Rabu, 02 Oktober 2013

Tentang Hijau; Layu, Menguning, Royo-Royo Kemudian (3)


Tersaruk Usia


20.26


“Yang makan…yang makan…!” instruksi kenek saat laju bus ajrut-ajrutan menapaki halaman sebuah rumah makan.


Aku pun tersadar dan membelalakkan mata. Layout bangunan gampang terbaca oleh sensor penglihatan.


Dan baru kali inilah, aku merasakan kompleks rumah makan yang terletak di km. 50 ruas Semarang - Cirebon ini laksana ‘kota mati’. Pelataran depan kosong melompong, sementara parkiran belakang hanya berisi Pahala Kencana B 7789 ZX dan kameradnya, berbaju New Travego garapan Tri Jaya Union. Duo GMS, ‘Commando’ dan ‘Fighter’, sedikit menambal kesunyian dan kelengangan area Gringsing, yang diakibatkan ulah sistemik pengelola jalan Pantura.


Kemanakah Lorena, Sindoro Satria Mas, OBL, Gajah Mungkur, Muncul, Tunggal Daya, Mulyo Indah, Rajawali dkk, yang biasanya riuh memeriahkan suasana RM Sendang Wungu?


Justru yang menambah hawa merinding adalah teronggoknya sesosok Jetbus HD OH 1626 milik Pahala Kencana dengan wajah yang tak keruan di sudut belakang, tak jauh dari Safari Ijo melego jangkar. Dari warta yang kukorek lewat media massa, bus nahas bernopol B 7827 IZ tersebut sebelumnya terlibat kecelakaan dengan truk di jalur Alas Roban, hingga menewaskan dua kru angkutan barang tersebut.


Karena alasan lambung masih terisi sisa makan sore dan buat mendapatkan layanan gala dinner tidaklah gratis atau bayar sendiri, aku pun menafikan prosesi makan malam.


20 menit kemudian, penumpang dikomando untuk segera kembali menduduki tempat masing-masing. Cekat-ceket, itulah kesan yang aku tangkap.


Televisi jadoel model tabung dinyalakan, mempertontonkan konser seorang dara bergoyang erotis memeragakan tari tiang. Sementara hingar bingar iringan house music tak mampu terdeteksi telinga dengan baik, karena kualitas speaker yang tertanam di kabin ala kadarnya. Suguhan yang tidak membawa manfaat tentunya, baik dari aspek kesusilaan maupun entertain.


Mendaki tanjakan Plelen dengan tertatih-tatih, efek alami dari daya mesin yang pas-pasan dan mulai menapaki tahap uzur. Aku pun dibikin deg-degan, cemas membayangkan bus akan kandas menyelesaikan trek paling berat yang kudu dilalui. Seketika itu pula, Pahala Kencana Evonext menistakannya.


Banyu Putih jadi batu sandungan kembali. Giliran GMS ‘Zonda’ gubahan Satrio Body Builder, Magelang, yang mempermalukannya.


Tapi harus kuakui, bukan masalah skill, determinasi dan nyali pramudi engkel ini yang jadi penyebab. Justru acungan jempol layak disematkan atas karakter telapak kakinya kala membesut oto kesayangan. Umpama default engine OH Prima sudah di-swapping ke Mercy Elektrik, aku yakin, dia kuasa menyesakki hidung bus lain dengan polutan hasil pembakaran dapur pacunya.


Tampil ngotot, tanpa mengendurkan tensi, tak peduli berapapun solar yang diasup, cuek dengan komponen-komponen usia lanjut yang merakit armadanya, konvoi Putra Remaja, Zentrum dan Sedya Mulya mulai didekati. Tak kenal lelah membangkitkan puing-puing gairahnya, meski akhirnya, tanpa dinyana, Garuda Mas Evolution non AC tanpa basa-basi menyalipnya dari samping kiri.


Keempatnya akur, seiring sejalan, senada seirama, nyaris tak pernah tercerai berai, ibarat rangkaian kereta. Putra Remaja sebagai lokonya, sementara yang lain jadi gerbongnya. Quartet tersebut menjadi saksi terjadinya stagnasi aliran pada arus kendaraan yang menyudut ke penjuru timur, di daerah Tulis. Kira-kira hampir mencapai 5 km panjang grek-nya.


