak-kelok. Busku yang terengah-engah sempat kehabisan daya dorong, saat sepeda motor di depannya “ngerem paku” karena menghindari bopeng jalan. Handbrake sempat diaktifkan belasan detik, sebelum pedal akselerator diinjak paksa kembali. Dan ajib… sukses. Kupu-kupu tua memang tangguh.

Belum cukup cooling down, tanjakan berbentuk huruf “Z” di Dukuh Waringin yang terkenal curam, menghalang. Di sisi kiri, lempeng bumi berupa lereng, dan seolah bernafsu menelan kendaraan andai gagal mendaki. Bahkan, mesin RG yang terbenam di atas chasis B 7589 PV kewalahan. Saat terhenti, bus polesan Tri Jaya Union itu sempat ngesot, sebelum secara kasar dihentak agar mampu merangkak kembali.

Para penumpang menahan nafas kembali. Adrenalin mulai merambat mencapai titik didih. Kami pasrah, menaruh kepercayaan penuh serta keselamatan di atas pundak Pak Eko.

Guliran langkah bus terlihat diforsir. RPM ditahan pada putaran menengah agar mencapai torsi maksimal serta gigi transmisi bertipe G3/60 dilokalisir pada posisi terendah. Memang terasa, bus mendaki perlahan, seakan tenaga tidak ada habisnya. Berkali-kali juru mudi memonitor panas radiator serta tachometer, menjaga agar jangan sampai trouble, overheat.

Dan buah kecakapannya hampir berbuah hasil. Sayangnya, tinggal selangkah lagi menundukkan tikungan atas, dari atas sekonyong-konyong meluncur truk boks yang tak kenal toleransi untuk mengalah. Akhirnya, rem spontan diinjak, yang berakibat tidak selaras dengan kerja kopling. Efeknya terjadi blackout, engine seketika mati.

Cepat-cepat rem parkir di-enable-kan sebelum bus melorot. Seakan tak mau kalah dengan kecekatanan Pak Eko, cepat-cepat kugapai erat handrail di depan kursi. Ya Tuhan, hamba-Mu ini ngeri dan merinding...

Saat di-restart dan dicambuk kembali, bobot bus 12 ton tak kuasa menahan cengkeraman dengan permukaan jalan. Bus malah bergerak mundur, sebelum lolongan keras ujung saluran buang meledakkan semangat agar “tuannya” jangan mudah menyerah. Dan nyatanya, meski thimik-thimik, namun dapat terbebas dan beringsut maju. Dan kembali, tepuk tangan terdengar.

Seakan ujian tak ada putusnya. Belum sempat menetralkan suhu air radiator, tanjakan panjang Dukuh Panggang menghampar di depan mata. Aku sampai-sampai menggugat, ieu mah sanes jalur wisata, tapi jalur naraka!!!

Kepakan sayap Old Butterfly dihentikan sementara waktu, kru merancang strategi baru menyikapi temperatur unit pendingin mesin yang hampir melampaui titik kulminasi, 90 derajat Celcius. Keputusannya, kru-02 alias pembantu sopir diminta menyeterilkan jalur. Dengan bantuan lampu dim, bus menyetop serta meminggirkan armada PO Sahabat yang dari jauh sedang bersiap untuk menurun.

Salah satu amunisi dari Pahala Kencana tangsi Jati, Kudus ini pun mengayunkan kaki-kakinya kembali. Tak bisa dipungkiri, staminanya mulai loyo, terseok-seok kelelahan saat menaklukan tanjakan yang masuk wilayah Kecamatan Dawe. Kinerja mesin tak berani lagi diperkosa secara membabi buta, mencegah agar OM366A jangan sampai nge-klok. Pak Eko pun mempraktikan driving style truk-truk besar saat kepayahan menyusuri jalan yang mendaki. Roda-roda dimanuverkan ke kanan-ke kiri, melenggak-lenggok, zig-zag, agar tak kehilangan koefisien gesek dengan aspal serta me-maintain torsi agar mencapai top tourque tanpa melabrak batas aman putaran mesin.

Dan sekali lagi, prestasi B 7279 WV ini patut dibanggakan, meski akhirnya bus dirihatkan setelah meruntuhkan rintangan ini. Mas Kenek membuka kap mesin lebar-lebar untuk memastikan kondisi radiator.

