Jumat, 18 Januari 2013

Rukun Agawe Bubrah (4)

04.45


“Waduh…solar masuk angin!” kucuri dengar gumaman sopir tengah.


Sido Rukun minggir, dengan sigap ketiga kru berusaha melakukan penanganan darurat. Sementara sebagian penumpang pria mendadak menciptakan toilet panjang, berderet paralel membuang isi kandung kemih di tepian jalan.


Melihat seorang Bapak menenteng tas punggung sambil terus mengamati angkutan dari arah timur, aku pun meng-copy paste idenya.


“Lebih baik lanjut bus Cirebonan!. Terlambat kerja itu pasti, tapi jangan kebangetan hingga tengah hari.” demikian spekulasiku daripada menanti perbaikan tanpa kejelasan durasi. Ini baru daerah Kertasemaya, jarak ke Jakarta masih jauh, Bung!


Sayang, Putra Luragung ‘Koncara’ gagal kami hentikan karena posisi sedang nge-loop di trek yang lurus dan lapang. Kandas pula impianku untuk icip-icip citarasa armada-armada Bumi Kasepuhan.


“Ayo…naik…naik. Berangkat lagi!” Tak sampai 30 menit, troubleshooting itu kelar dan aku pun kecele.


Konsisten dengan gaya slow motion, bus sapu jagat-nya Muriaan dari Pulogadung ini kembali terseok-seok dari persaingan.


Pasukan kesiangan yang lain melesat cepat, berburu waktu sesingkat-singkatnya untuk mencapai wilayah ibukota.  Berturut-turut Aneka Jaya Proteus, Madu Kismo RK8, Rosalia Indah dengan nomor lambung 224 dan 374, Dieng Indah non AC, serta PO Sumanto Banyakprodo Putra menelantarkannya.


Di Losarang, terlihat aksi solidaritas tanpa pamrih ketika PO Limas yang tengah berkutat dengan engine failure dibantu oleh kru bus Putra Luhur.


07.05 


SPBU 34.41230 yang berlokasi di Pusakanegara disinggahi, me-reload bahan bakar yang mulai menipis, berbarengan dengan Kuda Tulungagung yang diwakili armada AG 7838 UR. Di area parkir, sedang leyeh-leyeh Gunung Harta Seri D, dengan stiker Green Bus Community yang tertempel di pintu kokpit.


Dari timur, telaters terus berduyun-duyun lewat seolah tiada henti. Tercatat Sumber Alam AA 1512 FL, Neo Sari Indah, Pahala Kencana Bojonegoro-Kalideres, Mulyo Indah Galaxy Exl, Rosalia Indah 244, Bejeu B13, Jaya AE 7158 US dan Tunggal Daya Travego ala body builder Tri Sakti.


“Yang turun Bulus siapa saja?” tanya Mas Kenek setengah berteriak menyensus penduduknya. Ada sekitar enam atau tujuh penumpang yang menyatakan diri turun di selatan Jakarta.


Dari hasil pembicaraan telepon kru dengan kompatriotnya, ada wacana untuk mengoper penumpang Lebakbulus dan Sido Rukun-ku langsung mengarah Pulogadung tanpa perlu wisata kemacetan di ruas jalanan ibukota. Rencana tinggal rencana, teman satu pul itu sudah unggul jarak, leading jauh di depan, tepatnya di km 62 Tol Cikampek. Sementara bus dengan livery pesona bangunan-bangunan tua di  Indonesia ini baru menggilasi aspal daerah Pamanukan.


“Ini ke Pulogadung dulu kan, Pak?” Satu orang penumpang mencoba make sure tentang jalur akhir yang akan dijelajahi.


“Iya…Pulogadung, Mas!” simpul asisten driver itu, yang dalam poin pengambilan keputusan berdasar asumsi bahwa Pulogadung adalah suara golongan mayoritas.


Sarujuk alias setuju dengan pertimbangannya. Aku bersorak…


Barisan busvora seakan datang dan pergi. Bus ini kembali jadi santapan Raya AD 1498 CG, pelat merah Damri, Kramat Djati Old Tourismo, Gunung Harta DK 9140 GH dan si Golden Dragon N 7580 UA, Sumba Putra nomor punggung 11, GMS ‘The Flash” serta Pahala Kencana Nano-Nano K 1714 B. Lalu dipungkasi oleh keroyokan oleh Sumber Alam ‘Wangi’ dan Sumber Alam AA 1728 xx.


