Rabu, 04 Desember 2013

Patience – Guns N’ Roses Lyrics & Listen

Patience – Guns N’ Roses Lyrics & Listen.

Denpasar Noon (5)

Dominasi artefak peninggalan mendiang Karman Amat begitu mengakar di tlatah Blambangan. Akas lagi, Akas lagi. Begitulah deskripsinya.


Kali ini N 7086 UR yang mendudukkan diri jadi teman seperjalanan. Bus berkelas bumel itu lincah menari-nari, tak acuh terhadap nasib para penumpang yang terlihat berjejal berdiri di dalamnya, terontang-anting dalam ketidaknyamanan.


Surya Bali pun seakan sadar diri, menyalipnya lewat open play bakalan susah.  Just follow me if you cann’t overtaking, itulah paham aliran yang diterapkan sepanjang menggeluti ruas Landangan.


Sedang enak-enaknya didikte oleh bus yang berhomebase di Kota Probolinggo, seolah-olah tak perlu jarum navigasi untuk menentukan arah pelayaran, menikmati keringanan menjadi seorang makmum, sekonyong-konyong bus jurusan Madura itu menghentikan laju sejadi-jadinya alias ngerem paku. Asap putih seketika mengepul memenuhi ruang spackbor, mengindikasikan masifnya gaya gesek antara telapak ban dengan permukaan aspal.


Aku pun terperanjat dan serta merta menutup mata, membayangkan busku akan menubruk bodi belakang anggota keluarga Akas I itu karena jarak yang begitu dekat. Penumpang yang masih melek secara refleks berteriak histeris. Tapi tidak demikian dalam kalkulasi sang pilot yang sudah terbiasa menghadapai situasi tanggap darurat seperti itu.


Dengan dingin, lingkar setir dikibas-kibaskan ke sudut kanan. Hasilnya, haluan SB02 bisa berkelit dari serudukan sesama bus, meski sesudahnya harus keluar dari lintasan, dan mencakar-cakar jalan tanah hingga debu-debu bertebaran.


Andaikan saja ada kendaraan dari arah berlawanan, pasti hal terburuk berpotensi terjadi.


Saat itulah kami melihat pasutri terkapar di tengah jalan, pasca terjungkal dari atas motor. Itulah yang membuat Akas habis-habisan menurunkan lajunya, dan melupakan bahwa ada ‘jemaah’ yang tengah lekat di belakangnya. “Nyaris…nyaris…!” aku berkeluh sambil mengelus dada.


Aktivitas agrobisnis terlihat menggeliat saat memasuki kawasan PG Pandje yang kini sedang menikmati musim giling. Truk-truk pengangkut tebu hilir mudik, demikian juga jajaran gerbong lori merayapi rel di pinggir jalan, menggendong ratusan ton batang tumbuhan penghasil gula pasir itu. Cerobong asap dari mesin penggilingan tak kenal jeda memuntahkan residu hitam untuk menggelapi kanvas awang-awang.


20.05


Setelah memungkasi jalan-jalan arteri Kota Situbondo, itulah kali pertama sosok saudara tua, Surya Bali, DK 9001 AC, terlacak oleh radar. Nah, terkejar juga akhirnya…


Hampir saja, bus yang kunaiki kuasa menyalipnya sebelum Kramat Djati dari arah depan berkode Oscar -- yang menandakan bagian dari divisi Bandung -- mengurungkan niatnya.


Kini, duo Denpasar jadi raja dan ratu malam itu. Poros jalan Situbondo-Besuki jadi wahana berpesta, meneguhkan arogansi sebagai penguasa jalan, melambungkan determinasi serta ketrengginasan pusingan roda, mempertontonkan bagaimana bahasa komunikasi lewat rekayasa kedipan lampu bisa membangun chemistry antar keduanya.


Safari Dharma Raya, AA 1515 DN, terkena sengatnya saat dilampaui secara berbarengan, meski untuk itu terpaksa menyapu laju tiga armada pariwisata Dali Mas untuk menepikan separuh badannya. Dan setelahnya, Akas N 7431 US juga merasakan hal sama yang dialami oleh OBL Temanggung itu.


20.40


Langkah – langkah eksplosif itu padam ketika rest area Puritama memposisikan diri sebagai pitstop yang harus disinggahi bila tak ingin terkena black flag dari petinggi kantor.


Keduanya kemudian berparkir pararel di halaman rumah makan, mempersilahkan provider PO Surya Bali dalam urusan gala dinner untuk menyelenggarakan jamuannya.


Dan credit poin aku catatkan kembali dalam diary perjalananku. Di Puritama tak ada yang namanya sifat pelit dalam memanjakan lambung pengunjung. Benar-benar prasmanan dalam artian yang sebenar-benarnya prasmanan. Silahkan ambil sepuasnya, no limit, tanpa diawasi ‘algojo-algojo’ yang demen menyentil penumpang usil dengan kalimat “Maaf, ambil satu potong !”


Bahkan, baru kali ini juga aku merasakan layanan makan malam bus berstrata eksekutif paling bejibun lauk-pauknya. Sepiring nasi dan sayur sop aku tambahi dengan telur pedas, ikan goreng, kering tahu dan mie goreng, plus buah semangka sebagai desert-nya.


DSC_0035


Beda jauh dengan service rumah makan sepanjang pesisir kulon yang mayoritas menganut paham minimalis. Hehe… 


Ada something yang membuatku prihatin sekaligus tumbuh simpati saat hendak menggugurkan dua di antara lima salat wajib di mihrab mushola yang terletak di pojok depan. OBL Van Hool B 7168 IB dan OBL Evolution DR 7186 AA terlentang tak berdaya, terjangkit penyakit ‘storing on the road’. Menilik serbuk halus tanah yang menempel di sekujur tubuh, ceceran oli di atas rumput serta kap mesin yang menganga lebar-lebar, sepertinya cedera yang dialami spesies-spesies Gajah Kebayoran berkategori berat dan butuh waktu yang lama untuk penyembuhannya.