Menjelang gerbang selamat datang Kota Batang, meluncur dengan derasnya GMS Scorpion King ‘Commando’ OH 1525. Disusul kemudian Nusantara ‘Manhattan’ New Marcopolo dan Pahala Kencana ‘Nano-Nano’ rombakan Triun.


Sein kiri dinyalakan persis di depan alun-alun. Kru serentak turun dan memeriksa kondisi keenam bannya.


“Jakarta…Jakarta…” teriak kenek kencang, hingga terdengar di telingaku.


Ahaa!!! Rupanya time out ini modus untuk menyeser penumpang ilegal. Lima menit tak ada hasil,  bus berbasis karoseri Laksana, Ungaran, ini meneruskan kilometernya.


Duo laskar Purbosemi, Garuda Mas ‘Lanange Jagat’ serta Zentrum K 1717 GP giliran mempecundanginya. Busku makin tersaruk-saruk menghadapi rivalitas dengan ‘the young guns’. Hiks…


Kerumunan orang-orang yang berdiri di pinggir perempatan Ponolawen jadi iming-iming buat mendongkrak income. Bus bernama lengkap Safari Eka Kapti ini berhenti lagi.


“Jakarta…Jakarta!!!”


Nihil…


“Jakarta…Jakarta…Gadung…Bulus…” reffrain itu kembali menggema, saat putaran roda dikunci parking brake di depan Gudang Pusri, Kota Pekalongan.


Belasan ABS alias Anak Buah Sarkawi bergeming, sama sekali tak tergiur untuk memfaedahkan dagangannya.  Awak kabin pun gigit jari.


Hmm…ada rasa iba yang mengusik palung hati. Tapi mengingat hanya ada space di kandang macan buat menjejalkan tambahan penumpang, aku bersyukur menyikapinya.


Habitat sarkawi era kekinian semakin jual mahal, tambah belagu, sok borjou. Nyari ‘bus haram’ pun pilih-pilih, selektif. Heheno offense lo ya.


Atau mereka tahu reputasi PO Safari, sehingga untuk menyuntingnya pun ogah?


Kembali Menghijau


“Ambil kanan…ambil kanan!” pandu kenek setengah lantang, membangunkanku dari tidur sesaat.


00.15


Distrik Cimohong digelar untuk ajang pembuktian fase keroyo-royoan Si Ijo. Meski lebih banyak menelan kekalahan, jadi bulan-bulanan, terdampar di dasar klasemen sementara, kini saatnya melakukan langkah brilian untuk mengerek posisi.


Mendapat kabar tengah terjadi keruwetan akut di pertigaan Pejagan, serta mengandalkan intuisi bahwa spot tersebut steril dari pengawasan korps baju coklat, dikangkanginya jalur berlawanan. Dia melakukannya sendirian, munfarid, tanpa imam, apalagi makmum.


Tak usah dipersoalkan urusan pelanggaran aturan dan undang-undang, pencederaan etika serta keselamatan berlalu-lintas. Selama para pemegang kekuasaan lebih tekun memikirkan kepentingan masing-masing, tak becus dalam memimpin 250 juta rakyatnya, lebih suka memamerkan politik culas lagi kotor, berlaku koruptif dan manipulatif, jauh dari sosok yang patut diteladani, jangan berharap banyak akan tegaknya hukum pidana di tengah masyarakat.


Sudahlah…capai memperdebatkan hal yang demikian.


Belasan bus malam yang didominasi line Tegal/ Pekalongan dan sebagian entitas ranah Wonogiren, ratusan truk-truk ekspedisi serta puluhan mobil pribadi dibuat terkesima dengan aksi gagah beraninya.


Tak perlu terkurung dalam kemacetan, bus bertenaga 170 HP ini  pun gesit melepaskan diri, sukses dengan kenekatannya sehingga berhasil menggunting deretan panjang kendaraan untuk menggapai cita-citanya selekas mungkin mencapai akses masuk Tol Kanci.


Tettt…tett…tett…


Aku melonjak bangun, terkaget-kaget saat Agra Mas yang mengusung model New Travego Morodadi Prima menyalip secara kasar.


Jatiwangi. Itulah yang terbaca pada papan nama sebuah minimarket asuhan PT HM Sampoerna. Berarti rute yang diambil adalah jalur tengah, melipir dari Pantura Jawa Barat, yang disinyalir makin getol diberdayagunakan pemerintah sebagai lumbung proyek abadi.


