Senin, 11 Februari 2013

GreenZational (3)

Setelah memberi kesempatan isoma (istirahat sholat makan), kurang lebih 40 menit kemudian, Lorena produk 299 ini melanjutkan pengembaraan  menuju kampung halaman Ida Ayu dan I Wayan. Subtitusi driver dijalankan, meski urusan habit dan attitude driving, tak ada perbedaan menyolok alias setali tiga uang dengan joki pertama. Cukup-cukup santun di jalan, lemah gemulai bahkan cenderung kelewatan, hingga mempersilahkan jenis kendaraan apapun untuk mendahuluinya. Hehe...


Meski begitu, Gajah Mungkur Evolution sempat disisihkan sebelum menyejajari sebuah Mikrolet M-15 yang lampu belakangnya blank out. Entah mau kemana angkutan trayek Tanjung Priok – Kota ini, hingga nyasar ke rute bus malam.


Benerin dulu tuh lampu, nyiksa mobil belakang!!!” pekik Pak Sopir lantang, mengingatkan kita bahwa potensi kecelakaan membesar andai pengguna kendaraan abai terhadap kelengkapan kendaraan termasuk lampu-lampu. Sebuah tindakan yang patut diacungi jempol, selaras pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”.


Belum lama berjalan, di Patrol, bus berhenti lagi untuk loading paket. Satu persatu, penggiat malam Pantura berlalu. Dari urutan depan, tercatat Santoso Hinomaru, Raya Panorama DX, serta Rosalia Indah 252. Eretan pun turut menjadi saksi kegarangan PO Sahabat Al Zidan yang benar-benar melumpuhkan pergerakan si penyandang gelar ISO 9001 : 2000 dari Anglo Japanes American (AJA) ini.


Dari Losarang hingga menyusuri bypass Widasari, bertemulah kawan seiring sejalan, Pahala Kencana B 7903 IW. Laksana Proteus itu rajin membimbing New Celcius, sampai-sampai aku mengandaikan bahwa “tanpa pernah sejengkal pun” melebarkan jarak. Tapi sayang, setelah berakrab ria sepanjang hampir 10 km-an, provokasi yang dilancarkan PO Sumba Putra memporak-porandakan pertemanan yang telah dikreasi. Ombak Biru bertrayek Jogja-Klaten sepertinya tak terima dikompori geberan gas mesin tua Galaxy Coach berkode 19, saat disalip dari sisi kiri. Dilupakannya Lorena yang adem ayem ini, bergegas dikuntitnya bus ranah Wonogiren itu, dan dalam hitungan belasan detik, tak tampak lagi sorot back lamp-nya. Busku kesepian lagi…


Jujur saja, aku turut prihatin atas dibukanya kembali bypass Widasari, belum lama ini. Jalan pintas ini setidaknya membunuh separuh eksistensi jalan lama, yang membujur antara pertigaan Celeng hingga pertigaan Widasari, sebab kini tak laku lagi dilirik bus malam. Padahal, sirkuit ini adalah stereotip jalan Pantura tempo dulu, yang hanya terdiri dua lajur, dengan pepohonan besar yang mengapit kedua sisi jalan. Saat musim mangga Indramayu yang terkenal besar dan ranum daging buahnya, bertebaranlah pedagang musiman yang menggelar lapak di pinggir jalan. Sebuah harmonisasi indah antara jalan Pantura, hasil alam dan masyarakat setempat.


Di trek yang relatif lurus inilah panggung catwalk para driver unjuk kebolehan dan adu nyali, main loop-loopan, melarikan armadanya sekencang-kencangnya sambil menari-nari meliukkan badan bus di tengah barisan angkutan berat yang merayap. Terlebih saat melewati area pembuangan residu produksi gas alam berupa kobaran api yang menyala-nyala ke awang-awang, serasa jilatan panasnya turut membakar pertarungan medan Pantura yang dari dulu memang terkenal panas. Malangnya, kini semua hanya tinggal kenangan, jadi pemanis bibir penutur cerita tentang kekeramatan jalur Pantura.


Kertasemaya–Tegal Gubug-Tol Cirebon tak mampu aku tangkap lagi gambarnya, kalah oleh pemejaman mata secara bergilir. Sejenak terjaga saat bus yang dilengkapi fasilitas smoking room ini menapak teritorial Gebang. Yang artinya, exit Kanci yang dipilih, bukan melenggang ke tol Pejagan.


Bangun kembali di ruas Brebes-Tegal saat posisiku menempel Lorena rasa Patriot yang mengusung trayek LB-2406, tujuan Tegal–Slawi–Purwokerto. Sementara dari arah berlawanan, arus bus malam yang mengangkut pemudik yang akan kembali meladang seolah tiada jedanya.  Bus Kudus-an, Solo-an, Ponorogo-an, Jogja-an, Pacitan-an, Purwodadi-an hingga Wonogiri-an seakan tak putus, sambung menyambung menjadi satu. Dugaanku, demand atas bus masih begitu tinggi, calon penumpang membludak berkaca pada armada PO Nusantara yang sempat kutatap kaca depannya, dengan kode jurusan aneh-aneh, semisal NS-26, NS-100, NS-102 dan NS-108, yang tak bakal dijumpai pada hari biasa.


Agen Kota Tegal. Controlling kedua yang dilakukan setelah Cikampek, menambah deretan  spot yang kudu dihampiri bus-bus Lorena-Karina arah ke timur.


Ada kejadiaan yang mencuri perhatianku saat bus bervolume silinder 6374 cc ini menjilati lapisan aspal daerah Dadapan, Tegal. Tak selang lama setelah disalip Rosalia Indah 206, tiba-tiba mengalir deras Pahala Kencana RK8 K 1603 B dari sebelah kiri dan kemudian membabat habis halang rintang kendaraan-kendaraan lain di depannya. Dari larinya yang ngotot dan seolah kesetanan -- ingkar dari adat istiadat divisi Kudus -- aku menduga Mas Ferry Fonda sang penghelanya. Masih terngiang kabar itu, bahwa selama lebaran ini dia jadi serep armada 1603. Jangan-jangan memang benar adanya.


Mendekati lingkar kota Pemalang, bus yang mengadopsi teknologi mesin intercooler turbocharger berhasil mencetak skor, mengandaskan langkah Santoso seri N, Pasar Kemis-Klaten, sebelum setor muka ke checker yang didapuk juga sebagai agen chapter Kota Ikhlas.


Aku pun nyenyak kembali, dan tersadar saat kru meminta stempel dan bubuhan tanda tangan dari kantor perwakilan Pekalongan. Pufhh…Jakarta-Pekalongan sampai empat kali wajib lapor, yang artinya ada sekitar setengah jam masa yang tersita. Cape deh


Mode alam sadarku yang on-off melulu, mengubur diorama malam kawasan hutan jati Alas Roban. Melek mata kulakukan secara paksa saat kurasakan busku berhenti begitu lama, tepat di belakang OBL Jakarta-Solo Si Hantu Laut B 7777 IZ. Rupanya, berbarengan berhenti di agen Krapyak, Semarang, yang letak keduanya berdekatan.


Ada sedikit permasalahan di sini. Armada bertahun emisi 2011 dipending keberangkatannya, menunggu Karina Madura di belakang yang diputus perpal karena ada permasalahan engine.  Akhirnya, dapat limpahan penumpang tujuan Bangkalan serta Lamongan, yang akan didrop ke rumah makan Taman Sari, Tuban, menanti bus yang sesuai jurusan. Kasihan juga mereka. Tapi siapa yang berharap ada kejadian yang cukup menganggu di tengah acara bepergian?


Kupandangi lagi display waktu yang tak pernah mogok kerja itu, tertulis 01.24. Loh, meski lamban dalam urusan lari, menurutku masih di dalam range waktu tempuh yang wajar, 9-10 jam untuk Jakarta–Semarang. Little surprising tentunya bagiku. Padahal di awal trip, aku terlalu underestimate. Semisal jam 6 pagi LE-612 mampu menurunkanku di Rembang, sudah merupakan rekor yang patut dihargai, mengingat rapor merah saudaranya, KE-460 Rawamangun-Bojonegoro yang seringkali tengah hari baru tiba di bumi Dampo Awang, padahal beda jam keberangkatan dari Jakarta tak sampai 3 jam.


Bisa tembus 12 jam kah,  dengan menyisakan spesial stage Semarang-Rembang?


Dengan kendali beralih kembali ke driver pertama, bis berdaya hingga 260 tenaga kuda ini melanjutkan derap kaki-kakinya dengan santai, tanpa pernah memforsis kinerja enam batang torak yang terbenam di dapur pacu. Tak urung, di arteri Pelabuhan Tanjung Mas, Budi Jaya bertagline “Arjuna Mencari Cinta” dan Pahala Kencana B 7689 IV melancanginya. Kemudian ditiru juga oleh Haryanto The Ocean di wilayah Genuk dan Nusantara Irizar jadi-jadian di Sayung.


Di batas kota Kudus mengarah Pati, terjadi kecelakaan frontal yang melibatkan mobil travel vs Toyota Kijang. Mikrobus terguling melintang di tengah jalan, sementara MPV 2000 cc terbang dan nyungsep di rumah warga. Sepertinya kejadiannya belum lama terjadi, terlihat dari kesibukan warga dan aparat kepolisian yang tengah berupaya mengevakuasi bangkai kendaraan.


Entah tidur part ke berapa yang aku adegankan, saat raungan mesin Hino Putri Michiko-nya Nusantara koridor Poris Plawad-Kudus-Rembang menjerembabkan “The Green”, membuyarkan peraduanku. Kuedarkan pandangan sekeliling, hmm…areal tambak garam Kaliori. Sesegera mungkin aku menghadirkan seluruh nyawaku, karena 5 km lagi bersiap turun di alun-alun tanah kelahiranku tercinta, yang malam itu masih dipayungi duka nestapa lantaran pasar kota luluh lantak diamuk jago merah, hingga membumihanguskan sebagian besar kios berikut isinya, hari Rabu sebelumnya.


Dan tepat pada pukul 04.10, saat detik-detik menjelang adzan subuh berkumandang dari Masjid Agung Rembang, aset berharga yang asal muasalnya dari jerih payah Bapak GT Soerbakti itu menyelesaikan tugas dalam melayaniku. Tak sampai 13 jam untuk memangkas jarak sejauh hampir 600 km.  Lumayan hebat juga…


Sungguh beruntung lika-liku perjalanan yang baru saja paripurna kuemban. Berjodoh dengan armada teranyar, disempurnakan dengan ketepatan waktu tempuh. Meski miskin determinasi, tertatih-tatih dalam berlari, pelayanan off board dan on board yang perlu ditambal sana disulam sini, namun setidaknya tercapai cita-cita pribadiku untuk tetap lestari menggandeng tangan Lorena dalam satu pengamalan ritual mingguan. Bagaimanapun kondisi dan keadaannya, meski kini lebih sering dihujani kritik, jadi ajang cemoohan hanya lantaran emblem OH 1725, dipandang tak lagi istimewa, hingga muncul sikap apriori menjurus antipati terhadapnya, aku tak bakal bisa menghapus aroma keharumannya dari palung sanubari terdalam.


Karena dialah alasan mutlak, yang telah menyihirku hingga akhirnya aku terkagum-kagum pada magnificient sebuah bus. Di mataku, itulah “kesensasionalan” yang melekat abadi pada sosok magis yang bernama Lorena.


Aku sendiri menjuluki kesensasionalan itu dengan “GreenZational”, hasil rekayasa peng-akronim-an idiom “Green Sensational”.


IMG00290-20110909-1504



Sah-sah saja, kan?

GreenZational (2)

Pengabar waktu di pojok depan kiri kabin memampangkan angka 15.26, saat Lorena mengangkat jangkar dan mengembangkan layarnya.


Bagiku, kehadiran bus ini ibarat gol balasan, yang dengan jelas mengisyaratkan bahwa “The Green” masih punya kuasa dan stamina untuk berkiprah dalam percaturan per-bus-an tanah air, bersanding dengan kompetitor-kompetitornya. Kepercayaan Ibu Eka Sari pada mesin Mercedes Benz terbaru seri OH 1526 E3, dan selanjutnya dibingkai dalam busana terbaru gubahan Rahayu Sentosa, New Celcius, seolah membungkam anggapan di forum terminal-an bahwa Lorena-Karina Grup telah melewati zaman keemasannya. Who knows, sensasi-sensasi kecil yang ditunjukkan, seperti penambahan armada kinyis-kinyis ataupun yang sekedar ganti baju, pembukaan trayek baru serta derivikasi bidang usaha hingga menjamah angkutan Trans Jakarta dengan bendera LRN adalah sinyal kebangkitan jilid II yang tengah dipersiapkan matang.


IMG00289-20110909-1502


Back on the track...


Menyusuri permadani hitam Pedati - Cawang hingga kilometer-kilometer awal tol Jakarta-Cikampek, LE-612 ini mengalun perlahan, tanpa agresitivas, sarat dengan kekaleman. Pusingan roda hanya bermain-main di bilangan 60-70 kph, menanggalkan style alap-alap di masa jayanya, berganti budaya eco-speed. Alhasil, dia tak mampu beradu cepat dengan Rosalia Indah 144 di km 08, Kramat Djati Madura B 7484 IS di km 10 serta Ramayana AA 1636 AB di km 15.


Berhubung ada penumpang dari agen Bekasi Timur, The New Mercy Electric ini sementara meninggalkan gelanggang sepanjang 73 km, dan menjelang loket pembayaran, kres dengan Ramayana F3 dan Maju Lancar Smiley yang mengarah kembali ke tol.