22.05


Bulan sabit menghadirkan keremangan di atas kawasan Pasir Putih. Dia seolah menjadi saksi bisu kisah akur dan rukunnya dua armada milik I Ketut Nik Suryana ini. “Koyo mimi lan mintuno”, demikian kata pepatah jawa, atau “di mana ada Indomaret, di situ ada Alfamart” dalam kalimat olok-olokannya,  untuk melukiskan keintimannya.


IMG_2071

Arus lalu lintas mulai sepi dan menyurut. Di tengah monotonitas yang mulai melanda, hadir hiburan ketika momen tatap muka dengan kloter bus malam yang mengarah ke Pulau Dewata terpampang kembali di layar kaca. OBL Jakarta berarmor Sprinter memunculkan perawakannnya di Kota Kecamatan Besuki, diikuti kemudian oleh Restu Mulya jurusan Tulungagung-Denpasar serta Rasa Sayang “Mantika”.


Rasa kantuk tak dapat lagi kuredam. Tidur malam sebelumnya yang hanya berdurasi dua jam, itupun dengan kualitas bobok ayam, membuat mataku mulai kedororan untuk melek setidaknya sampai Kota Probolinggo.


Ada hasrat terpendam untuk melihat siaran langsung pandangan mata akan gigantisnya kawasan PLTU Paiton, yang konon menciptakan suasana langit malam nan metropolis lewat keindahan gemerlap lampu-lampu yang menyelimutinya. Beruntung lah aku, meski dengan kekuatan 5 watt, bola retinaku masih sanggup menyapukan pandangannya ke sosok pembangkit listrik yang  sanggup memasok kebutuhan energi listrik di Jawa - Bali itu.


PO Setiawan line Madura - Denpasar adalah bus terakhir yang bisa kuidentifikasi, sebelum aku terkulai dalam lelapnya peraduan.


Zzz…zzz…zzz…


02.10


Tiba-tiba aku melonjak dari nyamannya sleeping beauty. Sensor badanku berbunyi, mengabarkan pesan bahwa aku tertidur terlalu lama, dan me-warning kekhawatiran akan kebablasan melampaui tempat turun semestinya, lantaran aku gelap untuk meng-update posisi secara realtime.


Yang aku bingungkan, mengapa jalan yang dilewati bus bersuspensi angin ini berukuran mini? Hanya dua lajur, itupun ikal bergelombang, ingkar dari model umum jalan Pantura? Untuk bersimpangan dengan kendaraan lain pun tak cukup, kudu ada yang mengalah turun ke gravel. Sementara pemandangan kanan kiri hanyalah areal perladangan yang sangat luas.


Dan “scene menjemukan” itu belum lah usai. Di luar beningnya kaca depan, masih saja ter-expose double muffler saudara kembarnya, DK 9001 AC. Wah…lengket, kaya perangko. Hehe…


IMG_2008

Tapi…daerah manakah ini? Jalan alternatif kah?


“SMP 01 Parengan”


Sebuah bangunan sekolah itu menolongku dalam penentuan titik koordinat sekarang. Parengan, satu nama yang tak asing bagiku gara-gara jasa obyek wisata pemandian air panas Prataan, yang dipangku Kecamatan Parengan, Kabupaten Tuban, pernah aku anjangsanai.


http://didiksalambanu.wordpress.com/2009/07/06/prataan-mandi-sauna-di-tengah-belantara/


Dan semakin jelas terkelupas selubungnya, Surya Bali memangkas rute perjalanan Surabaya-Rembang memanfaatkan jalan pintas Babat-Bojonegoro-Jatirogo-Sale-Pamotan-Clangapan, yang kondisinya tak seramai jalan utama nasional.


Determinasi masih lestari terjaga, passion masih menyala-nyala, dan daya gedor masih diagungkan. Lengangnya lalu-lintas, hanya sesekali menyalip truk-truk tebu yang hendak mengirim muatannya ke PG Rendeng atau PG Trangkil, seakan menghalalkan status larangan untuk memacu kecepatan di atas ambang aman yang disyaratkan jalan kelas III.


Pahala Kencana Jetbus Nano-Nano K 1713 B pun didongkel di Jatirogo sebelum aksi “teman makan teman” diperagakan saat melayang di atas petak Pamotan - Jape. Dan ending of story-nya, SB 01 pun dengan tragis dipelorotkan posisinya sebagai imam, tanpa alasan yang syar’i. Hehe…


SB 02 memang luar biasa, bukan?


IMG_2072


03.35


“Pak, Taman Kartini depan nggih!” pintaku kepada ‘sang jenderal lapangan’ yang masih panggah menduduki kursi istananya, saat garis finish maya yang ditarik lurus dari gerbang kantor Pak Salim, Bupati Rembang, paripurna terpijak oleh keenam roda berlabel Agate seri HF 660 itu.


Inggih, siap Mas!”


***


Benarkah anggapan Bli Galih, pemuda Bali yang kujumpai di Bandara Ngurah Rai, bahwa perjalananku ini wujud orang iseng dan kurang kerjaan?


Hmm…ada satu aib rahasia yang tidak aku beberkan padanya. Andai saja kuceritai, pastilah dia akan menertawakan sekaligus mencibir.


Terus terang…aku mengidap aerophobia. Ngeri terbang.


Aku tidak pernah lagi terbang, dan selalu mengindari bepergian dengan benda transportasi yang bernama pesawat terbang.


Adalah Lion Air JT-775 yang berkontribusi nyata terhadap penyakit mental yang aneh bin confusing ini. Sembilan tahun silam, dalam gulitanya malam, Boeing MD-82 nekat mengangkasa dalam cuaca ekstrim; hujan deras, mendung pekat, hawa berangin dan kilatan petir yang liar menyambar-nyambar.


