Jumat, 21 Juni 2013

Oscar dot Eleven (3)

21.46


Menjelang persimpangan rel kereta Pejagan, lampu kabin Kramat Djati memancarkan silau, mengusik pelupuk mata para penghuninya. Rumah Makan dengan cap Kedung Roso disinggahi, sebagai tempat barter selembar kupon dengan seporsi menu makan malam. Restoran yang dijuluki Mbok Rame itu terkesan sempit dari luar, namun sebaliknya, memiliki parkiran yang amat luas di halaman belakang.


Oscar dot Eleven yang aku tumpangi mencari lokasi parkir, dan dipilihnya sebidang tanah di samping kiri PO Akas Asri, di belakang PO Lorena.


Aku seketika keheranan, mengapa Akas Asri dengan papan trayek Jakarta-Jember ‘kesasar’ di sini? Bukankah Singgalang Jaya, Losarang, adalah providernya untuk urusan men-service usus 12 jari? Ataukah warisan Pak Tingok itu sudah pindah ke lain piring? Hehe…


Terlepas dari keganjilan itu, asumsiku, bila N 7528 US ini take off dari Rawamangun jam 2-an, dipastikan waktu tempuhnya bakal molor. Delapan jam untuk memangkas jarak Rawamangun-Pejagan adalah pemborosan tempo.


Andai kemacetan Pantai Utara Jawa Barat yang membuat salah satu anggota keluarga Akas II ini terhambat, bisa jadi spekulasiku untuk menghindarinya dengan metode re-route via Bandung, tidaklah keliru.


Namun, bagaimana dengan status Lorena LE-110, yang mesinnya shut down, dengan lambung berbalut lumpur tebal?


Sepengetahuanku, bus jurusan Lampung-Banyuwangi ini adatnya jam 3 s.d jam 5 sore  sudah mendaftarkan ‘sidik jari’ di wilayah Rembang untuk mengarah ke timur. Mengapa jam segini masih di sini? Ikut terjebak dalam kerunyaman proyek perbaikan jalan Pantura kah?


Aku pun melangkah turun dan berniat menuju meja makan, tiba-tiba seorang Bapak menghampiri.


“Mas, krunya mana ya?” tanyanya.


“Sepertinya sudah pada turun, Pak,” jawabku. “Ada perlu apa, Pak?”


Gini, Mas, kalau masih ada kursi kosong, saya mau pindah bus!” harapnya. “Tujuan saya ke Surabaya. Berapa pun saya bayar nanti.”


“Lho, busnya kenapa, Pak?” aku balik menyidik bus apa yang dinaiki.


“Lorena-nya dobol (mogok-pen) itu lho, Mas! Sudah berjam-jam menunggu, tapi ngga ada kejelasan!”


Wew…jadi Si Ijo Tajur ini lagi storing?


“Bus pertama dari Lampung rusak, diganti bus ini. Ehtaunya penggantinya sama saja, payah! Geregetan saya, Mas!” ungkapnya dengan raut kekesalan.


Lorena…Lorena…kapan akan berubah? Apakah aku ini ibarat menggantang asap mengukir langit, berharap Engkau kembali disegani seperti yang dulu lagi?


Ah, sudahlah…


Minus kedua Flying Eggs mencuat. Menurut hematku, untuk ukuran strata eksekutif, kualitas menu makan yang dihidangkan chapter Bandung sangatlah minimalis. Bahkan lauk pauk utamanya cuma telur kecap!? Kalau pun ada yang perlu dikasih poin plus, ya tentu saja teh manisnya, yang hangat mengguyur kering kerongkongan.



IMG00843-20130614-2147


Saat menyantap jamuan gala dinner, datanglah mobil UGD kepunyaan Lorena berjenis Isuzu Panther yang sepertinya didatangkan dari Jakarta. Para mekanik binaan langsung dari tim Mercedes Benz tekun mencari sumber permasalahan pada armada produk 255 itu, ketika aku melangkah  hendak menuju mushala. Terdapat masalah pada bagian roda sebelah kiri depan tampaknya.


Di ruang terbuka sisi belakang, berbaring white bus berbaju Evonext bersimbolkan bintang Mercy tanpa embel-embel nama PO dan guratan livery, dengan kondisi luluh lantak. Haluan depan remuk, lapisan pelat bodi kanan kiri terkelupas.


