Selasa, 23 Februari 2010

Jejak Pesona H. Karman Amat (2)


Karena Hutang Budi
Merasa berhutang budi dengan “kebaikan” PO Akas Patas Semarang-Banyuwangi, aku pun berjanji menjadikan bulan Februari ini adalah bulan Akas. Ada satu trayek Akas Group yang bisa berdamai dengan rute perjalanan mingguanku. Apalagi kalau bukan PO Akas Asri, Jakarta-Jember.

Sebenarnya, aku berkali-kali berencana naik bus ini, namun berkali-kali itu pula gagal. Dari mulai tiket sold out, waktu yang tiba-tiba tidak berpihak di saat mau bepergian atau terlambat datang di Terminal Rawamangun.

Sudah menjadi tekad, tentu sekuat tenaga aku akan mewujudkannya.

Jumat (19/2), sekitar jam satu siang, kaki ini sudah berdiri di pintu masuk Rawamangun. Kondisi terminal cukup ramai. Di slot Pahala Kencana, ada tiga armada, dua Jupiter (Denpasar dan Jember) dan Proteus (Jember).

Di sisi lintasan yang lain, skuad Ijo menyumbang dua armada, RS Evolution jurusan Padang dan Marcopolo LE-450 Banyuwangi. Lorena ini yang sebenarnya menggodaku, tapi kesetiaan tekad berbicara, aku tak mau berpaling dari rencana semula.

Selebihnya diisi dua unit Laju Prima, Sari Harum, ANS, Pelangi dan Kramat Djati. Dan tentu saja, yang aku incar selama ini, Akas Asri (AA).

“Mas, mau kemana?” tanya calo beruniform Akas Asri, saat aku menghampiri armadanya.
“Rembang boleh, Mas?” balasku.
“Ayo Mas…”
“Berapa tiketnya?”

Mas Nanang, personel ticketing pun dipanggil oleh anak buahnya.

“160 Mas…,” jelas Mas Nanang kepadaku.
“Wah, apa ngga 150 saja Mas. Saya kemarin ditawari Kramat segitu turun Rembang,” rayuku.
“Ya sudah Mas, mestinya itu sih harga Semarang”

Hmm…bahasa agen yang tak asing bagiku. Biar penumpang menangkap kesan tarif bus yang dinaiki murah.

“Cepat naik ya Mas, sebentar lagi berangkat!” sesaat selesai transaksi. Ditempatkannya aku diposisi 1D, belakang kanan kursi pengemudi.

Kudaki tangga pintu Akas Asri dengan tanda registrasi dari kepolisian, berseri N 7273 UR.


Baru saja meletakkan tas di bagasi atas dan hendak duduk, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sahutan.

“Mas Edhi…”

Loh, siapa penumpang AA yang kenal aku? Kucari sumber suaranya.

Ya ampun, teman komuterku yang mau pulang ke Pati. Aku ketemu, kenal dan akrab dengannya karena sering bareng naik NS 39 Pulogadung-Cepu. Memang benar kata pepatah kalau dunia tak selebar daun kelor. Sempit banget. Di dunia yang asing bagiku, di dalam bus jurusan Jember, aku ketemu huruf 4L. Lu lagi lu lagi... 

Dudukku pun geser ke kursi belakang yang kosong melompong, karena kabin cuma “isi” delapan nyawa. Musim sepi penumpang tampaknya belum juga berlalu.

Awalnya, sohibku dulu habitatnya ya seluas Pulogadung. Pulang pergi Pati bersandar pada terminal AKAP tertua di Jakarta itu.

Satu kali, dia bercerita. Setelah pulang tugas dari Makasar, sebelum tengah hari sudah mendarat di Jakarta. Dia berencana pulang ke Pati, namun akhirnya terkatung-katung menunggu pemberangkatan bus langganannya, PO Nusantara, yang take off jam empat sore.