“Radiatormu mbledhos yo?” gurau kenek Marcopolo K 1601 B saat mendahuluinya, disusul K 1596 B serta K 1622 B yang “cuek” dengan kesusahan busku. (Radiatormu meledak ya?)

“Piye, isih wani lanjut ora iki? Panas tenan radiatore…” Pak Eko meminta pendapat aspri atas ketidak-PD-annya. (Bagaimana, berani lanjut apa tidak?Panas sekali radiatornya)

“Lanjut Pak, Colo wis cedhak.” (Lanjut Pak, Colo sudah dekat)

Semakin jelas terlihat, kawasan wisata religi Colo mendekat ke pelupuk mata. Puncak Argo Wiloso, sebagai “mercu suar” obyek menarik ini terlihat berwibawa, tinggi menjulang, meski sorot sang surya mulai redup menyinari bentang jagat raya. Guratan-guratan bebatuan lempeng gunung menghanyutkan diri dalam perenungan, bahwa kita ini kecil, tak bermakna di hadapan-Nya.

Dengan puing-puing kekuatannya, bus bersistem transmisi 6 speed ini melanjutkan intermediete yang tersisa dari kegiatan pendakian Gunung Muria. Walau tertatih-tatih dan mulai “diusir” oleh kompatriot-kompatriot dari regunya, kibasan sayap kupu-kupu tua tak pantang menyerah dan tak kenal putus asa melahap tanjakan-tanjakan berkualifikasi medium. Rapor birunya, Colo, punggung Muria di belahan selatan dengan ketinggian 600 m dpal, nyata-nyata kuasa ditaklukkan.

Meski di klasemen akhir posisinya turun tiga peringkat, dari empat ke tujuh, namun torehan positif itu tetap membuatku angkat topi, salut dan mengapresiasi daya gedor Old Butterfly ini.

Don’t judge the bus from its appearance…

Rest Your Wings, Old Butterfly! (3)


Yang Tua Yang (Masih) Perkasa

Belum jauh meninggalkan Stanplat Pati, masih di seputaran daerah Gajah Mati, yang merupakan sentra kuliner nasi gandul, bus yang mengusung lekuk Panorama DX ini minggir, diikuti PK-PK lain di belakangnya. Di depan terlihat dua koleganya berhenti dan menyalakan lampu hazzard. Para kru kabin pun turun lalu ngariung bareng.

Rupanya, ada berita mengenaskan, lalu lintas di ruas Pati-Kudus macet total imbas keporakporandaan sebagian jalan di depan pabrik pengolahan kertas, PT Pura Barutama, Terban. Bahkan, buntut traffic jam-nya telah mencapai ringroad Kota Pesantenan. Forum dadakan ini dimanfaatkan untuk berembuk, menentukan rute alternatif mana yang akan diambil. Ada tiga opsi : Pati-Kayen-Prawoto-Undaan-Kudus, Pati-Gembong-Kandang Mas-Gondang Manis-Kudus, ataukah Pati-Gembong-Colo-Dawe-Kudus.

Yang pertama dicoret, karena jalan terlalu sempit dan kabarnya bus-bus dari barat telah menganeksasi jalur ini. Sangat riskan apabila dua bus berpas-pasan di jalan kampung.

Untuk pilihan kedua, meski trek cenderung landai, namun lebar tapaknya hanya 5 meter-an. Dan tentu saja menyulitkan kendaraan berbadan besar untuk melenggang lantaran dipenuhi tikungan dengan tekstur naik turun, ditambah adanya jurang-jurang yang mengangga di bibir bahu jalan. Kabarnya, belum lama berselang, satu di antara aset PO Sinar Mandiri ada yang bernasib nahas di sirkuit ini, terjungkal dalam upayanya menembus lereng Muria. Terlebih, banyaknya mobil-mobil pribadi yang menggunakan jalur ini sebagai alternatif utama Pati-Kudus, membuat situasinya crowded.

Mau tak mau, kandidat terakhir yang harus diterima secara aklamasi. Meski terbilang rute terberat, acara “pendakian gunung Muria” pun ditekatbulatkan. Yang jadi pertimbangan, jalan ini merupakan jalur wisata ke Colo, sehingga dalam rabaan mereka, kemungkinan kondisinya relatif terpelihara serta lebih lapang.

