Kamis, 14 Maret 2013

Kuhapus Merahmu Untukku! (3)

Duet bus karyawan, Arion kode 123 dan Hiba Utama 140, dilangkahi di depan Kawasan Industri Kujang Cikampek (KIKC). Aku berkesimpulan, sementara waktu bus ber-smoking room ini menihilkan peran Tol Cikampek-Jakarta, demi keperluan unloading penumpang yang bertujuan Klari.


Ruas jalan bebas hambatan sepanjang 73 km dan melewati 6 kota ini hanya dikaryakan sejauh 38 km untuk memangkas jarak antara Karawang dan Bekasi.


01.55 


Separuh okupansi telah menghilang saat “sempalan” PO Giri Indah ini berlabuh di perempatan Cempaka, tak jauh dari gate exit Tol Bekasi Timur.


Kemudian menyisir jalanan Kota Bekasi, dengan rute Jalan Inspeksi Kalimalang-Jalan Cut Metia-Perempatan Rawa Panjang-Pertigaan Pekayon-Jalan Ahmad Yani-Jalan Jendral Sudirman-Pasar Kranji-Jalan Sultan Agung- Gerbang Harapan Indah-AURI Ujung Menteng, sambil sesekali menuruti request bagi mereka yang minta di-discharge di tengah jalan.


Agra Mas rupanya menganut sistem sapu bersih untuk debarkasi para penumpang. Setelah melewati pertigaan tol Cakung, giliran kawasan Pulogadung yang disinggahi. Hanya berhenti di pertigaan Igi menurunkan seorang penghuni, sementara spot terminal malah nol peminat, sehingga tak perlu masuk jalur penurunan di dalamnya.


Lalu lintas ibukota yang sepi dan lengang seakan menyembunyikan wajah asli ibukota. Berkendara di waktu dinihari, setiap kendaraan dapat menjelma menjadi pelukis malam. Leluasa melenggang dan bebas berkreasi, bisa menjajal kemampuan maksimal “kuda pacunya”, tak perlu risau dengan hiruk pikuk pengguna jalan yang lain.


Kecepatan di atas rata-rata juga mampu dipentaskan pencangkok AC merek Thermo King ini di Jalan Perintis Kemerdekaan. Di simpang empat Cempaka Putih, haluan pun berbelok ke kanan,  melahap aspal beton Jalan Yos Sudarso dengan rakus.


Aku tersenyum kegirangan. Inilah saatnya detik-detik pemecahan rekor!!!


Area Tanjung Priok yang biasanya macet parah di siang hari, tersendat oleh aktivitas pembangunan akses tol Cilincing-Jampea, traffic-nya sangat-sangat lancar dan deras mengalir. Suasana yang cukup menunjang dan mendukung terjadinya “geger dan kehebohan” itu.


“Turun mana, Mas?” tanya kenek saat aku berkemas dan menumpang duduk di bangku depan.


“Mambo!” jawabku dengan riang.


2.40 


Itulah display waktu yang terpampang di pojok kanan atas handphone-ku, mendokumentasikan catatan manis yang baru saja teraih.


Dengan bangga dan penuh apresiasi, medali emas sebagai moda paling gasik yang mendekatkan dengan pesisir Jakarta,  aku kalungkan di leher armada 5106.


Top, takzim dan salut atas perjuangan Agra Mas. Applause for it…


Dan rasa-rasanya, kuncian jam dua lebih empat puluh menit akan menjadi rekor abadi, sesuatu hil yang mustahal bakal bisa dipertajam oleh PO lain, selama aku masih berkesempatan menekuni lakon hilir mudik mingguan Jakarta-Rembang.


3.25 


Mata ini sulit terpejam di ruang istirahat yang secara ekslusif disediakan oleh kantor bagi karyawan. Sengaja  fasilitas ini kupilih sebagai tempat merehatkan diri, sebab ada ancaman kebablasan bangun pagi andai leyeh-leyeh di indekos-an.


Masih terkenang akan adegan-adegan yang merangkai notula perjalanan satu malam, yang baru saja kugeluti. Nyandung nyrimpet tak karuan, kebahagiaan dan kenistaan teraduk menjadi larutan tanpa pola, tersaruk aral yang bernama sarkawi, meski endingnya secara sah dan meyakinkan jika dilabeli happy.


Namum, hati kecil ini terus-terusan berteriak nyaring, “Ngga fair…curang…culas…keji lakumu!”.


Argh…dilematis, but keputusan berat harus berani kujatuhkan.


Legitnya gelar numero uno yang belum satu jam direguk oleh Agra Mas dengan terpaksa aku lucuti. Tak elegan dan mencederai nilai sportifitas andai kupertahankan. Lantaran secara “syarat administrasi” ---tanpa pegangan tiket resmi--, aku memang gagal dan patut terkena diskualifikasi sebagai kontestan dalam perebutan tropi siapa yang memegang best hour saat menginjak tanah Jakarta Raya. Aku tercabik-cabik oleh ulah tangan-tangan kotor sarkawi, menjerembabkan identitasku dari penumpang resmi menjadi penumpang terlarang. Aku terlibat di dalam lingkaran “sarkawi-poli”.


Kuhapus angka 2.40 yang diukir si Merah dari Guinness Book Records versi abal-abal. Aku pun me-remove capaian spektakuler itu dari daftar, dan kuanggap tidak pernah ada.


Selanjutnya, selempang juara kusematkan kembali kepada B3, anggota keluarga PO Bejeu yang pernah menerjunkan “tas punggungku” di Terminal Pulogadung pada pukul 3.50, tiga tahun silam.


Torehan  mentereng yang sejauh ini tetap aman terjaga, sebelum terusik dan tercoreng oleh sepak terjang si Merah Pemberani, Agra Mas.


IMG00412-20130228-1207


Sayang seribu sayang, aspek yuridis serta kepantasan moral kemudian membatalkannya.


T a m a T

Kuhapus Merahmu Untukku! (2)

Properti milik PT. Anugerah Mas ini serasa tak kenal gentar menerjang medan laga. Aku mengagungkannya sebagai sang Pemberani, meresonansikan makna warna merah yang melumuri sekujur tubuhnya.


17.18


Legacy Sumba Putra undur gelanggang dipameri kegesitannya menaklukan aspal ruas Truko, Cepiring. Dan selanjutnya mengadakan “reuni” bersama BM-002, B 7143 KGA, yang senja itu juga tak kalah perform mengumbar semburan daya 260 HP. Berdua rancak membelah jalan, menyelenggarakan persekutuan untuk menekan dan mendorong-dorong armada PO Tegal Indah.


IMG00394-20130219-1643


Tak ingin dipecundangi dengan mudah, bus wisata berkaroseri Scorpin King itu meningkatkan tensi permainannya. Cara sedikit lacur diperagakan dengan memblokir luasan badan jalan. Tak sekalipun duo Agra Mas diberikan celah untuk menusuk ke depan, dan akhirnya tetap pada formasi semula hingga tamat menuntaskan ringroad Weleri.


Bus berbasis bodi Evolution garapan tools Rahayu Santosa ini mengistirahatkan lelah setelah tujuh jam berjibaku menyisir rute Pacitan-Wonogiri-Solo-Bawen-Gringsing.