Aku pun menyarankan untuk naik bus timur-an, baik Malang, Surabaya, Jember, atau Denpasar, dari Rawamangun, yang mulai ngetan jam 13.00. Soal harga tiket, juga negotiable. Sejak itu, ketika ada kebebasan waktu, dia menggunakan bus-bus yang membawahi trayek tersebut.

Bahkan, dia berkisah pernah naik Marcopolo-nya Pak Soerbhakti, bahkan sudah tiga kali ini naik Akas Asri. Hehehe…aku kalah berani.

Akhirnya, gara-gara keasyikan ngobrol dengannya, sampai melupakan performa dan detail peristiwa on board dari bus bermarga Mercy ini hingga daerah Pamanukan.

Berhubung temanku mulai mengantuk, aku berusaha menikmati perjalanan tak biasanya ini.

Buta Tiga
Pertama, yang membuatku buta teknologi adalah mesin yang dipakai. Sebelum meninggalkan terminal, mulanya aku mengira spesies Intercooler, OH 1521. Namun, melihat kenyataan bentuk selubung air filternya dengan sistem diikat klamp, bukan model baut, aku jadi corious, jangan-jangan ini OH King yang dimodif transmisinya menjadi 7 speed. Aku jadi ingat SMS Mas Hary, kalau “Jeng Asri” punya OH 1518 oprekan. Jangan-jangan ini bus-nya. Karena, setiap kali driver melakukan over persneling, pedal kopling digantung setengah, dibleyer agar napas tarikannya bisa panjang, tidak sampai ngedrop. Dan semoga saja dugaanku benar.

Tak beda dengan Akas IV yang aku naiki sebelumnya, bus berkaroseri Old Travego ini cukup terawat, baik body, interior maupun mesinnya. Peran Asrimbudz, mantan dirut AA yang sekarang demosi menjadi tukang cuci bus patut dicatat dengan tinta cumi-cumi. Hahahaii…

Soal kenyamanan, tak usah disanggah. Deret kursi hanya 7 row, jok lembut Alldila dan dilengkapi smooking area. Suspensinya masih empuk, khas kenyamanan bus-bus buatan pabrikan Jerman tempo doeloe. Dan kembali, aku buta soal siapa penjahit busananya, karena tiada emblem perusahaan karoseri. Adi Putro, SNW ataukah Dafi Putra? Tapi, aku yakin, melihat lekuk bumper depannya dan lampu H-beam, jelas itu ciri khas produk karoseri berlogo ksatria menunggang kuda.

Tapi soal speed dan determinasi, tak usah diragukan cerita para penumpang yang pernah naik sebelumnya. Ditunjang handling setir yang smooth dari pengemudinya, benar-benar nyaris sempurna di mata seorang busmania.

Selepas jembatan Pamanukan, satu persatu bus lain dilengserkan dari barisan depan. Dimulai dari Tunggal Daya kode 63, Purwo Widodo Prestige, Sinar Jaya 71VX, serta Langsung Jaya Sakinah.

Di Lohbener, bus yang berkantor pusat di Jember ini men-service makan penumpangnya di RM Singgalang Raya. Dua bulan terakhir, tiga kali aku dijamu di sini. Saat naik Malino Putra Malang, Kramat Djati Madura dan AA ini. Nah, jadi buta lagi. Bukannya biasanya di RM Ramah Tamah atau Aroma Losari? Sudah pindahkah ke lain hati?

The Real Battle
Baru menapak di jalan raya, harta warisan mendiang Pak Tingok ini langsung disalip Pahala Kencana Madura. Yup, kesempatan menyaksikan geliat Ombak Biru pascademo besar-besaran kru Jakarta. Ada perubahankah?