Di tengah kegelapan alam yang dikelilingi bukit barisan Subang, Asli Prima Pekalongan-Merak yang berkolaborasi dengan PO letter K, Selamet, berjamaah menenggelamkan pelayaran Safari. Namun, kelihaian bus keluaran dekade 80-an meng-overtake Damri kode 3352 pantas dicatatkan sebagai prestasi spesial.


Dug…dug…dug…dug…


Bunyi dentuman antara ban dengan kunci roda yang dipukulkan kenek ke sidewall seolah isyarat bahwa bus tengah kelelahan dan perlu break barang sejenak. Bisa jadi, tenaga bus yang digeber habis-habisan, hampir tanpa jeda istirahat, butuh perhatian ekstra pula.


Tapi sejauh tripmeter menunjuk angka 400-an km ini, performa mesin bervolume 6.000 cc memang handal luar bisa, meski harus menguras energi untuk mentransfer output hasil jerih payahnya. 85% untuk mengembangkan kecepatan, selebihnya untuk menggerakkan kompressor perangkat pendingin dan kelistrikkan.


Kesempatan ini digunakan kaum lelaki untuk membasahi bumi Cikamurang dengan air sisa metabolisme yang sudah tak terbendung lagi oleh organ kandung kemih.


05.15


Kukucek-kucek mata, lamur menyaksikan sosok dua armada Blue Pearl yang bermarkas di Karanganyar, Kudus, tengah asyik berdansa. Applause untuk mereka, meski sebenarnya sudah bukan hal yang aneh bin ajaib memandang fenomena skuad gugus Muria dengan entengnya menyusul jam Solo-an.


Sementara itu, jiwa korsa mesti ditinggikan armada Sari Giri AD 1660 AG tatkala berempati dengan penderitaan kompatriotnya bernopol B 7178 PN, yang tengah berkutat dengan trouble, di pinggir perkebunan karet Kalijati.


Usaha mempercepat derap kinerja OM 366A terhadang oleh lagak kemayu Purwo Widodo ‘Kian Santang’, AD 1490 AG. Perlu taktik dan strategi cermat saat menyalip, mengingat ruas jalan yang sempit dan kian ramai oleh lalu-lalang aktivitas pekerja pabrik garmen yang hendak masuk kerja.


Karena nyaris tak ada kans untuk mencuri momen, cara bar-bar terpaksa diperankan. Dump truck dikorbankan untuk turun ke bahu jalan, sementara bus berdaya dorong Volvo seri B7R itu dipepet sangat tipis, demi membangun ruang terbuka untuk menyusulnya.


Dengan modus operandi yang identik, Dieng Indah Scorpin King AA 1439 CF serta bus karyawan Parahyangan BHA-188 dibuat senasib. Mereka dilengserkan dengan metode ngawur, hingga umpatan dan caci maki terlontar dari mulut pengguna jalan yang lain.


Percobaan yang sama hendak dilakukan pada armada Sinar Jaya 43 ZX. Hanya saja gagal menuai poin agresivitas lantaran perempatan Sadang telah menghalang di depan.


“Lebak Bulus…Pulogadung…Palmerah…Mampang…PAL Depok…Cibinong…”


Sayup-sayup, suara-suara itu kembali menggenangi ingatanku. Tak ingin meniru ‘kedunguan’ keledai -- terperosok dua kali pada liang yang sama --, daripada bahaya laten ‘Rukun Agawe Bubrah’ berpotensi de javu, aku lantas mengambil keputusan cepat.


06.20


“Saya turun sini, Pak!” pintaku pada kenek yang sedang terkantuk-kantuk di bangku kebesarannya.


Finally…


Aku pun duduk terpekur di atas bibir trotoar, di seberang Mal STS (Sadang Terminal Square), menunggu hadirnya angkutan direct line ke Tanjung Priok. Compact disc tentang rekam jejak Safari yang baru saja aku ajak pisahan, berputar ulang di alam sadarku.



IMG00940-20130624-0630


Tentu, me-review hasil pamungkas, realitas sangat njomplang dengan ekspektasi. Aku tetap lestari menjaga status quo, sebagai karyawan yang rajin terlambat absen di Senin pagi.