Para penumpang berikut kru serempak keluar, sementara di sudut lain, aku justru bertambah bingung. Mana “lembar asli” yang dijanjikan agen?


“Mana tiket untuk saya, Mas?” tagihku pada kenek, di saat “teman-temanku” menuju antrian service makan malam.


Dia memandangku tajam, dan kemudian menjawab “Sebentar ya, Mas!”, sambil berlalu menaiki busnya kembali.


Dari luar kaca, aku bisa melihat kesibukannya membersihkan lantai dan ruang interior, terkesan tak nyadar bahwa seseorang sedang menunggu janjinya.


Asem…aku mulai mencium aroma ketidakberesan. Kukeluarkan “tiket palsu” itu dan kuhampiri dia sesaat setelah turun dari armada.


IMG00384-20130219-1619


“Mana, Mas?” tanyaku dengan intonasi meninggi. “Kata agen dapat makan, mana kuponnya?” pancingku.


Empat atau lima pasang mata serentak menoleh ke arah kami berdua.


“Sudah, Mas, ayo ikut saya saja!” redamnya setengah berbisik, seraya menggandeng tanganku dan diarahkan menuju ruang makan kru.


Busuk!!! Aku dijadikan begundal sarkawi secara halus dan rapi!


Argh…betapa bobroknya sendi-sendi kehidupan di republik karut marut seperti tanah airku ini. Iktikad untuk menjadi orang baik dan patuh aturan justru diselewengkan oleh pengingkar kaidah-kaidah kebenaran.


Kewajiban pra-touring sudah kulunasi. Membeli tiket dari agen resmi, dengan tarif resmi, diberikan bukti resmi, dan yang kupilih PO resmi. Tapi nyatanya?


Apa bedanya aku dengan penumpang ilegal yang nyetop di tengah jalan? Tak henti-hentinya aku menggerutu.


Pufh…aku ibarat keledai, dua kali terperosok ke dalam lubang yang sama. Aku kembali terperangkap di dalam jeruji sarkawi. Bodohnya aku, mengapa gampang percaya pada mulut manis orang lain? Apa khilafku hingga dijadikan boneka kebohongan dan obyek skandal tipu-tipu antara agen dengan kru?


Mau tak mau, kuturuti saja permintaannya. Entahlah, aku juga bimbang harus berbuat apa. Mengajak cekcok hingga membikin gaduh dan menarik perhatian pengunjung Raos Eco pun tidaklah elok dan bukan tipikalku. Biarlah, kalau memang ini dosa, aku siap mempertanggungjawabkannya.


Kuambil sejumput nasi dan sepotong ayam goreng di hadapan sorot curiga kru-kru Agra Mas yang lain. Sebab hanya aku satu-satunya “pegawai” yang tidak mengenakan seragam hitam-oranye. Jangan tanya soal rasa dan fitur ambil suka-suka. Niatku di sini hanya ingin menghargai perasaan orang, tidak terpikir seberapa banyak suapan yang harus aku telan untuk menganjal volume perut.


“Mas, saya ke belakang dulu. Terima kasih sudah diajak makan!” basa-basiku pada kenek setelah menghabiskan menu dengan terburu-buru. Rasanya jengah, kikuk dan tak kerasan menyantap sajian gala dinner yang semestinya bukan hakku ini.


18.28


Yak, sudah komplit. Ayo jalan!” seru controller usai mengecek “isi muatannya”. Seolah kena pecut, sopir tengah pun tidak sabar memundurkan “bendi jepangnya”.


Iki piye, belum komplit kok mau jalan saja!” sergah Bapak-Bapak penghuni bangku 19 saat teringat dua bangku di depannya yang semula diduduki dua orang masih terlihat kosong.


Kenek pun merecheck dan memang benar bahwa ada yang belum mengisi buku absen keberangkatan. Dan butuh dua menitan menanti kehadiran mereka berdua.


Aku hanya menggumam, “Payah…benar-benar payah! Ini bagian controlling gimana sih? Aku yang gelap, tak tercatat di daftar manifes, lolos dari pemeriksaan! Kurang dua orang dibilangnya penuh! Apa gunanya pakai petugas-petugas segala kalau kerjanya saja asal-asalan, formalitas doang dan asal bapak senang! Pantas saja “barang ilegal” seperti aku ini gampang diselundupkan ke dalam.”


Ah, lupakan dulu soal peristiwa memalukan barusan. Perjalananku masih jauh, tak bijak berlama-lama memendam kedongkolan di dalam raga. Bisa menumbuhkan bibit-bibit penyakit nantinya.


Aku harus tetap enjoy dengan trip ini, betatapun kehinaan dan loosing my esteem kini tengah melingkupi.


Seperti pilot pinggir, subtitutornya ini juga tak kalah garang. Meski sempat disungkurkan PO wisata Kawan Lima di Tanjakan Plelen, aku optimis, tak butuh tempo panjang untuk melakukan revans.


Hujan intensitas ringan mengguyur kawasan Alas Roban. Potensi slip when wet seakan dilalaikan saat bus yang teregistrasi di berkas kepolisian dengan nomor B 7736 YL ini berikhtiar melengserkan PO Putera Mulya, AD 1432 DG. Perjuangan luar biasa juga dipertontonkan dan membuahkan hasil positif. Balas dendam setelah dipecundangi Kawan Lama terbalaskan. New Marcopolo tersebut mengibarkan bendera putih di daerah Tulis.


Nusantara dari divisi CN, yang menggawangi lapak Semarang-Tegal juga dijungkalkan secara open play meskipun harus melewati tantangan yang tak mudah.


Badan yang tengah didera kecapean, membuatku tunduk pada aspirasi rasa kantuk. Menjelang Kota Batang, aku laksana dihembus-hembusi sirep yang ditiupkan asap pembakaran mesin varian J08C-TI ini.


23.38 


Grekk…grekk…grekk… grekk…grekk…grekk…


Monotonitas bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh gesekan ban dengan jalannan bopeng membangunkanku dari peraduan. Kukucek mata dan mengedarkan pandangan keluar dinding kaca.


Ha!? Aku terkaget melihat papan nama sebuah sekolah menengah, MTsN, yang memahatkan nama Kandanghaur.


Cepat amat! Jam segini, bus langgananku biasanya masih berkutat dengan hiruk pikuk kehidupan malam Kota Tegal.


Di depan, tampak buritan Sinar Jaya, 38 Y, dengan trayek Balamoa-Jakarta. Berdua pun seiring sejalan menelesup di dalam barisan truk-truk yang seolah tiada putus bergantian menjajah jalan. Barulah di lintasan sepi Sumur Adem, B 7316 NL itu mulai ditinggalkan.


23.59 


Bus berkasta VIP 39 seat ini lalu melawat ke rest area UUN, Pamanukan. Sepertinya tak ada keharusan wajib lapor, dan kru hanya mengambil jatah perbekalan yang diulurkan pihak rekanan sebagai imbal balik hubungan harmonis yang telah terjalin.


Berbarengan itu pula, hadir sebuah armada Asli Prima kelas ekonomi, Damri 3065 dan Shantika divisi Pariwisata terparkir di areal rumah makan yang (menurutku) mempunyai masjid termegah se-Pantura itu.