Awalnya, Pak Eko berkeberatan dengan kemufakatan yang diambil. Selain buta jalur tersebut, beliau kepikiran dengan kerentaan armada yang dibawanya. Dibanding kepunyaan rekan-rekannya, cetho welo-welo kualitas “bendi Bavaria”nya tak layak disandingkan.

Lantaran kawan-kawan seprofesi meyakinkan bahwa endurance Mercy jadoel masih patut diandalkan, “Sang Kusir” pun menyerah serta tunduk keputusan -- sami’na wa atha’na. Tapi dengan satu syarat yang diajukan, Old Butterfly berada di posisi tengah dalam berkonvoi, menjaga kemungkinan terburuk, mogok tidak kuat menanjak.

Jadilah delapan bidak Pak Hendro Tedjokusumo, masing-masing berdasar dari urutan terdepan : Setra Adi Putro chanel Bandung B 7168 PD, Marcopolo K 1603 B, RG Triun B 7589 PV, bus-ku B 7279 WV, Marcopolo K 1601 B, Marcopolo K 1596 B, Marcopolo K 1622 B, dan yang paling bontot Marcopolo K 1597 B, berparade senja.



Setelah membelah jalanan kota Pati, dari perempatan Terminal Lama Puri, “Kabilah Al Qudusiyah” langsung mengambil penjuru utara mata angin, melewati Jl. Sugiono, Stade de’ Joyokusumo -- markas Persipa Pati -- dan kemudian berbelok ke kiri sebelum pertigaan ke arah Tlogowungu.

Dari sini hingga Kota Kecamatan Gembong, aura pegunungan mulai terasa. Semilir hawa angin segar mengalir, kanvas alam berbalur warna ijo royo-royo, buah coretan ujung-ujung daun tebu serta pucuk ketela pohon berikut vegetasi kayu keras semacam jati, randu, mahoni, durian, alpukat dan rambutan. Kabut tipis di awang-awang sisi selatan Muria benar-benar menghadirkan kisi-kisi perjalanan yang berbeda bagiku. Inilah kali pertama aku menjelajah lereng pegunungan yang memiliki empat puncak utama, masing-masing Songolikur, Argo Wiloso, Argo Jembangan dan Abiyoso dengan bus sebagai transporter-nya..

Andai dipandang dari kejauhan, delapan armada Ombak Biru yang berbaris ke belakang bak rangkaian gerbong kereta Argo Muria yang hendak pulang kandang ke stasiun terakhir, sekaligus tanah kelahirannya, Gunung Muria. Sebuah momen yang menghadirkan panorama istimewa di mata seorang busmania.

Ternyata, jalan kelas III yang biasanya lengang ini berubah tingkat menjadi Pantura wannabe. Banyak kendaraan yang hendak menuju ke timur, termasuk Zena RG Setra serta bus tiger 3/4, Syakira Utama, yang selesai mengantar rombongan berziarah ke makan Raden Umar Said atau lebih akrab dengan sebutan Sunan Muria, menunjuk “special stage” ini sebagai lintasan.

Wilayah Gembong pun terlewati, dan tantangan demi tantangan mulai berkacak pinggang, seakan mengajak berduel satu lawan satu. Jalan yang semula mulus dan lebar mendadak sempit, berlubang serta naik-naik ke puncak gunung.



Selepas jembatan besar dengan air sungai yang deras mengalir, langsung disambut tanjakan ekstrim. Trek mendaki dengan dua undakan bertingkat, sepanjang hampir 100 m, dengan sudut kemiringan sekitar 35 degre.

Seisi bus pun berdecak, pesimis dengan kemampuan “kepak sayap” kupu-kupu.

Pak Eko semula ragu, melihat sekelas RK8 di urutan kedua ngos-ngosan. Pria yang selalu mengenakan topi ini membiarkan Si RG di depannya untuk menuntaskan sesi merangkaknya, sekaligus menata jarak. Konon, rem Hino tak sepakem dan seresponsif Mercy, dan rentan nyeplos di saat jalan menurun.