Memoriku menerawang jauh, mengingat-ingat, bangkai siapakah ini? Hmm…apakah Lorena jurusan Purwokerto yang tempo hari terguling di tol Pejagan, dan menewaskan dua penumpangnya? Sepertinya sih, iya…


Selesai mengambil air wudu, dan baru saja telapak kaki menginjak batas suci…


Ya ampun…kondisi ‘masjid mini’ itu tak ubahnya barak pengungsian. Belasan ibu-ibu dan anak-anak tidur tak beraturan, tas-tas pembawa perbekalan berserakan, memenuhi 80% isi saf salat. Menilik wajah-wajah dan keadaan jasmaniah mereka, tampak keletihan, air muka sayu, surut harapan, serta hilang semangat berbaur menjadi satu.


“Ayo…ayo…penumpang Lorena Banyuwangi bersiap. Bus sudah jadi. Ayo…ayo…cepet!!!”


Dengan lantang kenek membangunkan dan seketika mereka semburat meninggalkan lokasi leyeh-leyeh. Oh, rupanya ‘jamaah’ LE-110 ta? Hehe…


Alangkah naif juga, berjam-jam bus dibekap trouble, sekali datang dua/ tiga engineer, durasi perbaikan tak sampai 15 menit. Bak pepatah, panas setahun dibalas hujan sehari.


22.35


Setelah dilakukan pengecekkan mesin serta tekanan ban, D 7980 AI ini melakukan restart. Medan jalan yang membujur di kabupaten penghasil bawang terlihat lengang dari parade bus-bus AKAP. Ataukah memang gerombolan pelukis malam masih tercekik di Pantura Jabar?


Wuss…


Di Klampok, secara kasar, Nusantara HS 209 mengovertake dari sisi kanan, selanjutnya dengan cekatan menggulung-gulung aspal, dan dalam hitungan menit lenyap dari pandangan. Tebakanku, bus itu adalah angkatan jam 3 sore Pulogadung, menggawangi tugas sebagai armada VIP tujuan Tayu.


Sementara dari wetan memimpin dua Jetbus Agra Mas sebagai kloter pertama dari gugus Wonogiri yang mulai mendekat garis finish.


Pemali Bridge adalah potret buram proyek perbaikan infrastruktur transportasi yang tak kunjung kelar. Masih saja dilakukan pengerjaan pada pelat-pelat baja yang berfungsi sebagai material penyusun landasan jembatan.


Oh no…perbatasan Brebes-Tegal arah Jakarta macet total. Sementara mobil sedan PJR telah standby di sebuah u-turn, menutup kans kendaraan untuk menjajah jalur lawan.


Rupanya, terjadi kecelakaan tunggal yang menimpa truk gandeng. Ekor gandengannya lepas dan menumbur bak di depannya sendiri, dengan posisi akhir heavy duty truck itu melintang di badan jalan.


Lusinan makhluk yang digilai para bismania terjebak karenanya. Entah berapa banyak pastinya, namun yang sekilas tertangkap mata adalah Armada Jaya Perkasa, bus berikon ayam -- Putera Mulya --, Gajah Mungkur, Kramat Djati, Pahala Kencana Evonext dan yang tampak mendominasi adalah Laskar Kedawung, Cirebon, PO Garuda Mas.


Dibanding driver pinggir, midfielder (pemain tengah) ini lebih kalem, terkesan hati-hati dan menanggalkan image ‘bus malam harus banter’.


Bukti nyatanya, Rosalia Indah nomor lambung 325 melenggang kangkung tanpa perlawanan, seolah  dibiarkan pamer kedigdayaan.


Sementara itu, di distrik Dampyak, terpindai armada pelat K apa yang didapuk sebagai ‘amir rihlah’ bagi kontingen Muria-an yang tengah gigih bergerilya untuk memutus matahari saat tiba di ibukota. Dialah NS-46 yang didelegasikan pada armada model Setra Selendang. Lalu mengekor dengan lekat PO Sido Rukun berkaroseri Piala Mas.


Sayang…kantuk tak dapat ditolak, melek tak dapat diraih. Aku tundukkan hasrat diri untuk meng-cooling down otot raga dan sendi-sendi tubuh. Memejamkan mata, mengademkan tensi, menyandarkan letih, menghimpun tenaga buat mengisi aktifitas esok hari.


Zzz…zzz…zzz...