Aku pun merangkai mimpi-mimpi kembali. Zzz…zzz…zzz…

Kuhapus Merahmu Untukku! (1)

Ngga zaman punya pacar satu saja


Ngga zaman pacaran harus setia


Ngga zaman cewe itu harus ngalah


Ngga zaman cewe selalu di bawah 


Hingar bingar audio sound system membahana ke awang-awang. Alunan irama remix dengan tempo nge-beat menyelarasi kelincahan jari-jari keyboardist menekan tut-tut mainannya. Vokal seksi lagi genit dua biduanita larut menjiwai lirik-lirik nakal yang dilantunkan. Ditingkahi goyang nan aduhai di atas panggung, temaram mendung perlahan terkikis hangatnya mentari.


DSC00435


Meski hobi bermusik, eksotisme suasana seperti itu tak membuatku kepincut untuk merapat ke venue outdoor yang lagi disewa pabrikan pengolah tembakau untuk kegiatan promo. Aku tetap terpaku pada bangku halte stanplat bus, duduk menyendiri. Kukhidmati acara “menunggu sesuatu” dengan masyuk membaca esai-esai ringan yang terunduh lewat gadget lawas.


“Rokoknya, Om!” mendadak suara lembut seorang dara menyapa membran telinga. Setengah terkejut, kutolehkan kepala dan sekilas menatap binar mata nan menggoda.


“Tidak, Mbak, terima kasih!” tepisku menolak tawarannya.


“Ayo dong, Om, beli satu…” bujuknya sekali lagi dengan gesture mengiba.


“Maaf, Mbak, saya tidak merokok!”


Dengan raut keruh oleh kekecewaan, wanita belia itu beranjak pergi, bermigrasi dari lelaki satu ke lelaki lain demi mengejar  target penjualan yang dibebankan pada pundaknya. “Pemandangan pilu” itu seketika membuatku terenyuh dan selanjutnya mengutuk diri sendiri.


IMG00395-20130219-1646







“Ya Allah…mengapa aku tak berbelas kasihan padanya. Meski aku bukanlah golongan ahli hisap, semestinya aku meluluskan rayuannya. Hati gadis itu pastilah senang melihat belasan rokok yang diampu tangannya berangsur susut. Ah, aku terlalu egois, pelit, kurang sosialis dan miskin empati pada sesama!” sesalku. “Cuma seginikah kualitasku sebagai bangsa manusia?” 


“Mas, bus Priok sudah masuk!” panggil Bapak Agen membuyarkan lamunanku.


Ya ampun…dari mana datangnya makhluk merah ini, tahu-tahu sudah terparkir di depan kios tempatku bertransaksi sebelumnya.


IMG00396-20130219-1646

“Nomornya 5106,” ujarnya, seraya menuliskan angka tersebut di atas “tiket darurat” yang aku pegang.”Nanti ini ditukar sama yang asli di atas ya, Mas!” imbuhnya dengan nada memerintah.


Kupandang cowl sudut depan kiri, lokasi di mana PO ini biasa mencantumkan nomor penciri armada. 5106, itulah yang terpampang si sana. Fix, inilah transporter-ku.


***


45 Menit Sebelumnya


“Bapak, Agra Mas ke Tanjung Priok masih ada kursi kosong?” tanyaku pada shopkeeper sebuah biro perjalanan sekaligus agen PO universal di dalam kompleks Terminal Banyumanik.


IMG00381-20130219-1615







“Sebentar ya, Mas, saya menghubungi kru dulu.”


Hmm…harganya berapa, Pak?” selidikku agar tak terjebak membeli kucing dalam karung.


“115 plus makan.”


Pas, tidak lebih dan tidak kurang, sesuai informasi tripfare yang kukorek dari Pemangku Wilayah Tingkir, Mas Doni Prast.


“Kalau ada saya pesan satu, Pak!”


Bergegas si Bapak memungut handphone yang tergeletak di atas meja, dan menelepon seseorang. Meski berdiri agak jauh dari posisiku, sayup-sayup terdengar pembicaraannya.


“Priok masih ada?”


“x!#%^%&??!@”


“Apa? Baru isi 15? Aku ambil satu ya!”


 “x!#%^%&??!@”


“Tiketnya sama aku apa kamu?”


“x!#%^%&??!@”


“Oke, jadi sama kamu saja ya.”


Laki-laki yang secara fase sudah masuk paruh baya itu kemudian mengambil secarik kertas non formal sebagai bukti booking, sambil melengkapi kolom nama, alamat, destinasi, hari dan tanggal keberangkatan, serta nominal tarif yang ditetapkan.


“Ini tanda pemesanannya, Mas, kira-kira setengah lima busnya sampai sini!” pungkasnya menutup pasar sore.


***


16.35


“Banyak yang kosong, Mas, silahkan duduk di mana saja!” instruksi kenek saat aku mulai melantai.


Sejurus kemudian, Agra Mas mengembangkan layar, meninggalkan sub terminal dengan grade Tipe C, menyusul pelayaran kameradnya, BM-002.


Bus hanya mengangkut 17 sewa -- termasuk tambahan aku dan anak muda yang hendak menuju Pademangan -- sehingga kabin terkesan melompong. Dua plus satu kursi di deret ke-8 bisa aku kangkangi karena yang lain menumpuk di front rows.


Kini aku mencoba berkalkulasi serta berspekulasi. Bila Muria-an tinggal landas dari Semarang sekitar setengah sembilan dan tiba jam enam esok hari, secara logika, si Merah ini bisa menyingkat waktu 3-4 jam-an saat mencapai ibukota, di muka kedatangan gerombolan Nusantara cs.


Hmm…Kalau begini modusnya, inilah saatnya aku mengukir prestasi gemilang, memecahkan rekor paling pagi mencumbui ladang pencaharian. Meski klan Wonogiren tak sebanter entitas pelat K, tapi aku yakin, pasti bisa!!!


Gen Hino spesies RG yang sess dan ngeri-ngeri sedap tersembul tatkala mengacak-acak jalur berlawanan di pertigaan Sukun. Orientasinya adalah nyolong start, berpacu dengan countdown timer traffic light menyala hijau.


Pun saat menyungkurkan Tunggal Dara Putera bermodelkan Skania jurusan Purwantoro-Jakarta di Turunan Jatingaleh, dan dipertegas ketika melibas PO Puspa Jaya BE 2372 W line Lampung.


IMG00392-20130219-1642







Tak usahlah kecepatannya disandingkan dengan gaya injak gas ala Pak Ali Kantong feat Abah David, penggawa HR-47. Kuasa mengungguli konco-konco kidul-an kuanggap show off  ke-superioritas-an yang sepadan untuk disombongkan.


Di Krapyak, kupotret sosok bus yang (berdasar klaim Koh Hary) paling memanjakan penumpang, khususnya yang bermodalkan lambaian tangan di pinggir jalan. AE 7061 UB, tjap dua segitiga merah. (Hehe…) Take off dari mana dan jam berapakah hingga Jatimer yang satu ini sudah menapak wilayah Semarang?


Usia driver yang sepuh dan agak temperamen tak menghalangi skillnya untuk tampil menyala-nyala. Patas Semarang-Cirebon, Coyo, G 1489 AA, diasapi di tengah kerumunan lalu lintas oleh momen bubaran kerja.