Keempatnya berkonspirasi atas terjadinya guncangan-guncangan hebat di dalam kabin pesawat sepanjang melakoni rute Cengkareng - Yogyakarta.  Burung besi itu tak ubahnya roller coaster yang mengocok-ngocok nyali dan meruntuhkan keberanian diri, dan selanjutnya menyemai kecemasan dan kepanikan yang luar biadab. Rasa panas dingin, meradang, dan mencekam ruang-ruang fantasi, membayangkan hanya setipis bilah rambut batas antara hidup dan mati. Itulah salah satu nightmare yang menimbulkan efek traumatis yang mendalam.


Beruntung ada nama-nama Surya Bali, Wisata Komodo, Restu Mulya, Gunung Harta, Trans Sarbagita, dan tentu saja soul yang bernama bismania.


IMG_2061


IMG_2045 IMG_2006




IMG_2082IMG_1982

Mereka kujadikan iming-iming, kusandangkan sebagai kado kemenangan tatkala berhasil men-terapi ketakutan naik pesawat terbang, dengan melegislasi acara “Fly to Denpasar” sebagai fear factor pertama yang kudu dijinakkan .


And finally…mission acomplished,  kendatipun belum bisa sepenuhnya mengobati koreng berjuluk aerophobia yang hampir satu dekade membenalu alam imajiku.

Selasa, 03 Desember 2013

Denpasar Noon (4)

16.49


‘Terminal Penyeberangan Gilimanuk’


Surya Bali pun menyambangi entry gate nomor 2 untuk melunasi ongkos atas jasa penggunaan fasilitas pelabuhan. Rp396.000,00, itulah mahar yang semestinya dibayar, sesuai nominal yang tertera pada papan informasi di loket.


DSC00495


Tapi rupanya, pramudi hanya memberikan salam tempel pada penjaga loket, dan melenggang masuk. Kemudian seseorang berpenampilan parlente, entah apa perannya, menghampiri dan terjadilah ‘transaksi yang sesungguhnya’. Hmm…Indonesia banget.


DSC00490


Dan selanjutnya tak mengherankan jikalau busku langsung dipersilahkan menduduki antrian awal untuk menuju lambung kapal, bersanding dengan Sedya Mulya, kawan seiring perjalanan antara Jembrana hingga Gilimanuk.


Tak sampai lima menit kemudian, dermaga III dengan konsep Moveable Bridge dibuka lebar-lebar.


DSC00487


AD 1437 CG loading duluan, disusul DK 9002 AC, dan N 7068 US di belakangnya. Sementara truk-truk dan mobil pribadi kudu bersabar lantaran kalah rupiah.


DSC00485 DSC00489


KMP Nusa Dua, itulah nama kapalnya. Sedya Mulya mengambil posisi di pojok kanan, Akas Asri di pojok kiri, Surya Bali di tengah-tengahnya, sekaligus langsung menghadap palka.


Penumpang serentak turun, mencari lapak yang sekiranya nyaman, aman dan terlindung dari terpaan angin laut. Aku sendiri lebih memilih bersantai di dek atas, di samping ruang nahkoda, tempat di mana bisa menggelar corong pandang paling lebar.


DSC_0023

IMG_2108


Perlahan-lahan, kapal tua buatan tahun 1982 yang dikelola oleh PT. ASDP Indonesia Ferry ini mulai menyusuri selat Bali. Pesona sunset di ufuk barat saat matahari berangsur redup, tenggelam di balik lereng Gunung Raung, dipigurai cakrawala alam Banyuwangi,  diarsir riak-riak air samudera sebagai ubo rampe-nya, menyuguhkan panorama yang benar-benar romantis. Sayang, aku seorang diri. Andaikan saja ada mantan pacarku di sisiku, akan kusanjungkan kata-kata mesra untuk lebih membarakan sekam cinta yang selama ini kuat bersemayam di palung hati kami berdua. Halah…malah ngaco!  


DSC_0032


Kian ke tengah, ombak berubah mengganas, hawa bertiup semakin kencang. Goncangannya mulai memusingkan kepala, ombang-ambingnya perlahan memualkan isi perut. Air laut seakan kian deras memusar di celah sempit yang menceraikan Pulau Jawa dan Pulau Bali, mengalir dari hulu Samudera Hindia menuju hilir Samudera Pasifik.


Aku dan belasan penumpang yang semula leyeh-leyeh di atas terpaksa turun ke ruang festival di lantai dua. Hanya hiburan campursari dari media televisi yang bisa sedikit melalaikan dari siksa pelayaran kali ini.


DSC_0025


Satu jam dua puluh menit rasanya begitu lama untuk merenangi jarak sepanjang 3 mil laut. Bahkan, ketika KMP bertuliskan Porte Koneng bisa meng-overlaping KMP Nusa Dua dengan memanfaatkan lebar laut, meruntuhkan kesabaran ini untuk berlama-lama di tengah selat, berharap agar kapal lekas bersandar, memuntahkan kandungan muatannya.


“Kok ngga sampai-sampai ya!” lirih aku menggumam.


Para penumpang seketika riuh berhamburan meninggalkan kursinya masing-masing, bergegas menuruni anak tangga menuju geladak bawah, saat daratan menyisakan jarak sepelemparan batu.


Aku pun duduk manis kembali di atas takhta keramat, sembari dihidangi camilan jilid II. Segelas air mineral ditambah sekerat roti adalah bukti bahwa Surya Bali benar-benar menyanggupi misi yang diembannya sebagai bus dengan First Class Service.


IMG_2088


Sedang posisi sang kapten kini sudah berganti formasi, driver tengah turun lapangan. Laksana Steven Gerrard di klub Liverpool, beliau adalah sosok penting di balik armada ‘nol dua’ ini. Pembawaannya kalem, anteng, penuh wibawa, dan senioritasnya menonjol. Raut kebapakan dan kenyang akan asam garam perjalanan, jelas terpancar dari guratan air muka.


17.10 WIB


Bye…bye…Bali Island, hello… Java Island!


Lembayung senja luruh ke bumi saat Kapal Ferry Nusa Dua berlabuh di Terminal Penyeberangan Ketapang. Setelah keluar dari kompleks pelabuhan, Surya Bali menyegerakan membabat jalan, seakan tak ingin membuang waktu barang sedetikpun untuk urusan yang tak perlu.