04.26


Ya ampun…


Tiba-tiba aku melonjak dari posisi tidur enak karena perasaan berbicara bahwa I was sleeping so beauty sehingga secara tak sadar Kota Rembang telah terlewati. Dengan nyawa baru terkumpul seperempat, kupandangi sisi luar kaca yang gelap, hanya diterangi lampu-lampu kota. Daerah manakah ini?


Raungan mesin ber-cc 7,7 liter ini terdengar pelan menelusup ke sela-sela kabin saat mendului bus bumel dari semenanjung Muria, Pulung Sari. Inilah yang jadi petunjuk dan sekaligus kelegaan bahwa aku masih aman dan terlindungi, belum sampai di mana aku seharusnya turun. Kiranya, Kramat Djati baru menginjak tanah Margorejo, Pati.


Disempurnakan lagi dengan pemandangan pantat PO Selamet K 1698 FA di depan, dengan baju gado-gado antara corak Setra dan Evobus, kian teredamlah ketidakkeruanku.


O.11 tetap melestarikan  woles style-nya. Tetap duku cilik cilik alias mlaku thimik-thimik, tak serampangan untuk memaksimalkan potensi kekuatan 260 energi kuda.


Dia bukan pemuja berhala yang bernama speed, bukan profil alat angkut yang rakus menghisap bahan bakar, dan bukan pula pengikut mahzab aggressive driving. Comfortability is numbero uno…


PO Selamet ber-engine OH King tak sampai membangkitkan birahi untuk dikangkangi, hingga ‘kavaleri’ milik Kaji Aris itu mengasup solar di SPBU Ngebruk, Juwana.


Di sebuah masjid daerah Batangan, terparkir Hino RK8 milik PO Surya Bali yang sedang menjatah kesempatan bagi penumpang untuk beribadah dua rakaat. Dan itulah secuil barang bukti bahwa  pada dinihari itu, Tambakboyo, Tuban, sedang jadi tuan rumah yang berbaik hati bagi para pelintasnya.


05.05


“Pantura lancar ya, Pak?” basa-basiku kepada Bapak Sopir saat bersiap touch down.


“Iya, Mas, lumayan lancar!” sahutnya seraya mengecilkan volume head unit yang sedang memutar lagu-lagu remix.


Gaul dan penyuka musik dugem juga nih, Bapak! Hehe…


“Turun di mana, Mas?” beliau bertanya balik.


“Taman Kartini depan ya, Pak! Hmm…masih berapa lama lagi perjalanan ke Denpasar, Pak?”


“Ya…kira-kira jam 8 malam baru sampai, Mas!” jelasnya sembari men-down grade kecepatan hingga menyentuh skala 0 km/ jam, sebelum aku benar-benar menjangkah keluar dari singgasana satu malam.


My beloved city, I’m coming…


DSC00472


“Thank you for being ‘sun breaker’, Oscar dot Eleven!” bisik lisanku lirih, dan kemudian luruh terbawa angin pesisir yang bertiup sepoi-sepoi.


 


T – a – m – a - T

 

Oscar dot Eleven (2)

Armada berbasis desain Jetbus non HD garapan tangan-tangan Adi Putro Wirasejati ini melanjutkan karirnya, seraya menata mental dan mengatur ritme sebelum mengakrabi lintasan berbahaya, Cadas Pangeran.


Pertemuan dengan PO Goodwill berlabel ‘Muslim’ di Cigendel, yang kata Mas Lurah Hans
Rindu Madura termasuk jajaran bumel sess, seakan mendudukkan bus yang menjumput rezeki di koridor Bandung-Cirebon-Semarang itu sebagai penjaga portal yang mempersilahkan para tamu untuk menjelajah teritorial kekuasaannya.


Sebenarnya inilah modusku lebih memilih bus agak gasik dari Cileunyi dan kudu merogoh kocek setara 156ribu. Aku belum pernah menyaksikan spot Cadas Pangeran di bawah sorot sinar mentari. Cerita keindahan dan pesona yang disajikan alam Sumedang selatan, khususnya hawa angker dan wingit kawasan ini, jangan hanya didengar semata tapi harus aku monumenkan melalui indera tubuh sendiri.


Sahih adanya! Ruas jalan sempit yang menempel di bibir jurang yang menganga, dipayungi rimbun dahan pohon pinus yang menjulang di sisi bukit, dan jauh di bawah sana mengalir deras air kali Cipeles, menghadirkan daya magis dan panorama yang sejuk serta menyegarkan retina mata. The Beauty of Indonesia!