Namun, sepak terjang serta kiprah Si Ijo gaek setidaknya telah membungkam anggapan - anggapanku.


Yang layu tidak seterusnya layu. Yang menguning tak akan abadi bergrafis kuning. Asal ada kemauan dan kesadaran untuk mengubahnya, dia kelak bertransformasi menjadi royo-royo.


Umur niscaya susut, namun semangat tak serta merta surut. Usia boleh bertambah, tapi daya gedor tak boleh goyah. Meski berkalang nilai-nilai minus, tak mengerdilkan sekeping kesalutanku pada Safari Ijo, H 1480 AB.


IMG00939-20130624-0621


*******


Kubaca berita di portal detik.com sebagai ‘koran pagi’ yang setia mendampingi saat menanti  Warga Baru atau Kramat Djati jurusan Subang-Tanjung Priok yang tak kunjung tiba.


“Akibat Longsor di Km 47, Kemacetan Telah Mencapai Km 58.”


Ya ampun…rupanya, perjuanganku untuk mencapai ladang pencaharian terus saja berlanjut. To be continued


Kini, aku harus berjibaku menyeberangi lautan kemacetan sepanjang 11.000 meter, dengan fisik yang tak lagi seratus persen bugar dan mulai dibekap buslag yang mulai menyiksa raga.


Ah…telat maningmaning-maning telat!


Mpufh…Ongkos hidup apa lagi yang mesti diirit sebagai punishment atas terpangkasnya uang transport-ku bulan Juni ini?


Bingung…bingung…kumemikirnya!


 

Tentang Hijau; Layu, Menguning, Royo-Royo Kemudian (2)

Off Target


“Sepengetahuanku, Safari Group terdiri dari tiga manajemen yang berbeda. Blue Star untuk divisi wisata, Royal Safari yang membawahi bumel/ AC Lux Semarang-Solo serta Safari AKAP, yang lumrah dijuluki Safari Hijau (Ijo).”


Begitulah sekelumit ilmu tentang per-Safari-an yang dijelenterehkan Mas Doni Prast lewat Blackberry Messenger untuk membantuku menyingkap tabir PO besar yang babar di Kota Salatiga itu.


“Sayang, untuk bus malamnya sama sekali tidak rekomen. Saya yang sekampung aja kapok, emoh naik lagi, Mas. Cukup sekali saja dan itu pun sudah lima tahun silam!”


What!? Now, am  I on the right time but on the wrong bus?


“Oh iya, Mas. Royal Safari belum lama ini juga merintis Jakarta-an. Pelayanannya lumayan bagus. Berdoa saja, semoga dapat yang Royal Safari, bukan Safari Ijo!” petuahnya sedikit menenteramkan.”Untuk membedakannya gampang, simak saja livery-nya.” paparnya lagi.


Meski probabilitas Royal versus Hijau pada rasio 50%-50%, tak kuasa nyali merambat gentar membayangkan umpama Si Ijo adalah persembahan dewi fortuna untukku. Aku memburu pagi, bertekad mengolok-olok mesin absensi, mencoba merubah image negatif sebagai karyawan telatan, tapi jikalau ‘kuda perang’ku saja kelabu, jadi samsak pem-bully-an, punya elektabilitas rendah, dipandang sebelah mata, apa yang aku harapkan darinya?


18.20


“Ayo, penumpang Safari bersiap! Bus sudah datang!” seru Mbak Agen.


Kurang dari 10 menit dari waktu kick off yang semestinya, di antara guyuran pendar sinar lampu yang menerangi kawasan Terminal Banyumanik, munculah sosok yang akan menentukan nasib pertaruhanku.


And then…


Duh…getir rasanya seusai menyaksikan spesies dengan model bodi gado-gado, hasil transplantasi tambal sulam, datang menghampiri. Entah garapan tangan-tangan siapa, yang terang secara kasat mata kurang memenuhi nilai estetika, kegagahan dan eleganitas sebuah bus malam. Dimensi bangunan karoseri kurang proporsional dengan panjang sasis. Terkesan bantet. Dan yang menambah sayatan luka perasaan ini, kelir yang mejeng di dinding lambung,  colormark khas Safari Ijo.


Alamak


Aku bakal merajut kisah satu malam dengan bus yang diblacklist oleh pemangku area Tingkir sekaligus ‘tetangga lima langkah’ dari markas besarnya, Mas Doni Prast.