Sri Tanjung -- yang mengingatkan akan nama kereta api jurusan Banyuwangi-Lempuyangan --,  terminal bus di ujung paling timur Pulau Jawa tampak melompong dari ampiran armada-armada langganannya, tak sebanding dengan ukurannya yang super luas.


SPBU beridentitas 54.684.09 disinggahi, memberikan service makan terlebih dahulu bagi dapur pacu berkapasitas 7.900 cc, sebelum meretas jarak sejauh hampir 600 km.


Dan o la la…bertemu dengan saudara biologisnya, DK 9001 AC, yang sore tadi berangkat lebih awal dari Ubung, dan kini tengah mengasup liter terakhirnya.


IMG_2092


 “Aku ndisik yo, oyaken nek iso!” goda salah satu kru ‘SB01’. (Saya duluan ya, kejar kalau bisa!)


“Wealah…opo abote ngoyak awakmu!” balas sang pawang ‘SB02’. (Ah…apa susahnya ngejar kamu!)


Guyonan mereka sontak membumbungkan gejolak sisa-sisa darah mudaku yang semakin hari semakin nyilem di dalam jeruji golongan kaum sepuh, selaras dengan terkereknya usia. Batinku membisik, “Kayaknya bakal ada race menarik nih, meski rivalnya kawan satu tim. Tak ubahnya kompetisi di sirkuit MotoGP antara Dani Pedrosa dan Marc Marquez di dalam tubuh pabrikan Repsol Honda.”


Namun, pesimisku kemudian mengusik. Rupanya, tandon bahan bakar yang terbenam di dalam bodi Royal Coach SE ini mengaplikasikan double tank, sehingga dibutuhkan guyuran solar sebanyak 294 liter untuk membuatnya nyaris luber. Tak ayal, terciptalah kembali gap waktu selama 20 menit dengan kompatriotnya itu.


Tremendous journey will be…


Ekspektasiku seketika menggelora, saat DK 9002 AC kemudian melesat cepat, menghujamkan hegemoni dan dominasinya di kawasan Watu Dodol, salah satu spot rawan kecelakaan di pesisir Jawa Timur. Dengan garansi jam terbang tinggi, kontrol atas kemudi di bawah kendali juru mudi tengah sangatlah memukau. Kecepatan jelajah bertengger di atas skala 90 km/ jam, manuver-manuver saat menggagahi jalan begitu menawan dan tak pernah kendur dalam menjantang tensi permainan. Tak pandang bulu, satu persatu pengguna jalan raya ditaklukkan dengan gaya ultra offensive.


Hanya sebuah minibus pick up yang mencorengkan cacat ketika kuasa menyalip dengan speed tinggi di satu tikungan di daerah Bajulmati. Ulah ugal-ugalan mobil bak terbuka itu men-stimulus Surya Bali untuk memberinya pelajaran. Pergerakannya terus-menerus ditempel, tak digubris kala dia memamerkan kesombongannya melabrak truk-truk tonase besar. Diladeninya hingga seberapa kuat L300 bikinan Mitsubushi Motor itu menanggung pressure dipepet-pepet moncong jet darat.


Tak perlu dibuat grogi dengan mem-blitz-kan sorot lampu jauh, cukup disorong-sorong dengan momok keunggulan dimensi dan postur tubuh, sopir pick up itu tak berdaya, hingga roda-roda sebelah kiri hingga out of control, mencaruk-caruk bahu jalan. Seakan dia menghiba ampun seampun-ampunnya, kapok untuk menakali bus malam kembali.


18.55


De javu. Bidang pinggul PO Wisata Komodo Hino RK8 lagi dan lagi memblocking lajur di depannya, saat memasuki gerbang Alas Baluran.


Duo itu kembali mengulang kolaborasi manisnya sewaktu menyisir alam Jembrana. Mode full throtle diperagakan duet pelat DK di atas venue hutan lindung yang terletak di kawasan Banyuputih. Entah berapa banyak rombongan truk-truk yang telah diluluh-lantakkan, dan berapa banyak pula kendaraan kecil yang seharusnya lebih lincah dikadali oleh tingkah keduanya.


Kondisi semak-semak yang habis terbakar, dengan letupan bara-bara kecil seakan turut memanaskan atmosfer Pantura Timur malam itu.


Sayang, konsistensi karir bus yang punya sifat pemalu hingga menyebut dirinya dengan “Ora Mercedes Ora Opo-Opo” itu tak kekal. Surya Bali pun malas men-taklid-i pemandu jalan yang demikian, hingga pertahanan Wisata Komodo trayek Purwokerto itu bobol untuk kedua kalinya. Skor 2-0.


Setelah memberikan kesempatan saling silang dengan mantan bus prototype OH 1526 milik OBL, Pahala Kencana New Marcopolo serta PO Sandy Putra, kini Sedya Mulya produk 59 yang tak bisa dijebol gawangnya selama merumput di Pulau Bali, giliran dipecundangi.


Sungguh, sanjungan kalimat salut dan acungan empat jempol pantas kualamatkan kepada the man behind the steer. Lugas, tegas dan tidak peragu, itulah karakter yang bersembunyi di balik tampang nan cool.


Itu pun belum cukup. Si Nano-Nano, K 1684 AB, juga dibuat tak berkutik saat menyisir jalan sempit dan penuh kelokan-kelokan tajam yang diampu oleh Alas Baluran, yang bikin kita merinding akan kisah keangkerannya.


Tidak seperti Pantura barat, bus-bus malam di sini kalah jauh soal populasi. Hanya saja, modal mesin baru dengan tenaga besar tidaklah jadi elemen primer. Justru skill dan nyali driver yang dinomorsatukan. Jalanan ciut dua lajur dan banyak bopeng-bopeng, minim rambu-rambu, miskin penerangan, dengan kepadatan yang diciptakan oleh deretan truk-truk besar, adalah handicap yang wajid diakrabi sekaligus ditundukkan.