Tampak hiruk pikuk suasana “showroom bus” di seberang Kantor Depsos Kota Patriot, dimeriahkan pentas selebritis terminal semacam  OBL Patas AA 1616 BY, serta tri sula dari keraton Palur, yakni NL 241, NL 201 serta NL 265.


Lima orang tambahan mengisi kursi yang masih kosong, meski tiga di antaranya berstatus titipan, dilangsir menuju agen Cikampek karena bus mereka menunggu di sana.


Ada pemandangan menarik sebelum kembali ke jalan bebas hambatan. Di dekat lampu merah jembatan Kalimalang, tampak para penjaga keutuhan NKRI ini saling bahu-membahu mengganti ban depan kendaraan dinas ketentaraan, yakni bigbus bikinan PT Texmaco Perkasa Engineering.


Kembali, kecepatan rendah yang dipertontonkan B 7616 XA menurunkan derajatnya sebagai wahana bulan-bulanan. Tak kurang dari Agra Mas eks inner city bus negara sakura, Prima Jasa Pemandu Moda Bandung-Soeta, Laju Prima B 7461 IZ serta Laju Prima 26 Jetliner Merak-Bandung menggasaknya. Berupaya melekat pada pantat Kramat Djati B 7933  IS, tapi juga percuma karena bus dengan jurusan Ponorogo itu justru semakin samar tertangkap pelupuk mata.


Exit Cikarang Barat. Beriringan dengan Malino Putra B 7889 MZ yang berkepentingan sama, busku pun melakukan break lagi dari arena panas, karena ada request dari agen yang berhasil menjaring empat penumpang.


IMG00291-20110909-1632


Sempat terjadi kekacauan karena kursi 2B yang aku hak-i bentrok dengan penumpang Cikarang. Akhirnya, setelah di tata ulang, aku tetap di singgasana semula, sementara yang belakangan naik kudu mengalah, didudukkan di baris ke-5.


Lalu, hampir bersamaan Budiman 3E-47 dan Prima Jasa Lebak Bulus-Tasik B 7682 VB mengasapinya di km 39, membuat Lorena kian jauh tercecer. Tentu saja, bagi speed addict, kurang cocok menggauli Si Ijo ini. Tapi, tak semua penumpang ber-mindset demikian. Lebih banyak yang menonjolkan variabel lain seperti selera, nama besar, gengsi, kedekatan kru, needs dan fanatisme, dalam menunjuk PO yang diyakini nyaman sebagai teman perjalanan.


Di lajur arah Jakarta, terdampar bus Shantika, yang berdasar bukti livery-nya adalah barang lungsuran PO SAN, Bengkulu, sedang mengalami trouble di bahu jalan. Tampaknya, selama arus mudik dan balik ini, bus yang cikal bakalnya lahir di Semarang selatan ini terkesan sukses men-SHANTIKA-kan pulau Jawa. Apakah ini efek pengelolaan bisnis perusahaan otobus (yang konon) dengan sistem franchise sehingga secepat kilat menggurita populasi armadanya?


Perubahan itu keniscayaan. Lambat tapi pasti, driver pinggir mulai berani membejek pijakan pedal gas. Ujung merah jarum speedometer sesekali menciumi angka 80 km/jam. Dengan kecepatan yang meningkat tipis, aksi pecah telur terjadi. Harum Prima B 7330 WV Tangerang – Madiun, Sinar Jaya B 7999 XA serta Rosalia Indah Jupiter Li beridentitas 252 berhasil diperdayai.


Sayang, penambahan volume semprotan solar ke ruang bakar itu belum cukup juga untuk menghadang lari Putra Luragung Aldi Perdana, Agra Mas 3102 Cikampek-Tanjung Priok berikut Laskar Pelangi 6 VX.  “Noda setitik” ini seakan menenggelamkan kembali prestasi kecil yang telah diraih sebelumnya.


Jam 17.27. Armada berbasis bodi model Evolution, dengan sentuhan mayor change pada sektor buritan dan paras depan, menyambangi pos Cikopo, leyeh-leyeh berdampingan dengan dua Galaxy Coach PO Patriot dengan embel-embel tulisan Lorena. Bus bantuan untuk melayani area Banyumas-an rupanya. Selain menurunkan penumpang langsiran, dilakukan pula pengecekan daftar manifes penumpang oleh pengawas operasional, sekaligus dropping snack bagi para sewa.


Merintis etape “Truly Pantura”, bus berkapasitas 32 bangku ini langsung dihadang ketersendatan di Simpang Jomin. Gerakannya hanya mengekor aksi yang dilakukan Dedy Jaya G 1689 GG di depan.  Lepas dari taffic jam, justru kemacetan dari arah timur panjang menjuntai, hampir 5 km-an julur ekornya. Meski kepadatan arus balik sudah berangsur menurun, tapi penumpukan di titik-titik rawan macet masih saja berlangsung.


Greget itu padam lagi. Bus berbintang lima ini kembali ke khittahnya, sebagai bus alon. Sekelas Tunggal Daya AD 1426 CG, Sinar Jaya 52E serta 6 VX dengan gampang melewatinya di daerah Patokbeusi.


Sementara, jagat hiburan dan gairah malam di seputaran Ciberes tampak mulai menggeliat, seiring berakhirnya larangan truk-truk  melintasi jalan nasional. Lampu LED flip flop berkedap-kedip, dengan nuansa keremangan yang menyeruak di ruangan dalam. Sementara wanita-wanita berdandan menor, bersendau gurau memajang diri di teras rumah, laksana etalase toko tengah menjajakan barang dagangan. Sebuah lanskap yang indah untuk dicumbui, terutama bagi para pengumbar hawa nafsu serta pencari nikmat sesaat. Sebenarnya, “interaksi sosial” yang terjalin di dalamnya menciptakan simbiosis mutualisme yang menguntungkan bagi percepatan perekonomian masyarakat sekitar  kompleks, andai kita menafikan sisi pelanggaran etika, moral serta norma-norma.


Ah, sudahlah... talking about morality, talking about nothing di republik ini.


Di ruas Ciasem-Pamanukan, aksi simpatik berwujud konvoi bus malam diperagakan. Saling bergantian merangsek antara Handoyo Panorama 3 jurusan Solo-Prambanan, Kramat Djati Madura, Scorpion King Maju Lancar AB 7062 CD, Gajah Mungkur model Proteus serta New Celcius yang aku tumpangi. Sungguh parade senja yang memukau.


Sementara, di titik Sukasari arah Jakarta, kemacetan panjang terjadi lagi. Causa primanya ialah mogoknya truk gandeng di jalur II, sementara itu 7-8 koleganya yang sama-sama berjenis kendaraan barang dengan dua bak terpisah, ikut nimbrung membantu dengan memarkir berderet di belakangnya. Lucu dan terkesan ngawur juga laku solidaritas yang dijunjung, meski dampaknya merugikan pengguna jalan yang lain.


18.40, OM-906 LA pun rehat di Rumah Makan Taman Sari, menghidangkan jamuan makan malam bagi penumpang sekaligus penanda bahwa intermediete pertama, penghubung poin Tajur-Lebak Bulus-Rawamangun-Bekasi Timur-Cikarang-Cikopo-Pamanukan, lengkap sudah dituntaskan. 

GreenZational (1)

Pulang Enggak? Pulang Enggak? Pulang Enggak?


Begitulah pertanyaan elementer di minggu pertama workdays setelah jeda libur hari raya, namun sejatinya membangun keruwetan dan perkecamukan yang bertele-tele di atas meja sidang perlogikaanku.


“Tak pulang rindu, pulang mesti tebal saku”, ah...mana yang kuputuskan?


Di balik gegap gempita serta kemeriahan perayaan momen kemenangan umat Islam, pascalebaran selalu mengundang permasalahan pelik bagi pelakon mudik mingguan sepertiku ini. Apalagi kalau bukan penyakit laten berupa upping price tiket yang super edan-edanan, yang dilakukan oleh hampir semua PO.


Misal Jumat depan aku nekat pulang, barangkali tak begitu terkendala dengan ke-anomali-an ini lantaran posisiku menentang arus balik. No problemo lah. Tapi, soal ke baratnya nanti benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Terlebih sudah menjadi “tradisi negatif” di dunia bus regional Muria Raya, harga tiket tak serta merta terjun ke patokan yang wajar, seiring dengan berakhirnya “durasi tuslah” yang ditetapkan pemerintah. Bisa-bisa, hingga H + 3 minggu, masih melambung di atas 50% dari nominal resmi, yang berarti belum juga menamatkan era pemberlakuan batas atas untuk ongkos perjalanan moda darat itu.


“Semua tergantung pasar, Mas, kalau masih ramai ya jangan harap cepat kembali ke harga normal.” bela agen bus langgananku, seakan mengamini kebijakan manajemen PO tempat dia bernaung.


“Aku Ingin Pulang “ itulah final decision-ku, mengutip satu judul lagu pelantun syair-syair balada, Ebiet G Ade. Apalagi teringat rengekan permaisuri yang ngebet melakukan visit ke dokter kandungan, kian mensyahihkan dalihku bahwa bentang Pantura antara Jakarta – Rembang memang kudu aku jelajahi kembali.


“Sekali niat pulang ya tetap pulang, apa yang perlu ditakuti. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan untuk mengakali dan mengirit bea perjalanan ke ibukota nanti.” lirih batinku membisik, menebalkan keyakinan bahwa  ibadah PJKA akhir pekan ini harus terselenggara dengan cermat lagi hemat.


Jumat, 9 September 2011.


Iklim kerja yang masih angot-angotan, memberiku kesempatan untuk memangkas timeline meski harus mencederai aturan kantor berupa penistaan jam kehadiran. Tak apalah, diri ini sudah kebal disunat. Ketika gajian, komponen tunjangan transport seringkali terpangkas sekian ratus ribu gara-gara kenakalanku ini.


Berkat jasa hantaran bus antar halte antar shelter bernomor lambung JET-033, diteruskan assist dari Metromini 03, kira-kira pukul setengah tiga, aku mendarat di jantung Terminal Rawamangun.


Sebenarnya, ada hasrat untuk mengayunkan langkah kaki menuju pelataran pojok barat. Kekuatan “sex appeal” duo bidadari berkulit nano-nano yang diampu Pahala Kencana sesaat membelalakkan penglihatanku. Adalah dua jetbus masing-masing jurusan Blitar dan satu lagi tanpa papan trayek. Feelingku, sepertinya akan difungsikan untuk jatah Bojonegoro, sehingga bisa berkompromi dengan rute kepulanganku.


Tapi rencana itu kutunda. Aku nyaris melupakan sesuatu, yakni belum sowan dan ber-minal aidzin wal faizin ke Mas Mul, yang tengah melangsungkan “open house” bagi penikmat sotonya.


Puji syukur, gerai kulinernya sudah buka dan beruntung pula aku bertemu dengan Mas Nano dan dua member HR-mania. (Maaf, saya lupa namanya). Setelah beramah tamah, melepas kangen serta berwawancanda, jarum jam perlahan mendekati angka tiga.


“Mau naik bus apa, Pakdhe?” tanya Mas Nano, sambil merayu untuk mencoba PO ini atau PO itu.


Inilah tak enaknya bepergian dengan metode go show. Hati gampang berbolak-balik disuguhi ragam godaan, sehingga membelokkan peta rancangan pra-turing. PO A itu favoritku, tapi menatap body bus B yang lebih mengkilap, terkadang merabunkan pandangan. Atau PO X terkenal banter, namun keberadaan bus Y yang mengusung fitur kenyamanan lebih, jadinya merubah pikiran.  Demikianlah kegagapan yang kadangkala aku alami.


Ogah menyiakan-nyiakan tempo dan tak mau semakin bingung akan siapa  yang kurangkul sebagai calon transporter, tiba-tiba nuraniku membuat keputusan yang mengejutkan, tak logis dan berbau spekulatif.


“Pokoknya, bus timur-an yang datang sebelum jam tiga dan bus itu harus paling baru, Mas Nano?” jawab lisanku meneruskan bisikan kalbu.


Jejaka Kuningan itu pun menawarkan diri menyidak bus-bus yang datang selama aku tinggal nongkrong di tempat Mul Soto, sesuai dengan requirement yang aku sebut.


“Ada Malino Jupiter, KD Marcopolo Malang, OBL Evolution Banyuwangi, Lorena Setra Banyuwangi, PK Marco 1526 Malang. Dan ini yang paling cocok dengan incaran Pakdhe, Lorena Denpasar New Celcius...” terangnya gamblang.


Wah, ternyata kandidat penyambung aspirasiku adalah Lorena.


Hmm...Si Ijo. Gimana ya? Iya apa engga? Engga apa iya? Ada kalanya, aku ini belum sepenuhnya dapat membebaskan diri dari belenggu stigma miring tentang performa penggawa kerajaan Tajur itu. Padahal, aku berusaha berpegang teguh pada ikrar yang kuucap sendiri, bahwa setiap bus punya keekslusifan, tak bisa senantiasa diunggulkan maupun selamanya dicibir. Menurutku, sikap yang demikian lebih obyektif dalam menilai suatu bus/PO. Jadi tak perlu saling berbantah, melebai-lebaikan PO kesayangan.


Bagiku, bus tak ubahnya pertambangan emas, tinggal kita pintar-pintar menggali bongkahan, mendulang biji mulianya untuk kemudian mendapatkan gemerlap kemilaunya. Bukan begitu? Hehe...


Yo wis…aku harus konsisten dengan fatwaku, bahwa sore ini, bus paling belia tahunnya yang aku klik. Dan alhamdulillah ya…sesuatu banget (syahrini mode : on),  kali ini Lorena adalah dead choice, tak bisa dibarter dengan yang lain.