IMG00841-20130614-1734


Konon, dasar sungai itulah yang menelan ratusan korban saat pembangunan jalan ini, akibat beban kerja sistem rodi di zaman pemerintahan Herman Willem Daendels. Para pekerja diperbudak untuk menatah bebatuan di bukit terjal dengan kedalaman jurang mencapai 500 m, tanpa kompensasi logistik yang memadai.


Tanpa kesulitan berarti, Hinomaru varian R 260 ini melibas setiap tikungan semi cilukba dan turunan tajam. Sempat terjadi  refleks ngerem paku, gara-gara ulah sepeda motor yang urakan, menyalip di chicane blind spot, sementara dari arah berlawanan sedang kepayahan truk besar lagi memanjat punggung bukit.


Dan saat memperhatikan lebih detail kontruksi ruas Cadas Pangeran dari balik kaca, ada yang membuatku terperanjat sekaligus bergidik. Ternyata lajur yang mengarah ke Bandung menggantung  (elevated) di birai lembah nan sangat dalam, ditopang pilar-pilar penyangga yang tertanam di bawahnya. Luar biasa dan sanjung apresiasi bagi siapapun yang telah membangun jalan dengan kerumitan tingkat dewa ini.


Ketika menapak area Ciherang, setelah melahap sebuah kelokan 90ยบ, terlihat salah satu entitas bus malam yang membuntuti. Dialah Pahala Kencana OH 1525, yang busananya berpola New Marcopolo namun mengalami rombakan pada lampu dan fasia depan, mengikuti tren model Jetbus.


Lagi dan lagi, bodi bongsor berGVW 15 ton ini terhuyung saat medannya di Pasanggrahan direnggut secara paksa oleh angkutan Mitsubishi Canter yang ngeblong paksa kendaraan di depannya lantaran ditempel seterunya di trayek yang sama. Rasanya, meaningless dan buang-buang duit saja dengan spanduk-spanduk yang berisi slogan keselamatan dan etika berlalu lintas yang ditebar Kepolisian Resor Sumedang di sepanjang jalan, tanpa dibarengi law enforcement yang tegas bagi pelanggarnya.


Setelah melewati homebase PO Medal Sekarwangi, flow lalin kembali memadat.


Tarahu…tarahu…tarahu Pak…tarahu Bu


Seorang penjaja tahu dipersilahkan kru untuk mengasong jualannya di dalam bus. Karena berbelas iba sebab tak satupun penumpang yang merespon rayuannya, kupanggil Bapak itu. Teringat akan pesan bijak, ‘lebih baik membeli sesuatu meski tidak kita butuhkan, daripada memberi uang pada peminta-minta. Setidaknya pedagang itu punya semangat kerja dan tidak menistakan diri menjadi pengemis.’


“Beli sepuluh ribu ya, Pak!”


Dan sekeranjang kecil penganan khas dusun Mbak Rossa dengan bonus cabe yang super pedas pun berpindah tangan.


Finally, you show the magnificient of intercity night bus…


Skill dan jam terbang pramudi mulai terbuka selubungnya. Dengan sedikit radikal, tak kenal gentar, laju Bhinneka yang berdesain Legacy Legalight jurusan Bandung-Cirebon berhasil kena dropshort menyilang di ruas jalan Pangeran Kornel yang tengah ramai.


Applause for it!


18.15


Di bunderan Alam Sari, bus berbelok kiri menyusuri jalan kecil dan sepertinya menghindari jalur utama yang melewati pusat kota Kabupaten Sumedang.


Rumah Makan Sari Rasa mendiam di sisi kanan jalan. Sebuah rest area yang jadi rujukan Kramat Djati Bojonegoro melunasi kewajibannya menghidangkan makan malam gratis bagi penumpang. Ternyata, lain ladang lain belalang, lain jurusan lain pelayanan, melihat moda yang bersekutu dengan bus wisata Pakar Utama ini tak punya gelagat berhenti di Sari Rasa, dan langsung bablas mengarah ke Jalan Cimalaka.


Semburat senja telah terkikis kegelapan malam, terik cahaya siang telah pudar sengatnya. Dibuai kenyamanan piranti air suspension, terkulai oleh kelelahan perjalanan Tanjung Priok-Cileunyi serta keharusan membayar utang kurang tidur pada malam sebelumnya, mau tak mau aku kudu mempercepat jam biologis untuk beristirahat.