“Nyawamu serep to, Mbak, wani-wanine mungsuh bus malem!” umpatnya saat berondongan klakson tak digubris seorang cewek biker. (Nyawamu double, Mbak, berani-beraninya melawan bus malam)


Petugas retribusi Terminal Mangkang dibiarkan menganggur, karena besutannya langsung bablas, melipir ke Lingkar Kaliwungu. Di jalur pengurai sepanjang 8,1 km ini, berpas-pasan dengan Pahala Kencana Evonext jurusan Bangilan, salah satu akademia pagi Pulogadung.


Semangat juang tinggi tak jua mengendur. AKAP yang terdaftar di Kantor Samsat Bekasi Kota ini benar-benar merajai kelompok terbang bus malam pertama yang heading to the west.


Langsung Jaya, AD 1480 AF, dilempar dari persaingan di atas permukaan trek Bugangin. Dan kemudian spot Patebon merekam scene saat menghempaskan PO Coyo bergaun Prestige bikinan Tri Sakti.


Hah!!! Tiba-tiba aku teringat sesuatu! Aku ini kan belum ber-KTP (Kartu Tanda Penumpang) legal. Mengapa tidak ada gerak-gerik atau gelagat dari ajudan sopir untuk membarter “tiket palsuku”?


Hmm…apa gara-gara kelupaan, dan nanti akan diserahkan sesaat sebelum memasuki rumah makan? Toh, dulu sewaktu mengencani Tunggal Dara Putera, “tiket asli” pun diberikan setelah bus mengangkat jangkar. Barangkali ini hanya beda masalah timing saja.


Tapi…apa arti ucapan “Jadi, tiket sama kamu saja ya!” yang dilafalkan agen Banyumanik saat menelepon kru?


“Jangan-jangan…jangan-jangan!” aku dirambati keraguan tentang status halalku.


“Oh, no…kamu kudu tetap positive thinking!” wejang sisi nurani walaupun beragam pertanyaan bergelayut di benakku.


 

Rabu, 06 Maret 2013

Muria-Raya United (3)

Blitz…


Kilatan lampu hi-beam dari kendaraan arah berlawanan membelalakkan mata. Aku pun terjaga dari lelap. Tegal, itulah kesimpulanku saat menatap layout tata kota dan bangunan di kanan kiri jalan.


Bus yang hampir berumur 30 tahun ini tetap melenggang stabil dan meyakinkan. Kolega-kolega Pantura yang lebih muda dan fresh berusaha meminta jalan. Tercatat Kramat Djati D 7520 AB, Rosalia Indah 349 dan Pahala Kencana B 7912 IW  diberi kelonggaran untuk melenggang di depan.


23.55 


Di teritorial Ulujami, Pemalang, Nona mendekat ke bidang buritan PO Santoso, AA 1505 CA. Bus yang mengusung jingle Assololey -- sebuah salam mesra khas bumi Nganjuk yang direpopulerkan oleh Mbak Eny lewat musik Djanduth (Djaranan Dangdut) Sagita -- memberi perlawanan liat dan ulet.


Sayang, makhluk yang digilai Sanlov itu terbujuk iming-iming lambaian tangan dipinggir jalan saat tensi balapan mulai meninggi. Sebagai gantinya, Pahala Kencana divisi Kudus, K 1707 B, didegradasi menuju trap di belakangnya.


Raya tak lelah mengumbar puing-puing kekuatannya. AKAP yang mematok tarif Rp115.000,00 untuk jurusan Jakarta-Solo kembali menurunkan panji-panji PO Purwo Widodo Putro, AD 1476 FG, serta bis 7/8 aset sebuah sekolah kebidanan di Brebes. Rosalia Indah AD 1633 DA tak luput menghirup jelaga karbon yang dihembuskan knalpot OM-366A ini, saat disungkurkan selepas perlintasan sebidang rel kereta api di Jl. Dr. Wahidin, Pekalongan.


Gen Muria-anku terpuaskan lagi menyaksikan aksi jantan Bapak Sopir dalam mengandalkan intuisi dan kejelian membaca peluang saat memelorotkan posisi New Marcopolo Safari Dharma Raya AA 1616 BY dan Purwo Widodo Putro 06 di Tanjakan Sengon, Alas Roban. Bunyi mesin yang renyah, tarikan enteng dan larinya ngacir adalah kunci di balik kesuksesan kisah di atas, sekaligus memantulkan fakta bahwa PO Raya memang jago angon barang-barang gaek.


Belum jauh mencicipi lingkar Sentul, Plelen, kemacetan mengular. Dari bawah, truk-truk bertonase besar kepayahan mendaki, sementara antrian kendaraan ke timur berhenti total.


Puter…puter…. panjang  macetnya!” seru salah satu sopir truk Colt Diesel menggurui.


Dan terlihat tiga truk termakan rayuan, buru-buru melakukan manuver balik, memanfatkan parkiran warung-warung makan untuk tempat memutar 360ยบ.


Dari air muka, ada sedikit penyesalan dari driver Raya berkode 13, mengapa tidak mengambil jalur lama Poncowati?


Gimana ini, Mas, ikut balik arah apa sabar menunggu?” tanya Pak Sopir meminta pertimbangan pembantunya.


“Sudah, sabar saja. Sebentar lagi jalan! Palingan di depan ada truk mogok!” suruhnya mempercayakan pada feeling dan pengalaman.


Dan benar saja, tidak sampai 15 menit, lalu lintas mulai mencair. Penyebabnya adalah mogoknya truk tronton B 9984 DA berjenis Mitsubishi Fuso pas di tengah-tengah tanjakan. Buntut ketersendatan hampir mencapai pertigaan Kutosari, Gringsing, menandakan bahwa keruwetan ini sudah berlangsung agak lama.


Di Weleri, terjadi acara subtitusi pemain, pilot tengah menepi usai menuntaskan durasi tugasnya selama hampir 5 jam. Dan bus yang melabelkan diri dengan sebutan Bisnis RS ini meneruskan sepertiga sisa dari rute pengembaraannya.


IMG00348-20130214-1923Saat membayar retribusi Terminal Mangkang, Semarang, berjumpa dengan bus lain yang memiliki jam keberangkatan nyaris serempak dari Pulogadung. Dia adalah NS-39, armada yang layak kusemati mahkota ‘life achievement’, yang malam itu menunjuk HS-218 sebagai penjaga lapak trayek Pulogadung-Cepu. Hal ini sekaligus menandakan bahwa meski beda rating mesin, OH 1113 versus OH 1526, nyatanya menghasilkan waktu tempuh yang sama, tanpa pemenang. Remis begitulah istilahnya dalam permainan catur.


Legacy SR-1 Euro 5 dan Jetbus HD OH 1626 berikut Sindoro Satria Mas XBC-1518 dan kompatriotnya SM 201 tertinggal secara ‘tidak gentle’ karena keperluan isi solar dan tengah menurunkan penumpang, sebelum New Proteus yang dilengkapi toilet ini mencapai mulut Tol Semarang.


Di Km. 2 Tol Manyaran, Dara Ngadirojo, Tunggal Dara B 7221 WV bukanlah musuh sepadan untuk menghadang laju bus yang cikal bakalnya dari usaha bisnis ekspedisi truk bernama Radar.