That’s right, bus make over-an Centralindo itu benar-benar tangguh. Secepat cheetah larinya, segesit kijang ketika diburu. Saat Akas Asri ancang-ancang men-take over, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, sehingga membatasi jarak pandang. Walhasil, sangat riskan menyalip dan pengemudi mengurungkan niatnya. Karena paham kalau bus B 7389 PV susah disalip, pengemudi memutuskan untuk menguntit di belakangnya. Berdua berkonvoi rapat, menaklukkan Sinar Jaya 88VX, Putra Luragung Gunung Siang, dua bus Dedy Jaya Djibless Purwodadi dan Handoyo Prestige Tri Sakti.

Masuk Tol Panci, hujan telah reda. Dan baru kali ini, aku naik bus malam lewat tol baru, ruas Kanci-Pejagan. Jalan bebas hambatan yang dibangun tangan-tangan Imperium Bakrie masih sepi dan minim penerangan. Di jalan beton ini, driver I (belum ganti meski sudah break di rumah makan) kembali bermaksud mendahului Laskar Sakera. Tapi lagi-lagi diselamatkan guyuran hujan lebat. Tak ayal, mundur lagi. Seolah, alam melindungi Pahala Kencana dari kekalahan.

Tak dinyana, lampu dim menyorot tajam dari sisi kiri. Tak tahunya, Pahala Kencana Jupiter Tentrem jurusan Jember, berdapur pacu Hino RK8. Tak mengindahkan kondisi jalan basah, dengan entengnya menyalip kemampuan maksimal kinerja mesin King dan RG. Wah…mesin baru tak bisa menipu.

Sekeluar dari lintasan rel Pejagan, bertiga berparade malam, tanpa pernah berpindah urutan, mengingatkan habit driver Surabaya-Jakarta jaman baheula. Namun, kebersamaan ini berakhir di pos kontrol Pahala Kencana Kota Warteg. Terlihat satu armada Madura perpal dan penumpangnya menunggu dioper.

Kesimpulanku satu, PK chapter Jakarta makin mengkilap…

Busku jadi single fighter, bus kesepian. Di satu perempatan jalan Kota Tegal, sopir bertukar tempat saat lampu menyala merah.

Tiba-tiba…wusss…. Dari sebelah kanan secara serampangan lewat Haryanto Madura, mengambil jalur berlawanan, saat lampu baru sedetik berganti hijau. Aku hapal, memang itulah tabiat sopir Kudus-an. Lampu merah berarti ambil jalur kanan, dan siap-siap nyolong start.

Untunglah, sopir II lebih greget memainkan kemudi. Sejurus kemudian, ditempelnya bus yang dinaiki rombongan Mas Rully cs waktu tandang ke pulau garam. Memang tak kalah licin bak belut Si Kopral ini. Bus ikon Kota Probolinggo ini hanya bisa sesak nafas, menghirup asap residu berstandar euro 3. Jangan-jangan Pak Yudi yang bawa si biru ya?

Dari atas tempat duduk, aku hanya jadi saksi kedigdayaan B 7677 IG. Sudah kencang, lincah dan setengah gila style-nya. Apa ngga bikin meradang pemain-pemain lama jalur Madura-an? Dan semoga, tetangga-tetangga Mas Faizi Guluk-Guluk memang menyukai tipikal bus yang demikian.

Akas Asriku harus bercermin diri. Tak mungkin bisa memforsis sisa-sisa kekuatan yang sudah melewati top performance beberapa tahun silam. Cukup mengekor dan jangan sampai hilangan pandangan memotret pantat Si Cakil dari Tangerang. Buktinya, sampai Pekalongan gapnya tidak pernah lebih dari 500 m. Dan yang jadi korban daya jelajah dua bus lintas jaman itu adalah SJ Star Bus 36XL, Timbul Jaya Al Amin, Haryanto Avant Garde Madura serta Coyo Laksana Comfort, Tegal-Semarang.