Atas bantuan Mas Nano, diantarkannya aku menuju loket Lorena untuk membeli satu seat.


“Ke Rembang ikut Denpasar boleh, Mbak?” tanyaku berbasa-basi.


“Bisa Mas, tiket dua ratus,”


“Wew.. mahal amat. Pek go ya?” tawarku.


Mbak agen diam sejenak, kemudian mengiyakan dengan ekspresi dingin.


“Ya sudah Mas. Rembang satu orang ya?” seraya sibuk mengisi kolom-kolom pada lembar tiket berseri B.11-LE 563454, sebagai pemungkas transaksi. 

Escape From Comfort Zone (4)

Tettt...tett... Klakson digaungkan sebagai pengganti kata salam bagi kru PO Bejeu Smiley Tayu-Pulogadung yang sedang berkutat dengan trouble, saat Garuda Mas baru saja melenggang dari pintu keluar rest area yang berdampingan dengan Rumah Makan Sari Rasa itu. Mungkin, nama Tayu lah yang menyatukan kedekatan emosional di antara mereka, meski beda latar PO, kesejahteraan dan budaya.


Kethoprak humor namun sarat pesan religi dari duet Konyil dan Markonyik diputar lewat piranti visual berupa TV LCD 26”, ketika keenam roda penyangga chasis dan bodi  menggilas jalur Weleri lama. Saking asyiknya para penumpang mengumbar tawa menyaksikan dagelan lokalan Pati tersebut, kutangkap sekelebat obyek besar menyungkurkan langkah bus-ku. Ternyata PO asal Serang, Armada Jaya Perkasa eks Shantika, B 7185 IS, yang tadi sempat dihembusi angin di daerah Cepiring.


RG, Si Jago Tanjakan.


Tak terbantahkan lagi konklusi yang demikian. Tanjakan panjang Plelen, dengan rata-rata kemiringan mencapai 40 derajat, berhasil dijinakkan mesin berdaya 240 HP secara enteng. Digenapi tontonan pamer kedigdayaan saat menenggelamkan laju Damri kode 3426 serta Tri Mulia berarmor Panorama 2.


Kesadaranku mulai menyurut, ditimang-timang kontur alam Alas Roban yang didominasi permukaan jalan naik turun. Keinginan untuk merelaksasi diri mulai terusik oleh ketidaknyaman ruang kabin kelas ekonomi. Kaki tak bisa selonjoran, putaran sudut reclining seat yang tak seberapa merebah, serta pundak penumpang sebelah yang sedikit menganeksasi lapakku, adalah handicap yang mesti kuterima.


Ditambah lagi semburan AC yang cukup mengerutkan tulang, tanpa ada tameng selimut serta bantal, benar-benar merepotkan stamina dan vitalitas tubuh untuk mengusirnya. Terlebih aku lalai membawa sarung dan jamu t*l*k an*in, barang wajib yang telah aku pikirkan sebelumnya untuk disiapkan, sehingga tak ada lagi pelindung badan untuk menangkal paparan hawa dingin.


Alhasil, hanya tidur kualitas ayam yang bisa kurasai. Berkali-kali aku terbangun dari upaya untuk menyandarkan letih barang sejenak. Di tengah halusinasi alam sadarku, memoriku masih sempat merekam kejadian ketika Sedya Mulya Nucleus 3, Tri Sumber Urip Black Scorking, serta Bejeu Selendang Adi Putro berkonspirasi meredam kepak sayap Garuda-ku, menjelang batas kota batik.


01.05


Byarr...byarr...lampu penerangan kamar penumpang dinyalakan, sontak membelalakkan katup mataku. Kutengok samping kanan kiri, dan aku ingat persis, ini adalah homebase Kedawung, Cirebon. Wah...lumayan juga aku dapat berisitrahat dengan lelap, tanpa bisa memandang lanskap malam yang membentang dari Pekalongan hingga Cirebon. Bisa jadi aku yang kecapaian teramat sangat ataukah ragaku sudah menemukan chemistry yang pas sehingga mampu berdamai dengan kekurangan grade ekonomi ini?


Naiklah petugas kontrol, dan luar biasanya, secara random, beberapa penumpang ditanyai berapa harga tiket yang dikenakan agen. Sepertinya ini trik dari pengurus ticketing untuk melakukan pengawasan melekat kepada kinerja agen daerah, yang notabene jauh dari kantor pusat. Jangan sampai mereka mengambil keuntungan sesaat, main seleweng dari pricelist yang telah dirilis. Apalagi Garuda Mas mengantongi image sebagai bus dengan persentasi kenaikan tuslah Lebaran paling rendah dibanding PO lain.


Baru saja diberangkatkan dan melakukan ketok palu untuk mengambil jalur Karangampel, dengan segenap nafsu Nusantara Scania K 1466 B dan Luragung Jaya menempel, kemudian melampui  mantan pengguna baju Celcius, sebelum dire-build oleh Adi Putro, ini.


Di Losarang, saat aku terjaga, tampak pula Selamet Evobus K 1417 GA melakukan hal yang sama, mendepaknya dari persaingan.


Kulanjutkan acara tidurku kembali.


Ngrrengg...ngrrengg...nggrreng...


Riuh orkestra raungan knalpot membubarkan peraduanku. Rupanya itu suara gas buang dari bus-bus yang menelikung jalan berlawanan arah. Lintasan kiri berhenti total, bahkan ratusan kendaraan terlihat panjang mengular. New Marcopolo-ku terjerembab dalam antrian, sementara terlihat arak-arakan Rosalia Indah, Haryanto, Raya, Dewi Sri, Nusantara, Bejeu, serta Handoyo menyabet lajur sebelahnya.


Lantaran tak ada tanda-tanda mencair, bus-ku pun ikut-ikutan melanggar rules jalan raya, menyodok ke kanan, menyalip lautan pengguna jasa Pantura, meski akhirnya back to the line.


“Kiri...kiri...Depan polisi...Depan polisi!!!” seru kenek Dewi Sri, dan serentak beberapa bus mematuhinya.


Setelah berkutat dalam kubangan kemacetan di Patokbeusi, terjawab sudah causa prima segala kekacauan ini. Sebuah medium truck pengangkut genteng menabrak truk lain di depannya, sehingga menimbulkan dampak kecelakaan berantai. Masing-masing antara bus SJLU Setra Adi Putro yang menyodomi Kijang Commando, serta bumper Pahala Kencana B 7926 IW mencium pintu kanan Kijang Innova.


Pantas saja separah itu traffic jam-nya.


Ya Allah, ujian apa lagi ini?


Mulai dari kawasan pinggiran Subang ini, mendadak aku dihinggapi seteru abadi para turingers, sakit perut. Aliran udara jahat yang digelontorkan lubang louver AC selama lebih dari 12 jam, tanpa kupersiapan senjata penolaknya, sungguh-sungguh membuat lambungku menyerah, didera masuk angin.


Resah dan gelisah rasanya...


Tak ingin memikul siksa berat yang ditanggung perangkat pencernaan, kuputuskan untuk menyudahi  kiprah burung Garuda yang sepanjang malam berjibaku membantuku dalam menaklukkan arena Pantura.


04.50


“Pak, saya turun sini saja!” request-ku kepada Pak Sopir, saat samar kulihat bangunan dengan list talang warna merah menyala sebagai colour mark sebuah SPBU. Ya...pom  bensin di daerah Cikopo, Cikampek, inilah yang akhirnya membebaskan derita biologisku.


-------


Aku pun hanya bisa merenung...


Apa salahku hingga putus perjuanganku di tengah jalan, sebelum paripurna mencapai tujuan akhir?


Mengapa aku rontok dalam mengemban misi turing bersama bus ekonomi Pati-Jakarta justru pada pengalaman perdana?


Karma dari pemilik bangku eksekutif-kah, gara-gara aku kabur dari zona nyaman?


Apakah dosaku sendiri yang kala itu, jujur saja, setengah hati memilih bus-nya kaum marjinal sebagai sandaran pengiritan?


Ataukah memang ini challenge bagi jiwa ke-busmania-anku, bahwa aku sejatinya belum lulus menggauli kasta ekonomi dan kudu remidi, mengulang lagi, menyetubuhi bus-bus senasib sepenanggungan dengan Garuda Mas? Semisal Bayu Megah atau Sido Rukun.


Ah, entahlah...

Escape From Comfort Zone (3)

“Ayo berangkat, sudah jam-nya. Kalau ngga dateng, ditinggal saja...” warning kenek kepada agen setelah dua “tangkapannya” tak jua datang.


“Tolonglah, tunggu sebentar...” pintanya.


“Ya sudah, disuruh cepetan tuh. Kita tunggu di luar terminal,” pungkas asisten sopir itu dengan tak sabar.


Melihat gelagat kru, betul apa yang dibilang Mas Indra, bahwa Garuda Mas adalah bus yang paling menghargai jam keberangkatan, anti permisif terhadap keterlambatan. Terlihat dari sikap cekat-ceket, tak mau buang waktu, dan bertele-tele dalam urusan penataan penumpang. Mungkin, inilah nilai positif sistem engkel dari pengoperasionalan bus.


Moda berpaspor B 7355 IS pun menunggu telaters di mulut pintu keluar. Sempat petugas mengusirnya karena menghalangi bus lain yang hendak meninggalkan terminal.


Menapak ruas Pati – Kudus, driver benar-benar all out memamerkan determinasinya. Ngotot serta trengginas. Apakah dia hendak pamer taring di hadapan user-nya, bahwa karakter “bus tamu” tak kalah dengan habit tuan rumah?


Terlebih dikipas-kipasi akting panggung nan seronok dari biduanita OM Romansa, yang tak kalah heboh dengan goyangan Lisa Geboy cs. Dengan irama dangdut koplo yang nge-beat dan menghentak-hentak, benar-benar membangkitkan gen speedy Hino RG.


Dua pasukan Ombak Biru, B 7189 X serta K 1596 B harus rela dikebiri dari sisi jalan tanah, saat lalu lintas di daerah Terban tersendat. Debu-debu beterbangan, seakan menjadi saksi monumental, meski single player, semata wayang, tanpa teman atau saudara di jalur timur, kekuatan kibasan sayap Garuda tak bisa disepelekan. Masih membayang saat Intercooler Kupu-Kupu yang aku naiki ngos-ngosan menguber Si Ijo di ruas Demak-Semarang. Benar – benar fight kinerja the man behind steering wheel-nya...


BG 7185 AU, PO Wisata dari Palembang, Talenta Muda, meski dengan susah payah, juga diasapi menjelang pertigaan Ngembal Kulon. Ah, apa sang nahkoda akan konsisten dengan laku mayak-mayak sepanjang malam, mengingat mahdzab beginian membutuhkan konsentrasi tinggi serta menguras energi?


Di stanplat Jati Kudus, adegan di Terminal Pati lebih sempurna terulang. Satu penumpang terpaksa ditinggal, karena menjelang detik-detik take-off tak tampak batang hidungnya. Beruntung, saat itu mendapat subtitutornya, seorang penumpang yang nekat go show di saat musim ramai.


17.36


Dengan status kloter pertama, Neo Travego ini meninggalkan kota kretek. Selepas Jembatan Tanggul Angin, barulah eco-driving mengambang ke permukaan. Menyadari tanpa tandem, driver pun “memusingkan” roda bus pada skala kecepatan aman. Daya gedor pun dikendorkan, meski gereget sebagai penjinak jarak 550 km tak serta merta surut.


Di daerah Gajah, tampak PO Gumarang Jaya berbodi Tri Sakti berhenti di agen penjualan tiket. Semakin semarak saja lintas Pati-Sumatra setelah PO dari Muntilan, Putra Remaja, juga ikut bergumul meramaikan pasar gemuk ini menjelang bulan puasa kemarin.


Sebelum Pasar Jebor, Demak, kendaraan menumpuk akibat proyek peninggian badan jalan. Posisi busku menguntit bus plesiran, Gunung Sari. Berdasarkan pelat nomor asal -- K 1545 F -- serta livery, dugaanku Gunung Sari adalah sempalan dari PO Era Trans, Purwodadi. Dari hasil pengamatanku selama merasai atmosfer Pantura, kongsi Era Trans sepertinya (di)pecah menjadi tiga, yaitu Era Trans, Era Prima dan Gunung Sari. Apakah pemisahan ini untuk memetakan segmnetasi ceruk penumpang yang hendak disasar? Era Trans untuk line Purwodadi-Jakarta, Era Prima melayani Purwodadi-Sumatra dan Gunung Sari didedikasikan buat pariwisata.


Meski dengan lari pas-pasan, di ringroad kota wali, bus dengan izin trayek untuk Tayu-Pati-Pulogadung-Kalideres ini mencetak hattrick, dengan menghempaskan perlawanan bus beregistrasi K 1683 B, serta dua bus Sido Rukun, masing – masing model Setra Morodadi Prima H 1671 BA serta Laksana Comfort H 1467 BA.


Melewati kantor Polantas Demak, terlihat Sinar Mandiri “Bateh” membujur tak berdaya, hampir dua minggu teralineasi dari kerasnya trek Pantura Timur. Melihat kondisi body yang utuh tanpa cacat, masalah hukum yang menyeretnya pastilah melibatkan motor atau pejalan kaki.


Wuss...tanpa dinyana, dari sebelah kiri melesat dengan deras Scorpion King dari Lasem, saat Garuda Mas menginjak areal Sayung. Selain gaya menyalipnya yang cantik, aku sangat terkesan dengan balutan grafis minimalis yang menempel pada dinding samping. Hanya mengandalkan baluran cat hitam, putih serta abu-abu, tetapi paduan tri-warna ini benar-benar simpel dan membumi. Menilik tatto tubuh, inilah armada Tri Sumber Urip favoritku, di antara kemajemukan corak Raja Kalajengking yang dipunya Koh Paryono.