Demikian pula Ramayana AA 1666 AB, dan poolmatenya, New Travego Morodadi Prima bergambar Pemanah, dibobol pertahanannya di Simpang Susun Jatingaleh, sebelum mengkaramkan Royal Safari bercangkang Grand Aristo bikinan New Armada, Magelang, menjelang loket pembayaran Gerbang Tembalang. Lalu dipungkasi dengan drama adu speed dengan PO Timbul Jaya AD 1712 AG sebelum pertigaan Sukun menceraikan mereka berdua.


Jumat, 15 Februari 2013 


02.50 


“Oh, Mas yang turun Semarang?” tanya Pak Sopir saat aku berkemas, mencangklong tas punggung yang semalaman ngumpet di bawah bangku nomor 3, berstatus sebagai penumpang pertama yang terdongkel dari singgasana.


Dan di kolong Jembatan Penyebarangan Orang (JPO) Banyumanik inilah aku mengakhiri debut perdanaku menggandeng PO Raya sebagai pemain baru dalam khazanah rutinitas mingguan.


Tak bisa kupungkiri, PO Raya memang unik dan eksentrik. Keniscayaan bahwa armada baru dengan beragam fitur yang modern, up to date dan high-end lebih bisa menjaring penumpang terbantahkan oleh perusahaan otobus tinggalan mendiang Bapak Witikno ini. Nyatanya, dengan ketelatenan merawat aset-aset uzur, mengakrabi para pengguna jasanya dengan sentuhan sisi humanis dan njawani, mengartikulasikan makna kenyamanan sebagai inti dari pelayanan, PO Raya berhasil menyulap kebersahajaan dan kesederhanaan fasilitas armada sebagai mesin handal pencetak loyalis-loyalis sejati. Dan itu belum bisa ditiru oleh PO-PO dari Semenanjung Muria.


IMG00359-20130214-1950


 IMG00312-20130214-1615


Tak salah bila aku melekatkan atribut “Tukang Sihir dari Jagalan, Solo” sebagai bentuk ketakjuban kepada PO Raya.


IMG00309-20130214-1611***


10 menit sudah aku mematung, tersergap atmosfer sunyi sepi sendiri di tengah belantara ibukota Jawa Tengah. Seolah tanpa kehidupan di sekelilingku. Taksi-taksi, bus-bus kota, serta microbus seolah menjadi batu nisan di tengah pusara Terminal Banyumanik. Hanya satu tukang ojek terlihat sedang mangkal di seberang jalan. Beruntung defile bus-bus Solo-an jadi sedikit penghibur hati menanti bus Terboyo yang tiada kunjung datang.


Dan kekurangberuntunganku bertambah, tatkala bus Budiman, Tasik-Semarang, tak mengangkut satupun sewa yang berdestinasi Banyumanik.  Bus yang mengusung model Setra designed by Tri Sakti Carroserie itu lenggang kangkung di depan mata, cuek terhadap lambaian tangan yang kujulurkan.


03.10 


Dalam keadaan terkantuk-kantuk duduk di trotoar, mendekatlah sorot lampu mayang yang kemudian tepat berhenti di depan Terminal. Aku tak mampu mengidentifikasi bus apa gerangan, terburamkan oleh keremangan cahaya dinihari. Yang penting aku kudu berlari mendekat, tak mau kalah tempo dengan beberapa orang yang turun.


Saat penumpang terakhir menginjak aspal, aku pun tergesa-gesa menaiki tangga berundaknya.


Wow… sinaran lampu LED biru yang menempel di langit-langi dan bersembunyi di bawah selasar mencitrakan bahwa bus ini tergolong gres. W 7068 UZ, itulah sticker nopol yang tertempel di dinding kaca, sekaligus ciri petunjuk bahwa AC Tarif Biasa ini pastilah asuhan Sumber Kencono Group.


Ditabuhi gendang rancak dari hiburan dangdut koplo yang disetel cukup kencang, bus yang pernah menggegerkan jagat tanah air dengan serangkaian kecelakaan yang menimpanya itu melesat cepat.


Memasuki jalan tol, terunggah driving style yang menurutku kurang kerjaan, sarat keisengan dan tentu saja menguras energi serta konsentrasi pengemudi. Kendaraan-kendaraan yang merintangi jalan didekati, lalu ditempel mepet-mepet, sebelum banting setir sekuat-kuatnya ke sisi jalur yang kosong. Padahal lalu lintas cukup lengang di pagi buta itu. Aneh, memang!


Bus lain yang sempat dilukai adalah Garuda Mas Evolution dan secara penuh nafsu berupaya melengserkan PO Wisata Remaja AA 1526 CK sebelum mencapai u-turn Kaligawe, meski berujung kegagalan.


“Terboyo…Terboyo…Semarang terakhir!”


Lantang suara yang dilisankan sang navigator saat bus berhenti di pojok pertigaan yang mengarah ke Terminal Terboyo. Aku pun melangkahkan telapak kaki keluar, sembari menelisik eksterior berjersey warna biru-silver ini. Sugeng Rahayu, itulah asmanya. Dan ternyata…oh…ternyata…berjubah keluaran terbaru, Discovery.


Menurut info Edison Chen Mojoagung, 68UZ ini adalah angkatan 19.30 dari Bungurasih, generasi keempat yang menyuksesi jam-nya driver favorit Jatimers, Cak Abas, sewaktu menggenggam batangan W 7600 UY, sebelum digantikan oleh W 7182 UY. Sedang tahta ketiga ditampukki W 7741 UY.


Sumber Kencono…Sumber Selamat…Sugeng Rahayu. Dari pertama mengenalmu saat duduk di bangku kuliah sebagai langganan dwi mingguan saat seringkali PP Jogja-Cepu via Ngawi, dan belasan tahun kemudian berpisah karena waktu dan kesempatan yang tidak pernah berjodoh, ternyata perilakumu tidaklah berubah. Tetap sebagai bus banter, sruntulan, menantang adrenalin, mayak-mayak dan galak ketika mengangkangi jalanan.


“Kudus…Rembang…Tuban…Bungur…”


Teriak kondektur bus Sinar Mandiri Mulia, N 7480 UG, menggiringku untuk menaiki ‘alat bajak’ hariannya. Aku pun mengistirahatkan lelah bersandar pada punggung bangku kusamnya, sembari memutar ulang jejak kepulanganku yang serba anomali ini.


Thanks a lot, My Lord, peta baru perjalanan Jakarta-Rembang memanfaatkan wahana estafet bus kidul-an berhasil aku lukis. Ternyata tidaklah rumit sebagaimana yang aku bayangkan.


Sederet nama kemudian menghias reka pikiranku. Agra Mas, Sindoro Satria Mas, Laju Prima, GMS, Gajah Mungkur, Sedya Mulya, Safari, Harapan Jaya, Gunung Harta, Rosalia Indah, Jaya, Gunung Mulia, New Ismo, Purwo Widodo, Langsung Jaya, Putera Mulya…dan lain-lain…dan lain lain.