Pangulah berubah menjadi pangkal kemacetan akibat pertemuan arus kendaraan yang mengarah/ keluar ke/dari ibukota di Simpang Jomin. Tanpa perlu kerja keras, Sido Rukun memplot Rosalia Indah 324 sebagai kapal pandu untuk berkelit dari keruwetan lalu-lintas, dan selanjutnya memilih gate in Dawuan sebagai lorong terang untuk mencapai Tol Cikampek-Jakarta.


Hikmah yang didapat dari jam kesiangan adalah bisa merasai apa yang dimaksud dengan jalan bebas hambatan dalam artian yang sesungguhnya.


Angkutan massal yang berkantor di alamat Jalan Seroja V No. 14, Semarang, ini mulai panas dan menggigit. Daya gedor mulai meluap, agressivitasnya sedikit demi sedikit tampak. Banter untuk level setir seukuran tampah.


Hanya Bejeu B20 , Shantika ‘Sukun’ H 1632 DA serta AO-Transport Laksana Comfort yang kuasa menyalipnya, masing-masing di Km 39, 17 dan 13.


09.03


Dalam kondisi terkantuk-kantuk, aku mengindikasikan sikap plin-plan terkait pengeksekusian planWho is the First; Pulogadung or Lebakbulus?’. Menjelang percabangan Cikunir, bus malah berada di jalur kiri, bukannya pasang ancang-ancang untuk lurus mengarah Jatibening.


Lha, kan  benar…


Dengan tampang innocent, juru mudi ingkar dari rencana semula dengan memasuki area Tol JORR Cikunir-TMII. Alasannya, bus ini tem-tem-an sore Pulogadung, ribet dan memboroskan andai rute yang ambil Pulogadung-Lebakbulus-Pulogadung.


Wis jan, Rukun agawe bubrah, Rukun membikin kacau-balau…


Para penumpang, tentu termasuk pula aku, yang terlanjur kesal karena time of arrival dipastikan kelewat molor semakin tambah meradang. Bahkan ada yang me-riquest paksa untuk turun di exit Pasar Rebo dan Ragunan, namun tak sekalipun digubris oleh kru.


Unloading segelintir sewa diselenggarakan di kompleks terminal yang bertetanggaan dengan stadion kebanggaan Tim Macan Kemayoran, Persija, bersamaan dengan kedatangan Pacitan Jaya Putra model Genesia dan Harapan Jaya 11, Magetan-Lebakbulus.


IMG00153-20130107-0955


11.10


Setelah hampir 1.5 jam khusyuk menekuni kemacetan di Jalan Ciputat Raya, Tol Fatmawati dan simpang susun Cawang,  bus malam yang pernah jadi favorit kaum komuter Muria-an di era 90-an ini kuakhiri kiprahnya di depan kantor Gudang Garam, Cempaka Putih.


Mpfuhh…getir, manis, asam, serta pahit rasanya bergumul dalam kabin ekonomi selama 18 jam!


11.45…accepted


Itulah display penanda waktu yang terpampang di mesin pemindai kehadiran tatkala kulangsungkan prosedur absensi bermetodekan kesesuaian sidik jari. 3 jam 45 menit yang kutilep dari masa kerja normal 8 jam.


Tentu tak ada yang perlu dirisaukan tentang pemangkasan tunjangan transport di penghujung bulan yang kerap menjadi tumbal ketidakdisiplinanku.


Namun, ada yang jauh lebih berharga dan bermakna dari sekian rupiah yang bakal kena amputasi. Setidaknya aku lulus ketika berhasrat menggoreskan arsiran baru dalam warna ritual mingguanku. Semoga yang demikian bisa mengikis kebosanan dan kejenuhan yang membekapku belakangan ini, dan sekaligus menumbuhkan kembali semangat ‘hot sensation on the bus’, mencumbui bus itu selamanya mengasyikkan.


Meski untuk hajatan itu, kali ini aku kudu menebusnya dengan acara ‘pecah rekor’ bus paling siang masuk Pulogadung dan finally…kulayangkan sapaan perdana, “Selamat Dhuhur, Jakarta!” pada ladang pencaharian nan menafkahi.


IMG00143-20130106-1640


-Tamat-

Rukun Agawe Bubrah (3)

Ruangan berukuran 11 m X 2.5 m penuh sesak oleh penumpang saat bus bernomor polisi H 1609 AA ini melakukan restart. Hembusan semilir AC mulai megap-megap, kurang lagi segar dihirup, seakan tak sanggup meladeni kebutuhan oksigen yang bakal diperebutkan oleh para peneduh di dalamnya.