Sialnya, pesona kombinasi kerlap-kerlip lampu sein dan brake lamp yang diperagakan bokong semok K 1668 BD  mesti berakhir, setelah Hino RK8 itu menepi sehabis membayar retribusi tol di gerbang Muktiharjo.


Sesaat melaju dalam kesendirian, persis di atas simpang susun Jatingaleh, bus-ku bertemu dua kawan sejenis. Memanfaatkan bahu jalan, dua bus jurusan Purwodadi-Jakarta, yaitu Era Trans Non AC K 1761 BF serta Garuda Mas Concerto E 7624 HA ditumbangkan.


Krapyak, meeting point jalur timur, tenggara dan selatan.


Ajang balas dendam dilancarkan oleh Era Trans, memanfaatkan celah kiri yang lebih lengang. Sementara, Hinomaru keluaran 2004 ini hanya mampu menyalip bus wisata B 7432 BW, sebelum dihadang kemacetan, gara-gara bus Sumber Larees dengan papan jurusan Purwodadi-Jakarta berhenti mengeruk penumpang, meski letak bus masih berada di lajur 2.


“Sopir kalau jarang bawa Jakarta-an ya gini,” gerutu pemegang setir kemudi dengan aksen Sunda, sambil menyalakkan corong terompet dengan kerasnya.


Rapor biru kembali ditorehkan mesin seri J08C kapasitas 7961 cc di atas jalan lingkar Kaliwungu. Adalah PO Ezri dengan blazer model Nucleus 3, bernomor lambung 12, yang terpaksa menutup hidung menahan pengapnya semburan residu dengan tingkatan Euro 2 ini.


Di sentra penjualan tiket bus Cepiring, Kendal, secara “betina” mendahului PO Armada Jaya Perkasa yang tengah wajib lapor lantaran agen dapat menjaring penumpang tambahan. Aku pun haqqul yakin, armada Galaxy Coach AJP tersebut adalah lungsuran PO Shantika. Coretan air brush di bodi ala bus-bus official partner Piala Dunia 2006 Jerman, yang membenarkan tebakanku.


Keenakan melaju, tanpa disangka-sangka, muncul dari sisi kiri bus reyot dengan eksterior yang minim estetika, PO Usaha Jaya. Bumel, kucel, sarat dempulan, tanpa AC pula. Dan seperti Sumber Larees, bus yang biasanya merumput di jalur Semarang-Purwodadi ini banting setir, mengusung para perantau kembali ke ibukota. Menurutku, inilah bus-bus siluman, yang nongol pas Lebaran, setelahnya ngumpet ke orbit masing-masing.


19.50


Angkutan massal yang dilengkapi fitur toilet on the road ini “meluruskan punggung” sementara waktu di Rumah Makan Mekar Sari, Kendal. Seolah ingin mencari kehangatan, bus diparkir terjepit di tengah-tengah celah yang dibangun PO Madjoe Utama AE 7087 UB serta Garuda Mas New Travego, B 7384 IZ.


Aku pun harus me-manage langkah pengiritan kembali. Perbekalan ransum yang disiapkan istri kubongkar, menyiasati ketiadaan service makan malam untuk kelas ekonominya Garuda Mas. Tentu apple to watermelon bila dibandingkan pelayanan eksekutif yang memanjakan perut dengan kebijakan loss nasi dan sayur. Meski ada secuil ironi juga, dengan adanya penjatahan lauk yang tersirat dari amar “Maaf, ambil satu potong”.


“Sing sareh (yang lapang dada), Dik, bukankah hemat pangkal kaya, nikmat pangkal paha…” guyon akal pikirku. Hehe… 

Escape From Comfort Zone (2)

“Hati-hati ya, Pa!” pesan mamanya anak-anak saat melepasku seraya mencium punggung tanganku, tak lama setelah motor kami mendarat di depan kantor Perhutani Kabupaten Rembang.


“Duh istriku, masih terbayang jelas saat kali pertama engkau mengantar kepergianku ke ibukota, dengan status kita berdua sebagai pengantin baru. Air kesedihan yang berkaca-kaca di pelupuk matamu saat mengiringi jangkah kakiku menapak kabin Lorena LE-381, tak bisa membohongi nuranimu, bahwa engkau pun sebenarnya terkaget-kaget dengan “model pernikahan aneh” yang bakal kita tempuh.


Perasaan sama itu pula yang membelengguku, ketika kusadari bahwa long distance relationship bukanlah perkara mudah dan ideal bagi sebuah keluarga. Tapi, teringat akan kata-katamu “jangan selalu dibayangkan karena akan terasa berat, langkahkan kaki dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya, yakinlah, jalinan cinta dua hati bakal lebih ringan dijalani”, membuat diri ini kuat mental dan tahan banting menyikapi kehidupan wira-wiri yang keras dan penuh aral.    


Tujuh tahun sudah guliran waktu menajamkan naluri keibuanmu. Meski acapkali ditinggal pendampingmu meladang nan jauh dari rumah, justru menegakkan ketegaranmu, tak jadi pribadi yang cengeng dan pemanja, selalu mandiri serta berdikari, urusan rumah tangga kau ampu sekuasamu. Dan semoga, di kelak kemudian hari, engkau menjadi ibu yang  dibanggakan buah hati kita.


Ketangguhanmu selangit, tak sepadan disandingkan dengan suamimu, meski aku bagian dari klan lelaki yang senantiasa bangga akan bekal kekuatan raga yang tercipta.”   


“Pati...Pati...Kudus...Semarang!!!” teriak lantang kenek PO Sinar Mandiri Mulia (SMM), membuyarkan lamunanku.


14.53


Segera kunaiki angkutan AKAP bertrayek Bungurasih - Terboyo, sebagai armada feeder yang menghantarkanku ke Terminal Pati. Ada keuntungan kecil yang kugenggam, yakni berjodoh dengan bus besutan Restu Group itu. Dibanding Jaya Utama, Widji Lestari maupun Indonesia, SMM lebih menantang adrenalin, lebih menonjol style alap-alapnya dibanding kompetitornya.


Naluriku tak meleset. Pengusung mesin varian AK8 E3 itu langsung melesat, membabat satu persatu perintang, khususnya truk-truk raksasa penghancur aspal Pantura. Jalan dua lajur, dengan lebar nge-press 6 meter yang membujur dari  Tambak Omben hingga Juwana, menjelma menjadi sirkuit yang menantang kecakapan skill penghelanya, dipadu unjuk keterampilan menyeser penumpang. Beberapa kali nyaris kres dengan mobil lain dari arah berlawanan, hingga moncong bus harus berkelit dengan menempel tipis pantat kendaraan di depannya.


Melihat sosok sang joki yang gaul dan funky habis, rambut disemir dengan dandanan eksentrik, seakan mempermanis tampilan model New Proteus yang dicambuknya. Apalagi saat kulirik jempol tangan kiri, dengan kukunya yang dipiara memanjang, seakan meneguhkan mitos bahwa ciri inilah petunjuk tersembunyi bahwa driver tersebut bergenre ngejoss.


Bus dengan label “Hunter Mania” ini mencatatkan skor di papan kemenangan saat mencundangi Pahala Kencana Setra Butterfly B 7599 XB di Kaliori. Aksi kejar-kejaran pun mengemuka selepas Tugu Sukun Kota Bandeng, ketika Sinar Mandiri N 7035 UG kelas bumel mulai tersusul. Sopir sempat ngomel-ngomel, lantaran kesal kompatriotnya tak bisa menjaga slah dengan bus berikutnya. Pantas saja, di Kota Bandeng ini, N 7726 UG nihil mendapatkan rezeki.


Setelah menggasaknya, tampak buritan poolmate yang lain, Patas Panda. Sepertinya, sopir Jetbus itu memancing permainan saat membiarkan busku hampir separuh bodi menyalipnya. Ternyata, binatang ikon negeri tirai bambu itu juga kian menambah kecepatan. Alhasil, dua raja jalanan saling sejajar beradu cepat, mengangkangi area beton Juana-Pati yang tengah sepi dari pengguna jalan, menahbiskan diri siapa yang lebih ngebut. Sayang, “drag race” mesti berakhir dengan bersulang klakson, saat N 7733 UG itu lebih memilih jalan lingkar, sementara ATB-ku mengarah ke Gemeces.


Wah...mantap, mukadimah turing nan memukau.


15.44


Terminal yang berlokasi di seberang pemancar radio kepunyaan paranormal kondang Bos Edi, Harbos FM, sore itu masih terlihat sunyi dalam jumlah kehadiran armada. Yang sedang lego jangkar hanya Nusantara, Bejeu, dua PO Selamet serta Pahala Kencana. Sementara, konsentrasi penumpang sudah memadati teras di depan loket-loket bus.


Setelah kutinggal sejenak menggugurkan shalat asar, barulah berlabuh kabilah yang lain. Tercatat, Muji Jaya, Shantika, Bayu Megah, Haryanto, Sido Rukun, Budi Jaya serta satu bus “extra ordinary” yang khusus diperuntukkan buatku, Garuda Mas.


“Langsung naik ya Mas, busnya segera berangkat,” kata Mbak Agen sesaat setelah aku melakukan check-in.


DSC00146 (1)


16.15


Kabin terkesan penuh sesak oleh para penduduk. Dimensi ruang yang “hanya” 11 m X 2.5 m, dipangkas luasan untuk smoking area, sungguh-sungguh sempit dijejali 50 seat. Tampak penumpang sedikit tersiksa dengan posisi dengkul mepet, dan antar bahu saling bersinggungan, memenuhi konfigurasi bangku 2-3.


Menatap raut muka “tetangga-tetangga Mas Anees” ini, tak bisa dipungkiri menyimbolkan sosok rakyat kecil, orang dusun, serta pekerja informal-an. Dan yang begitu kentara, cuek soal penampilan diri. Lugu, polos dan apa adanya, nyaris tanpa kontaminasi life style modern.  Really really economical taste...


Sebuah planet yang asing bagiku, namun sekaligus menjewer ke-sok ekslusifan-ku yang terjerembab dalam jeruji citra kenyamanan bus eksekutif. Ternyata aku ini wong ndeso yang lupa daratan, hampir menanggalkan kejelataanku sebelum akhirnya cekikan harga tiket menyadarkanku. Sebenarnya, aku tak jauh berbeda dengan mereka. Lahir, tumbuh dan besar di lingkungan pada strata masyarakat menengah ke bawah. Ada masanya, aku termasuk dalam golongan mereka, yang lebih mementingkan budget daripada comfortabilty sebuah perjalanan.


Terima kasih Garuda Mas atas “murahnya” biaya perjalanan serta reminder sosialmu. Aku harus berlapang dada menerima segala keterbatasan yang melekat pada bus ekonomi.


Saat duduk di baris kedua sisi jendela kiri, kucoba menghayati cerita mingguan yang pasti tak bakalan sama dengan fragmen-fragmen sebelumnya.


Yup... Barangkali, Garuda Mas (GM) ini bisa dijadikan potret buram penegas tuah kutukan belantara Muria yang ganas dan liar bagi pemburu-pemburu dari manca negara. “Tambang emas” di pesisir timur ini hanya prospek bila yang  mengeksploitasi adalah “pendulang setempat”.


Sejarah menulis, PO elite sekaliber Lorena, Kramat Djati, serta Gajah Asri Raya babak belur dihadang “persekongkolan jahat” pemain-pemain lokal. Apalagi tanpa dukungan finansial dan armada yang memadai semacam Setia Bhakti dan Agung Bhakti. Diakui sebagai “anak bawang” sudah merupakan prestasi bagus, meski akhirnya juga kembang kempis ditelan putaran zaman.


Tinggalah Garuda Mas dan Lorena yang konsisten beroperasi, “rajin masuk” setiap hari. Menurut Pak Alan, kru senior GM, Si Ijo dari Cirebon itu memang tak bakalan meninggalkan bumi Tayu dan Jepara, meski hanya menyisakan satu armada sekali pun.


“Itu lahan hoki bagi bos kita, Mas,” ujar beliau saat itu, ketika aku turut busnya dalam perjalanan Pulogadung – Blora.


Ternyata, di balik supremasi kepak sayap Garuda Mas yang begitu perkasa memeluk tampuk tlatah tenggara Jawa Tengah, justru kisah kesuksesan PO yang berbasis di Kedawung ini babar dari tanah Jepara. Lantaran stagnan mengelola jalur Pekalongan-Cirebon-Jakarta, rupanya jadi trigger bagi pemilik untuk memutar akal mengembangkan usahanya. Dan di awal tahun 1980-an, dipilihlah kota ukir sebagai jajahan baru.


Sayang, legitnya sirup manis bumi Kartini tak lama direguk. Setelah menetas PO pribumi, Muji Jaya, -- terlebih karakter laskar Kalinyamat sebagai (maaf) penganut primordialisme sempit serta menjunjung tinggi fanatisme kedaerahan --  Garuda Mas pun sedikit demi sedikit terdesak. Dan GM-01 kala itu, kembali harus bergerak cepat kalau tak ingin terhempas. Intuisinya berbicara dan sungguhlah tepat, melirik ranah Purwodadi yang masih sepi pemain. Apalagi di tengah kocar kacirnya kondisi PO penguasa saat itu, PO Marga Mulia (CMIIW), Garuda Mas pun berkembang pesat serta ekspansif. Tak urung, di era kekinian, dengan prediket the best dalam urusan service, membawa nama Garuda Mas dinobatkan sebagai penguasa tunggal wilayah Grobogan dan sekitarnya.


