Karena Hutang Budi
Merasa berhutang budi dengan “kebaikan” PO Akas Patas Semarang-Banyuwangi, aku pun berjanji menjadikan bulan Februari ini adalah bulan Akas. Ada satu trayek Akas Group yang bisa berdamai dengan rute perjalanan mingguanku. Apalagi kalau bukan PO Akas Asri, Jakarta-Jember.
Sebenarnya, aku berkali-kali berencana naik bus ini, namun berkali-kali itu pula gagal. Dari mulai tiket sold out, waktu yang tiba-tiba tidak berpihak di saat mau bepergian atau terlambat datang di Terminal Rawamangun.
Sudah menjadi tekad, tentu sekuat tenaga aku akan mewujudkannya.
Jumat (19/2), sekitar jam satu siang, kaki ini sudah berdiri di pintu masuk Rawamangun. Kondisi terminal cukup ramai. Di slot Pahala Kencana, ada tiga armada, dua Jupiter (Denpasar dan Jember) dan Proteus (Jember).
Di sisi lintasan yang lain, skuad Ijo menyumbang dua armada, RS Evolution jurusan Padang dan Marcopolo LE-450 Banyuwangi. Lorena ini yang sebenarnya menggodaku, tapi kesetiaan tekad berbicara, aku tak mau berpaling dari rencana semula.
Selebihnya diisi dua unit Laju Prima, Sari Harum, ANS, Pelangi dan Kramat Djati. Dan tentu saja, yang aku incar selama ini, Akas Asri (AA).
“Mas, mau kemana?” tanya calo beruniform Akas Asri, saat aku menghampiri armadanya.
“Rembang boleh, Mas?” balasku.
“Ayo Mas…”
“Berapa tiketnya?”
Mas Nanang, personel ticketing pun dipanggil oleh anak buahnya.
“160 Mas…,” jelas Mas Nanang kepadaku.
“Wah, apa ngga 150 saja Mas. Saya kemarin ditawari Kramat segitu turun Rembang,” rayuku.
“Ya sudah Mas, mestinya itu sih harga Semarang”
Hmm…bahasa agen yang tak asing bagiku. Biar penumpang menangkap kesan tarif bus yang dinaiki murah.
“Cepat naik ya Mas, sebentar lagi berangkat!” sesaat selesai transaksi. Ditempatkannya aku diposisi 1D, belakang kanan kursi pengemudi.
Kudaki tangga pintu Akas Asri dengan tanda registrasi dari kepolisian, berseri N 7273 UR.
Baru saja meletakkan tas di bagasi atas dan hendak duduk, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sahutan.
“Mas Edhi…”
Loh, siapa penumpang AA yang kenal aku? Kucari sumber suaranya.
Ya ampun, teman komuterku yang mau pulang ke Pati. Aku ketemu, kenal dan akrab dengannya karena sering bareng naik NS 39 Pulogadung-Cepu. Memang benar kata pepatah kalau dunia tak selebar daun kelor. Sempit banget. Di dunia yang asing bagiku, di dalam bus jurusan Jember, aku ketemu huruf 4L. Lu lagi lu lagi...
Dudukku pun geser ke kursi belakang yang kosong melompong, karena kabin cuma “isi” delapan nyawa. Musim sepi penumpang tampaknya belum juga berlalu.
Awalnya, sohibku dulu habitatnya ya seluas Pulogadung. Pulang pergi Pati bersandar pada terminal AKAP tertua di Jakarta itu.
Satu kali, dia bercerita. Setelah pulang tugas dari Makasar, sebelum tengah hari sudah mendarat di Jakarta. Dia berencana pulang ke Pati, namun akhirnya terkatung-katung menunggu pemberangkatan bus langganannya, PO Nusantara, yang take off jam empat sore.
Aku pun menyarankan untuk naik bus timur-an, baik Malang, Surabaya, Jember, atau Denpasar, dari Rawamangun, yang mulai ngetan jam 13.00. Soal harga tiket, juga negotiable. Sejak itu, ketika ada kebebasan waktu, dia menggunakan bus-bus yang membawahi trayek tersebut.
Bahkan, dia berkisah pernah naik Marcopolo-nya Pak Soerbhakti, bahkan sudah tiga kali ini naik Akas Asri. Hehehe…aku kalah berani.
Akhirnya, gara-gara keasyikan ngobrol dengannya, sampai melupakan performa dan detail peristiwa on board dari bus bermarga Mercy ini hingga daerah Pamanukan.
Berhubung temanku mulai mengantuk, aku berusaha menikmati perjalanan tak biasanya ini.
Buta Tiga
Pertama, yang membuatku buta teknologi adalah mesin yang dipakai. Sebelum meninggalkan terminal, mulanya aku mengira spesies Intercooler, OH 1521. Namun, melihat kenyataan bentuk selubung air filternya dengan sistem diikat klamp, bukan model baut, aku jadi corious, jangan-jangan ini OH King yang dimodif transmisinya menjadi 7 speed. Aku jadi ingat SMS Mas Hary, kalau “Jeng Asri” punya OH 1518 oprekan. Jangan-jangan ini bus-nya. Karena, setiap kali driver melakukan over persneling, pedal kopling digantung setengah, dibleyer agar napas tarikannya bisa panjang, tidak sampai ngedrop. Dan semoga saja dugaanku benar.