“Maaf, Mas, mau ambil kursi dulu!” pinta kenek kepada penghuni baris terakhir.


Sebuah jok panjang minus sandaran diangkat dari sela-sela bangku dan kaca belakang. Selanjutnya digelar di depan ralling pintu belakang, disangga besi siku di bawahnya, dan duduk lah dua orang yang tak tercatat dalam manifes jalan.


Tol Kaligawe-Krapyak mempertontonkan laga tak seimbang antara nafas tua melawan darah muda. Letter K gangs; dua Royal Platinum Class dari Pengkol, Jepara, Scania Irizar-Irizan, Selamet New Tavego made in New Armada, Era Trans 065 serta Selamet Black Evobus seolah menyindir realita bahwa PO kampung ternyata jauh lebih ngedap-ngedapi disandingkan dengan PO kota.


Tak mau ketinggalan, laskar kidul-an mengerek bendera kemenangan di turunan Karangmalang. Checkmate yang dilancarkan Mulyo Indah Scorpion King, Ramayana line Jambi, penggawa Demak Ijo, Putra Remaja, dengan jubah Jupiter Li serta Budi Mulya AB 7620 CD membuat Sido Rukun menggulingkan rajanya.


Sebelum aku menutup layar, Muji Jaya Citra Mandiri  CM-010, ‘purple pearl” menyetor lekuk pantatnya, yang merupakan hasil kerajinan tangan-tangan Adi Putro.


Teng…tong…teng…tong…


Sirine persimpangan sebidang rel kereta dengan jalan lama Weleri menyalak dan membuatku terbangun.


“Wah…bisa lelap juga. Kayaknya sensor tubuh sudah mulai nyetel dengan keterbatasan bus jenjang jelata.” aku membatin bersyukur.


Saat palang pintu telah terbuka, dengan tergesa-gesa, dari samping kanan deras melaju GMS New Marcopolo, yang kian menegaskan bahwa bus yang berlogo ‘merpati perdamaian’ ini cuma liliput di tengah gelanggang Pantura.


IMG00150-20130106-1914


Ces…ces…ces…


Daerah sentra penghasil Sarkawi dihampiri. Untung pun teraih, dua penganut paham sarkawiyah dibaiat. Penumpang mulai ngoceh, melempar kritik pedas, karena tiada space lagi selain lorong masih saja menyeser. Tapi tak kurang akal, oleh kru #3, keranjang wadah minuman teh botol dikaryakan sebagai ‘tahta nista’.


Kini kesan sumpek, desak-desakan, ciut, sempit, terkurung dan overload semakin kental. Yang aku bayangkan, andai saja terjadi kondisi tanggap darurat yang mengharuskan penumpang bersegera meninggalkan bus, bakalan horor situasinya di bagian belakang. Pintu tak lagi bisa dibuka, terganjal bangku tambahan, sementara di sisi kanan tak dilengkapi dinding way out. Roof hole pun tak ada,  kaca geser di pintu terkunci mati. Setali tiga uang dengan ketiadaan alat pemecah kaca.


“Ya Allah…semoga aman, selamat dan sentosa hingga tujuan akhir,” doa suci kupanjatkan kepada Yang Maha Esa.


Tiba-tiba kurasakan hawa belakang begitu pengap. Meski pendingin ruangan bekerja baik, tapi mengapa udara yang dihisap menyesakkan dada?


“Pak, itu rokoknya dimatikan!!!” sergah seorang penumpang. Ah,…itu tho sumbernya.


Beruntung bus yang rintisan bisnis awalnya membuka bumel Semarang-Lasem ini tak jauh lagi dari bangunan Rumah Makan Raos Eco, Gringsing, sehingga tak membuat mabuk asapku semakin parah.


“Mas, tiket saya termasuk service makan ngga?” tanyaku pada kenek. Sungguh-sungguh, aku terlupa menanyakan hal tersebut pada agen Pati.


Diperiksanya  selembar kertas berwarna merah jingga non sampul yang baru saja kuserahkan.


IMG00161-20130110-2108


Ngga, Mas.” terangnya singkat.


***


Karena gagal membelah interchange yang cukup padat, Sido Rukun pun terdampar di jalur lama Plelen, yang dinamai buku geografi dengan sebutan Tanjakan Poncowati.  Kinerja OM-366A tertolong oleh sepinya truk-truk angkutan berat sehingga leluasa melenggang. Namun tak ayal, HS-150 berhulu ledak buatan pabrikan negeri Skandinavia sukses mendahuluinya.