Barulah ancang-ancang diambil, sedikit demi sedikit bergeser ke depan. Gigi persneling lebih banyak nyantol di posisi 1. Tatkala jarum rpm mencium skala merah, sesekali dan sesingkat mungkin di-up ke-2. Mesin pun meraung keras, bodi bergetar hebat. Tangan-tangan serta kaki-kaki terampil sang driver berupaya keras men-sinkron-kan kerja kemudi, pelintiran gas berikut gear rasio.

Finally, tepuk tangan dari penumpang mengakhiri audisi pertama, dengan predikat “lulus bersyarat”. Lucu juga tingkah penumpang, seakan bangga menyaksikan jagoannya menang bertempur melawan alam.

Sejauh ini, kupu-kupu tua masih perkasa.


Rest Your Wings, Old Butterfly! (2)


Dua Hari Kemudian

“Mas, berhubung busnya dari Lasem, ini saya ikutkan bus dari Bojonegoro dulu. Nanti oper di agen Rembang ya!” demikian arahan Mbak Nafis, saat aku check in menjelang jam keberangkatan.

Tak selang lama, Pahala Kencana dengan nameplat K 1593 B jurusan Tangerang, yang didapuk sebagai wahana langsiranku, tiba di kota kecamatan yang menurut riwadjat doeloe berasal dari paduan dua kata; kesusu ilang (keburu hilang), sehingga diakronimkan menjadi Sulang.



“Ck ck ck...betapa nyamannya? Beda kelas, beda harga, beda perlakuan yang didapat penumpang.” bisik batinku saat nunut di atasnya.

Dengan model hi-deck, mengusung dapur pacu RK8 R-260, berjubah New Travego garapan Adi Putro, serta membenamkan sofa semi kulit Alldila, benar-benar sebuah preambul turing nan menggugah, seolah melupakan sejenak bahwa sebentar lagi aku akan bersetubuh dengan armada yang satu derajat di bawahnya.

Dalam buaian leaf spring terbarukan dari Hino Motor, aku menebak-nebak, kira-kira berpasangan dengan armada yang mana.

Yang RG eks Super Eksekutif zaman baheula, B 7089 X dan B 7289 X? Atau yang ber-air suspension B 7589 VB? Marga OH King K 1564 AB dan K 1565 AB? Kupu-Kupu Laksana B 7415 NL?



Atawa bus-bus rombakan Triun dan Tri Sakti semisal B 7600 PV, B 7275 WV, B 7277 WV? Or barang hibah-an dari divisi Jakarta, Proteus B 7917 IW?

Ah, aku terlalu larut dalam berandai-andai, lihat saja nanti realitasnya seperti apa.

15 menit menuntaskan jalur pendek 13 km yang membentang antara Sulang-Rembang, bus merapat di agen kota pesisir timur Jawa Tengah ini, tepat di belakang pantat bus yang dari ciri khasnya 100% produk bodybuilder dari Ungaran.

Kusimak nomor polisinya B 7279 WV dan kucocokkan dengan isian yang tertera pada kolom armada di atas kertas tiket. Persis dan sama...jadi inilah tripmate-ku malam ini. Duh, teka-teki-ku semuanya melenceng, tak satupun yang tepat.

Alamak...“kenangan kelam”ku sepertinya akan terulang kembali. Ketika hendak menaiki “mobil dinas”ku kali ini, (lagi-lagi) aku harus menelan pil pahit. Busnya sungguh-sungguh mengotori tatapan mataku. Lambung samping menampakkan keusangan, warna tubuh berikut grafis gelombang air laut yang dihiasi siluet kupu-kupu beterbangan, memudar serta karat yang menyebar di bawah pilar-pilar kaca samping seakan tak mampu menutupi kebohongan bahwa kotak beroda enam ini sudah uzur secara umur dan tak terawat.

Pun saat aku mulai melantai dan selanjutnya bertahta di singgasana 1B. Interior bukanlah pemandangan yang enak untuk dinikmati. Jok buatan Karya Logam terlihat kusam serta dekil di makan usia. Tak disediakan selimut apalagi bantal. Langit-langit dan dinding tampak memucat, menyiratkan pesan bahwa armada ini wajib dikasihani, setidaknya perlu diongkosi untuk berdandan ke salon kecantikan. Lantai tak lagi keset, nyaris licin dirongrong jangkah kaki sang waktu. Aroma kabin pengap, baunya tak ramah menyapa syaraf penciuman.