“Tanpa masuk Jepara, kita tak akan merasai sukses di Purwodadi, Mas,” imbuh pemegang armada Jetbus Eksekutif itu.


Hasil kerja keras dan buah perjuangan yang patut diacungi empat jempol. 

Escape From Comfort Zone (1)

“Ah, nasib...nasib...Mengapa dunia begitu sentimen pada  pelaku ‘cinta berat diongkos’ sepertiku ini!!!”


Tak terbendung lagi batinku melisankan umpatan. Seakan tak kenal dosa saja diri ini mengutuk hari. Hilang sudah kearifan budi untuk menjauhi sifat keluh kesah, tatkala disuguhi aksi profit taking  nan super gila-gilaan yang di-aktor utama-i oleh secarik tiket bus.


Bagaimana tidak?


Saat mengintip trip fare Rembang-Jakarta untuk keberangkatan Hari Minggu 11 September, dua agen yang kujadikan tolok ukur mewartakan “sesuatu” yang jelas-jelas mengusik ketenangan neraca moneter. Pahala Kencana pajang angka Rp305.000,00, sementara manajemen tempat The Phoenix, The Destroyer dan The Titans bernaung me-launching nominal Rp280.000,00. Padahal, saat normal season, fluktuasinya takkan bergeser dari range 80.000 s.d 140.000.


“Edan...edan...bea oneway  merongrong alokasi dana sekali PP!!!”   


Yang lebih mengiris hati, baru kali ini “durasi keanomalian” berlangsung lebih panjang lagi lama. Dan ini bisa jadi preseden buruk, kekacauan penerapan tarif pascalebaran akan menjadi bahaya laten yang terus menghantui alam Plat K. Setahun yang dulu, seingatku, lepas H +7, bus-bus tak lagi berani mematok mahal, setinggi-tingginya “cuma” 50% dari banderol resmi. Tapi faktanya sekarang? Hingga dua pekan sesudah hari raya, masih di-upping hingga hampir tiga kali lipat!


Bencana kedompetan bagi penumpang -- wabilkhusus pemudik mingguan tentunya --, sebaliknya musim panen bagi perusahaan-perusahaan otobus.


Analisisku, inilah multiplier effect atas tutupnya layar PO Senja Furnindo pada akhir 2010 silam. Belasan bus milik imperium Senang Jati Furniture Indonesia yang kehilangan pekerjaan, menyumbang andil atas susutnya ketersediaan 400-an kursi per hari selama rentang arus mudik – arus balik tahun ini. Di sisi lain, demand akan jasa moda darat itu kian menjulang, supply tak mampu lagi mengimbangi permintaan. Finally, hukum ekonomi yang berdaulat, melegitimasi si “empunya harga” untuk bertindak semena-mena.


What will I do to eliminate this case?


“Mas Indra, tiket buat Minggu sore nanti berapaan?” kucoba mengorek bursa tiket di Terminal Pati, saat kulihat status Yahoo Messanger sesepuh BMC Muria Raya itu online, empat hari sebelum perjalanan balik ke Jakarta kutunaikan.


“Rata-rata masih di atas 200-an, Mas. Nusantara jual 260 ribu, TSU (Tri Sumber Urip) dan Selamet 240 ribu. Itu pun masih bisa naik.” jawabnya.


Duh...duh...tak terlalu signifikan untuk menunjang langkah pengiritan.


“Kalau ekonomi, Mas?” tiba-tiba aku menemukan solusi jitu, meski untuk itu, aku harus siap-siap angkat koper, melarikan diri dari zona nyaman yang selama ini diselenggarakan armada-armada kelas VIP ke atas.


Tak mengapa, busmania kok alergi terhadap bus berjenjang rendahan itu? Demikian nyanyian soul of my advanture menohok keangkuhanku yang terbiasa keenakan dibui fasilitas wah dan meninabobokan.


“Garuda Mas 180 ribu. Bayu Megah kayaknya juga segitu...”


Bajigur...mahal juga ternyata, kukira di level 150-an.


“Mas, ada yang sedikit lebih murah. Mau?” bujuk Mas Indra.


“Bus apa, Mas?” aku terheran-heran.


“Tri Sumber Urip,”


“Ha? TSU punya ekonomi juga? Berapa harganya?” aku semakin penasaran.


Info dari Mas Iwan (agen TSU Pati), khusus Minggu, Bah Do menjalankan bus ekonomi,” terang founding father Warung Mak Ni Community ini. “Sekitar 170 ribu, tapi kemungkinan bisa kurang, Mas. Saya usahakan dapat seat depan”.


“Jangan-jangan pakai armada bumel Lasem-Semarang, Mas?” candaku.


“Haha...dijamin bus anyar Mas, yang biasa buat wisata,”


“Boleh Mas, booking aja ya...” akupun mengiyakan. Gimana lagi, no hope no choice, tiada tiket yang lebih bersahabat dari bilangan 170.000.


“Siap-siap ah, menikmati sajian eco-vaganza rute Pati-Jakarta untuk kali pertama! Sekalian lepas kangen, sudah 30-an purnama tak mencumbui PO sekampung halaman denganku itu.” hiburku membulatkan tekat.


Tapi sayang sejuta sayang, rencana itu teranulir kala Mas Indra gantian mencolekku lewat ruang bincang-bincang yang difasilitasi Yahoo Inc. itu, dua hari sesudah chat part I.


“Maaf Mas, karena satu lain hal, TSU tak jadi memberangkatkan ekonomi.”


“Aduh...gimana Mas, ada alternatif lain ngga?” aku mulai dibayangi kegalauan.


“Garuda Mas saja ya Mas, ini ada seat no. 6, harga 180 ribu. Cuma agen minta, paling telat Hari Sabtu tiket sudah diambil,” gamblangnya. “Dan jangan lupa, Garuda itu paling on time jadwalnya, jam 16.00 harus kumpul.”


Hmm...tak apalah. Tri Sumber Urip versus Garuda Mas, setali tiga uang, sama-sama pengusung formasi 2-3, sama-sama pencipta damai di bilik saku yang tengah meradang. Hehe...


“Siap Mas. Kebetulan lusa ada acara ke Pati, nanti sekalian saya mampir ke terminal.” ucapku dengan nada lega. “Sekali lagi, terima kasih atas kerepotannya.”


Sabtu siang nan terik...


Sambil menunggu jadwal praktik dokter kandungan di Keluarga Sehat Hospital buka, dilanjutkan acara silaturahmi ke tempat Mas Indra serta teman komuter di seputaran Pati, kusambangi Pesantenan Busport  untuk melunasi selembar bukti legalitas sebagai sewa PO Garuda Mas. Yang unik, menurut sharing obrolan dengan Mas Iwan yang saat itu kutemui di terminal, semua loket bus hanya melayani penebusan tiket, tak ada lagi transaksi penjualan untuk Sabtu sore, semuanya ludes, tak ada yang tak laku.


“Berapa armada TSU yang ngelen, Mas?” tanyaku kepada shohib Mas Indra itu, untuk mengecek seberapa jauh tingkat kehiruk-pikukan sore nanti.


“Delapan Mas, tapi sudah tak ada kursi sisa...”


Sahih, calon penumpang terus saja membludak. Itu baru “klub medioker” selevel TSU. Belum lagi amunisi Pahala Kencana, Shantika, Haryanto, atau Nusantara. Berapa banyak lagi isi gudang peluru yang mereka kerahkan?


Mimpi kali yee...berharap harga sebiji kursi bakalan murah. 

S (c) A N (i a) J A Y A (4)

Hari Ke- 30, Bulan Ke-9


“Jrakah ...Krapyak...Kalibanteng...bagi yang mau turun, tolong siap-siap!”


“Kicauan pagi” dari asisten driver sontak membuyarkan lelapku. Wah...mulai menelusup pusat Kota Atlas, saat pendulum waktu mengabarkan pukul 04.05 dinihari. Berarti empat jam sudah aku menyia-nyiakan sajian istimewa berselera, berupa “Battle of Pantura”.   


Masih malas ah, kuremidi lagi ritual pejam mata.


Wuss...wuss...hembusan suara angin yang terbelah akibat efek aerodimanis bodi bongsor bus menyadarkanku kembali. Fajar merah jingga di ufuk timur seakan jadi saksi saat armada yang bersekutu dengan AM Shantika, Shantika Abadi serta Shantika “polos” ini tengah kerja rodi mengejar lampu pistol yang melekat pada pantat Lorena, di lingkar Demak. Cukup ulet dan liat juga aset Ibu Eka Sari itu, tak gampang menyerah meski beda tenaganya menyentuh takaran 150 HP. Berdua kompak saat menyalip Kramat Djati Madura B 7674 XA dan kemudian perwira bintang lima Tajur mementaskan kelihaian menari-nari dengan backing dancer truk-truk barang, di panggung jalan nasional yang saat itu tersita dua lajur untuk proses peninggian serta pengerasan.


Singa bermahkota kok dilawan?


Dan pemeo itu tak bisa diganggu gugat. Di Desa Wonoketingal, Si Ijo berkode jurusan LE-450 Banyuwangi “lempar handuk”, tak mau lagi meladeni sengatan Kalajengking yang dulu menetas di Kota Apel ini.


05.10


“Monggo Pak, Bu, yang mau subuh-an dulu...”


Reminder dari kru sesaat setelah rem parkir diaktifkan, di depan sebuah mushola kecil, tak jauh dari seberang pul Nusantara, Karanganyar. Tak lama berselang, ditemani oleh kompatriotnya se-casing, Scorpion King, H 1713 BC, yang tadi malam di-voor waktu 30 menit-an saat green flag dikibarkan.


Tersusul pula Masterbus itu, yang corak grafisnya mengingatkan pada kereta dinas timnas Brazilia di Piala Dunia 2006, Jerman.


Tak terbantahkan lagi,  produk Swedia ini lagi berjaya!


20 menit kemudian...


Kudus...kudus...terakhir, tak lewat kota...!!!


Demikianlah bunyi syair perpisahan, penanda berakhirnya 10 jam kelekatanku dengan PO yang mengobarkan visi “Concept Transportation” itu.


Adios Scania!!!


***


Seperempat jam sudah aku dibekap rasa bosan menunggu moda penerus langkah menuju bumi pertiwi kecil, Rembang.


Duh, mengapa kalau pas lagi ngga perlu, Sinar Mandiri, Indonesia, Jaya Utama, Widji Lestari, Jawa Indah atau Akas IV terlihat begitu banyak bersliweran di jalanan? Tapi,  giliran butuh, kurasakan headway-nya begitu panjang dan lama, tak beda dengan interval antar Trans Jakarta di waktu pagi. Terakhir kali kulihat PO Widji Lestari berjalan ke timur saat Shantika-ku menunaikan hajat religiusitasnya.


Finally…dari jauh, tampak siluet warna hijau mendekat yang sekilas adalah sosok armada Sinar Mandiri. Namun, semakin detail kuamati, ternyata bukan.


Ah, itu mah identifying object, yang sering kulihat “nyampe” di Terminal Pulogadung lepas isya, setelah mengembara di atas 700 km menuntaskan trek Surabaya-Jakarta. Dialah PO Sanjaya, the other besutan of Restu Group.


“Boyo...boyo...” teriak kenek, dan bus perlahan-lahan berhenti.


Hadeh...nyeser ta?” pikirku.


Hanya satu sewa yang naik, tak sebanding dengan jumlah penumpang yang lumayan berjubel di depan Terminal Jati, Kudus.


Tak puas dengan hasil tangkapannya, dicobanya trik yang lain lagi.


“Tuban…Tuban...” 


Not bad, dua atau tiga orang tergiur bujukannya.


“Rembang...Pati...biasa...biasa...” pekiknya sekali lagi, setelah disadari, lebih banyak komuter jarak pendek yang bersiap untuk dikeruk.


Wuih, sahih nih.


Bergegas kudaki tangga pintu depan, lalu berbondong-bondong diekori belasan penumpang lain. Beruntung, aku langsung disuguhi kursi Super Eksekutif 1-2. Tak ingin membuang waktu, segera kududuki lahan itu, persis di belakang singgasana “sopir kiri”.  Sedikit unik memang, melihat realitas baris kedua hingga kesepuluh berformasi 2-2, justru hotseat-nya dikurangi sebiji, menjelma menjadi 1-2. Tentu mudah ditebak, karena sebagian tergusur “areal makam” yang mengubur gelondong mesin Hino AK3R di bawahnya.


Setali tiga uang dengan habit driver-driver imperium Restu, bus berbody coach Panorama 3 tempaan Laksana langsung menunjukkan tajinya. Nafas tua tapi tetap gahar menantang guliran zaman.


“Widji depan sudah jauh?” tanya pengemudi kepada pedagang asongan yang asyik berjualan, yang kerap didapuk sebagai agen mata-mata bagi kru untuk mengintip  posisi “musuh-musuh” terdekatnya.


“Sudah, Bos, 20 menitan…” timpalnya.


“Untung kita, Cak. Widji 65 belakang kita lagi storing, Sinar Mandiri juga masih jauh!” bilang Pak Sopir, yang raut wajah dan logat kocaknya mirip Cak Bagio, partner pelawak kondang asal Nganjuk, Cak Kirun, membagi berita gembira pada koleganya.


Ajaib juga. Bagaimana “orang di luar link” tahu betul slah antar bus berikut armada serta jam-jam operasional angkutan Semarang-Surabaya.


Di perempatan Tanjung, Kudus, dengan bebas dan leluasa, tanpa perlu takut dipelototi yang punya trayek, beberapa penumpang didapat kembali. Inilah berkah yang dinikmati kendaraan eks bus malam Mandala Sari ini.