Bentang Alas Roban hanya secuil yang bisa kunikmati sebelum tertidur kembali. Itupun mampu menyuguhkan kesaktian Nusantara Premiere Class berserta koleganya, ber-STNK K 1708 BB. Sejumput torehan positif lalu dipahatkan, ketika bersusah payah menang adu sprint dengan angkutan wisata, PO Jaya Mandiri.


Senin, 7 Januari 2013 


00.35


Tangisan anak kecil memecah keheningan, menyiratkan pesan bahwa atmosfir di dalam kabin menuju ambang ketidaknyamanan.


Kubuka mata, dan seketika panorama di sekeliling transporter jurusan Tayu-Pati-Pulo Gadung-Lebak Bulus ini dipenuhi lautan bus yang nyaris tak bergerak. Empat lajur dikangkangi, menciptakan ketersumbatan lalu-lintas di region Petarukan.


Kuabsen satu per satu dari jalur dua arah barat sebagai posisi GPS-ku.  Sisi kiri diisi Shantika Premiere, serta PO Williams eks New Rejeki Baru yang dulu aku naiki, AA 1616 FM.


Samping kanan jauh lebih meriah. Hiba Utama bikinan Tri Sakti, Raya 04, Pahala Kencana Proteus OH-1525, Puspa Jaya ‘Raja Kalajengking’, Santoso AA 1434 AA, Blue Sindoro Satria Mas XBC-1518 dan poolteamnya, 226 berbusana Legacy SR-1, menjejali jalur berlawanan.


Kemudian turut berebutan juga di sana antara lain : Shantika dengan latar abu-abu H 1418 CG, Rajawali Golden Dragon, Haryanto Green Titans 67, Sari Mustika ‘Muria Putra’, Shantika ‘The Style Five Star Bus’, Shantika ‘Panoramic’, Haryanto bekas PO Tridiffa, Kramat Djati Selendang Setra, HS-182, dan sang pencipta ‘Beautiful of Pantura’ dengan sinaran lampu aksesoris yang memukau. Siapa lagi kalau bukan HR-16, dengan ikon lambang Tatto 505.


Akar penyebabnya adalah perbaikan jembatan di ringroad kota Pemalang, sementara kendaraan yang mengarah ke Cirebon tersendat oleh lintasan rel yang malam itu tengah peak hours oleh traffic kereta api.


Rewind kemacetan terjadi lagi di daerah Cimohong, Brebes. Bus-bus pengusung aliran so-fasty driving menembus area kanan, sementara busku taklid buta pada aturan jalan raya. Duo Harapan Jaya dan PO dari Karanganyar, Langsung Jaya, mempraktekkannya.


Tol Pejagan diemohi, dan bus yang tuna fasilitas seperti bantal, selimut, hiburan audio-video, toilet dan kandang macan ini lebih memilih akses Kanci.


Selepas membayar gerbang tol Ciperna, aku terjaga karena kegerahan. Tak terkecuali dengan Bapak-Bapak di sudut belakang, yang resah dan gelisah seraya sibuk melonggarkan ikatan pakaiannya.


 “Duh Gusti…louver AC cuma menghembuskan angin, membawa penderitaan bagi yang duduk di atas kompartemen mesin.” keluhku.


Tak ingin ‘matang terpanggang’, aku pun beringsut ke depan mengingatkan sopir dan beliau merespon dengan menghidupkan kembali switch pengatur freon. Hal-hal seperti ini seringkali disepelekan padahal satu-satunya pemberi nafas kehidupan di ruang tertutup adalah piranti air conditioned.


“Pak, Palimanan masih jauh?” tanya anak muda saat aku akan kembali beranjak ke tempat semula.


Kutoleh kepala, “Sebentar lagi, Mas. Ujung tol ini daerah Palimanan!”, jawabku, sambil mengaborsi niat return to base, menunggu penumpang tersebut turun, untuk kemudian menyuksesi bangku dia secara cuma-cuma.


“Duduk di baris ketiga pasti jauh lebih manusiawi dibanding nangkring di atas tungku bakar.”,  aku tersenyum lega.

Rukun Agawe Bubrah (2)

Bergegas kudaki tangga menuju singgasana nomor 55 lewat pintu belakang. Inilah kali kedua aku mempercayakan strata ekonomi untuk mengisi diary trip mingguanku, setelah sebelumnya gagal finish di Pulogadung kala diuji oleh Garuda Mas, setahun silam.


“Ayo, berangkat…berangkat!” seru controller setelah sewanya hampir lengkap, menyisakan dua jok untuk agen Demak dan sepuluh kursi yang didedikasikan untuk wong Semarang.