Pasar Legok adalah region terakhir sebelum aku disekap lelap dalam peraduan.


20.33


Palimaman, simpul tarung antara jalur Jakarta-Cirebon dengan jalur Bandung-Cirebon.


Dengan lembut gemulai, Flying Eggs menyusuri kota kecamatan tempat pabrik Indocement Plant-9 menancapkan kuku-kuku kapitalisnya. Pusingan roda tak bisa digolongkan pada level ngebut, tidak pula dikategorikan nge-slow. ‘Velocity Pasti Pas’, demikian aku menyebutnya.


Tollfare entry gate Plumbon 2 yang ekuivalen dengan nominal Rp2.500,00 merupakan biaya administrasi yang dibebankan pihak pengelola jalan tol bagi siapapun yang ingin menebus harga sirkuit Palikanci. Belum cukup waktu untuk mengunggah performa di jalan bebas hambatan, bus diarahkan exit Ciperna. Ada dua klien tambahan yang mesti dipungut di agen Terminal Harjamukti, Cirebon.


Babak sengit justru terjadi di pintu keluar terminal dengan peringkat keseraman mencapai bintang lima itu. Tanpa dinyana, dari sisi kiri muncul Langsung Jaya ‘Pandan Arum’ dan kemudian memotong jalur. Dengan wajah innocent, kemudian mengais-ngais penumpang dengan posisi menghalang busku. Berondongan vokal klakson tak digubris, tembakan lampu dim tak diacuhkan.


Tett…tett…dari sebelah kiri, menyerbu dengan deras Lorena Jember. LE-440 itu kemudian ngacir, seakan menyalakan api kompor LPG 3 kg agar pemain-pemain Pantura di belakangnya segera mengejar.


Setelah beringsut dari hadangan bus yang di-capil-kan oleh Samsat Kabupaten Karanganyar itu, Kramat Djati kerkode O.11 alias Oscar dot Eleven ini menghela kecepatannya. Kerja piston yang sedari tadi cuma nyante sekarang mulai diforsir. Dari kejauhan, buritan Euroliner aset Ibu Eka Sari itu sungguh mengundang nafsu, dengan irama flip flop kombinasi lampu rem dan sein yang genit menggoda.


Sungguh sayang, hanya utopia belaka menggembungkan asa bahwa OH 1626 itu bakal ‘menghunuskan pedang’ seperti era kejayaannya di tahun 90-an, yang dipemeokan ‘semakin dikejar semakin jauh, semakin didekati semakin lari’. Entah mengapa saat menggeluti flyover Pegambiran, sepak terjangnya mulai kedodoran dan akhirnya B 7586 XA itu mengerek bendera putih, menghibahkan ruang selapang-lapangnya agar disalip.


Huu…penonton kecewa. L


Adegan seru sempat juga terekam saat Ramayana AA 1651 AB mulai terdeteksi di daerah Gebang. Perjuangan bus yang bertangsi di Muntilan dalam mencerai-beraikan konvoi truk berat membuat jagoanku kewalahan meladeni polahnya.


Sampai datang masa di mana permukaan trek lurus, panjang dan sepi, lapang menghampar. Si Telur Terbang mulai kuasa menyusul. Hampir setengah bodi terlampaui, tiba-tiba Sang Pemanah nge-riting kiri lalu menepi.


“Ah, ujung busur panahnya sudah tumpul tuh!” cibirku karena sekali lagi kandas memperoleh hiburan ‘Opera van Tura’, ketika menanti makan malam yang tak kunjung tersaji.


 

Oscar dot Eleven (1)

 

“Ah, sayang! Pengembalian shuttlecock dari Mohammad Ahsan membentur bibir net, sehingga bertambah lagi poin bagi pasangan China, Cai Yun dan Fu Haifeng!”



‘Kicauan’ presenter televisi itu terus nyerocos, seakan pantang lelah mendeskripsikan secara rinci jalannya duel dua ganda putra terbaik dunia di babak perempat final turnamen Badminton Indonesia Open 2013. Berkat suasana gempita yang dicipta oleh tingkah lidahnya, olahraga tepok bulu yang kusimak dari properti milik sebuah agen bus di bilangan Cileunyi tak ubahnya acara nonton live di tribun Istora Senayan. Atmosfer pertandingannya mengena.