Dengan semangat juang yang meletup-letup, para kru berjibaku memecah kepadatan lalu lintas di pagi hari. Driver dengan lincah memainkan lingkar kemudi, sementara kenek tak kenal lelah memberi aba-aba navigasi agar laju bus melenggang mulus.  Sempat kres dan chat singkat dengan bus Sari Indah yang mengarah ke ibukota, di depan Pasar Bareng.


“Kemana, Mas?” colek kondektur di pundakku.


“Rembang, Pak!” sembari kuserahkan selembar duit nominal Rp10.000,00.


Ternyata dugaanku meleset. Bus ini jauh-jauh membuang praktik sarkawi, dengan memberikan reward berupa tiket bergaris coretan pada titik awal dan tujuan akhir yang hendak dimaui penumpang.


Setelah sekian detik menunggu, ternyata tak ada uang kembalian. Tak apalah, beda dua ribu dengan ATB atau bumel. Dari amatanku, N 7058 UG ini boleh dibilang “kelas bisnis”, seat 2-2.  Sangat amat murah dibanding patasnya Jaya Utama atau Sinar Mandiri yang menetapkan tarif Kudus-Rembang di kisaran 25-30 ribu. Apalagi ditambahi hawa AC yang begitu sejuk menerpa kulit plus jok penumpang yang menurutku adalah bikinan Karya Logam, yang empuk, nyaman dan ergonomis. “Selendang clurit” ini jauh lebih mengobral harga.


Dus, ini pengalaman pertama menyetubuhi PO Sanjaya, yang rasa-rasanya, dalam kerangka berpikir akal sehatku, mustahil aku bakal punya “keberanian” untuk mencicipinya. Kalau namanya jodoh, bermula dari ketidaksengajaan, endingnya pun jadian.


Ruas Klaling-Terban tampak ramai lancar, meski tengah diobrak-abrik untuk proses pengecoran badan jalan. Setelah selip-selip, dengan stick tipis-tipis, bertemu dengan rival tangguh yang memberi perlawanan hebat. Medium bus Blue Bird CCB088 serta Bandung Express D 7787 AB jurusan Bandung-Lasem. Cukup alot juga, meski akhirnya bantuan lebar jalan di seputaran Margorejo Pati membuatnya kondusif menumbangkan seteru dadakan pagi itu.


Terminal Puri, Halte Kembang Joyo, Gemeces serta Tugu Sukun Juwana jadi kantong-kantong rezeki bagi bus yang berkapasitas 47 bangku ini.


Ada kejadian menggelikan, saat seorang pelajar minta berhenti di depan SMA Batangan.


“Koen iku piye? Arek sekolah kok diunggahno sisan?” tanya sopir penuh keheranan. (Kamu itu gimana?Anak sekolah kok dinaikan juga?)


“Eling Cak, koen yo duwe arek sekolah” balas sejawatnya dengan bijak, membela diri. (Ingat Cak, kamu juga punya anak sekolah.)


“Mbayar piro?” (Bayar berapa?)


“Sewu…” (Seribu)


Cak Bagio wannabe itupun tersenyum kecut.


Hebat ya anak sekolah era sekarang. Juwana-Batangan pakai bus eksekutif, ongkos ekonomi lagi.


“BRI kiri ya, Pak!” instruksiku saat keenam roda merangsek jantung kotaku tercinta, yang konon katanya, menyimpan kekayaan harta karun dalam cakupan bibir pantai sepanjang 60 km-an ini.


07.10


Grengg…grengg…suara sumbang knalpot itu seolah mengatakan “bye..bye…”, sesaat setelah aku turun di depan bank pemerintah, yang tak jauh dari bangunan tempat istriku berkantor, lokasi di mana dia akan menanti kedatanganku.


Flashback...Hari Ke-27, Bulan Ke-9


Telepon dari permaisuri tersambung, H-2 sebelum hari kepulanganku.


“Pa, motornya jatah di-service nih. Speedo sama kilometer-nya juga mati.” rengeknya. “Kalau bisa, Jumat lah dibawa ke bengkel. Sabtu jelas ngga  bisa, karena kita bla…bla…bla…”


***


Hanya perkara remeh itukah yang jadi pembenaran dalihku untuk mempercepat sehari acara mulih ndeso kali ini?


Namun, aku bersyukur. Dibalik apapun alasanku, toh aku tetap tiada putus disuguhi keelokan dinamika alam Pantura, yang bagiku adalah “little miracle” yang kerapkali membius.


Yup…Scania nan jaya berikut Sanjaya. Pasangan gado-gado yang bersatu padu, bergotong royong, bergandeng tangan, membangun setangkup sensasi yang memorable dalam mengisi diary perjalanan mingguanku kali ini.


Ganda yang luar biasa, dan yang pasti, tak kalah heboh dengan duo Maia-Mey Chan.


180582-10150091503627459-767567458-5891802-3483702-n









Courtesy of Shantika's Lover @ FB Group


atb-sby-jkt


 Courtesy of terminalgadang.blogspot.com



T – a – m – a -- t

S (c) A N (i a) J A Y A (3)

Menjelang Pergantian Hari


Pukul 22.09


Aku terbangun kala piranti balon udara penyusun fitur air suspension meredam gejolak jalan tanah yang tak rata, dan sedetik kemudian lampu-lampu kabin menyala terang.


Rupanya halaman rest area Barokah Indah, Patrol, say welcome dan tiba masanya menyuntikkan asupan gizi ke dalam pundi pencernaan. Dan ini adalah kunjungan pertamaku ke rumah makan yang bernaung di bawah grup Mendhosari. Terakhir kali aku naik Shantika sebelum babak baru Scania, bersama New Marcopolo Ijo Tosca Hino R-260, layanan gala dinner masih dipercayakan kepada pramusaji-pramusaji binaan Rumah Makan Taman Sari II, Pamanukan.


Hmm…ternyata tanpa sengaja, aku benar-benar menikmati sleeping beauty sekeluarnya dari Tol Cikampek. Merugi, padahal dari awal take off, aku bertekat untuk melek mata semelek-meleknya, merekam jejak setiap jengkal lahan yang dilahap bus yang penjualannya di tanah air “kudu” lewat tangan United Tractor Indonesia ini. Kenyamanan armada didukung faktor kecapaian selepas kerja, berkolaborasi menghadirkan penayangan sekuel film “Bunga Tidur”  di alam mimpiku.


Saat tengah menikmati jamuan gratis yang dihidangkan, kuedarkan tatapan ke sekeliling. Dan aku baru tahu, ternyata di sini pulalah Muncul dan Damri merehatkan punggung setelah menuntaskan intermediate pertama dari rute yang bakal ditempuh, di samping PO bumi Kartini yang lain, Bejeu. Tampak kelas Big Top AD 1663 DA serta jauh di belakang sana bus-bus PO Damri dengan paras dan bentuk tubuh yang neko-neko, sedang beristirahat.


Setengah jam kemudian, bus yang cikal bakalnya lahir di Semarang selatan ini -- berdasar rotasi jam kerja driver – hendak memulai sesi kedua, bertepatan dengan kedatangan Scorpion King Yudha Express, K 1422 CC, yang akan membuang sauh, berlabuh sementara waktu. Inilah “Majesty of Transportasion” yang tak bisa membendung aliran liur untuk mencumbuinya. Yang menimbulkan tanya, ini bus berangkat dari mana? Jangan-jangan betul apa yang diceritakan salah seorang teman komuterku, bahwa  “Lumba-Lumba Jepara” meningkatkan status menjadi sapu jagat klan Muria Raya. Ada kalanya antara jam 18.00-19.00 masih terlihat sibuk mengais buruan, baik di Pulogadung, Kalideres ataupun Lebakbulus.


Yang membuatku salut adalah keakraban timbal balik yang dirajut Shantika dan Yudha Express. Kemesraan yang dipertontonkan antarperusahaan sebidang dan bersinggungan di tengah pusaran “Plat K Super League” nan sengit, terasa hembusan angin sejuk dan menenteramkan. Yang demikian bisa mengoreksi sejarah yang seringkali menulis bahwa “murid-murid” jebolan Padepokan Gunung Muria demen eker-ekeran sendiri, cakar-cakaran, jegal-jegalan, gengsi gede-gedean bahkan dengan bahasa kasar, saling tikam menikam.


“Turun di mana, Mas? Semarangnya mana, Pak? Maaf Bu, nanti ngga lewat Matahari…” 


One by one, tujuan akhir para pengguna jasa diperiksa dan dicatat oleh kru 3 alias kenek, ketika bus meneruskan heading-nya. Sebuah prosedur yang kelihatan sepele, tapi menegakkan citra positif bagi PO yang menerapkannya. Selain menjalin kedekatan kru dengan “tamu yang menginap”, menjunjung unggah-ungguh serta memuliakan sewa, namun sejatinya juga meminimalisir tindak kejahatan oleh oknum yang menyamarkan diri sebagai penumpang.


“Tadi ada masalah apa, Mas?” tanyaku padanya saat kena gilir pengecekan, merujuk kejadian di Rawamangun sebelum pemberangkatan.


“Ada penumpang nggateli (menjengkelkan) Mas. Mosok, sudah bayar tiga bangku yang dipesen tapi ngga jadi berangkat. Tadi satu orang sempat datang tapi terus izin pulang, katanya dompet ketinggalan. Eh, pas mau berangkat, tak satupun  yang nongol dan HP-nya ngga bisa dihubungi.” bebernya. “Mau kita tinggal, ngga enak, mereka sudah bayar mahal. Kita tunggu, malah diomelin penumpang lain. Shantika dicap ngga tepat waktu-lah!” 


Nah loh? Jangan-jangan itu salah satu black campaign yang dirancang Mr. X untuk menjatuhkan kondite PO yang dianggap pesaing? Entahlah…


Satu dari empat spesies “Kebo” (julukan yang lumrah untuk Scania-nya Shantika) ini melanjutkan kiprah di belantika Pantura. “Sang Libero” pun meneruskan tongkat estafet kegarangan pendahulunya. Bus dengan transmisi 9 speed ini melaju lugas, tandas, trengginas dan mengganas. Always, on fire. Sayang, aku lupa mengorek siapa dua penggawa di belakang layar kaca ini.


Tak butuh lama, gocekan gesitnya menjungkalkan  Dedy Jaya yang memanggul bodi Columbus, Sinar Jaya New Celcius, PO Handoyo bergambar Macan dengan kaca dual mode. Menyusul kemudian disungkurkannya pusingan ban duet Dedy Jaya, yang dua-duanya berdandan ala New Travego, masing-masing dibangun oleh New Armada dan Tri Sakti.


Gumarang Jaya dengan “theatre glass”nya disikut dan belum puas juga, di daerah Larangan, Losari mencundangi tiga sekaligus chasis Hino AK8 “fresh from oven” yang hendak dikirim ke karoseri wetan.


Mengantongi berita terjadi kekusutan lalu lintas di daerah Tegalgubug, bus penghubung Kalideres-Jembatan Dua-Rawamangun-Jepara ini ingkar dari pakem, menyingkat tempo dengan melakukan napak tilas “jalur sutra” Deandels. Dipilihlah special stage Losarang-Cirebon via Karangampel.


Usai membayar retribusi di Terminal Sindang, Indramayu, hujan pun turun, menuntaskan dahaga para penghuni bumi yang sekian bulan hanya bisa menengadah, menanti kemurahan langit untuk menyiramkan tetes-tetes air kehidupan.


Menyusuri jalan gelap, sunyi lagi mencekam, serta tanpa kawan sejenis seiring selintasan, mengurangi serunya permainan bagus yang diumbar. Tak ada elu, tak rame..


Pesona seribu pijar cahaya lampu dari kilang minyak Balongan yang bagaikan gemerlap kehidupan malam kota metropolis, tak mampu membelalakkan mataku untuk terus on. Bulir-bulir rinai yang menganak sungai di dinding kaca, seolah mewartakan bahwa udara di luar begitu dingin beku,  berbalikan dengan “wisma satu malam” ini yang menawarkan kehangatan, kedamaian serta kesyahduan suasana.


Aku pun meringkuk dalam peraduan (lagi).

S (c) A N (i a) J A Y A (2)

Masih…Hari Ke- 29, Bulan Ke-9


“Kepada penumpang Shantika jurusan Kudus-Jepara, diharapkan menempati tempat duduknya, karena bus siap diberangkatkan!”


Announcement dari corong speaker itulah yang memenggal obrolan tripartit dengan Mas Mulyani serta Mas Adhie Baguer, yang tak sengaja berjumpa usai aku melunasi kewajiban ibadah. Member BMC tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana. Hehe...


Dengan tertib, beberapa sewa melenggang masuk ke dalam perut Raja Kalajengking, dan aku pun luruh di dalamnya. Kurebahkan letih pada sandaran jok garapan PT Rimba Kencana. Kuselonjorkan kaki bertumpu atap toilet tengah, bukan lagi pada landasan legrest. Wah...PW tenan. Tapi tak sopan ah!


Menyesal rasanya aku telat menggilir bus ber-cc gigantik ini, sehingga kesan wah dan ekslusif mulai layu seiring ribuan penumpang yang telah diangkutnya memangkas orisinalitas armada yang diukir pengrajin Tentrem. Geladak kabin yang bermandikan sinaran lampu LED tak lagi keunggulan estetika yang layak ditakjubi. Bukan lagi nilai kemewahan lantaran body builder lain telah mengadopsinya.