Sebenarnya, apa sih yang membuat Safari Ijo termarginalkan dari daftar referensi dan list rujukan para traveller jalur Solo-an ini? Aku pun kian penasaran untuk membuktikannya dengan indera tubuh sendiri.


Bismillah…aku kudu jadi pejantan tangguh, tak boleh cengeng, bersikap inferior, terlepas sepahit apapun alur cerita yang akan terangkai selama belasan jam ke muka.


Selesai mendaki undakan pintu depan, asaku seketika layu melirik ruang kokpit yang lusuh, kusam, buluk dan tak ada nuansa rapi sedikitpun. Melihat setir segede tampah, dengan panel-panel dashboard yang buram, dan beberapa utas kabel yang menjuntai keluar dari casing-nya, kian menegaskan kerentaan dan ke-jablai-an armada ini.


“Eh, Pir, mana tanggung jawabmu? Kursiku ditempatin orang, double, dan sekarang seenaknya saja kenekmu nyuruh-nyuruh pindah belakang!” tiba-tiba terdengar dampratan keras dari seorang bapak-bapak  yang ditujukan kepada kru.


Lha, adanya yang kosong itu, Pak, ditempatin aja!” jawab sopir dengan ketus tanpa terbebani sangsi moral dari rasa berdosa.


Mbok kalau ngomong dipikir dulu! Aku ini beli tiketnya beneran, jangan seenaknya kamu memperlakukan penumpang!” sergah lelaki itu semakin naik pitam.


“Mestinya Bapak itu protes ke agen, jangan ke saya!” respon si pengemudi tak kalah sengit.


“Bodoh amat dengan kamu semua! Kembalikan uangku atau kamu aku laporin ke polisi!” bentaknya tak kalah gertak.


Mati aku! Kesan pertama yang kutangkup, betapa amburadulnya pengaturan bangku, manajemen konflik di lapangan, serta attitude para penggawa PO Safari kepada manusia-manusia yang sejatinya menafkahi hidup dan keluarganya.


Lantas mereka berdua turun untuk menyelesaikan masalah, sementara aku terus menelusuri lorong remang-remang dan sumpek, menyongsong singgasana. Kucacah label penomoran yang tertempel asal-asalan pada rack roof.


Alah!


Kok posisi seat 41-42 tertanam di rel sebelah kanan, tak cocok dengan denah konfigurasi yang ditunjukkan agen!? Dan keterkejutanku kian bertambah, sudah ada orang yang ngejogrok di atasnya.


“Maaf, kursi Bapak nomor berapa?”


Dia yang kutanya malah celingak-celinguk, salah tingkah, lalu berucap lirih…


“Mboten mangertos, Mas, lha kulo nderek sopire…”


(Tidak tahu, Mas, saya ikut sopir)


Blaik, sarkawi detected!


 “Sudah, Mas, duduk saja di belakang, kalau ngga mau ya urus sendiri saja ke agen.” ultimatum Pak Kenek yang kebetulan lagi mengecek jumlah penumpang, kepadaku.


Hmm…rupanya aku jadi korban yang kesekian dari kekisruhan pembagian nomor urut kursi.


Yo wis…mending mengalah, toh, duduk di row paling buncit di belakang pintu malah menghamparkan area pitch yang amat luas dan bisa sekehendak kaki untuk selonjoran.


“Mbok yo sampun Mas, angsal kursi pun piro-piro, sing penting saged mangkat!” mendadak lembut terdengar suara ibu-ibu yang bersumber dari kandang macan, membantu meluruhkan kekecewaanku.


(Ya sudah, Mas, dapat kursi saja sudah untung, yang penting bisa berangkat!)


Ya ampun…bench buat driver pengganti itu diisi dua wanita paruh baya!? Bagaimana repotnya ibu-ibu itu saat menaiki ‘takhta daruratnya’, sementara baris paling belakang dijejali 6 kursi tanpa menyisakan ‘jalan setapak’!?


Demikianlah perkara-perkara yang memupus spektrum warna hijau kebanggaan PO Safari, menjadikannya berangsur menguning, mengartikulasikan makna bahwa PO Safari kurang pupuk, kering air, pucat merana dan terancam gagal panen untuk tumbuh di lahan persawahan bus-bus tanah Mangkunegaran.


