Rabu, 12 Januari 2011

“Budi Kecil” Itu Berkelahi dengan Waktu (Bagian Ke-1)



Dengan skor 1-1, hasil dari dua kali memainkan “peta baru” perjalanan Rembang-Pulogadung via Terminal Pati, bagiku belum cukup untuk memilah mana yang lebih digdaya, “PO Bejeu” ataukah “mesin absensi kantorku”?

Setelah leading melalui gol yang dicetak strikernya, B5, dan sepekan kemudian gantian piranti finger print membalas kedudukan dengan membobol gawang yang dikawal A5, akankah pemain Bejeu yang lain mampu menorehkan poin kemenangan kali ini?

Sekali lagi, ingin kulakoni pertandingan hidup mati, fase knock out untuk menentukan siapa yang lebih berjaya di antara dua seteru bebuyutan tersebut, sebagai tolok ukur sukses tidaknya pertaruhanku. Andai bus Pengkol, Jepara, itu tumbang dan kalah waktu lagi, aku akan pulang kandang, menunjuk kembali tanah kelahiranku sebagai landasan take off balik maning nang Jakarta.

Asa ini meninggi tatkala Mas Ferdhi mengabari bahwa jatah Pati pada Minggu sore itu dipersenjatai the young gun, armada B3 berhulu ledak OM 906 LA.

Berkaca dua partai sebelumnya, mengandalkan sisa-sisa kekuatan enam silinder era Mercy King amatlah membuatku ketar-ketar. B5 terpapar masuk angin, sedang A5 ibarat dihantam “cedera metatarsal”, main pulley mesin rontok di hutan Cikamurang.

Kehadiran B3 tentulah berita menenteramkan hati. Diri ini bersimbah keyakinan, bahwa “bopeng” Pantura bakal bisa ditambal oleh sepak terjangnya. Masih lekat terpatri di dinding ingatanku, bagaimana Muji Jaya MJ-039 yang kunaiki dalam trip pagi Pulogadung-Kudus dijadikan media bulan-bulanan oleh the member of Black Bus Community itu di ruas Kaliwungu-Krapyak.



Semoga, cerita kebintangan “Si Royal Platinum Class” berulang dan malam ini, dia mampu menaklukan perbaikan jalan Pantura yang tak kunjung rampung, bahkan semakin masif tingkat kehancurannya.

Namun, rancangan tinggal rancangan, konsep hanyalah konsep, mendadak, cita-cita itu menguap ke awang-awang...

Saat bus Restu “Baron” yang kujadikan wahana estafet dari Dampo Awang’s Land menapak pertigaan Gemeces, Pati, tiba-tiba Mas Ferdhi menelepon.

“Mas, sepurane ingkang kathah, tiket Bejeu sampun telas...” (Mas, maaf beribu maaf, tiket Bejeu telah habis)

Aku pun cepat tanggap, dan bersegera mencari opsi lain.

“Shantika, Haryanto, Nusantara mboten masalah, Mas.” (Shantika, Haryanto, Nusantara tak masalah, Mas)
“Sekedap nggih Mas, mangkeh kulo hubungi maleh.” (Sebentar ya Mas, nanti saya hubungi lagi).

“Bupati Muria Raya” itu memohon jeda tempo untuk mencarikan tiket yang lain. (Duh, aku ngrepoti terus, Mas Ferdhi!)

Saat kaki hendak beranjak turun dari kabin Setra Laksana N 7036 UG, datang SMS yang isinya membuat deg jantungku.

“Maaf Mas, tiket ke semua jurusan habis.”

Alamak, seketika aku mengutuk diri sendiri yang benar-benar lalai. Kenapa aku jadi “buta kalender”? Bukankah ini sedang musim haji, “waktu haram” bagiku berselingkuh dari bus-bus yang selama ini jadi sandaran wira-wiri. Dipastikan, di akhir liburan lebaran idul adha, travellers membludak dan persaingan mendapatkan kursi akan sengit.

Dengan langkah gontai, kususuri ruang embarkasi Terminal Pati.

Benar dugaanku. Calon penumpang berjubel, seolah tak seimbang dengan ketersediaan armada yang ada. Bejeu, Garuda Mas, Bayu Megah, Muji Jaya sudah tak tampak lagi. Sido Rukun selangkah lagi berangkat. Shantika pamer tiga amunisi terbaiknya sedangkan Haryanto menerjunkan dua unit “bus pariwisata” untuk beroperasi. Ironisnya, The Phoebus MB OH 1526 malah perpal karena trouble.



NS-43 dan NS-45 tinggal menunggu penumpang, setali tiga uang dengan tiga armada PO Selamet. The Squad of Blue Waves Bangilan dan Bojonegoro juga datang dan langsung pergi, tak perlu berburu sewa lagi. Senja Furnindo cuma hadir dengan satu bus jurusan outer Jakarta.

Hujan mulai mengguyur kampung para leluhurku dengan lebatnya, seakan menumpahkan muatannya dari langit. Pelataran tergenang air, memaksa para warga terminal beserta calon penumpang berhimpitan di area yang terlindungi dari berondongan titik-titik air nan impulsif.

Ah, aku tak boleh panik dan harus tetap tenang. Terbiasa hidup menggelandang di jalan sedikit banyak memupuk mental petualanganku.

Kuhampiri secara acak satu persatu agen bus mulai Pahala Kencana, Shantika dan Selamet, berharap ada keajaiban, misalkan saja ada pembatalan tiket. Tapi, jawaban seragam yang kudapatkan.

“Sampun telas ket jam sekawan wau, Mas.” (Telah habis sejak jam empat tadi, Mas)

Dari kabar yang kukorek, hari itu sebagian bus Plat K tak ngeline, karena dicharter untuk menjemput kepulangan Kloter 1 dan 2 jamaah haji Kabupaten Jepara. Oh, pantesan...

Hal ini semakin membuatku terpojok dan angan-angan besok pagi tiba di ibukota menjauh dari bayanganku. Aku membuat blunder besar dalam titah hidup sebagai komuter mingguan.

1 komentar:

  1. good

    purwati
    http://purwatiwidiastuti.wordpress.com
    http://purwati-ningyogya.blogspot.com
    http://purwatining.multiply.com

    BalasHapus