Putaran roda baut 8 menurun drastis oleh keramaian pusat kota Kecamatan Asembagus. Salah satu biangnya adalah bus Akas yang tengah cuek bebek menaik-turunkan penumpang. Akas Group adalah penguasa lokal di jalur ini, sehingga yang lain kudu maklum dan mafhum dengan empunya kawasan.


Lalu sesosok Kramat Djati, B 7861 WV, tampak tercecer jauh di belakang dari kolega-koleganya yang mengarah ke Denpasar, sebelum Surya Bali memutuskan untuk menyalip Akas bertungku Hino RKT, yang hendak menuju pulau garam itu.

Denpasar Noon (3)

14.23


Itulah display waktu yang terpampang pada monitor jam di pojok kanan atas ketika moda yang aku cumbui melepaskan tali tambatnya dari bolder Terminal Ubung. Tertinggal ± 20 menit dari keberangkatan saudara kembarnya, DK 9001 AC.


Di bawah kendali driver berbadan agak gempal, tempo rendah dipertontonkan saat menekuni ruas Jalan HOS. Cokroaminoto, Denpasar. Tak perlu susah payah untuk menyalip bus ukuran sedang jurusan Ubung - Gilimanuk, PO Lintas Samudera, yang masih tampak ogah-ogahan bekerja.


DSC00525


Sebagian penumpang mulai melahap hidangan makanan ringan, yang berisi kacang telur, roti isi selai nanas, wafer coklat dan sebotol air mineral. Adanya bonus segelas Pop Mie seakan jadi pelengkap layanan snack wah yang diagungkan oleh PO Surya Bali.


IMG_2097


Lalu-lintas memadat di daerah Pakraman, Ubung. Situasi sempat berhenti beberapa saat, ketika iringan-iringan rombongan pengantin yang dikawal para pecalang meminta prioritas untuk dibukakan jalan.


DSC00521


Berselang 5 atau 6 kendaraan di depan, tampak pantat Gunung Harta yang mengklaim dirinya bersasis monocoque,  tengah mengawali hajat tripnya menuju kota atlas. Sementara di jalur lawan, Rasa Sayang EA 7290 L tampak tergesa-gesa untuk memungkasi tugasnya hingga ke bumi Mataram.


DSC00520


Di agen Uma Anyar, bus yang memaknai  livery-nya dengan simple elegance ini menjumput lagi dua sewa, hingga tinggal menyisakan beberapa lagi kursi kosong di deret belakang.


Hinomaru RK8 R260 pun mulai pasang kuda-kuda, mengeluarkan karakter asli. Bus seketika dipacu, dan mulai dapat dicicipi ‘feel speedy’-nya. Sementara aku sendiri lebih khusyuk celingak-celinguk kanan kiri untuk memandangi setiap jengkal tanah dari pulau yang baru pertama di-explore.


Satu yang menyita perhatianku adalah Kampung Sempidi, Kecamatan Mengwi, tempat kantor pusat pemerintahan Kota Badung berdiri. Sayang, konsentrasi mataku untuk menemukan Terminal Tipe A Mengwi sia-sia belaka lantaran tak berhasil kutangkap keberadaannya.


Justru, kebutuhan biologis untuk membangun alam mimpi tak bisa kutolak. Bila tubuh telah menuntut istirahat, dengan cara apa lagi kudu dilawan?


15.10


Kesibukan agen di Jalan Bypass Ir. Soekarno, Tabanan, dalam mengurusi dua kliennya saat menaiki armada, membantuku terjaga dari nyenyak.


Penyalin, Tabanan.


Di luar kaca, tampak digarap proyek raksasa berupa pembangunan pilar-pilar penyangga jalan di pinggir-pinggir tebing. Entah lah, apa itu sebagian dari proyek jalan tol Trans Bali, mengingat jalan raya Denpasar-Gilimanuk sudah demikian padatnya, tak tertampung lagi oleh space jalan yang ada? Ataukah sekadar membangun jalan-jalan shortcut untuk memperpendek rute mengingat jalan di sini berkelak-kelok mengikuti kontur alam perbukitan?


DSC00506


Dari arah depan, melaju bus paket Pahala Express, B 9227 IU. Sementara di belakangnya bertarung sengit Margahayu N 7219 UR versus Dahlia Indah bermesin Jepang, Nissan, beradu cepat untuk memperoleh pole position di Ubung nantinya.


Trek Meiling tak ubahnya meng-copy paste dari profil trek Ambarawa - Pringsurat. Sempit, disarati tikungan, diseling turunan-tanjakan, dengan habitat flora khas dataran tinggi di sekelilingnya. Kesesakkan lalu-lintasnya pun mirip dengan jalur penghubung Semarang-Jogja itu. Padat merayap, dijejali kendaraan kecil, angkutan umum hingga truk-truk muatan berat.


DSC00505



Hanya Akas Asri, N 7339 US, yang sempat kupergoki berdesakan di dalam traffic yang menuju Denpasar.


Kemacetan stadium ringan terjadi di Distrik Selemadeg. Pekerja-pekerja kontraktor dari Dinas PU setempat berjibaku mengaspal ulang badan jalan.


Bus yang cikal bakalnya rintisan bisnis travel ini seolah tak bisa berkutik mengumbar aksi lantaran rapatnya barisan para pengguna jalan. Gunung Harta Pariwisata DK 9166 GH, Book Panorama JB HD B 7389 IZ, Indonesia Abadi N 7490 UR, serta Damri bernomor lambung 4241 lari-lari kecil mengarah ke timur. Yang sedikit unik, bus pelat merah itu memajang tulisan ‘TKI Deportasi’ di kaca depan. Apakah dia berperan sebagai angkutan para pekerja Indonesia ilegal yang tertangkap basah di negeri orang sehingga dipulangkan paksa ke tanah air?


Di tengah kemolekan alam Bajera, di mana megahnya dome langit, birunya samudera, royo-royonya persawahan, sublimnya gunung - gunung, serta rimbunnya hutan berpadu membangun taman surga kecil di hamparan planet bumi, mataku nyaris tak lepas menatap bahenolnya pantat jetbus yang menempel di tubuh PO Wisata Komodo.