Dari balik kaca depan, kusaksikan satu persatu teman-teman setrayek beringsut, meninggalkan bekas tapak ban di pelataran terminal. Kemudian dibuntuti “Legiun Mangkunegaran”, Gunung Mulia dan Safari. Selain busku, hanya dua makhluk yang tersisa, yakni Sinar Jaya Celcius kelas ekonomi yang diperpalkan karena okupansi tak memenuhi target, serta  LE-236 line Bandung-Bukit Tinggi.


Detik demi detik tiada henti bergulir, tapi tak ada tanda-tanda  Shantika bernomor jersey 09 ini dilepas keberangkatannya. Derap kehidupan stanplat yang diampu Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur sayup-sayup menghilang, ditinggal pergi para visitor-nya.


Di menit 26 lepas dari angka 19, akhirnya kesabaran salah satu penumpang pecah, berubah wujud menjadi angkara murka. Didampratnya para “ABK” dan pengurus yang tengah berdiskusi di sekitar ruang kemudi, yang aku sendiri tidak tahu ada kesulitan apa sehingga mimik muka mereka terlihat serius.


“Eh, nunggu apa kalian ini?” gebraknya penuh geram. “Ngomongnya jam tujuh berangkat. Mana buktinya?”


“Maaf, Pak, ini ada penumpang belum datang, mohon pengertiannya,” pinta asisten sopir.


“Apa begini caranya, demi satu orang, seisi bus kalian korbankan? Ha!!!” sergahnya dengan nada meninggi.


Mereka semua membisu, dan sejurus kemudian…


“Sebenarnya bisa saja kita tinggal Pak, tapi kita ngga enak, dia sudah bayar,” sahut karyawan bagian ticketing.


“Eh, kalian jangan membantah dan macam-macam ya! Saya ini tentara, ngerti!!!” bungkam pria paruh baya tersebut, seolah masa bodoh dengan akar kecarut-marutan yang terjadi.


Duh Gusti…



Aku tak men-judge bahwa lontaran protes yang ditujukan frontal kepada kru atas buruknya pelayanan yang dirasai itu keliru. Itu hak penumpang, yang telah teken kontrak dengan membarter sekian rupiah miliknya untuk menyetujui term of condition yang akan memayungi legalitas mereka sepanjang perjalanan.



Tapi, alangkah indahnya bila nota keberatan tersebut disampaikan dengan bahasa yang santun, tindak tanduk nan elegan serta cara yang lebih nguwongke. Toh sopir, kenek, personel agen adalah orang kecil, bukan pengambil keputusan atas permasalahan yang terjadi. Tak sepatutnya caci maki dan umpatan dialamatkan kepada mereka.



Namun sangat disayangkan, di tengah amarah akibat kekecewaan, ada yang menggadaikan kegagahan profesi serta jabatan yang disandang untuk mengerdilkan pihak yang dituding bersalah. Bukankah itu sekedar properti duniawi, titipan Sang Pencipta untuk senantiasa dijaga amanah-Nya? Gampang saja bagi-Nya untuk mencabut kemudian menistakan kita di hadapan manusia.



Ah, bangsa ini memang sedang didera krisis tata krama serta tuna budi pekerti.



Entah karena teror penumpang, ataukah “manajemen kecil” telah mengetok palu untuk tak mengindahkan si pengacau jadwal, tak lama berselang, Griffin dari Dataran Skandinavia ini menggunting pita start. Angan-anganku untuk menikmati “derby Muria” pupus, muskil rasanya mengejar ketertinggalan 30 menit dari rival-rivalnya. Dapur pacu berkapasitas 12 liter tetap keteteran menembus kepadatan jalan, demi memangkas jarak dengan kloter di depannya. Dan aku setengah yakin, andai para driver nanti sungguh-sungguh memaksimalkan daya gedor hulu ledaknya, tak bakalan lagi ketemu lawan sebanding bersamaan dengan menghilangnya jamnya Kudus-an.



Saat hendak menjilati aspal fly over Wiyoto Wiyono, pun dihadiahi kemacetan panjang. Gara-garanya, menjelang gate in Pedati, bus kota P.57 Blok M-Pulogadung mogok, mencaplok satu lajur dan berandil atas merayapnya lalu lintas usai bubaran kerja di sekitar kawasan Prumpung.



“Sehasta sisa” dari ruas layang Tanjung Priok-Cawang, disambung pangkal tol Jakarta-Cikampek, sedikit menyiksa greget bus yang malam itu hanya mampu mengkaryakan 23 seat-nya. Crowded-nya pengguna jalan, serta ketersendatan akibat pembongkaran gerbang Jatibening menahan nafsu kaki-kainya untuk lari lintang pukang. Seakan tak bangga kalau hanya pamer asap di muka Putra RemajaAB 7278 AK Jambi-Jogja-Solo di km 5.



Barulah lepas dari interchange Bekasi Timur, keluarlah top performance dari semburan tungku pembakaran tipe DC 12 04 Euro 3. Determinasi begitu meluap-meluap, high power menggenang di permukaan, enam batang silinder berkonfigurasi inline benar-benar diforsir kinerjanya oleh driver pinggir. Pengereman bukanlah orientasi utama di saat terhalang kendaraan. Namun diakali dengan aksi selinap sana selinap sini, zig zag, sesekali menyabet bahu jalan, menyibak hiruk pikuk jalan bebas hambatan warisan Bapak Pembangunan kita tercinta, HM Soeharto.



Tak ayal, bus-bus dengan speed medioker bertumbangan, nyaris tanpa perlawanan. Dewi Sri Jakarta-Pekalongan yang mengenakan kemben bikinan Equator, Prima Jasa kelas Ekonomi Bekasi-Garut, Gapuraning Rahayu Z 7765 TB jurusan Kalideres-Wangon serta Sinar Jaya 33G bukanlah oposan yang sepadan untuk men-tackling karir politik Scorpion King ber-STNK H 1511 CG ini.



Meski masih setia memajang keaslian nama lahir, moda darat yang kendalinya dikekang oleh Bangun Perkasa ini kian tak terbendung, di atas angin dan unggul segala-galanya dibanding bus-bus alumnus 1900 alias “angkatan waktu isya”.  Menang dalam kapasitas reaktor scania generasi 4, penyediaan cairan nutrisi yang melimpah ruah, kecakapan pramudi dalam me-menej output 360 tenaga kuda, sera gertak sambal dari anggota korps baju doreng menjadi perangkai cambuk yang sempurna bagi pengemudi untuk menghela armada secepat-cepatnya.



Budiman line Tangerang-Pangandaran,  bus “pelat merah” Damri kode 4421 penghubung koridor Bandara Soetta-Purwakarta, Dedy Jaya G 1410 CG, angkutan karyawan Restu RA-01, satu armada pariwisata yang berkandang di Bandung, Sumber Alam berjubah Nucleus 3, Menara Jaya Grosera Cengkareng-Pekalongan, laskar Priangan Gapuraning Rahayu  Z 7896 TB, Pakar Utama Selendang Setra D 7886 AF, Dewi Sri G 1417 GE, serta PO dari Tasik, Budiman Mercy Don King DS-041 Bekasi-Pangandaran adalah sederet mangsa yang tersandung akibat tuah “stiker nyeleneh” K380 IB Series yang menampang di lambung kanan-kiri.



Meminjam jargon “dua tetangga lima langkah dari rumah”, It’s Showtime and Wheel Crazy, sungguh-sungguh diperagakan di etape Cawang-Dawuan. Hegemoni, dominasi, agregasi adalah paduan tiga kata untuk melukiskan kedigdayaan Shantika dengan prefiks “New” ini.  

S (c) A N (i a) J A Y A (1)

Hari Ke- 29, Bulan Ke-9


“Mau kemana, Mas?” sambut seorang calo resmi berseragam PO Haryanto tergopoh-gopoh menghampiri, saat melihatku melangkah tergesa-gesa seturunnya dari taksi roda dua.


“Kudus? Jepara? Pati?” berbekal ilmu yang dipelajari dari bangku terminal, ia menjajal kapasitasnya sebagai marketing handal.


“Kelet? Bangsri? Atau Tayu?” lanjutnya seakan tanpa menyela nafas, biarpun aku meresponnya dengan sikap acuh tak acuh.


Hebat! Apakah perantara tiket itu bisa menebak bahwa bentuk serta lekuk wajahku khas ras Murianesia, sehingga aku digiring untuk duduk di dalam armada yang pantas disemati titel Appetite for Acceleration itu?


“Mobilnya baru, Mas. Dapat snack dan makan. Kalau iya, saya diskon, cukup 110 saja!” bombardirnya, berharap aku terkulai ke dalam jerat iming-imingnya.


Aku yang sedari tadi hanya sambil lalu, akhirnya tak tahan buka suara.


Busnya Pak Gi’ apa Pak Topo?” aku balik bertanya.


“Lho...kenal, Mas?”


“Mosok hampir tiap Minggu naik Haryanto, ngga tahu mereka?” balasku meredam keagresifannya.


“Pak Gi’, Mas.” ujarnya tersipu.


Jujur saja, tak ada gairah untuk bermalam di kamar VVIP The Titans, meski “nilai jual” Pak Sugiarto tetaplah lestari memikat. Silent Striker, demikianlah kalau aku boleh menjulukinya. Sosok tenang, kalem, low profile, namun diam-diam, galak dan merajalela di atas main court Pantura saat mengemban tugas sebagai goalgetter bagi skuad HR-07 yang dibelanya.


Pasalnya, andai Kamis malam itu aku turut beliau, -- menghitung siklus dua harian -- pas mengarah ke barat Hari Minggu nanti, kemungkinan besar akan bersua kembali dengan B 7032 VGA. Ngga ah, semesta pinggir laut Jawa begitu luas, terasa sempit kalau aku mengarunginya dengan modul penjelajah yang sama. Kutepis nama PO Haryanto sebagai nominator figuran fragmen wira-wiriku kali ini..


“Tujuan saya ke Rembang, Mas. Ini mau ke Nusantara.” tolakku mengelabuinya, walaupun aku sendiri masih menggantungkan nasib soal HS berapa yang menggawangi NS-19. Kalau misal berjodoh dengan scania usang namun terbungkus busana baru model Jetbus, bolehlah.


Bukan jajaran lapak agen yang kutuju, melainkan area ngetem yang membujur dari  lajur satu hingga tiga. Adakah selebritis baru pesisir timur yang bispak alias bisa dipakai?


Di lintasan satu, dari belakang berbaris Shantika Scania, Shantika Masterbus, kemudian di depannya hadir Muji Jaya MD-99. Di row kedua adalah bus yang aku emohi, Blue Titans, yang bumper guard-nya nyaris menyium pantat Irizar palsu, HS 151.


Dan di tengah arena, hadir Super Eksekutif 01 serta ah,...percuma! NS-19 didelegasikan kepada HS 218, New Marcopolo MB OH 1526 bersuspensi udara. Kudiskualifikasi saja, apa bedanya dengan NS-39 Pulogadung-Cepu yang lebih mudaan lagi, HS 222? Kurang nyeni ah...


Kini opsi meruncing antara tiga varian chasis, OH 1525-nya Mas David Muji Jaya, OH 1526 ataukah K124 IB, keduanya punya PO Shantika?


“Sudah ah, ngapain bingung? Cepet sono gih bungkus Scania. Ngga malu apa sama status penglajo mingguan, tapi ngga pernah mengelus-elus singa melet yang dipiara Shantika?” setan ting ting yang bersemayam di nadiku angkat bicara, seraya memantik korek api lalu menyalakan sumbu kompor.


Gimana ya? Iya...engga...engga...iya...Sebentar...sebentar!


Hmm, apa balik ke pelukan bidak Pak Hans saja? Toh, tak bisa dibantah oleh hati kecilku, jalan lurusku ya tetaplah NS-19 Rawamangun-Lasem. Lebih simpel, murah, praktis, direct flight tanpa transit. Andai kuamalkan, pasti bisa! Ini bukan weekend, penumpang lazimnya sepi, kursi-kursi meradang menunggu penyewa.


Aku masih termangu di ruang tunggu.


Satu menit...dua menit...hingga lima menit kemudian, laboratorium analisisku masih bergolak hebat, menentukan mana yang lebih mendatangkan manfaat untuk kupertaruhkan.


Bingung...bingung...kumemikirnya!


“Hei, cepet!!! Nunggu apalagi? Ini hampir setengah tujuh, sebentar lagi pada berangkat! Lagian kamu juga belum salat!!!” bentaknya dengan lantang, mengagetkan kegamanganku. 


“Eh...iya...iya deh, gitu aja pake cara militer, kaya rezim Orba aja!” aku gelagapan dibuatnya.


“Tapi…, hei, turunan iblis macam apa pula kau ini! Kok ngasih nasehat kepada manusia untuk tak melalaikan Tuhan-nya! Lupa jobdesk  ya?” batinku tergelak tawa.


What “the kindly devils” say, that’s my way. Karena kebodohanku, premis itulah yang terkadang kujadikan acuan di kala bimbang menghadapi kompleksitas ragam pilihan pra-turing.  


“Oke...oke...Ana sami’na wa atha’ sama ente deh, Gan!” tundukku taklid kepada si penggoda iman itu.


Kuayunkan kaki menuju salah satu counter tiket di deretan tengah dari bus port yang relatif steril dari penjaja asongan itu.


“Ke Kudus masih ada, Bu?” tanyaku kepada ibu berkerudung lebar menjuntai, seolah merefleksikan bahwa PO yang diageninya ber-platform agamis.


“Saya kasih Scania saja ya, Mas, ini banyak yang kosong,” bimbingnya, sambil menyodorkan sket tempat duduk. Lho, dia kok tahu mauku ya?


Saat kutelisik, memang benar adanya. Hanya baris 1 s.d 4 yang dibold, selebihnya cuma segelintir contrengan di deret belakang.