IMG00147-20130106-1712

17.05


Ritme nafas mesin Mercy era OH King memburu, tersaruk tanggungan berat sasis berikut bodi setara 12 ton, plus total bobot penumpang yang mencapai 3.5 ton. Belum lagi dera untuk memutar kompresor AC sebagai penyumbang kebutuhan udara bersih bagi kelima puluh sembilan penghuni resminya.


Di kawasan Gunung Bedah, bus garapan karoseri Ungaran ini kres dengan NS-47 Pulogadung-Tayu. Disusul kemudian di Daerah Jekulo, bertatap muka dengan Pahala Kencana jurusan Bangilan. Ini sebagai penanda, bahwa jalur Pantura sepanjang pagi, siang, dan sore itu lancar manunggal. Tapi yang demikian bukan jaminan bahwa malamnya status free flow masih terjaga.


Bus hanya melaju pelan, jarum kecepatan imajiner bermain di skala 60-70 km/ jam. Kalah gesit dengan truk-truk ringan pelat P bermuatan cabe yang hendak didropping ke pasar-pasarnya Pak Jokowi.


Drivernya pun sepuh, usia rata-rata sopir bus Wonogiren, selaras dan sepadu dengan performa armada yang dikendalikannya. Miskin fighting spirit, gelora all out ataupun laku mobat-mabit yang diemban. Yang diagungkan adalah kesopanan, ketertiban, safety driving serta style alon-alon asal kelakon. ‘I Love Slow’, demikian slogan yang pas untuk mendeskripsikan kepribadiannya.


Mendekati perempatan Tanjung, Lingkar Kudus, bus pariwisata Sindoro Satrimas 106B pamer kedigdayaan. Tak ketinggalan pula Pahala Kencana K 1594 B, yang dengan kenekatannya merampas jalur arah Purwodadi untuk menerobos lampu merah.


Berdua bukan lawan sepadan. Hehe…


Terminal Jati dicueki, langsung bablas ke jalur orisinal Pantura tanpa merasai derita oleh perbaikan Jembatan Tanggulangin yang telah paripurna.


Di depan SPBU Wonoketingal -- yang belum lama ini jadi TKP kecelakaan OBL Alap-Alap B 7168 PD --, giliran Nusantara dari keluarga CN membabatnya. ‘Smiley New Travego’ yang berjalan kesetanan itu sepertinya didapuk sebagai angkatan pertama Pulogadung. Tak lama berselang, dua Scorpion King Bejeu kompak mengasapinya. Wusss…


Dari arah barat, terlihat NS-52 Pulogadung-Jepara yang tinggal sehasta lagi akan menuntaskan mandatnya.


Sementara itu, penumpang di kanan kiriku tak henti-hentinya bercanda, gojegan, ledek-ledekan, menambah riuh kabin yang disarati penumpang. Sekilas kupandangi wajah-wajah orang dusun ini, dan kutemukan bahwa air muka mereka secara jujur berbicara tentang gambaran hati yang sesungguhnya. Dibalik topeng keceriaan, ada semacam ganjalan berat yang mereka ampu.


“Turun mana nanti, Mas?” tanyaku pada sebelah, yang secara bilangan umur tak beda jauh.
“Pulogadung, Mas.” jawabnya ramah.
“Tujuannya ke mana?”
“Ke Halim, PT xxxx.”


“Perusahaan bidang apa, Mas?” kembali kuselidik, meski itu sekedar basa-basi untuk mengakrabkan diri.


“Anu, Mas, PJTKI”.
“Oh, jadi Mas-Mas ini mau bekerja di luar negeri?”
“Iya, Mas. Rabu besok berangkat ke Arab Saudi. Dikontrak dua tahun kerja di sana, ikut proyek perluasan Masjidil Haram.” bebernya, yang setelah itu kuketahui bahwa dia adalah kepala suku dari keempat temannya.”Dan kemungkinan, kontrak itu bisa diperpanjang lagi.”


“Wah…enak ya, Mas, gajinya lumayan gede.” pancingku.
“Habis gimana, Mas, di rumah tak ada kerjaan, nyari uang palingan cukup untuk hidup sehari-hari.” curhatnya.”Padahal saya sudah punya anak, pasti nanti kebutuhannya juga tidak sedikit.”


“Gimana tadi suasana pamitan sama anak, istri dan keluarga?”
“Ya…yang pasti berat, Mas. Apalagi kata orang kantor, selama dua tahun kemungkinan tak bisa pulang. Hati kecil ini tak tega meninggalkan mereka. Belum dua tahun saya berumah tangga, usia anak juga baru tujuh bulan. Lagi manis-manisnya.” ucapnya seraya menghela nafas.