IMG_2099


Adanya upacara adat perkawinan di sebuah pura membuat pergerakkan kendaraan melambat, sehingga  meng-assist Surya Bali untuk terus mendekati.


Beratnya stage jalan utama Pulau Dewata ini tak luput membawa korban. Sebuah truk gandeng bermuatan semen dirundung celaka, terjebur parit setelah menghajar deretan pohon di tepian jalan.


IMG_2105


Dan sekali lagi, rivalitas bus-bus rute pendek Surabaya/ Jember - Denpasar dipertontonkan di depan publik Suraberata. Empat bus sekaligus menghunus tajinya masing-masing, merebutkan supremasi penguasa daerah tapal kuda. Berturut-turut, Indonesia Abadi bermodel ‘Jenong Louhan’, PO Borobudur kelas bumel, CWM Trans dan Akas Asri mode Concerto, terlibat duel seru di dalamnya.


Memasuki Kabupaten Jembrana, performa alat transportasi berkapasitas 30 seat ini semakin merajalela. Dengan setengah nekat, belasan mobil pribadi berikut truk-truk dikebiri sekaligus, dan selanjutnya menempel lekat buritan Wisata Komodo, terpisah jarak tak lebih dari 10 meter.


DSC00501


Merasa tersodok, bus dengan mural sekawanan kuda sumbawa itu pun mengeluarkan taringnya. Keduanya beriringan, tampil meledak-ledak, bersinergi mengacak-acak jalan, dan cenderung bertingkah pongah sebagai entitas kendaraan besar. Sebuah Toyota Avanza pun terciprat getahnya, disingkirkan ke bahu jalan, saat  bus yang bergelar ‘The Luxury Liner’ itu memaksa mendahului kendaraan lain tanpa ada celah bebas.


DSC00493


Namun, birahi yang meluap-luap untuk menyuksesi singgasana ‘Jit Bis HD SE’ kian tak terbendung. Dengan lengkingan alarm mesin over-running, Surya Bali kuasa menyungkurkannya.


IMG_2053


Mantap…Muria style go to the east!


16.14


Kramat Djati Setra Selendang adalah skuad Jakarta-Denpasar pertama yang bersilangan jalan, saat menginjak wilayah Pekutatan.


Disusul kemudian Pahala Kencana New Marcopolo B 7589 IZ dan tak berselang lama, Flying Eggs New Travego B 7935 IS juga melintas lalu.


Jauh di depan mata, terhalang ombak Samudera Hindia yang bergulung-gulung tinggi, jelas terhampar Pulau Jawa. Sementara anggunnya bukit barisan Ijen bersiap melumat ego dan kesombongan diri manusia sebagai makhluk kerdil ciptaan-Nya. Ini sebagai penanda, bahwa sebentar lagi adalah waktunya berlayar menumpang kapal api. Dan lagi-lagi, itulah pengalaman perdanaku naik bus mengarungi lautan.


But…ada apa gerangan di depan, ketika lampu hazard Lorena LE-611 OH 1526 Denpasar-Jakarta berkedip-kedip, sedangkan posisi bus berada di tengah jalan?


Ah, rupanya ada insiden kecil dengan melibatkan dump truck, sehingga tanduk spion Evonext milik Bu Eka Sari itu berantakan, tak berwujud lagi. Untung crash itu tak sampai menyentuh permukaan kulit bodi.


Menapaki ibukota Kabupaten Jembrana, Negara, Surya Bali mengarahkan haluannya ke seberang Terminal Jembrana. Satu penumpang lagi mesti dipungut, mendongkrak load factor di angka persentase maksimal, 100%.


Tak terbantahkan, sinaran Surya Bali memang lagi berbinar-binar. Di saat weekdays, di tengah kepungan PO pesaing yang lebih senior, bahkan oleh yang mbahurekso gugus Jepara sendiri, hari itu Surya Bali sanggup memberangkatkan dua armada dengan okupansi full seat. Itulah yang jadi pembeda.


Seakan-akan dia menampar sebuah pemeo, bahwa PO-PO non pelat K akan babak belur  bila menggarap pasar Pakujembara (Pati-Kudus-Jepara-Rembang-Blora), sebagaimana nasib buruk yang menimpa PO-PO dari penjuru Jakarta.


Back to track…


Banyubiru, sebuah desa di sebelah barat Negara, menggoreskan prestasi kembali, saat Akas Asri berkaroseri Dafi Putra lengser lewat permainan terbuka, sebelum ‘nol dua’ merangsek ke trap depan yang ditempati PO Sedya Mulya.


Meski bermodalkan armada lawas, era sasis OH 1521, namun bus dari ranah Wonogiri itu juga tak kalah lincah menggesek-gesekkan tapak rodanya. Percobaan dilakukan berkali-kali, namun malah membikin bus-ku terlihat kewalahan, kesulitan membangun ruang untuk menyalipnya.


‘Hati-hati! Daerah Lintasan Satwa’


Demikianlah amar yang tertulis pada papan peringatan yang tertanam di pinggir jalan, ketika memasuki kawasan Taman Nasional Bali Barat.


Kalimat itu bertuah ketika pramudi harus menginjak pedal rem dalam-dalam kala seekor biawak besar dengan muka innocent, tanpa permisi, tiba-tiba saja menyeberang.


Wow…betapa kaya keanekaragaman jenis satwa yang dipunya bumi pertiwi ini.


Sein kiri pun dinyalakan, menghampiri sebuah mobil L300 pick up yang hendak menitipkan paket yang jumlahnya seabrek, di depan museum yang berdiri di dalam kawasan hutan penyelamat spesies burung Curik Bali.


Yang aku suka dari daerah ini, banyak tersebar pohon-pohon lontar menjulang tinggi, persis dengan vegetasi tetumbuhan di sekitar kampungku. Setidaknya kini aku pun tahu, ada tiga daerah yang merupakan sentra pohon penghasil buah siwalan itu, di mana produk derivasinya adalah tuak/ arak, yakni Rembang, Tuban dan Bali.