Tak beda dengan Akas IV yang aku naiki sebelumnya, bus berkaroseri Old Travego ini cukup terawat, baik body, interior maupun mesinnya. Peran Asrimbudz, mantan dirut AA yang sekarang demosi menjadi tukang cuci bus patut dicatat dengan tinta cumi-cumi. Hahahaii…
Soal kenyamanan, tak usah disanggah. Deret kursi hanya 7 row, jok lembut Alldila dan dilengkapi smooking area. Suspensinya masih empuk, khas kenyamanan bus-bus buatan pabrikan Jerman tempo doeloe. Dan kembali, aku buta soal siapa penjahit busananya, karena tiada emblem perusahaan karoseri. Adi Putro, SNW ataukah Dafi Putra? Tapi, aku yakin, melihat lekuk bumper depannya dan lampu H-beam, jelas itu ciri khas produk karoseri berlogo ksatria menunggang kuda.
Tapi soal speed dan determinasi, tak usah diragukan cerita para penumpang yang pernah naik sebelumnya. Ditunjang handling setir yang smooth dari pengemudinya, benar-benar nyaris sempurna di mata seorang busmania.
Selepas jembatan Pamanukan, satu persatu bus lain dilengserkan dari barisan depan. Dimulai dari Tunggal Daya kode 63, Purwo Widodo Prestige, Sinar Jaya 71VX, serta Langsung Jaya Sakinah.
Di Lohbener, bus yang berkantor pusat di Jember ini men-service makan penumpangnya di RM Singgalang Raya. Dua bulan terakhir, tiga kali aku dijamu di sini. Saat naik Malino Putra Malang, Kramat Djati Madura dan AA ini. Nah, jadi buta lagi. Bukannya biasanya di RM Ramah Tamah atau Aroma Losari? Sudah pindahkah ke lain hati?
The Real Battle
Baru menapak di jalan raya, harta warisan mendiang Pak Tingok ini langsung disalip Pahala Kencana Madura. Yup, kesempatan menyaksikan geliat Ombak Biru pascademo besar-besaran kru Jakarta. Ada perubahankah?
That’s right, bus make over-an Centralindo itu benar-benar tangguh. Secepat cheetah larinya, segesit kijang ketika diburu. Saat Akas Asri ancang-ancang men-take over, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, sehingga membatasi jarak pandang. Walhasil, sangat riskan menyalip dan pengemudi mengurungkan niatnya. Karena paham kalau bus B 7389 PV susah disalip, pengemudi memutuskan untuk menguntit di belakangnya. Berdua berkonvoi rapat, menaklukkan Sinar Jaya 88VX, Putra Luragung Gunung Siang, dua bus Dedy Jaya Djibless Purwodadi dan Handoyo Prestige Tri Sakti.
Masuk Tol Panci, hujan telah reda. Dan baru kali ini, aku naik bus malam lewat tol baru, ruas Kanci-Pejagan. Jalan bebas hambatan yang dibangun tangan-tangan Imperium Bakrie masih sepi dan minim penerangan. Di jalan beton ini, driver I (belum ganti meski sudah break di rumah makan) kembali bermaksud mendahului Laskar Sakera. Tapi lagi-lagi diselamatkan guyuran hujan lebat. Tak ayal, mundur lagi. Seolah, alam melindungi Pahala Kencana dari kekalahan.
Tak dinyana, lampu dim menyorot tajam dari sisi kiri. Tak tahunya, Pahala Kencana Jupiter Tentrem jurusan Jember, berdapur pacu Hino RK8. Tak mengindahkan kondisi jalan basah, dengan entengnya menyalip kemampuan maksimal kinerja mesin King dan RG. Wah…mesin baru tak bisa menipu.
Sekeluar dari lintasan rel Pejagan, bertiga berparade malam, tanpa pernah berpindah urutan, mengingatkan habit driver Surabaya-Jakarta jaman baheula. Namun, kebersamaan ini berakhir di pos kontrol Pahala Kencana Kota Warteg. Terlihat satu armada Madura perpal dan penumpangnya menunggu dioper.
Kesimpulanku satu, PK chapter Jakarta makin mengkilap…
Busku jadi single fighter, bus kesepian. Di satu perempatan jalan Kota Tegal, sopir bertukar tempat saat lampu menyala merah.
Tiba-tiba…wusss…. Dari sebelah kanan secara serampangan lewat Haryanto Madura, mengambil jalur berlawanan, saat lampu baru sedetik berganti hijau. Aku hapal, memang itulah tabiat sopir Kudus-an. Lampu merah berarti ambil jalur kanan, dan siap-siap nyolong start.