Akhirnya, peluang itu datang. Saat New Marcopolo bersticker 5DURA (maksudnya Asli Madura kali ya?) dan komunitas kebanggaan kita, BMC, salah ambil jalur di traffic light sebelum masuk Kota Batik, bus ber-livery jilatan grafis merah, hitam dan abu-abu melakukan revenge. Direnggutnya jalur berlawanan sambil menunggu tempo lampu menyala hijau. Dan berhasil “aksi kotornya”. Haryanto ditinggal dan tercecer jauh di belakang terhalang barisan truk-truk angkutan barang. Air tuba dibalas dengan air tuba….

Dan kembali, sepi. Sorangan wae…

Dan tak diduga lagi, tiba-tiba puluhan nyala lampu led biru khas lampu Marcopolo muncul dari jalan pertigaan dan secara paksa masuk di depan prajurit Akas II ini. Loh, asyem… Haryanto nyuri jalan pintas pasti. Hahaha…te-o-pe be-ge-te…kuakui, selain ngejos, nahkodanya juga cerdik, ngeyel dan tak mau kalah.

Untunglah, Kopral njiper pada aparat Dinas Perhubungan Kabupaten-nya Mas Dadiek ketika digiring masuk terminal. Sementara AA bandel, langsung lurus menerobos lambaian tangan petugas berseragam biru laut.

Bye…bye... Cakil, welcome Akas Asri winning. We are the champion. Biar tidak jantan cara meraih kemenangannya, tapi sah-sah aja kok…

Winning Ending

Bus dikebut lagi, seolah tak ingin lagi disusul. Menjelang masuk area angker Alas Roban, sempat menyungkurkan MB OH 1525 KE-550, Karina Sumenep. Mantap memang armada hasil gemblengan Si Budi ini.

Dari Jakarta, aku belum sampai tidur mencumbui eksotisme prasasti berjalan H. Karman Amat ini. Tak rugi ngeblong jam kerja demi mengambangkan rasa penasaranku akan elok pesona Group Akas. Zzz…aku pun lelap dalam peraduan.

“Mas, aku turun dulu. Sampai ketemu nanti…” kata perpisahan dari teman Pati-ku, yang dulu pernah posting di milist bismania kita, yang berarti dia member BMC juga, saat membangunkan aku.

Aku tak lagi meneruskan tidurku, karena Rembang tinggal “sejengkal”. Finally, jam 00.17, bus kelas eksekutif ini berlabuh di bumi Dampo Awang.

Kusadari, catatan best time Kramat Djati Madura hanya berumur satu bulan, dipatahkan kehebatan Akas Asri. Only 11 hours 2 minutes. What an amazing journey…!!!


Genap sudah aku menjalani bulan Akas ini. Tak terbantahkan lagi, PO yang berdiri tahun 1956, yang masa jayanya dulu memiliki 3000-an unit armada, memang masih mempesona, meski saat ini hanya bisa dirasakan puing-puingnya.

H. Karman Amat memang fenomenal. Berawal dari bengkel rumahan, berkembang mengelola angkutan pedesaan di kampungnya hingga bisnis kecil-kecilan paket surat, lambat laun menjelma menjadi raksana transportasi bus di Pulau Jawa. Beliaulah yang menyihir dan memberi warna terang bagi deru operasional bus tanah air. Beliaulah yang menginspirasi pengusaha-pengusaha PO lokal dalam menjalankan roda usahanya.

Buah tetesan keringatnya, siapa kini yang tak kenal nama Akas?
Dan masyarakat transportasi pantas menjunjung H. Karman Amat, sangat layak didudukkan pada singgasana agung, disematkan gelar jawara dan legenda dunia bus Indonesia.

One thousand thumps for Akas…

Jejak Pesona H. Karman Amat (1)


Berjodoh dengan Akas
Sesaat setelah turun dari Kereta Argo Muria,

“Sampai mana, Dik?” tanya ibuku di ujung telepon.
“Semarang, Bu. Kira-kira dua jam lagi sampai Pati,”
“Ini istrimu sudah masuk ruang persalinan. Doakan yang terbaik buat semuanya.”