Pantas saja Bali terkenal akan araknya, karena tumbuhan dari marga palem-paleman ini tumbuh subur, makmur dan sejahtera di sini.

Denpasar Noon (2)

10.40


“Sebentar lagi berangkat, Om, tunggu ya!” instruksi seorang sopir ‘mikrolet’ jurusan Batu Bulan - Ubung.


Ah, sudah hampir satu jam menanti keberangkatan si biru ini, tapi tidak ada calon sewa yang dijumput selain aku. Benar-benar merana dunia per-angkot-an di Bali, terefleksikan dari kondisi fisik ‘gerobak Nippon’ yang hendak aku naiki. Kucel, tampil ala kadarnya, dan tak punya jadwal reguler. Bahkan cenderung lebih senang di-charter daripada berdinas sebagai angkutan kota.


IMG_1999


Andaikan terus berdiri di ujung ketidakpastian, sementara aku buta peta, sama saja dengan memelihara resiko tinggi buyarnya itinerary yang telah aku rumuskan saat pra turing.


Dengan langkah gontai, kujauhi Terminal Batu Bulan untuk mencari angkutan pasti pas alias taksi. Lantaran lokasi terminal ini tidak strategis, jauh dari pusat keramaian kota, sehingga jarang sekali ada ‘angkot sedan’ yang melintas.


Sekali lagi, jarak 2 km harus aku tuntasi hingga sampai di perempatan Tohpati.


“Ubung ya, Pak!” pintaku pada sopir taksi yang kebetulan tengah melintas pelan dan aku berhentikan.


“Mari, Om”


“Berapa, Pak?”


“Empat puluh ribu, Om!”


Taksi bercorak biru laut ini lah yang kemudian mengikis dana non budgeter dari agenda keluyuran hemat dan penuh pengiritan. Hehe…


“Ubungnya mana, Om?” tanya Pak Wayan, penggawa Bali Taksi tersebut.


“Jalan Pidada I ya, Pak.”


Kami berdua pun larut dalam perbincangan ringan tentang warna-warni pulau yang pernah dikaryakan sebagai latar shooting film drama percintaan yang dibintangi Julia Roberts, ‘Eat, Pray and Love’. Tentang kehidupan sosial masyarakat Bali, budaya dan adat istiadat, seputar pekerjaan Pak Wayan, persoalan tingginya living cost di Denpasar, serta sinopsis singkat tentang obyek-obyek wisata yang eksotis untuk ditandangi.


“Sudah sampai mana, Mas? Positif kan booking-an tiketnya kemarin?” tanya seseorang di ujung telepon menginterupsi percakapan kami.


“Jadi, Mas, sebentar lagi sampai Pidada. Lokasi agen Surya Bali sebelah mana?”


“Cari saja garasi yang ada bus Restu Mulya, Mas!” pandunya. “Saya masih di Terminal Ubung, nanti saya ke sana!”


Yup…Surya Bali. Dia lah yang akhirnya kusunting sebagai transporter untuk menghantar kepulangan menuju tanah Jawa. Padahal, dia bukanlah target numero uno. Aku prefers menominasikan PO Restu Mulya atau PO Wisata Komodo jurusan Denpasar - Blora sebagai bus pelat DK yang kugadang-gadang untuk digauli.


Sayang seribu sayang…saat aku mengorek ketersediaan kursi sehari sebelumnya, dua-duanya malah menidurkan trayek Blora. Restu Mulya memangkasnya cuma sampai Bojonegoro, sementara Wisata Komodo  tinggal menghidupkan line Purwodadi via Solo.


Tak sulit menemukan GPS Jalan Pidada I karena pengalaman 10 tahun Pak Wayan menjadi driver membuat rute-rute jalan di Pulau Bali sudah ngelothok di dalam katalog memorinya.


Jujur saja, aku dibuat terhenyak dengan sosok kantor Surya Bali. Kok sederhana sekali, tidak segebyar acara pembukaan trayek Denpasar-Jepara dan tidak sementereng tampilan website-nya? Hehe…


IMG_2010


“Saya Mas Bejo, Om, yang tadi telepon!” tiba seorang lak-laki mendekat, berbarengan dengan landing-nya armada Surya Bali, DK 9001 AC, yang baru saja datang dari Jepara.


Kehadiran bus ini membuncitkan optimisku bahwa aku tak akan seapes Yuanito Bayu yang tempo hari dapat barteran New Shantika kala berhasrat berkimpoi dengan Surya Bali.


“Mas, ini tiketnya. Saya pindah ke nomor 4 saja ya, biar nomor 20 saya jual ke yang lain.”


IMG_2047


Aku pun menebus tiket seharga seperempat jeti, sembari minta izin untuk nunut mandi, membersihkan tubuh dari belenggu bau badan yang makin rajin membangun aroma asam dan tidak sedap.


“Mas, saya menunggu di Terminal Ubung saja. Sekalian mau jalan-jalan dulu!”


Aku pamit sementara waktu, toh dua jam adalah tempo yang membosankan mendiam di pul Surya Bali, tanpa ada view yang enak dipandangi.


12.25


Lagi dan lagi, aku niatkan berjalan kaki dari Jalan Pidada menuju Terminal Ubung, melewati bundaran patung pejuang Mayor I Gusti Bagus Sugianyar.


IMG_2016


Dan ternyata, lumayan jauh juga, di luar perkiranku dari hasil ngintip portal google maps. Bikin energi dari output pembakaran makan pagi terkuras habis.


Bus malam pertama yang kutatap lekat adalah Pahala Kencana, DK 9502 IB, Temanggung-Denpasar, saat sedang unloading penumpang di jalan besar menuju arah terminal.