Untunglah, sopir II lebih greget memainkan kemudi. Sejurus kemudian, ditempelnya bus yang dinaiki rombongan Mas Rully cs waktu tandang ke pulau garam. Memang tak kalah licin bak belut Si Kopral ini. Bus ikon Kota Probolinggo ini hanya bisa sesak nafas, menghirup asap residu berstandar euro 3. Jangan-jangan Pak Yudi yang bawa si biru ya?
Dari atas tempat duduk, aku hanya jadi saksi kedigdayaan B 7677 IG. Sudah kencang, lincah dan setengah gila style-nya. Apa ngga bikin meradang pemain-pemain lama jalur Madura-an? Dan semoga, tetangga-tetangga Mas Faizi Guluk-Guluk memang menyukai tipikal bus yang demikian.
Akas Asriku harus bercermin diri. Tak mungkin bisa memforsis sisa-sisa kekuatan yang sudah melewati top performance beberapa tahun silam. Cukup mengekor dan jangan sampai hilangan pandangan memotret pantat Si Cakil dari Tangerang. Buktinya, sampai Pekalongan gapnya tidak pernah lebih dari 500 m. Dan yang jadi korban daya jelajah dua bus lintas jaman itu adalah SJ Star Bus 36XL, Timbul Jaya Al Amin, Haryanto Avant Garde Madura serta Coyo Laksana Comfort, Tegal-Semarang.
Akhirnya, peluang itu datang. Saat New Marcopolo bersticker 5DURA (maksudnya Asli Madura kali ya?) dan komunitas kebanggaan kita, BMC, salah ambil jalur di traffic light sebelum masuk Kota Batik, bus ber-livery jilatan grafis merah, hitam dan abu-abu melakukan revenge. Direnggutnya jalur berlawanan sambil menunggu tempo lampu menyala hijau. Dan berhasil “aksi kotornya”. Haryanto ditinggal dan tercecer jauh di belakang terhalang barisan truk-truk angkutan barang. Air tuba dibalas dengan air tuba….
Dan kembali, sepi. Sorangan wae…
Dan tak diduga lagi, tiba-tiba puluhan nyala lampu led biru khas lampu Marcopolo muncul dari jalan pertigaan dan secara paksa masuk di depan prajurit Akas II ini. Loh, asyem… Haryanto nyuri jalan pintas pasti. Hahaha…te-o-pe be-ge-te…kuakui, selain ngejos, nahkodanya juga cerdik, ngeyel dan tak mau kalah.
Untunglah, Kopral njiper pada aparat Dinas Perhubungan Kabupaten-nya Mas Dadiek ketika digiring masuk terminal. Sementara AA bandel, langsung lurus menerobos lambaian tangan petugas berseragam biru laut.
Bye…bye... Cakil, welcome Akas Asri winning. We are the champion. Biar tidak jantan cara meraih kemenangannya, tapi sah-sah aja kok…
Winning Ending
Bus dikebut lagi, seolah tak ingin lagi disusul. Menjelang masuk area angker Alas Roban, sempat menyungkurkan MB OH 1525 KE-550, Karina Sumenep. Mantap memang armada hasil gemblengan Si Budi ini.
Dari Jakarta, aku belum sampai tidur mencumbui eksotisme prasasti berjalan H. Karman Amat ini. Tak rugi ngeblong jam kerja demi mengambangkan rasa penasaranku akan elok pesona Group Akas. Zzz…aku pun lelap dalam peraduan.
“Mas, aku turun dulu. Sampai ketemu nanti…” kata perpisahan dari teman Pati-ku, yang dulu pernah posting di milist bismania kita, yang berarti dia member BMC juga, saat membangunkan aku.
Aku tak lagi meneruskan tidurku, karena Rembang tinggal “sejengkal”. Finally, jam 00.17, bus kelas eksekutif ini berlabuh di bumi Dampo Awang.
Kusadari, catatan best time Kramat Djati Madura hanya berumur satu bulan, dipatahkan kehebatan Akas Asri. Only 11 hours 2 minutes. What an amazing journey…!!!
Genap sudah aku menjalani bulan Akas ini. Tak terbantahkan lagi, PO yang berdiri tahun 1956, yang masa jayanya dulu memiliki 3000-an unit armada, memang masih mempesona, meski saat ini hanya bisa dirasakan puing-puingnya.
H. Karman Amat memang fenomenal. Berawal dari bengkel rumahan, berkembang mengelola angkutan pedesaan di kampungnya hingga bisnis kecil-kecilan paket surat, lambat laun menjelma menjadi raksana transportasi bus di Pulau Jawa. Beliaulah yang menyihir dan memberi warna terang bagi deru operasional bus tanah air. Beliaulah yang menginspirasi pengusaha-pengusaha PO lokal dalam menjalankan roda usahanya.
Buah tetesan keringatnya, siapa kini yang tak kenal nama Akas?
Dan masyarakat transportasi pantas menjunjung H. Karman Amat, sangat layak didudukkan pada singgasana agung, disematkan gelar jawara dan legenda dunia bus Indonesia.
One thousand thumps for Akas…