Duh…dada kian bergemuruh, detak jantung berdebar makin kencang menanti saat-saat anak keduaku terlahir.

Ya Allah, haruskah cerita kelahiran Naura terulang. Apakah hamba akan”missed” kembali menemani istri di saat persalinannya. Ya Allah, jika Engkau berkenan, berilah hamba kesempatan. Anugrahkanlah waktu yang memihak pada hamba untuk menunggui pendamping hamba berjuang hidup mati melahirkan jabang bayi ke dunia-Mu ini. Sudah sejauh ini perjalanan hamba dari Jakarta, berikanlah waktu barang sebentar agar anakku “ babar” setelah Bapaknya tiba, pintaku dalam doa nan khusyuk.

Dan sebuah harga mati yang mesti kutebus, aku harus berupaya secepat mungkin mencapai kota-nya peramal nasib nan beken itu, Mbah Roso.

Ingat akan petuah temanku untuk menyewa taksi saja. Tapi dia wanti-wanti, kalau bukan Blue Bird jangan bertaruh dengan taksi abal-abal.

Bergegas ke pelataran parkir Stasiun Tawang, kususuri setiap area tempat taksi Kota Atlas ini mangkal. Nihil, tak satupun terlihat armada milik generasi penerus Prof. Djokosoetono SH ini.

Kupercepat langkah ke pinggir jalan besar, berharap ada “burung biru” melintas. Tiga taksi lewat, tapi semuanya dalam status “reserved”.

Gambling langkah saja ah, naik angkutan kota ke Terboyo, bujuk batinku.

Dalam kepanikan, kunaiki angkutan jurusan Genuk yang kebetulan menurunkan penumpang di dekatku.

“Kalau ada taksi atau nanti lewat pangkalan taksi blue bird, tolong bantu nyetop ya Pak. Saya ada urusan penting, buru-buru mau ke Pati,” mohonku kepada yang mengemudikan angkot tua ini.

Mendekati Terminal Terboyo, ada taksi yang kumaksud berbelok menuju RS Sultan Agung dan angkot merah-ku segera berhenti.

“Pak…Pak…ada penumpang mau ke Pati,” seru Bapak Sopir kepada pengemudi taksi.
“Maaf Pak, ini sudah pesanan pasien rumah sakit.” balasnya lewat kaca pintu Toyota Limo yang setengah terbuka

Ya Allah, inikah sinyal ketidakberpihakan waktu kepadaku.

“Mas, naik bus saja, tapi yang Suroboyo-an. Cepat juga kok kalau masih siang begini. Nanti saya turunkan di pintu keluar Terboyo. Kalau ditanya calo jangan bilang turun Pati, nanti dipaksa naik Lasem-an.”

Aku mengangguk-angguk mendengarkan trik dan tipsnya. Hanya kalimat terima kasih kusanjungkan kepada Bapak paruh bayah ini. Seorang sopir yang murah hati memandu perjalanan sempitku.

“Kemana, Mas?” tanya seorang timer sejurus setelah kakiku turun dari minilet berjenis Suzuki Carry tersebut.
“Tuban…,” jawabku sekenanya. Biarlah aku berdosa karena berbohong, daripada aku aku harus menanggung konsekuensi pahit dinaikin bus bumel Nusantara yang sedang ngetem.

Tak lama, bus bergambar rombongan kabilah arab menunggang onta itu take off, karena disundul slot time bus di belakangnya, PO Ikha Jaya.

Duh, mana bus-bus Jawa Timur-an. Biasanya gampang tertangkap mata wira-wiri di jalanan, ini kok lama sekali. Mana Jayut, Sinar Mandiri, Widji, Indonesia, Restu? Apa kalau ditunggu-tunggu, dia malah lama lewatnya, hatiku mulai meronta ditindih ketidaksabaran.

Sepuluh menit kemudian…tampaklah Akas Patas trayek Semarang-Banyuwangi. Lho, kok malah Akas?