Televisi tabung 14 inchi yang nangkring di atap tak sebanding dengan mode fashion dua LCD TV 26’ plus enam LCD TV 9’ yang ditonjolkan bus-bus tetangganya. Bahkan, piranti disc player bukanlah Head Unit melainkan VCD rumahan, yang diberi casing box berbahan triplek serta dipancangkan di atas dashboard. Sepanjang perjalanan, piranti audio-visual ini hanya sekedar patung pajangan. Sederet cacat itu jelas-jelas menandakan bahwa bus ini kurang memiliki sense of esthetics.

Kecurigaanku pun menyemburat. Pasti ini armada tambahan, bukan lagi cadangan apalagi nge-line harian. Soalnya, aku jarang melihat bus ini beroperasi secara reguler.

Dan sudah menjadi rahasia umum, di saat penumpang membludak, PO Pahala Kencana acapkali menambah populasinya di jalanan dengan armada bantuan yang biasanya lebih banyak dikaryakan selaku “satpam garasi”.

Kini aku harus takluk dibekap tuah kekhawatiranku saat mengucap kalimat “jangan-jangan…?!?” dua hari yang lalu. Mimpi burukku jadi kenyataan!

“Mas, busnya bau tengik ya?” dengan setengah berbisik, wanita yang duduk di sebelahku sharing atas ketidaknyamanannya. Aku pun hanya mengangguk setuju.

“Gara-gara tiket eksekutif habis, jadinya malah dapat bus begini…” imbuhnya lagi dengan nada kesal.

“Tahu ini Bu, bus tua disuruh jalan. Ya maaf saja kalau tengik, soalnya ini baru jalan satu PP setelah lama menganggur di pul.” urai Pak Sopir yang rupanya nguping keluhan ibu muda itu. “Kalau mau komplain, telepon ke kantor saja ya, Bu!” ujarnya sabar sembari menunjuk stiker himbauan yang tertempel di kaca depan, yang sekaligus mencantumkan nomor pengaduan.

Oalah, pantas saja! Bagaimana lagi, sebagai “sisa-sisa penumpang”, kami semua harus berkompromi dengan keterbatasan yang ada.

Lepas waktu ashar, bahtera darat berkode HT 718 say goodbye kepada bumi Dampo Awang. Attitude GSS alias Gubuk Sangat Sederhana yang cuma dibekali mesin OH King era 90-an jauh dari pradugaku semula. Seolah tak ingin dipermalukan oleh penampilan wajah dan daleman-nya, serta sedikit mengobati kekecewaan para sewa, letupan determinasi “kupu-kupu tua” ini sungguh-sungguh liar.

Permadani hitam dari adonan aspal hot mix yang terhampar sepanjang 20.000 m, penghubung antara Rembang dengan Juwana dilipatnya dengan aksi heroik. Padatnya barisan monster-monster jalanan dicerai-beraikan dengan laku nekatnya. Selip kanan, nyetick tipis serta potong arus bukanlah hal yang tabu dilakukan. Simponi “gemlodagan serta kereyotan” dari badan bus terdengar riuh rendah dan berirama asbun, ibarat drum band tanpa dikomandoi putri mayoret.

Aku akui dan layak kuacungkan jempol, sang driver cukup piwai, lihai, dan berjam terbang tinggi. Beliau mampu mengoptimalkan daya setara 180 tenaga kuda, sehingga semburan tungku api enam piston mampu menyokong karakter garangnya di balik kemudi. Soal performa on board, jelas 11 vs 12ribu, jauhnya beda banget dengan OH 1525 Malang II yang kutunggangi Hari Jumat sebelumnya, yang kurasakan lesu darah.

Semoga, “action thriller film” bisa tersuguhkan sepanjang perjalanan. Demikian harapku.

Rupanya, kemunculan bus yang memprihatinkan tapi dipaksa untuk comeback ini jadi “trending topics” dan selanjutnya jadi bahan lelucon di “twitter” kru-kru PK.