18.35                                


Tak ingin berlama-lama delay akibat berantakannya distribusi seat, kusir Safari pun mulai mengekang tali kendalinya. Simponi yang dihasilkan exhaust manifold benar-benar gahar dan menggelegar menyelinap ke dalam ruang kabin lantaran silincer knalpot mengalami kebocoran. Lengkingan kipas turbo mencekik kuping seiring bertambahnya pancalan pedal akselerasi.


Gendeng ways langsung dipanggungkan kala menganeksasi jalur berlawanan, tergesa-gesa menyerobot traffic light pertigaan Sukun saat menyemburatkan cahaya merah. Kendaraan lain dipaksa minggir, disuruh memberi hormat kepada ‘orang tua’.


PO Sedya Mulya dengan nafas mudanya diajak berpacu sebelum gerbang Tembalang, dan terus diladeni hingga interchange Jatingaleh. Umur tak bisa berbohong. Mercy OH 1113 ini pun akhirnya kembang-kempis, kewalahan diajak lari jet darat berteknologi Hino RG.


“Turun mana, Pak/ Bu/ Mas/ Mbak?” tanya asisten sopir menyensus destinasi akhir tiap sewa, saat batangannya melaju menuntaskan bentang seksi A Jalan Tol Semarang.


“Lebak Bulus…”


“Pulogadung…”


“Mampang…”


“Palmerah…”


“Cibinong bisa!?”


“PAL Depok ya!”


Ha!? Ini mah oplosan, campur aduk, serupa dengan sapu jagat, ingkar dari keterangan agen yang menyatakan bus ini khusus melayani jurusan Pulogadung-Rawamangun. Mana nanti yang akan didroping duluan, hanya kru dan Tuhan yang tahu.


Selepas simpang Krapyak,  Si Ijo mulai unjuk taring. Dewi Sri G 1730 BE disungkurkan, meski sesudahnya harus menghibahkan jalan pada Tunggal Daya berbalut busana Legacy SR-1.


Lambaian petugas Terminal Mangkang untuk menyetor upeti di loket tak digubris, main selonong saja di hadapan mereka untuk merangsek ke lingkar Kaliwungu. Di bawah panduan Garuda Mas bergaun Celcius, ruas protokol Kota Kendal disusuri.


Proyek perbaikan petak Cepiring jadi wahana pertama melatih kesabaran juru mudi. Antrian lalu lintas mulai mengular, dan rasa-rasanya akan memanjang saat arus ke barat mencapai peak-nya menjelang tengah malam.


Langsung Jaya bertagline Anugrah jadi teman seiring sejalan merayapi kemacetan yang dipicu oleh pengecoran badan jalan yang tanggung jawabnya dipegang oleh Kementerian PU Pusat itu.


Meski armada terkesan serba defisit, ada variabel yang layak diapresiasi. Bus tanpa kelengkapan selimut dan toilet ini tak pelit dalam menciptakan kondisi lingkungan yang cozy bagi penduduknya. Kondisi full seat serta hangatnya ruang kabin bagian belakang yang terkena efek radiasi yang ditimbulkan panas mesin dilawan dengan hembusan angin AC yang amat meluap-luap. Fungsi gas freon sebagai refrigerant cukup memukai menjaga sejuknya sirkulasi udara. Bahkan menerutku cenderung mubazir, membuat sebagian penumpang perlu mengenakan pakaian lapis kedua alias jaket untuk mengeliminir suhu dingin.


Pemanjaan itulah yang membuatku terkulai dalam peraduan, meski agenda makan malam sebentar lagi bakal diselenggarakan.


Kantuk menyerang tak kenal waktu, tempat dan keadaan. 

Tentang Hijau; Layu, Menguning, Royo-Royo Kemudian (1)

Tak Segampang Yang Dikira


16.10


“Habis, Mas!”


Epilog ringkas yang menyuratkan kata maaf itu jelas-jelas menohok upaya taking profit. Dua penjaja jasa PO Agra Mas tak punya daulat untuk mengaspirasi aksi spekulasiku, yang berprakarsa tergabung dalam kloter awal bus malam yang mengarah ke ibukota.


“Lagi liburan sekolah, Mas, susah kalau beli dadakan begini!” tandas mereka mencari dalih.