Hmm…who will be the most wanted? :)



T a m a T

Muria-Raya United (2)

Dari jauh samar terlihat pijaran lampu rotary PJR. ‘Bhara Tangguh’ responsif, dengan menggeser posisi dari lajur 4 ke lajur 3, meski alirannya agak tersendat. Dan inilah kesempatan busku untuk mendekat pantat “Red Phoenix” itu.


Cukup lama keduanya ‘bertempelan’. Bahkan jet darat berakte AD 1506 AG menurutku luar biasa, berani mengimbangi kedigdayaan armada yang bertangsi di Ngembal Kulon, Kudus.


Mendadak HR-04 berkilah ke lintasan samping kiri, lalu menurunkan kecepatan, seolah mendorong Raya untuk menyebelahi. Lagi-lagi, keduanya bersulang klakson sembari berkomunikasi lewat isyarat yang aku sendiri tidak dapat menerjemahkan. Karena keasyikan nge-date, Dream Liner BCB 181 serta Sinar Jaya B 7520 VB melangkahi.


Si Nona pun merangsek ke depan, sementara B 7057 VGA mengalah sebagai wujud sikap tahu diri, rendah hati, sportif dan berempati, mengejawantahkan slogan Oldies First.


“Hebat kan, Muria-an dibikin mundhuk-mundhuk (merendahkan diri) di hadapan Solo-ensis!” aku bersorak. 


Di Km. 42, hujan turun dengan lebatnya. Hal itu mentrigger ter-ekspose-nya amalan langka yang tak kujumpai di bus malam. Dibantu kenek, para penumpang beramai-ramai menutup kaca geser, menyumbat jalan agar air tak membasahi ruang kabin.


Handicap ini pula yang membuat spesies-spesies Hinomaru ‘ketakutan’, dengan melambatkan ritme putaran ke-enam bannya. Dengan mudahnya, kakak PO Sedya Utama ini menyalip 73 DX dan Rosalia Indah 125 Hino RG, namun gagal dalam usaha mencundangi Dedy Jaya G 1494 GR.


IMG00342-20130214-1751


Sementara terlihat PO Prayogo Cileungsi-Klaten menepi, berkutat dengan permasalahan mesin.


Di bahu jalan Km. 53, lampu atreet Haryanto eks PO Tridiffa menyala silau. Ada apa gerangan sehingga HR-78 itu melakukan gerakan yang membahayakan pengguna tol? Apakah lantaran kelupaan ataukah terlalu ngebut sehingga kebablasan tidak melakukan pengisian solar di SPBU ‘Diamond Class’ Km. 52?


18.03 


Kemacetan menjuntai panjang di jalan akses keluar dari Gerbang Tol Dawuan karena adanya lubang menganga di depan pabrik perakitan Hino, Cikampek. Dengan kenekatannya, Zentrum 09 dan Rosalia Indah dengan nomor lambung 134 memporakporandakan jalur berlawanan. Kendaraan kecil dipaksa minggir, mengobarkan semangat negatif adigang, adigung, adiguna.


Aku pun kegerahan dan secara refleks tangan menjulur ke atas untuk meraba-raba keberadaan louver AC. Tapi…yaelah, mengapa aku senaif ini. Ini bukanlah refrigerator berjalan. Hehe…


Dalam sedikit ketidaknyaman hawa udara, timangan leafspring chasis OH-1113 benar-benar tak diragukan. Dalam dekapan empuknya kursi eks pesawat DC-10 milik Maskapai Garuda Indonesia, tak kuasa aku melawan kantuk sehingga masyuk dalam peraduan.


Zzz…zzz…


Menapak daerah Ciasem Girang, dengan ringannya mengakuisi posisi PO Agung Putra, bernomor STNK AA 1500 DM. Menilik pelat nomor dan corak warnanya, jelas bus wisata ini mengkaryakan armada seken PO Efisiensi.


Wuss…wuss… 


Dengan lancang, dari sebelah kanan meluncur deras Laskar Tidar yang menjuluki dirinya dengan sebutan Lelaki Cadangan. Siapa lagi kalau bukan Santoso line Merak yang kondang dengan high determination-nya itu.


Jalanan penuh jerawat dan mengikal jadi penghambat Merah-Oranye untuk melepaskan diri dari panduan Dedy Jaya ‘Lapendos’, Laki-Laku Penuh Dosa. Dan akhirnya, Rumah Makan Markoni Pamanukan benar-benar menghentikan kiprahnya di etape pertama, menyusul Junior Eksekutif AD 1488 AR dan Senior Eksekutif AD 1504 AG yang tiba terlebih dahulu.


IMG00346-20130214-1922


IMG00351-20130214-1928


Kutukarkan kupon yang menyatu dengan tiket tanpa sampul, dan kemudian diberikan keleluasaan untuk meracik menu prasmanan empat sehat yang dihidangkan. Bebas tanpa syarat, silahkan keruk sepuasnya tanpa perlu was-was ditegur pramusaji andai ketahuan mengutil ayam lebih dari sepotong. Hehe…


IMG00353-20130214-1929


Saat menyantap gala dinner, mataku tertuju pada tumpukan snack yang tertata rapi di atas meja makan. Mungkin itulah yang dipersiapkan bagi penumpang super top yang ketinggalan kereta, sehingga menumpang sementara waktu pada bus yang lain sebagai pelangsir, sebagaimana yang pernah dialami Kang Mas Ponirin. (Hehe…piye Dab kabare?)


IMG00352-20130214-1928


19.46


Angkutan massal yang sekarang diorganisir kakak beradik, Bapak Nata Laksana dan Bapak Brata Laksana, melakukan kick off babak tengah, disaksikan oleh enam unit armada Ramayana di sisi parkir timur.


Sopirnya malah lebih sepuh dari pengemudi pinggir, dengan postur tinggi jangkung dan agak kurus. Tak ada seragam formal yang menempel di badan, hanya pakaian casual namun sopan. Alas kakinya pun merakyat, cukup sandal jepit. Barangkali PO Raya ingin menyampaikan pesan bahwa saat on board, antara penumpang dan kru adalah satu family, sama-sama sederajat dan sehati. Mengaburkan konteks berbisnis bahwa dalam usaha komersial terbangun tingkatan antara penjaja jasa/barang dan penggunanya (user).


Karakter driver jangkar ini lebih santai, sangat santun dan menanggalkan egoisme di atas jalan raya. Hanya sesekali mengerek jarum rpm ke puncak aman di skala 2.000 rpm. Tapi kelihaiannya memainkan setir kemudi yang segede tampah, mempertegas tingginya jam terbang yang dia punya.


Jalanan kembali tak ramah, aspal mulus jadi barang mahal. Meski bodyroll terombang-ambing oleh kontur tak rata, belasan truk-truk penghancur properti peninggalan Daendels dilibasnya dengan smooth.


Dan entah aku harus berkomentar apa, saat tanah Kandanghaur merekam aksi Raya mengasapi HR-04 untuk kedua kalinya. Bus yang sedang menggawangi trayek Poris-Tayu itu terlihat ogah-ogahan, kehilangan greget, kurang match dengan nickname ‘Bhara Tangguh’.


Dan kini giliran Sinar Jaya 84 J yang kudu mencicipi rasa pedas kala dikebiri bus lain, dan selanjutnya terus menorehkan raihan positif dengan menihilkan medium bus pelat merah B 7788 EQ milik Badan Koordinasi Penanaman Modal berkaroseri garapan Delima Jaya.