“Kini Cai Yun akan melakukan serve…”



Aku pun semakin larut menjiwai elan duo pendekar lapangan hijau kebanggaan bangsa, yang dengan perasan keringat, keterampilan utak-atik taktik dan  permainan ultra offensive mencoba menyungkurkan lawan, berikhtiar merebut kembali supremasi Indonesia di kancah bulu tangkis internasional.



Namun, tiba-tiba…



“Mas, busnya sudah datang!” dengan setengah berteriak, agentkeeper yang sedari tadi mematung di luar membuyarkan kekhusyukanku.



Lhadalah…tanpa kusadari, obyek kotak persegi panjang telah berdiam di depan kios, nyaris memblokir sudut edar pandangan ke arah jalan besar. Arsiran merah menor setengah bodi serasa mencolok bola mata, mengaburkan siluet tiga warna bidang elips yang merefleksikan aura teduh, damai dan beku.



“Langsung naik ya, Mas, kursinya nomor 7!” pandunya sekali lagi, saat aku mulai berkemas, menenteng tas backpacker di atas bahu.



One Hour Ago



“Kang, aya tiket ka Rembang?” tanyaku kala bertandang ke lapak agen bus yang berdiri di tepi jalan raya penghubung Cileunyi-Cibiru.


IMG00824-20130614-1525



IMG00823-20130614-1524




“Rembang…!? Eta sabeulah mana, Mas?” balasnya balik dengan nada kebingungan.



Entah orang ke berapa ‘si akang’ ini, yang not well informed soal kampung halamanku. Dan pada akhirnya harus aku akui tanpa kemunafikan, Rembang memang bukanlah negeri yang masyhur di ‘pulau seberang’. RA. Kartini, sirup kawista, kuliner lontong tuyuhan, sate srepeh, sentra garam, klub bola PSIR -- yang pernah heboh lantaran sejumlah pemain terkena skorsing seumur hidup dari PSSI karena mem-bully wasit --,  serta pemangku kota budaya berjuluk ‘little Canton’, Lasem, yang elok akan perkampungan penduduk bergaya oriental berikut seni kerajinan batik, belumlah cukup untuk menggaungkan dan mengorbitkan nama Rembang agar lebih menasional.



“Kalau ke Surabaya lewat Pantura, pasti lewat Rembang, Kang.”  terangku pendek.



“Bukan Semarang arah Bojonegoro ya?“ selidiknya sekali lagi untuk menepis keraguan. Aku hanya menggeleng pelan.



Diraihnya alat komunikasi, dan sepertinya kantor pusat atau agen lain segera dihubungi.



“Mas, nanti ikut bus Malang ya!” dia pun memberi rekomendasi sembari menutup telepon.



“Jam sabaraha berangkat, Kang?”



“Sore ini agak telat, Mas. Busnya masih perbaikan di Cimahi. Kata kantor, kira-kira jam 6 baru dari Cicaheum.”



Aduh…terus sampai sono pukul berapa, sementara tema huntingku kali ini adalah mencari sosok ‘superhero’, yang berdaulat memerankan tokoh fiktif ‘sun breaker’ saat aku menginjak bumi Dampo Awang esok hari.



“Bisa ikut jurusan Denpasar yang lebih siang, Kang?” aku menego ulang tawarannya, meski berlagak agak ‘bismania’ karena sok tau dengan skedul bus-bus malam dari Bandung ke Jawa.



Mas Agen pun berkutat lagi dengan gadgetnya.



“Ada Mas, nomor 7!” ujarnya dan lantas kusambut dengan hati riang.



“Tiketnya berapa?” kukorek perhitungan ongkos untuk penarifan Cileunyi-Rembang.



Lelaki dengan aksen bicara sunda nan kental itu sibuk meneliti pricelist yang tertera pada katalog terbitan manajemen PO yang memperantarai nafkah hidupnya. Dan naga-naganya, ia kembali gamang.



“Adanya tarif untuk Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Tuban, Babat itu, Mas. Rembang ikut mana ya?”



Oh me…awam lagi dia.



“Lasem saja, Mas. Itu jaraknya tak beda jauh dengan Rembang kok.” pungkasku mengakhiri polemik ‘di manakah Rembang berada?’ yang mengacaukan alam pikirannya. Hehe…



---



Kumasuki gerbang yang menyekat kabin penumpang dengan ruang kerja kru, dan kurebahkan luasan punggung melekat pada beludru jok bikinan Aldilla. Kesan bus eksekutif pun tak terdebatkan saat menilik nuansa interior kamar. Bersih, wangi, lapang, cozy, touching what passanger needs, dan iming-iming logo mickey mouse bobok-bobokan di atas gumpalan awan jelas membingkai nilai kenyamanan.