Bukannya aku tidak well informed soal almanak pendidikan, tapi rasa optimis yang berlebihan bahwa ‘masak cuma mengais secarik tiket kagak bisa dapat’ akhirnya jadi bumerang yang mencelakai diri. Bayang-bayang esok pagi bakal semringah saat melakukan absensi kedatangan di lobi kantor kian lamat-lamat. Rapor kedisiplinan yang selama dua atau tiga bulan terakhir selalu berwarna merah, dipastikan tak jua beringsut ke level biru. Entah berapa nominal rupiah yang telah terbuang percuma lantaran tunjangan transport terkena getahnya. Belum lagi trust dari atasan terhadap kondite kerja sebagai anak buah, bisa-bisa terjun bebas.


Akhir-akhir ini, langganan sekaligus andalanku -- serdadu-serdadu tempur Ngembal Kulon --  terkapar tak berdaya hingga akhirnya bertekuk lutut ditebas bilah pedang musuh yang berjuluk jalan Pantura. Berkhianat kepercayaan kepada PO tetangganya, Black Bus Community, pun setali tiga uang. Mencoba dengan usaha tangan dan kaki sendiri menggenjot tunggangan pelat hitam untuk menyungkurkan keramatnya warisan Gubjen Daendels, hasilnya sami mawon.


Medan Pantura bak mengadegankan aktor antagonis. Momok jahat, angkuh dan congkak, yang lagi merajuk men-takabur-kan peran vital yang diembannya. Ia seolah ngamuk, enggan lagi bersikap sebagai tuan rumah yang baik dan ramah terhadap para tetamunya. Dan tak seorang pun bisa menjawab secara eksak, termasuk para pemangku kebijakan republik tercinta, kapan silang-sengkarut tingkat nasional ini bakalan end.      


Hanya keteguhan hati ini yang masih bisa di-stabilo. Aku bergeming, tak beranjak untuk menggadaikan sel plasma yang bernama buslover yang berdenyut kencang di dalam pembuluh nadi. Sejauh ini, ‘akidah’ nyeleneh ini masih murni terjaga, tidak terbujuk untuk mempermak diri menjadi bismania penyembah kereta atau penghamba pesawat udara.


“Armada Jaya Perkasa yang siap berangkat ada, Mas?” tanyaku pada penjaga kios di pojok terminal, setelah moda berdarah Serang itu terpindai radar tergolong angkatan gasik.


“Kemarin ‘Armada’ datang jam 12 malam, Mas. Saya tidak yakin, sore ini bisa tepat waktu.” ujar dia pesimistis. ”Pantura sedang macet-macetnya, Mas, beberapa hari ini bus-bus dari Jakarta selalu telat masuk Solo!” imbuhnya informatif.


“Ini penumpang Gunung Harta dan Shantika kemungkinan baru bisa berangkat jam 11 nanti. Kramat Djati jurusan Bogor juga begitu, perkiraan jam 9 baru sampai sini, molor, tidak seperti biasanya!” ungkap ‘agen universal’ ini welo-welo.


Nah, lo…


“Masih tersedia tiket Putera Mulya, Gunung Mulia atau Tunggal Daya, Mas?” dengan roman ke-tidakputus-asaan, aku terus bergerilya mencungkil sisa-sisa kursi dari lapak satu ke lapak lainnya.


“Info dari kantor, sampai tengah hari tadi jarang sekali armada yang sudah kembali ke pul Wonogiri, Mas! Kita belum berani jual tiket!” ungkap satu di antaranya.


Ruarrr biasa memang polah North Beach Country Road kali ini. Tingkahnya sukses mengkreasi kegonjang-ganjingan dunia bus malam; mengacau-balaukan time departure/ arrival, membuyarkan hitungan-hitungan waktu tempuh, mem-black out modernnya sistem dan tata kelola PO-PO yang menghamparkan pendaringan di bawah ketiak Pantura, serta memperangkap para calon penumpang dalam ketidakmenentuan tentang eksekusi rundown acara yang telah mereka rumuskan sebelumnya.


“Asli Prima yang lagi parkir di depan itu gimana, Mas?” selidikku seraya menggaruk-garuk kepala, setelah menatap moda A 7553 KC dengan kode bodi E26 line Semarang-Merak yang tengah nyantai menyendiri di emplasemen.