Hoek sorr…hoek sorr… 


Owh…si ibu yang menyemprot anaknya gara-gara mabuk darat tadi seakan kena ‘karma’. Justru dari kevulgaran suara yang dikeluarkan, kualitas muntahannya lebih hebat dari putrinya. Dan efeknya, penumpang yang lain pada membisik tentang ketidaksopanan yang ditunjukkan ibu tersebut.


Aduh..duh…pahit memang  memaknai hakikat art of travelling.


“Prei…prei…awas, parkir…”


Tak kenal henti kru #03 mengawal laju perjalanan bus pecinta body builder Ungaran, Laksana, ini. Tentu beda dengan habit kenek Muria-an yang lebih memilih bobo manis di depan toilet, percaya penuh pada kemampuan kerja partnernya.


“Ayo…kosong…”


Teriaknya saat PO Madjoe Utama, AE 7088 UB, dengan livery siluet angsa PO Setiawan disikatnya dari lajur kiri dan berikutnya gantian Sahabat Pariwisata, E 7652 KA, disungkurkan.


Tettt…tett…


Tebasan duet Pahala Kencana MB OH 1626 B 7907 IZ dan Pahala Kencana Setra RG B 7912 IW membobol blocking jalan yang dikreasi bus yang berhomebase di Bulakrejo, Sukoharjo. Selarik bukti nyata bahwa armada-armada Gang Pegangsaan itu tak lagi memusingkan soal fuel consumption, mengangkat ketepatan waktu tempuh sebagai panglima. Dan aku sendiri merasai, bagaimana empat kali berturut-turut mudik mingguan naik Ombak Biru Madura-an, hanya sekali yang tampil mengecewakan. Selebihnya, ngebut, sekencang kompetitor barunya di jalur tersebut.


Celeng. Itulah lintasan yang dilalui, menghilangkan eksistensi bypass Losarang-Widasari yang hampir semua PO menjadikannya sebagai lintasan rujukan untuk mengarah ke Jatibarang. Hanya bertemu satu unit bus di atas track yang mati suri ini, yakni PO Damri jurusan Bandung-Indramayu ketika tengah mogok.


Underpass rel kereta Widasari, yang merupakan meeting poin jalur lama dan baru, Nona langsung disambut Legacy Sky Madu Kismo, K 1455 BD, dan Rosalia Indah Super Eksekutif. Dan selanjutnya berparade malam menyisir alam Cirebon.


Bahkan, aku harus angkat topi pada performa penggawa Palur beridentitas 377 di ruas Kertasemaya. Perjuangan dalam menumbangkan saudara muda Tri Sumber Urip jurusan Bangko-Solo-Pati itu, plus keberaniannya memotong langkah GMS Scorpion King serta Sumber Alam Proteus, AA 1521 CC, sembari menuntun busku, pantas diapresiasi.


Tett…tett…


Genderang perang seakan ditabuh kembali oleh another member of Pahala Kencana Imperium. Jetbus Hi-Deck ‘nano-nano’, B 7830 IZ, memamerkan hegemoni dan dominasinya, mencecerkan Raya dari persaingan race Pantura.


Bidak-bidak Bapak Hendro Tedjokusumo sukses berakting antagonis malam itu, memerankan momok yang menyeramkan bagi PO-PO lain. Salut…

Muria-Raya United (1)

Kalau bukan sebab dering telepon di siang itu, entah berapa lama lagi perhelatan tradisi akhir pekan dengan sedikit wah ini betah bersemayam dalam angan-angan.


Adalah perayaan ritual sakral yang merdeka dalam segalanya, tak terjajah aturan dan norma-norma. Saatnya pesta pora, hura-hura dan foya-foya menikmati kebebasan pulang ngetan, tanpa pening soal budgeting, tidak acuh perihal batasan waktu tempuh, dan tak terkurung oleh  jeruji PO-PO tambatan. Pengkondisian yang sengaja kuniatkan untuk mencari nuansa dan romantika baru dalam lakon mingguan; me-remove kejenuhan wira-wiri yang masih terus membelenggu.


“Pa, tadi malam keluarga Paklik M***** bersilaturahmi ke rumah,” istriku membagi warta lewat piranti komunikasi nirkabel.


“Bawa kabar apa, Ma?”


“Hari Minggu besok anaknya married, dapat arek Suroboyo,” ujar wanita yang hampir sembilan tahun menjabat sebagai ibu negara.”Kita diminta ikut iring-iring temanten!”


Surabaya! Ah, mana mungkin cukup waktu untuk melawat ke kota pemilik kosakata j*nc*k, jika hanya menggantungkan spacetime dua hari on weekend.


“Papa ambil cuti lah!” pintanya, meski aku juga sedang berpikir ke arah sana.


Tentu tetap kululuskan permintaan yang akan mengusik my workdays itu. Mengingat sosok ‘Bapak Cilik’ begitu lekat dalam kehidupan rumah tanggaku. Dia yang menghalalkan hubungan dengan calon pendampingku kala itu, dalam ikatan resmi yang bernama pernikahan. Beliaulah yang didapuk sebagai penghulu, host acara ijab kabul nan agung lagi suci bagi kami berdua.


Sekecil apapun bantuan yang diminta, pasti tak akan kutampik selama aku mampu. Demikian tekad yang kugaungkan sebagai wujud darma bakti kepadanya.


“Baik, Ma, aku cuti saja barang dua atau tiga hari.” pungkasku.


Kamis, 14 Februari 2013


16.16


“Kepada penumpang Raya non AC yang bernama Didik Edhi, mohon segera naik ke armadanya. Bus siap diberangkatkan!”


Baru saja aku kelar melunasi hutang salat asar di mushola pool, panggilan lewat pengeras suara itu terdengar menggema.


Ya ampun, baru seperempat jam lepas dari pukul empat, mengapa sudah diuber-uber untuk bersiap. Batinku memprotes.


Aku pun bergegas melapor pada seorang ticketing girl di bagian help desk, melakukan boarding pass untuk tiket yang kupermanenkan sehari sebelumnya. “Mbak, ini Didik Edhi.”


“Langsung naik ya, Pak. Busnya persis di samping kiri kantor.“ instruksinya dengan ramah.


IMG00308-20130214-1606


 “Mas turun mana?” tiba-tiba laki-laki muda mendekat dan kemudian menyapa.


“Semarang, Mas!” jelasku singkat. Rupanya, dia kenek bus yang akan menjadi transporter pembawa ragaku menuju kota pemproduksi kue lunpia.


“Eh, Mas, kalau mau lanjut ke Terboyo, enaknya turun mana ya?” selidikku, mengingat ini kali pertama aku menciptakan rute baru, menyimpang dari alur pelayaran lama untuk menuju kampuang nan jauh di mato.


“Kalau turun Krapyak, Mas kudu naksi. Kalau mau nge-bus, ya turun Sukun apa Banyumanik!” paparnya gamblang. “Jam dua-an sudah ada kok yang ke Terboyo!”


Catet…


Kurang semenit dari setengah lima teng, Si Nona (akronim dari non AC) itu menonaktifkan tuas pengunci parking brake.