Saat hendak parkir di Terminal Kota Bandeng, mereka serempak kompak “melecehkan” Old Butterfly ini.

“Parkire ojo ning sebelahku. Aku emoh dijejeri kandang pitik...” kicau seseorang yang punya pegangan Euro 3, sembari menendang-nendang bumper depan, sehingga membuat yang lain tertawa terpingkal-pingkal. (Parkirnya jangan di sebelahku, aku tak mau berdekatan dengan kandang ayam)

Semprul ik. Kulirik kulit tubuhku, lalu satu persatu penumpang yang berdiam tak jauh dariku. Enak saja, tak ada yang ditumbuhi bulu, bertembolok besar, punya dua sayap dan berparuh. Mengapa teganya kami dijuluki marga ayam!?

Aku pun cuma menyunggingkan senyum tersipu marah, eh malu...

“Hei...bis-ku ojo ditendangi, iki pora dho wedhi yen mengko keno tetanus?” timpal Pak Eko (CMIIW, nama pemilik “kandang pitik”) dengan bersungut-sungut. (Hei, busku jangan ditendang-tendang, apa tidak takut nanti kena tetanus?)

Demikian gaya bercanda penggawa-penggawa Ombak Biru dalam merawat kerukunan dan keguyupan sesama abdi jalanan. Istilah jawanya, njiwit ning ora kroso, artinya meledek, tetapi yang diledek tak merasa tersinggung.

“Saya mumet Mas. Tadi mandor telepon, tanya armada yang saya bawa masih yang kemarin apa sudah ganti. Jadinya mandor ikut pusing Mas, besok diangkatke (diberangkatkan) dari Pulogadung kuat laku apa tidak.” kesah beliau.

“Jangankan penumpang, Mas, para sopir juga ogah menyentuh bus ini. Kemarin saya engkel dan malam ini juga bakal sendirian lagi. Teman-teman malas nyetiri, busnya ketuaan katanya, Mas” lanjutnya saat bercurhat, tatkala harmonisasi keenam roda bus melibas ruas Juwana-Pati.

Kasihan juga, seyogianya aku kudu turut bersimpati atas “derita dua malam” yang dialami.


Rest Your Wings, Old Butterfly! (1)



Jumat Pagi

“Nafis Pahala; 31.12.2010; 07.05 : Ada yang bisa dibantu, Mas?”

Tiba-tiba saja layar ponsel-ku memampangkan sebaris kalimat “aneh”. Tentu bukan si pelemparnya yang membuatku keheranan, tetapi soal muatan isinya. Tak ada badai, tiada petir, namun entah kenapa “penjaga meja” agen Pahala Kencana (PK) chapter Sulang itu menawarkan uluran tangan, padahal sebelumnya aku tak sampai me-request sesuatu lewat jasa teknologi Short Messages Service.

Saking tak percayanya, kutelusuri menu outgoing pada operating system bikinan Sony Ericson. Sami mawon…nihil. Aku tak sampai menelepon atau (barangkali) pernah terpencet alamat 085225438xxx, kepunyaan Mbak Nafis itu.

Apa perempuan berkerudung itu dihinggapi penyakit gundah gulana karena kehilangan pelanggan setianya? Pasalnya, sudah sebulan ini aku menjatuhkan “talak tiga”, enggan mencumbui lagi tubuh indah semlohai New Marcopolo Sirip Hiu dengan hembusan residu berlabel Euro 3, lantaran terjangan Ombak Biru kian menyurut, tak kuasa menghadang laju kerusakan jalan Pantura.

Ah, enggak lah? Aku yakin bukan itu asbabul nuzulnya.

Pasti SMS nyasar. Begitu temuan shahihku.

Sudah jamak lumrah, semakin berjejalnya nomor-nomor yang memenuhi phonebook si pengguna telepon genggam, semakin berpotensi tinggi terselenggaranya salah kirim. Jari jempol meleset meng-klik tombol, bisa-bisa terjadi hal yang menggelikan. Panggilan keluar atau pesan singkat bukan mengarah yang semestinya dituju, melainkan nyeplos di simcard-nya orang lain.

Mungkin, itulah “kegagapan” yang tengah menjangkiti Mbak Nafis.