IMG_2018


“Ke mana, Pak…ke mana, Pak?” tanya calo-calo yang menurut pesan Bli Andre, member BMC Bali, dan petuah pakar popok bayi, Papae Intercooler Jr. aka si Wempey, agak kasar dan diwanti-wanti untuk berhati-hati menghadapinya, saat aku menapak mulut terminal yang sekarang di-downgrade menjadi tipe B itu.


IMG_2026


 “Jepara, Surya Bali!”


Mereka kompak beringsut. Dengan password ‘Surya Bali’ rupanya ampuh mengenyahkan mereka dari radius sekelilingku, mirip kata ‘Nusantara’ yang sakti digunakan untuk menaklukkan keseraman Terminal Pulogadung.


Terlihat Akas Asri bumel N 7068 US dan Santoso N 7439 UD bersiap di landasan pacu, menyandang status sebagai sapu jagat angkatan pagi.


IMG_2029 IMG_2028


Sementara bus yang sudah di jalur pemberangkatan dan bersiap taxi  adalah Pahala Kencana line Denpasar-Bandung D 7895 AJ, PO Zena jurusan Surabaya serta OBL Jogja - Mataram AA 1616 E. Diseling beberapa medium bus jurusan Ubung - Gilimanuk, semisal PO Dharma dan PO Megah.


 IMG_2030 IMG_2034 IMG_2040


Di ‘paddock universal’, berjajar rapi armada-armada yang tengah bersiap melanglang buana. Di antaranya Pahala Kencana HT 666 Denpasar-Bogor, Muji Jaya Citra Mandiri CM-015, PO Margahayu dengan bus seken dari Karesidenan Kedu AA 1520 AB, Gunung Harta DK 9176 GH jurusan Lumajang, Gunung harta Evonext bermesin Hino AK8, duo Handoyo;  trayek Surabaya dan Jepara, serta bus bumel Jember-Denpasar, Citra Wisata Mandiri Trans.


IMG_2035 IMG_2036


Sembari menantikan Surya Bali melakukan absensi, aku putari kompleks terminal yang tidak sebegitu besar ini. Menurutku, secara luasan tak beda jauh dengan Terminal Baranangsiang yang diurusi Pemerintah Kota Bogor.


Soal layout, parkiran bus, loket penjualan tiket, area embarkasi/ debarkasi penumpang, bangunan kantor, kios-kios pedagang, ruang tunggu, tak ada yang spesial.


IMG_2044 IMG_2081


Hanya gapura, ornamen pagar serta pura kecil yang menjadikan terminal ini punya aura magis dan sakral. Apalagi saat melihat  seorang ibu dengan putri kecilnya yang mengenakan pakaian adat Bali menunaikan persembahyangan dan setelahnya menaruh sesajian di taman.


IMG_2055


 And show goes on…satu demi satu, pemain malam mulai menampakkan diri, menjajakan jasanya masing-masing.


Pita selamat datang Terminal Ubung digunting oleh Wisata Komodo jurusan Purwokerto. Diekori kemudian oleh PO Sedya Mulya, dengan baju kebesaran Old Legacy.


IMG_2050


Si Ijo dari Tabanan, menyetor dua pasukan untuk mengempur area Jawa Tengah serta DIY. Model Setra DK 9147 GH untuk wilayah Semarang, sedang pasar Jogja digawangi DK 9161 GH, berbusana Marcopolo Adi Putro.


IMG_2056


Lalu, kapling tanah di bawah pohon beringin dikangkangi ‘si kuning langsat’ dari klan Kudus. Jurusan Jepara dipercayakan pada K 1684 AB serta K 1683 AB sebagai jatah Purwodadi. Dugaanku, K 1683 AB beserta kres-kresannya yang telah mengusik trayek Blora yang dikelola Restu Mulya dan Wisata Komodo, sehingga mereka mundur teratur dan mengisinya pas musim panen semata.


IMG_2059


Salah satu armada sebatang kara di jalur Denpasar, PO Tami Jaya, AB 7561 AS, turut mendonasikan aroma bau solar di pelataran terminal.


IMG_2060


Tak ketinggalan Karya Jaya dengan apparel berpola Ventura menyusup lewat area belakang, bersamaan dengan hadirnya Dahlia Indah bermesin Nissan CB, yang dikuntit oleh Gajah Temanggung, AA 1500 GY, jurusan Semarang. Sementara Kramat Djati, B 7533 PV, maupun Safari Dharma Raya model Phoenix LX jahitan Tri Sakti juga tengah warming up, hendak menempuh ‘penerbangan jarak jauh’ ke Jakarta Raya.


IMG_2077


13.40.


Tet…tet…


Pucuk dicinta ulam pun tiba. Obyek yang kuharap-harap laun namun pasti memamerkan batang hidungnya, seraya menyuarakan irama klakson yang bersandi.


Berbarengan melenggang di panggung terminal, dua armada Surya Bali, DK 9001 AC, serta DK 9002 AC, dan selanjutnya terparkir mengapit Dahlia Indah kelas ekonomi AG 7511 UR di jalur 16.


IMG_2043


 IMG_2083


“Om, ikut bis 02 ya!” jelas Mas Bejo saat mengawal dua propertinya itu.


 IMG_2089


Sebelum ngejogrok di hot seat, aku telisik armada dengan kode garasi ‘SB02’. Meski babar di Pulau Dewata, nyatanya ‘Muria taste’ begitu kental melingkupi.


Ada pernak-pernak yang mengindikasikan demikian. Pertama adalah stiker JTC, Jepara Trail Club, di kaca belakang. Kemudian tulisan TEPOS yang menempel di spion dalam, semacam nama geng anak muda kota ukir. Dan tentu saja, sajian acara televisi berupa pertunjukkan dangdut tarkam yang menampilkan artis lokal Jepara dari Orkes Melayu Camelia dan Metro, seperti Evis Renata, Eva Aquilla, Ayu Lestari, dan Anis Nuraida.



IMG_2066


 IMG_2106

Akankah soal habit dan tabiat di jalanan akan seperti gembong Muria line barat yang kerap memanaskan etape yang menghubungkan jalan pantai utara dengan ibukota republik tercinta?


Let’s see…