IMG00323-20130214-1621


Meninggalkan teman dengan grade di atasnya, di antaranya gerombolan eksekutif AD 1503 AG, AD 1497 AG, AD 1511 AG, AD 1430 AG dan AD 1509 AG.


IMG00310-20130214-1612


Tak lupa pula bilang “Aku duluan ya!” pada pasangan strata Super Top, Legacy SR-1 dan  Comfort, yang masih kerasan berhabitat di markas Pulogadung.


IMG00315-20130214-1616

Gerakan agresif ditunjukkan dengan memotong paksa arus kendaraan yang menyemut di jalan protokol penghubung Pulogadung-Bekasi.


Mantap…walau hanya bersenjatakan ‘kavaleri’ tahun emisi 80-an, OH 1113 masih menyalak garang, menuruti karakter trengginas sang juru mudi.


Sayang, kesemrawutan yang berpangkal di pertigaan Igi hingga ujung Pasar Cakung memangkas tempo banter yang coba dirancang. Sementara ulah PO Setia Negara ‘Shely’, B 7377 WB, yang menginfiltrasi jalur motor kian menahbiskan premis bahwa Laskar Cirebonan adalah penganut paham “ora ngedan ora keduman”.


IMG00332-20130214-1651

16.56


Belum berselang lama usai menuntaskan transaksi di Gerbang Entry Cakung, anak kecil yang duduk di baris kedua muntah berulang.


Aku pun memaklumi, bus tanpa pendingin udara, identik dengan angkutan ‘orang udik’ yang jarang melakukan perjalanan jarak jauh. Wajah-wajah yang berdiam di atas ketiga puluh enam seat yang terpancang di kabin melambangkan warga dusun pelosok. Adalah hal yang lumrah, biasa lagi jamak, mabuk darat berteman akrab dengan modanya kau jelata. Aku harus kuat menahan jijik dan geli andai ada yang sukses mengotori geladak dengan lontaran cairan dari dalam perut.


Malu-maluin ibumu saja, Nduk…Nduk…!” damprat si ibu sembari membersihkan isi lambung yang berceceran di lantai.


Beberapa penumpang di sekitarnya menutup hidung, mungkin sembari mengomel mengapa orang tuanya tidak tanggap darurat dengan ‘kebencanaan’ seperti ini.


Sementara asisten driver dengan cekatan mengulurkan pertolongan. Bantuan yang berwujud kain lap dan kain kresek sebagai media antisipatif, diberikan. Inilah sikap positif yang dilanggengkan para kru sehingga PO Raya begitu dicintai penggemarnya. Nguwongke uwong, pepatahnya.


Dibarengi penampilan apik suara penyanyi Ratih Purwasih yang diputar melalui rekaman MP3, bus yang cuma punya semburan hulu ledak setara 130 tenaga kuda berinisiasi membangkitkan sisa-sisa nafasnya.


Kupandangi panel-panel yang terbenam di dashboard. Masih lumayan terbaca, mulai indikator water temperature, jarum skala rpm, serta penunjuk tekanan angin. Hanya speedometer yang mogok kerja, sama sekali jarumnya tak mau bergerak untuk menghitung seberapa cepat pusingan roda.


Tapi di mana pusat kontrol perangkat AC-nya? Ops…aku lupa kalau ini minus penyejuk ruangan. Hehe…


IMG00319-20130214-1617


Pantas saja nangkring sebiji kipas angin mini sebagai penyegar lapisan kulit Pak Sopir di kala didera kepanasan.


Wuss…wuss…


Hembusan angin yang cukup telak menyusup melalui sela-sela kaca geser yang terbuka ketika ‘Grobogan EpiZentrum’ TZ-25, K 1677 DF, meng-overtake secara barbar dari samping kanan, di Km. 49 JORR Cacing.


IMG00337-20130214-1709


Wow…kebisingan dan keriuhan udara mistis Pantura lebih bisa dirasai dengan bis non AC.


Di Interchange Cikunir, bersualah dengan salah seekor member of Haryanto Group. HR-04, demikian kode yang dicantumkan.


Hal itu mengundang decak kagum ibu-ibu yang duduk di sebelahku.


“Bus Lor (utara) sae-sae ya, Mas!” pujinya jujur dan mangkus.”Saya paling suka kalau lihat Shantika.”


Weleh…weleh…ternyata lumayan melek bab dunia per-bus-an. Dari tutur cerita selanjutnya, beliau adalah pengguna setia Raya dari tahun 1980 hingga sekarang. Tak sekalipun pernah berpaling dari PO lain, bahkan untuk trip kali ini, beliau gratis tis hasil barter 10 tiket yang dikumpulkan sebelumnya.


Dalam kemampatan lalu lintas, Damri berbodi Magneto B 7111 TAA serta Mayasari Bhakti B0904 mencuri derapnya. Sementara HR-04 tercecer di belakang karena terhalang ratusan obyek perintang.


Lepas dari area Cibitung, energi gedor mulai meluap-luap. Output mesin yang full untuk menggerakkan flywheel tanpa digandoli tali kipas penggerak kompressor AC, benar-benar membuatnya meroket untuk ukuran bus tua.


Bus karyawan, PO Parahyangan B 7273 IS serta Restu N 7710 UG dikandaskan. Meski untuk urusan top speed di lintasan sepi masih dikalahkan oleh Sahabat ‘Robet’ dan Sinar Jaya 73DX.


Wuss…wussde javu, dan terjadi lagi hempasan angin mengibarkan gorden-gorden pelindung kabin dari sengatan cahaya mentari.


Kini giliran HR-04 dengan tagline ‘Bara Tangguh’, menyejajari. Dari balik kaca, pramudi MB OH 1526 itu memberi kode da-da-da-da. Driver Raya yang secara senioritas sepertinya lebih unggul membunyikan klakson dan mempersilahkannya untuk mendului. Sebuah persahabatan kental dan erat antarsesama abdi jalanan.


IMG00341-20130214-1734


Menjelang gate otomatis Cikarang, Gunung Mulia Proteus dan 73 DX kembali tertinggal karena bus yang menancapkan kaca depan model two pieces ini menang dalam pemilihan jalur yang lebih steril.


Sembari menikmati snack gratisan, kupandangi tarian HR-04 nan super eksotis.


IMG00326-20130214-1640


IMG00330-20130214-1645


Meliuk kanan kiri, membelah sirkuit, mengiris kepadatan, memamerkan lampu rem yang terus berkedip-kedip, menjunjung nama kehormatan sebagai the new alap-alap.


Namun sayang, sessnya bus langganan itu tak serta merta membikinku untuk selalu stay tune, beristikamah mereguk kehandalannya. Ada kalanya muncul aspirasi bosan dan jemu lantaran tiap saat dicekoki racun speedy. Itulah alasanku mengapa memilih Raya sebagai wahana perselingkuhan dari artis-artis papan atas pelat K. Ingin kugali dan kurasai sendiri, benarkah bus yang dikalungi medali dangerously comfortable coach bisa disatukan dengan DNA Muria-an yang mengalir di dalam nadiku? 


Aku pengin menyelenggarakan perkawinan multi-etnik  antara unsur Muria dan zat Raya. Muria-Raya United, demikian aku mengistilahkan. Bisakah klop dalam persenyawaan heterogen antarkeduanya?