Mulanya, aku mem-peties-kan pesan maya yang datang tak diundang itu, tidak sampai membalasnya dengan sepatah kata pun. Toh, hanya kasus ringan, misspush the button.

Hingga kemudian…

Jumat Sore

Saat didera ke-bete-an di halte Polres Metro Jakarta Utara, menunggu Mayasari Bhakti P-51 yang akan menghantarkanku ke Rawamangun via Kelapa Gading melintas, sontak aku teringat slogan Pak Jusuf Kalla, bahwa “lebih cepat (itu) lebih baik”.

“Mas, masih ada seat ke Rawamangun buat Hari Minggu besok?” kucolek Mas Harno, agen PO Haryanto Terminal Rembang, lewat media handphone.

Aku nyaris lalai, belum menggenggam “lembar ijazah” sebagai prasyarat mendapatkan gelar penumpang untuk return to the capital tanggal 2 Januari 2011 lusa. Dapat dipastikan, ibarat pemilu legislatif, hari itu tensi untuk merebutkan kursi bakalan sengit. Aku harus bergerak gesit kalau tak ingin hantu traumatik “Si Budi Kecil” mengusik ketenangan hidup seorang komuter mingguan sepertiku ini.

“Sepurane Mas, sampun telas.” (Maaf Mas, sudah habis)

Celaka! Benar-benar telat, Red Phoenix lepas di tangan.

“Kalau Senin ke Pulogadung, ada Mas?”

“Sami Mas…telas” (Sama Mas…habis)

Pufh! Padahal aku terlanjur berjanji kepada Mas Wahyudi untuk mengusahakan tiket buat perjalanan balik beliau ke Jakarta, sebagai armada estafet penerus trip panjang Lumajang-Jakarta transit Rembang, yang akan diamalkannya.

“Wes Mas ga popo, aku tak lewat Solo wae...” begitu tutur penenang dari BMC-01, meredam rasa bersalahku sewaktu kukabari. (Tak masalah Mas, aku lewat Solo saja)

Sejenak aku berpikir, dengan apa perjalanan Rembang-Jakarta kelak kutunaikan. Back to Nusantara-kah? NS 19 atau NS 39? Ah, aku belum sempat merekontruksi mood-ku. Semenjak puasa berlanjut lebaran hingga sekarang, sekian panjangnya waktu itu pula aku tak menyetubuhinya. Dan rasa-rasanya, telapak kaki ini masih berat untuk melangkah, berteduh kembali di bawah naungan “Nyiur Melambai”.

Selintas pesan salkir tadi pagi membayang.

Hmm...bisa jadi, SMS itu memberikan chemistry yang pas untuk menghapus aprioriku yang terus saja meremehkan sepak terjang Pahala Kencana dalam upayanya menggunting waktu tempuh sejauh 600-an km.

Yup, sejatinya ini memang jalan rujukku untuk tidak terus-terusan melanjutkan acara “pisah kabin” dengan bus sejuta trayek itu.

“Maaf baru balas, Mbak Nafis. Saya mau pesan tiket untuk Minggu sore ke Rawamangun. Masih ada, Mbak?”

Kureply pesan yang awalnya keliru sasaran, seolah-olah memang sudah ada pembicaraan yang nyambung antara aku dengannya.

Tak sampai lima menit, turun jawaban.

“Maaf Mas, tujuan Rawamangun habis.”

“Kalau VIP Pulogadung masih ada, juga ngga papa, Mbak!” kucari alternatif lain, sebab dua pilihan luput dari tangkapan.

Baru saja duduk di dalam bus kota yang melayani Tanjung Priok-Pulogadung direct, terbit lagi warta, yang kali ini tentu saja menggembirakan.

“Nomor 1B, gimana Mas?”

“Ok, saya ambil, Mbak.” tanpa berpikir panjang, kuiyakan saja. Siapa yang tak senang, di saat bisnis transportasi tengah “musim panen”, ndilalah dapat nomor keramat?

Saat status delivered muncul sebagai penanda “telegram mutakhir” itu terkirim, seketika pula“memori hitam” menodai kegiranganku.

Awal tahun adalah fase krisis bangku, dan booking pun sudah mepet hari H. Tapi kok dengan mudahnya aku meraup seat front row?

Jangan-jangan...?!?