Kalau pun ada minusnya, tampak bejibun paket yang di-manusia-kan, berhak duduk manis di atas jok di deret belakang. Barangkali, menghisab jumlah sewa yang tak seberapa – terisi kurang lebih hanya separuh dari kapasitas 32 seat -- adanya barang-barang ekspedisi bisa menambal gedenya bea operasional untuk moda jarak jauh di kala musim paceklik.



16.11



Belasan menit lepas dari pukul 4 sore, reguler transporter yang merapatkan bentang Bandung-Denpasar itu menunaikan rukun tripnya. Hiburan audi non visual tersuguhkan berupa alunan tembang-tembang yang pernah hits hasil aransemen grup band yang lahir di gang Potlot, Pancoran, Jakarta Selatan. Siapa lagi kalau bukan SLANK.



Kemacetan langsung menyapa di depan kampus pencetak para aparatur negara, yang pernah bikin geger karena aksi kekerasan siswa senior terhadap juniornya, STPDN Jatinangor. Lembaga pendidikan tetangganya, Universitas Padjajaran, turut menyumbang berkah, dengan penambahan muatan bagasi dari seorang penitip.



Lalu lintas kembali tersendat dan hanya mampu jogging saat menekuni tanjakan Cileles, yang tersambung panjang dengan jalur pendakian Jatiroke. Sementara arus kendaraan yang turun relatif cair. Tampak Bahagia Ikhlas (BAIK) Semarang-Cirebon-Bandung, D 7526 AC, dengan nafas tuanya berusaha melanggengkan jatidiri sebagai PO tahan banting


IMG00830-20130614-1621


dan disusul kemudian dengan kontestan Patas Bandung-Cirebon, Bhinneka. Bus inilah yang membuka cakrawalaku, bahwa Bhinneka Grup punya cabang Bandung, dengan pelat nomor yang disandangnya berletter D, di muka deretan angka/ huruf 7943 AC.



Di Hegarmanah, bertemu muka dengan ‘kawan sekaligus lawan’, Pahala Kencana Denpasar-Bandung. Say hello dan cuap-cuap sebentar diselenggarakan, dan sepertinya juru mudiku cukup intim dengan driver bus beregistrasi N 7540 UA itu.



17.03



Kecamatan Tanjungsari adalah penggalan rute yang sangat merampas waktu. Trek ciut, kontur menanjak, truk yang berjubel, riuhnya pengguna jalan raya, banyak motor bersliweran tanpa kesantunan serta perilaku angkot Cileunyi-Sumedang yang berprinsip negatif ‘suka-suka saya’, membuat kaki kanan-kiri pengemudi giat bekerja, mengolah mode stop and go secara kontinyu.



Dengan tubuh yang kusam lagi kotor, teman sejawatnya berjurusan Malang-Bandung, D 7560 AE, mendekat dari sisi depan di titik Ciromed. Aksi bersulang klakson dan lampu besar diperagakan, sebagai isyarat donga dinonga (saling mendoakan) semoga keselamatan senantiasa menaungi para abdi jalanan.



Ternyata biang keroknya adalah pasar Tanjungsari. Bukan karena aktifitas penjual dan pembeli yang sedang berasyik masyuk dengan gawe transaksi, melainkan kehancuran badan jalan gara-gara ‘komplikasi’ yang diakibatkan oleh kualitas material yang underspec, tonase truk-truk yang melampaui ambang serta anomali cuaca.



Pertanyaan besar kemudian melingkupi diri saat mencium ketidaklaziman. Bus yang  dijuluki ‘Flying Eggs’ ini kembali bertemu dengan kompatriotnya. Masing-masing kres-kresannya di jalur Denpasar, D 7891 AI, yang dikuntit aktor Bojonegoro-Bandung, D 7596 AE. Sesama kru sempat berbincang singkat tatkala ruang kemudi berdampingan, dan dari body language sopir bus dari timur, mereka mewartakan ‘sesuatu’.



“Ada apa dengan kalian, my poolmates?” kesah Kramat Djati yang kunaiki ini membatin.