Terus terang, aku kurang tahu reputasi bus Akas di jalur Semarang-Surabaya. Termasuk bus banterkah? Bisa diandalkan memangkas waktu? Atau cuma pelengkap penderita, hanya kaum minoritas dan jadi bulan-bulanan PO yang bersinggungan trayek di jalur ketat ini?

“Boyo…boyo…Tuban…Tuban….,” teriak lantang kenek dari balik pintu depan.

Bagaimana ya, haruskah aku membeli kucing dalam karung? Tapi ingat nasehat sopir angkot tadi, kalau siang bus ngetan banter jalannya.

The Great Bus

Bismillah, semoga bukan bus lelet dan tak banyak ngetem. Aku pun bersandar penuh pada bus bermodel Setra buatan Tri Sakti ini untuk mewujudkan harapanku. Sekilas, kutatap sekujur tubuhnya yang masih mulus, meski terhitung sudah uzur dimakan usia.

Salut, kabinnya OK punya. Bersih, lapang, wangi dan AC mumpuni mengusir hawa terik sore ini. Cukup-cukup terawat. Seat cuma terisi 15 penumpang, dari kapasitas 50-an penumpang.

Pedal gas diinjak perlahan, pelan tapi pasti, makin lama makin dihela di jalan pantura. Lumayan, biar mesin tua, entah generasi OH Prima atau King ini, armada di bawah payung Akas IV ini larinya ngibrit juga. Mesin halus, ngacir dan bisa digeber habis. Dan dari cerita di milist, PO Akas memang jago dan gape ngopeni armada-armada oldish-nya.

Sayangnya, waktu aku membayar ongkos Rp.10.000,00, kondektur tidak memberikan karcis. Hiks, uangku akan ditilep oleh kru? Sudah ah, bukan urusanku. Aku sedang kalut, pikiranku sekarang tertuju pada istriku. Pasti dia juga berharap banyak suaminya akan cepat datang.

Rute Semarang-Kudus begitu mudah dilibasnya, dan hanya perlu waktu tempuh 50 menit. Di Demak, bus Nusantara di depannya berhasil disalip. Tak salah pilih memang aku dipertemukan dengan bus berkelas AC Tarif Biasa ini. Semoga di Terminal Kudus tidak ngetem, mengais-ngais penumpang.

Dan benar adanya. Cuma absen, dan langsung melenggang keluar terminal. Pedagang asongan pun tak sempat menjajakan dagangannya secara bebas. Dan puji syukur, Yang Kuasa mengabulkan asaku.

Tapi tetap saja, hatiku menampik lancarnya perjalanan ini. Masih kurang cepat. Ah..., aku harus meredam dan berdamai dengan kekisruhan alam pikiranku sendiri.

Dari pertama berangkat, bus hanya menaikkan dua penumpang di perempatan Tanjung, Kudus. Selebihnya, roda bus terus berputar tanpa henti. Minim pendapatan memang kalau diukur dari jumlah penumpang.

Lalu lintas di ruas Kudus-Pati begitu padat. Bus pun hanya bisa jalan merayap. Tak jadi apa, jarak sudah semakin dekat.

“Gimana Bu, sudah lahir belum?”, kutelepon kembali ibuku untuk memastikan kondisi istriku.
“Belum, Dik. Sudah bukaan tujuh ini…”

Pasti terkejar…pasti terkejar…Aku memberi semangat pada diri sendiri.

At last, pukul 16.15, aku pun turun di depan KSH (Keluarga Sehat Hospital) Pati, yang terletak persis di pinggir jalan raya. Dan kontribusi PO peninggalan H. Karman Amat ini luar biasa, mampu menyingkat perjalanan akhirku. Hanya memakan waktu 1 jam 20 menit untuk melahap gap 68 km, Semarang-Pati.