“Hmm...belakang toilet saja, Bu.” request-ku, supaya pandangan meluas ke depan, disamping adanya alasan klasik, dua bangku kembar dempet (nomor 19-20) tersebut belum laku. Siapa tahu nanti sebelahku melompong, buy one get one free, asaku.


“Seratus lima puluh, Mas,” bilangnya saat menyiapkan secarik tiket sebagai bukti sah transaksi.


“Ngga boleh kurang tuh, Bu?” negoku. “Sepi nih...”


“Ya sudah Mas, 140 saja, ngga bisa kurang lagi.” Aku mengangguk, dan tercapailah kemufakatan.


 “Busnya paling belakang ya, Mas! Sleret (cat) biru, di kaca depan ada angka 09.” terangnya.


Gen kenakalanku memberontak. “Ngga usah ditunjukin detail gitu ah, Bu. Seawam-awamnya busmania seperti saya ini juga ngga bakalan susah mencari. Pak Lurah Pulogadung bisa huekkk...sorrr...lagi, kalau tahu warganya yang seringkali mangkir diundang cangkrukan di warung Pakde Poniman ini, ngga bisa bedain mana Scania mana  Mercy.  (Hehe...Piss ya Cin!) 

Sssttt…Tarif Kencan “Dara” Cuma 130 Ribu Semalam. Mau!? (Eps 5)


Sejujurnya, terlihat kebodohanku saat mengautopsi bus yang telah berkali-kali mem-fashion tubuhnya. Tak satupun bagian jasad yang menyuratkan ciri khusus sebagai clue untuk mencari kebenaran siapa yang merakit armada ini.


IMG00189-20120409-2049


Lampu depan mengadopsi kepunyaan Legacy, back-lamp mengunggah bentuk smiley. Lekuk-lekuk bodi ataupun lengkungan-lengkungan kaca pun awam bagiku. Hanya rancangan rack roof serta posisi louver AC yang mengingatkanku pada armada Big Bird yang dulu “dipinjamkan” BMC sewaktu acara “Goes to Sarang Biru”.



Konklusiku, basis tubuh “Si Dara” adalah model Classic buatan Restu Ibu. (Maaf, kalau salah terka?



20.57



OM-366A memulai intermedite II, dengan Pak No sebagai operator. Belum sempurna mengambil jalur, PO Handoyo AA 1409 AA serta Santoso bersticker komunitas tetangga melangkahinya.



Dan mereka berdua lah yang jadi kawan hiking pendakian Bukit Plelen.



Trio oldtrack pun beriringan, dan semuanya kompak kepayahan  menaklukan tanjakan yang dibangun untuk mengurai kepadatan tanjakan Poncowati, jalur lama itu. Bahkan, sempat dua kali bus yang hanya berdaya maksimal 170 HP ketenggak, tak kuat menanjak. Terpaksa hand brake diaktifkan, dan memulai awalan dari gigi terendah. Very…very horrifying!



Tak ayal, Nusantara NS-65 disusul Tunggal Dara AD 1701 CG memamerkan superioritasnya.



Menapak Alas Roban, barulah agresifitas dan kehandalan OH Prima ini meluap-luap. Bus mulai berlari dan sepanjang ruas sejauh 50 km-an, berhasil mengintimidasi Handoyo dan Santoso, yang mencundanginya pada leg pertama.



Di Tulis, saudara PO Rhema Abadi itu melempar handuk, menyisakan Laskar Gunung Tidar yang ngeyel dipelorot dari pucuk klasemen.  Barulah, menjelang Kota Pekalongan, bus yang dipuja-puja oleh Santoso Lovers itu mengibarkan bendera putih.



Kota Batik, jadi ajang unjuk nyali dengan style ngelong kanan setiap mendekati lampu merah. Tak terhitung, peserta Liga Pantura yang dipameri keseksian pantat Si “Dara” yang padat berisi ini.



Bahkan, sesaat sebelum melintas di Pasar Wiradesa, mendurhakai “bapaknya”, mencecar Tunggal Dara bernomor lambung 57, dengan serbuan lampu dim.



Sayang, perjuangan itu sia-sia, kala dua orang turun dan kudu unloading bertumpuk-tumpuk paket. Tak kurang dari dua Bogor Indah, dua Premiere Class Nusantara, Haryanto Destroyer B 7016 VGA   dan anggota skuad APPG (Angkatan Pagi Pulogadung), PO Shantika H 1419 BE eks Dewi Sri Asri, menyetrapnya.



Namun sesudahnya, salah satu armada Bogor Indah tersebut, B 7113 GD, dicecerkan dari persaingan, kala diasapai di teritorial Ambowetan, Comal.



Saat kantuk menyerang, lantaran sudah enam jam menikmati landscape Banyumanik-ringroad Pemalang tanpa tidur sekalipun, adegan seru itu ditayangkan.



Siapa yang sangsi akan kehebatan Kramat Djati “Jack Daniels”?



Setra Comfort yang menggawangi trayek Klaten-Jakarta itu terlalu kuat untuk ditandingi. Setelah terlibat pertempuran seru antar keduanya, akhirnya aset warisan mendiang Pak Darmo, Pendiri TDI Grup, ini terjerembab oleh sepak terjang The Flying Eggs.



---



Kukucek-kucek kelopak mata, setelah kurasakan bus berhenti lama.



Rupanya, “Dara”ku berperan sebagai senter penerang bagi poolmatenya, Tunggal Dara Putera AD 1589 DG, yang sedang mengalami masalah di daerah Dampyak, Tegal. Para kru saling bahu-membahu mengatasi permasalahan yang ada. Sepertinya ada problem besar sehingga cylinder cop OH King itu perlu dibongkar.



5 menit…15 menit…30 menit…1 jam…Belum teratasi juga. Penumpang bus depan sebagian sudah meninggalkan takhta nyamannya lantaran pengap, gerah lagi gulita.



Beda dengan orang Muria-an, yang langsung mengerubuti awak bus yang sedang bekerja, memberikan pressing agar gawean cepat diselesaikan, sembari “ngoceh” macam-macam, mereka malah tenang-tenang dan asyik ngobrol sendiri.



Memang, karakter setiap masyarakat tak sama. Pantaslah, orang kidulan dilabeli cap alon-alon waton kelakon, terlihat dari penyikapan penanganan trouble di jalan yang terkesan nyantai dan sakmlakune.



Koloni Muria-an yang slottime-nya di belakang Solo-an satu persatu merangsek. One of them adalah Scania Kebo Shantika yang aku sebadani beberapa bulan silam.



Itulah yang membuatku terpekur dan merenung. Dalam konteks dunia transportasi bus, betapa beruntungnya aku, yang lahir, tumbuh dan besar dalam tlatah alam Paku Jembara (Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora).



Dengan tarif kencan yang nyaris sama, 130 ribu versus 140 ribu per malam, Si Shanti lebih memberikan segala-galanya dibanding Si Dara.



Ah, sudahlah…mengapa aku mesti mengeluh. Kubuang jauh sikap membanding-bandingkan dua hal yang tak sama variabel serta parameternya. Toh, mengencani “Dara” adalah pilihan-pilihanku sendiri.



Kalau nasi sudah menjadi bubur, mengapa aku tak berpikir untuk mengolahnya menjadi bubur ayam?



00.15



“Pelan-pelan saja, ini darurat, nanti diperbaiki yang benar di Jakarta. Aku ikuti dari belakang…” imbau Mas Ambon kepada kru 89.



Dua merah-kuning itu berjalan serentak. Hilang sudah ekspektasiku, bahwa dengan naik bus Solo-an akan lebih pagi tiba di ibukota. Nyatanya, yang jadi orientasi sekarang bukan lagi bagaimana mengejar pagi, melainkan bagaimana bus menggapai Jakarta.



02.05



Terminal Harjamukti, Cirebon. Bus yang interiornya cuma dilengkapi patung bisu berupa TV tabung 14 inchi dan jajaran speaker di langit-langit itu melakukan checking, dan kemudian melenggang kembali masuk tol Plumbon.



Aku terbangun kala sensor pencatat kecepatan di tubuh membangkitkan sinyal bahwa bus melaju cukup kencang.



Benar lah adanya.



Di hamparan bypass Widasari-Losarang, putaran deras “donat hitam”nya mampu menaklukkan Garuda Mas Celcius, Sinar Jaya Pekalongan serta Bogor Indah B 7300 XA.



Senioritas Pak No kembali mengawang, saat menundukkan PO elite, Rosalia Indah kode 312, busnya orang Wonosobo - Dieng Indah AA 1681 BF serta mantan sohibnya, Sumber Harapan K 1509 FA.



Kemacetan kembali menghadang tepat di depan RM Nikki, Pamanukan. Jalur ke barat berhenti total, sedang arah Cirebon relatif sunyi senyap.



Mengandalkan intuisi serta sokongan dana mel-melan, bus yang di awal kelahirannya pernah mengakuisisi PO Ratna, Pacitan, itu lantas menyapu bersih jalur berlawanan. Tak peduli dia sendirian ataukah nanti didapuk menjadi “imam” blong kanan, fakta aktualnya lautan bus malam berhasil diarungi. Tak dipedulikannya lagi hingga lima kali mesti nyogok petugas agar diberi fasilitas jalan, menembus crowded-nya lalu lintas.



Mantap, ternyata virus yang bernama latin ngeblong ngananensis itu telah mewabah.  Hehe…



Kembali ke trek Pantura. Bus dengan lingkar setir segede tampah ini kembali menghirup radikal bebas yang dihembuskan knalpot dua Pahala Kencana, B 7989 IV serta Nano-nano B 7598 IX.



Di depan Balai Benih, tampak HS-217 mengalami gangguan mesin, ditemani cs-nya, NewTravegoLondonBridge dan Irizar abal-abal.



Tak ingin menanggung malu, Tunggal Dara Putera pun mengamuk. Digagahinya Handoyo New Celcius AA 1456 DA, Raya 03, Ramayana Setra Adi Putro dan Handoyo Panorama 3 di etape Sukamandi-Patokbeusi, sebelum dijewer oleh PO Shantika Oranye berpelat AD menjelang Cikopo.



Tepat jam 04.30, penjaga gate entry Dawuan mengenakan bea tol kepada bus yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Gajah Mungkur serta Gajah Mulia Sejahtera itu.



Hatiku melonjak kegirangan, riangku mencapai klimaks menatap realita yang ada. Bayang-bayang akan kejamnya guillotine mesin absensi bisa aku elakkan. Ini hari Selasa, semoga lalu lintas tak seramai kemarin. Dengan puing jarak tinggal 70 km-an, masih ada spare masa 3.5 jam untuk mencapai lobi kantor.



Aku dibekap euforia, ternyata tua tak berarti mati gaya.



“Dara, meski dirimu punya kekurangan, namun nge-date semalaman cukup memuaskanku. Tak apalah meski tarifmu sedikit kemahalan bagiku. Suatu hari nanti, aku akan mendekapmu kembali, Dara.” sanjungku. Dan selanjutnya kutarik selimut merangkai puzzle-puzzle mimpi.



Gleekk…gleekk…gleekk…



Kurasakan mesin shut down saat mendaki jembatan penghubung exit Cibitung. Dan semakin lama, gelinding roda tak mau merangkak lagi tepat di atas gelagar jembatan yang melintang di atas jalan tol Jakarta-Cikampek.



“Mbon…Ambon….Mati aku, masuk angin. Jangan-jangan solar habis!!!” seru Pak No dengan sedikit panik.



 What!!! Solar habis!!! Tinggal afterplay, mengapa Dara Wonogiri ini malah loyo!?



05.32



Lantaran lima menit berlalu tak ada progress berarti, aku mendadak berubah pikiran. Menganut paham tukulisme, aku harus quick respon, karena bandul waktu semakin menghimpit.



Kusambar tas yang sepanjang malam ngumpet di bawah jok. Cepat-cepat kuturuni tangga dan kuputuskan untuk berjalan kaki mencapai perempatan pul Sinar Jaya. Masa bodoh lah, aku tak mau mengadu dan menuntut apa-apa kepada Tunggal Dara Putera lantaran karam dalam ikhtiarnya menghantarkanku menuju sawah pencaharian.



“Payah…kemarin pulang mogok, sekarang mogok lagi. Wis, dasar bus tuwo..” caci salah satu penumpang, terdengar lembut di telingaku.



Di ambang kemenangan, terpaksa aku kudu mengkristalisasi keringat, dihadiahi bonus joging sejauh 200 m.



Emoticon apa yang pantas terlukiskan, menanggapi suka duka, lika-liku sewaktu mewujudkan cita-citaku menyelami citra diri serta daya magis Si “Dara”.



Entahlah, susah untukku mengilustrasikannya.



 “Priok…Priok….Podomoro…”



Sebuah bus kota perlahan melintas membuyarkan kekesalanku. Cepat-cepat kuangkat dua tumit ini menjilati kabin Evo-C. Maya Raya, B 7131 YL, Cikarang-Tanjung Priok via tol Cibitung, adalah pahlawanku.



Tatkala artileri Mayasari Bakti Grup berlambung T269 tepat melintasi flyover, jelas tampak AD 1449 DG masih berkutat dengan keapesan yang menimpa. Dan sekarang bergantian tandemnya, AD 1589 DG, yang mogok semalam, jadi senter penerangan bagi mantan “Dara”ku itu.



Saling setia, guyup dan rukun koyo mimi lan mintuno. Itulah yang dinamai Ngadirojo Solidarity… 



--- 



 IMG00190-20120410-0541


Dara…oh, Dara… mengencanimu ternyata tidak indah pada akhirnya. 



T  -  a  -  m  -  a  -  T