“Tapi ini semua demi masa depan. Biarlah sekarang saya prihatin dan tirakat dulu, yang penting kebutuhan anak bisa saya cukupi.” imbuhnya dengan tabah nerimo.


So wise…pribadi yang hebat, ruarrr biasa lagi tahan banting.


Dua tahun tak ketemu anak? Hmm…Aku saja hanya mampu memendam rindu bersua dengan bidadari-bidadari kecilku tak lebih dari dua minggu. Aku tak setegar mereka.


“Sido Rukun dua orang…dua orang!”


Anouncement dari kenek menggema saat menapak Terminal Demak membuyarkan lamunanku. Bus berbasis bodi model Comfort itu parkir terjepit di antara armada Bayu Megah dan Haryanto Red Titans.


Lari-lari kecil kembali diperagakan. Tak ada aksi nyetick tipis, late braking, nyendok kanan kiri, membleyer-bleyer pedal gas meminta jalan dalam mencairkan kepadatan lalu-lintas. Mending bersabar, menunggu situasi aman dan lengang saat melakukan prosesi overtaking.


Dan sikap itu kemudian digugat oleh Nusantara HS-174, yang dalam hitungan detik tampak membuntuti, menyejajari, menyalip separuh badan dan kemudian berlenggak-lenggok menghilang dalam keremangan senja di Karangtengah.


Kebutuhan asupan cairan berenergi dipenuhi di Pom Bensin Sayung, beridentitas 44.59503. Tercatat 118 liter untuk memenuhi lambung bahan bakar sebagai bekal gerilya sepanjang malam. Saat hendak berangkat, dimakmumi Sari Mustika berbaju Proteus, yang dimataku ada barang langka yang bertengger di atapnya. Yakni unit AC yang digunakan bermerek Songz.


Lagi tengah gontai berjalan, jatah pion Pak Hans, K 1596 BB, yang menjerembabkannya. Calon jadi lumbung gol ini. *Tepok jidat…


Sein kiri berkedip, dan haluan bus berbelok blusukan ke gang yang tak sebegitu lebar. Dari pelang nama suatu pabrik, ini adalah kawasan industri Gebangsari, Kaligawe. Hendak kemana gerangan?


Sebuah gerbang besi terbuka, yang ternyata akses masuk ke dalam garasi. Roda-roda OH-1518 pun bermanuver di atas lapangan yang becek, berlumpur hitam, ditebari liang-liang menganga dan ditumbuhi rumput liar pada border-nya. Homebase yang kurang terawat, itulah kesimpulanku, setelah menumpang ke toilet dan meminjam mushola untuk menjamak salat Magrib dan Isya, yang kondisi keduanya kotor.


Aku hitung ada 10 armada yang sedang mematung, entah keperluan perpal ataukah stand by. Yang pasti mayoritas bertuliskan ‘Pariwisata’ di kaca depan.


Barangkali inilah refleksi bahwa Sido Rukun perusahaan otobus pada level medioker. Sederhana dalam berbisnis, tak segemebyar PO-PO dari Semenanjung Muria.


Kadang timbul pertanyaan yang jadi slilit dalam pikiran ini, ada apa dengan PO-PO dari ranah Semarang Kota? Sumber Larees, Karya Jaya, Sari Mustika, Adam, dan Sido Rukun, yang telah lusinan tahun malang melintas dan makan asam garam di kosmos per-bus-an tanah Jawa seolah tak berdaya, tenggelam dalam hegemoni dan dominasi kompetitor muda dalam percaturan usaha angkutan darat.


“Penumpang 84 siap, busnya datang!” panggil Mandor Pul kepada penumpang yang sedari tadi menunggu.


Seketika hati ini ditikam kecemburuan, menatap armada dalam balutan Legacy SR-1, H 1584 CA, melenggang masuk markas. Sayang, ‘si VIP’ ini jatah dari Blora/ Purwodadi.


Malam ini aku tak disayang Dewi Fortuna …

Rukun Agawe Bubrah (1)

Jenuh…Jemu…Boring Total…Bosan…Sumpek…Muak…Enek…Pening…Stres tingkat dewa…


Ungkapan-ungkapan yang membahasakan ekspresi kekesalan itu sepertinya cocok untuk melukiskan perasaanku menyikapi amalan wira-wiri mingguan. Adalah lumrah lagi kodrati, menyusur jarak 1.200 km pulang pergi di akhir pekan selama hampir delapan tahun, semakin lama semakin mendatangkan monotonitas nan akut. Naik bus bukan lagi barang yang wah untuk dinikmati, bukan sesuatu yang menghadirkan sukacita dan riang gembira, bukan pula upacara sakral yang perlu lestari dikeramatkan.