IMG00937-20130623-1649


“Sudah penuh juga, Mas!” balasnya.


Tobat


“Mbak, yang duluan berangkat dan tiketnya masih ada, bus apa ya?” tanyaku memelas pada perempuan muda pengampu gerai yang berlokasi di dekat pintu masuk Pasar Banyumanik. Dialah agen yang terakhir kali aku sambati.


“Ada Safari, Mas!” bebernya. “Berangkat setengah tujuh.”


Wew…aku semestinya girang bukan kepalang mendengar kabar gembira yang demikian. Namun, seketika itu pula tercipta kericuhan di alam pikiran disodori opsi standar ganda alias ambigu. Di satu sisi, angkutan umum itu bisa didapuk sebagai dewa penolong, sementara di sisi yang lain, lubuk nurani meronta, belum siap mental dan psikis andai diperjalankan oleh bus berklasifikasi ‘unidentified object’ lantaran keawamanku tentang perangai dan tabiatnya.


“Benar jam segitu, Mbak? Saya dapat berita, bus-bus Solo pada terlambat sore ini,” timpalku untuk mengorek lagi kevalidan tawarannya.


“Betul kok, Mas. Yang lain berangkat dari Solo atau Wonogiri, ini langsung dari garasi Salatiga!”  ungkapnya pasti. “Misalkan tidak ada armada, biasanya pakai cadangan bus Solo-Semarang yang standby.”


Tanpa pikir panjang, jelimet dan bertele-tele, segera kupesan bangku nomor 41 dari empat bangku yang masih unsold, yang menurut sketsa kelas Patas VIP, nangkring di depan pintu belakang mepet window.


Sementara itu, kabut misteri tentang track record Safari selaku ‘pemain malam’ terus saja menggelapi labirin otakku. Boleh dibilang, nol kecil nilai pengetahuan dan brand awareness terhadapnya. Justru yang sedikit kuakrabi adalah sosok AC Luxury-nya yang kini menghegemoni tampuk Semarang-Solo dan menjadikan PO-PO lain ibarat semut kecil di hadapannya. Kira-kira, bagaimana bentuk dan rupa layanannya? Apakah akan sederajat dengan ‘bus siang’nya?


Kubunuh penantian waktu dua jam ke depan dengan mondok di warung angkringan dekat tem-tem-an taksi. Jauh di seberang jalan pada samping toko waralaba, sedang terbujur kaku Madjoe Utama, yang tempo hari mengalami brake failure sehingga menghantam barisan barrier yang membelah turunan Jalan Perintis Kemerdekaan.


Secara iseng, kudata kavaleri-kavaleri ranah Wonogiren yang melintas, apakah sahih sedang terjadi chaos seperti yang dikabarkan Mas Agen tadi?


Dan memang fakta tak terbantahkan. Di luar adatnya, tercatat hanya segilintir yang melakukan ‘cap jempol’, masing-masing barisan sempalan Giri Indah yang diwakili BM-012, BM-020, BM-015 dan BM-011, lalu PO Purwo Widodo menyumbang satu asetnya berbusana Prestige garapan Tri Sakti. Selanjutnya dua properti milik Gunung Mulia serta Langsung Jaya urun sebiji siluet hewan jaguar.


Sambil terus berkutat dengan keypad gadget lawas, kucolek teman-teman maya komunitas busmania, dan satu di antaranya adalah Mas Doni Prast yang ternyata tengah on broad di BM-012. Menurut penuturan sohib PJKA itu, hanya Agra Mas yang bisa berkelit dari siksa Pantura sehingga jam take off-nya boleh dibilang zero tolerance.


Andaikan bisa leles selembar tiket PO yang pernah memecahkan rekor abal-abal sebagai bus paling isuk menapak negeri Pak Jokowi, tentulah aku bisa tersenyum lebar dan tak perlu sirik dengan kenyamanan yang diperoleh Mas Doni sore itu.


Ah, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.


Dan kelangkaan ‘bidak-bidak’ penghubung antarpropinsi kian kentara hingga seruan magrib dikumandangkan. Hanya dua konsestan lagi yang mendaftarkan diri. Yakni Handoyo Setra New Armada dan Timbul Jaya ‘Dwi Saputra’, AD 1422 AG.


Pemandangan aneh yang bikin meradang calon penumpang…