Setiap kali punggung ini bersetubuh dengan sandaran kursi, kaki terjulur mencari tempat berlabuh nan nyaman, dan kemudian terdengar raungan pedal akselerasi yang mengisyaratkan perintah go, diri ini rasanya tak betah berdiam lama dalam sejuknya hawa kabin bus. Pengin, pengin dan pengin untuk selekas mungkin sampai ke destinasi akhir. Momok yang terbayang adalah handicap sepanjang jalan yang harus dihadapi, yang kian hari malah meningkat takaran siksanya.


Jalanan rusak, proyek perbaikan jalan dan jembatan yang tak berujung, kesemrawutan lalu lintas, truk-truk yang merayap kepenatan diangkuti tonase berlebihan, sepeda motor yang makin menyemut, lebar jalur nan terbatas – hingga tak mampu mengimbangi pertambahan populasi roda empat, aktivitas pasar tumpah dan pasar modern, perilaku unsafe pengguna jalan, kualitas jalan yang buruk, potensi kemacetan di sana-sini, panjang ruas tol yang hanya sejengkal, cuaca tak menentu, insiden dan kecelakaan, serta kendaraan mogok adalah deretan konstanta pendongkrak kian mahalnya harga binatang yang bernama kelancaran, akhir-akhir ini.


Dampaknya, waktu tempuh tambah menjulang, fisik kudu ekstra afiat, dan hati mesti tebal mental berdamai dengan kejengkelan dan kekecewaan selama mengaspali medan Pantura.


Kerunyaman itulah yang selama setengah tahun ini benar-benar membungkam keliaranku untuk mencari pengalaman dan sensasi anyar, dengan mencari korban ‘PO-PO baru’. Aku acapkali takluk diri dan terbuai dalam zona nyaman yang disajikan langgananku, NS-39 untuk pulang ngetan, atau HR-66/67 untuk balik ngulon. Tinggal nyemplak, dinina-bobokkan alunan musik koplo, dihembusi semilir angin pendingin udara, persetan dengan ragam scene di jalanan, dan selanjutnya tidur nyenyak…tahu-tahu esok sudah sampai tujuan.


Kurva rutinitas yang cenderung datar, satu nada satu irama, dengan setting serta alur ceritanya yang sama identik, lama lama membikin diri ini ogah-ogahan menggelutinya.


‘Lebih baik menyalakan lilin daripada menyalahkan kegelapan’.


Quote pencerahan itu sungguh-sungguh menginisiasi untuk memodifikasi warna perjalanan mingguanku. Aku tak boleh kalah melawan kejenuhan. Lantaran turing ini bukan sekadar keinginan, melainkan kebutuhan. Demikian tekad yang kutinggikan.


Sabtu siang, 5 Januari 2013


“Mas Didik, besok pulang?” tanya Bu Tin, agen PO Haryanto, lewat media pesawat telepon.
“Iya, Bu, seperti biasa.” jawabku.
“Aduh…saya kira ngga pulang, Mas. Bangku nomor 3 sudah saya jual.” ujarnya setengah kelabakan. “Ini tinggal satu, nomor 11. Gimana?”
“Hmm…terima kasih, Bu, lain waktu saja ya.” pungkasku.


Tentu bukan masalah hot seat yang terlepas sehingga aku urung menggunakan jasa armada Pak Kaji Haryanto. Ini sedang bicara soal bagaimana me-menej kebosanan.


“Benar nih, Pa, ngga pesan tiket balik?” protes istriku. “Nanti bla…bla….bla….”.
“Serius, Ma. Aku mau beli dadakan di Pati,” kilahku.”Berangkat seperti biasa kok, jam setengah tiga, ngga sampai memotong jatah waktu buat keluarga. Ngga usah repot nganter sampai Rembang, nanti aku pakai bis mini dari Sulang saja.”


Dengan roman merajuk, aku berharap permaisuri meng-acc permintaan. Meski terlihat berat, anggukan kepala kudapat. Yes…


Minggu, 6 Januari 2013


14.35


“Gara-gara tiket dari Sulang habis, jadinya kita nyari di Pati. Kalau ngga dapat, terus gimana ya?” lirih kudengar kesah empat atau lima orang di atas bus engkel penghubung Rembang-Blora.


“Blaik…kukira ini minggu sepi setelah liburan sekolah dan tahun baru. Seat kok sold out?” aku terperanjat. Mereka rupanya senasib denganku, memilih take off dari Terminal Pati, meski alasan mengapa mesti go show dari sono, pastilah tidak seragam.


Handicap satu menghadang. Tiket bus ternyata masih langka. Aku keliru timing.


“Bos…dari pagi Juwana macet. Suroboyo-an pada lewat Jaken.” remind seorang pengamen kepada kondektur Jaya Utama, moda yang aku estafeti dari Rembang menuju Bumi Mina Tani.


“Walah, macet apalagi? Bukannya pengecoran jalan sudah selesai?” aku kembali terkaget-kaget.


Aral kedua menghalang.


Segera ku-BBM Mas Iwan Madurip untuk menanyakan kondisi ter-update dunia perpenumpangan di Kota Pati. Jawaban mengambang yang kudapat “Aku ngga tahu, Mas, sepi atau ramai. Aku libur”.


Semakin tidak jelas!


Untunglah, AC Tarif Biasa yang di-ngadimin-i Koh Hary Intercooler di grup FB itu memaksakan diri lewat jalan Daendels. Dan ulah nekatnya dengan menganeksasi bahu jalan di sisi arus berlawanan lumayan membabat luasan kemacetan.


Ampun…kemacetan berarak panjang, kira-kira 4 km menjelang dan sesudah Jembatan Juwana. Spot baru ini adalah titik geser kemacetan pasca ‘pengoperasian kembali’ buku jalan antara Juwana-Kaliori.


Namun tetap saja, 30 menit masa yang berharga terbuang percuma, membuatku cemas tak terkira, gusar tak dapat menangkap slottime pemberangkatan bus malam dari Terminal Sleko.


16.38

“Masih ada bangku, Mas? Jurusan manapun tak masalah!” kukorek ketersediaan itu pada agen Bejeu, setiba di stanplat yang berlokasi di seberang pemancar radio Harbos FM.
“Dari kemarin sudah habis, Mas”.


Uh…kugeser badan ke loket sebelah, yang memajang armada high grade untuk melayani kelas ekonomi, Hino keluaran terbaru dengan jersey Jetbus, beregistrasi B 7003 UGA.


“Beli berapa, Mas?” tanya Mas Agen pada pengantri di depanku.
“Empat, Mas”.
“Pas, kebetulan ini tinggal empat lagi”.


Aku pun gigit jari, ludes pula tiket Garuda Mas.


“Selamet…Selamet… Bulus masih satu, PG ada dua…” lantang awu-awu berbaju non formil menjajakan dagangan.


Ngga dulu, ah.


“Masih ada, Mas?” aku mengiba pada penjaga lapak PO Bayu Megah.
“Penuh.Sebenarnya ada CD, Mas.”
“Ok, saya beli, Mas” segera kusambar tawarannya dengan tak sabar.
“Iya, tapi nunggu sopirnya. Dia lagi makan. Kalau boleh dijual, nanti buat Mas.” redamnya.”Tunggu saja di sini!”


5 menit…10 menit…tak ada kepastian. Sementara waktu kian menghimpit, mengingat jam 5 teng mulai memasuki injury time ‘tutupnya’ terminal, sementara aku belum menunaikan kewajiban salat Asar dan belum berhasil mengais secarik tiket. Menit berikutnya, berita itu datang.


“Sopir bawa anaknya, Mas!”


Alamak, mengapa mesti menunggu lama untuk mendapat ‘warta ranaduka’?


“Mau Sido Rukun, Mas!” rayu seorang broker yang nguping kegagalan transaksiku.


Yo wis lah, buat apa pilih-pilih, sedapatnya bus sudah merupakan anugerah terindah yang kumiliki sore ini.


Dengan semangat 45, aku pun diantarkan menemui petugas tiket PO Sido Rukun.


“Tinggal nomor 55, 58 dan 59. Pilih saja! Tiket 90 ribu.”


Segera kubayar saja tanpa banyak tanya. Yang kutahu, dari lembaran sket, itu adalah deretan bangku terbelakang.


Entah tergolong murah atau mahal, aku tak ingin sambat dan tidak mau peduli. Toh, dari kabar teman-teman komuterku, hari itu tiket eksekutif masih bercokol di angka 150 ribu.


“Busnya di ujung timur, Mas!” instruksinya seraya menyerahkan selembar duit ceban sebagai uang kembalian.


IMG00142-20130106-1640