Segera berlari menuju lantai III, tempat ruang persalinan berada dan…amazing!!! Momennya bertepatan dengan peak time fase menjelang kelahiran si kecil. Meski akhirnya istriku harus menjalani operasi sectio caesario, gagal setelah dicoba dengan persalinan normal dikarenakan posisi janin yang tidak on position serta bobot bayi yang besar, setidaknya aku sempat memberikan peran, support dan empatiku sebagai pendamping, melecutkan semangat dan menguatkan mental pasanganku saat berjuang terbebas dari masa sulit, menghadirkan buah cinta kami berdua menghirup nafas dunia untuk kali pertama. Aku bangga, pernah merasakan bagaimana mengharu birunya perasaan seorang suami berdiri di sebelah istri ketika menghadapi perang kubro, melahirkan seorang calon insan manusia.

Dan satu yang pasti, nama Akas akan selalu kukenang, bersama busway Pulogadung-Kalideres, ojeg Pasar Senen-Gambir, Kereta Argo Muria dan Angkot Johar-Genuk, yang berjasa besar meloloskan aku dari lubang jarum yang bernama dead zone, mengejar detik-detik kehadiran anak keduaku, menyempurnakan gelar sejati sebagai seorang Bapak bagi duo putri kecilku.

(*Maaf, saya tidak sempat mengambil foto busnya. Semua serba tergesa-gesa. Kalau ada yang menyimpan gambar bus Akas IV model Setra Tri Sakti, ijinkan saya untuk dibagi. Beribu terima kasih atas bantuannya…)

Senin, 22 Februari 2010

Artha Jaya, Pencipta “Virus Muria”?


Dalam persepsi entitas pengguna bus, armada bus malam dari ranah Muria Raya (Jepara, Kudus, Demak, Pati dan Rembang) identik dengan kemewahan armada, good service, speedfull, high determination, aksi demonstratif di jalan serta gengsi gede-gedean sesama pengusaha PO. Inilah karakter unik yang tak dipunya daerah lain, yang kerap disebut “virus muria”.

Menanggapi virus ganas yang bersifat regeneratif dan akhirnya memberi warna deru operasional bus-bus dari lereng Gunung Muria, di dalam hati ini tergelitik pertanyaan, siapa pertama kali pencipta virus penyebab bus-bus Kudus-an terkesan glamour, wah dan tak ada matinya? Siapa peletak dasar standar minimal pelayanan bagi penumpang, untuk mengakomodir karakter sosial budaya masyarakat pesisir timur Jawa Tengah?

Saya tidak tahu persis jawabannya, karena tak satupun dokumen sejarah atau artefak monumental yang mencatatnya. Namun, obrolan dengan tetangga sebelah rumah yang 25 tahun silam pernah menjalani komuter Rembang-Jakarta, bisa sedikit mendatangkan pencerahan.

Teman saya bercerita, awal tahun 80-an jalur Kudus-Jakarta masih kategori sepi. Bukan karena sepi penumpang, – karena waktu itu sudah banyak warga yang merantau ke ibukota - tapi sepi armada. Justru yang ramai adalah jalur jarak jauh, Jakarta-Surabaya atau Jakarta-Malang. Imbasnya, calon penumpang harus “lari” ke Semarang, bila hendak ke Jakarta, karena jumlah bus sangatlah terbatas. Begitu pun sebaliknya.

Pelan tapi pasti, peluang ini diendus oleh salah seorang pengusaha dari Lasem, bernama Bing Soenarso. Pengusaha etnis Tiongha ini mendirikan PO yang dilabeli nama Artha Jaya, yang artinya uang (dikonotasikan rejeki) yang akan terus berjaya. Membuka bus malam dengan trayek Lasem-Jakarta dan Cepu-Jakarta. Bekal Om Bing sendiri adalah modal pengalaman mengelola bisnis transportasi angkutan ekspedisi barang.

Awalnya, Artha Jaya hanya menyediakan bis malam non AC, dengan mesin Mercedes Benz mesin depan (seri OF) berkaroseri Morodadi. Namun, penyediaan armada seperti ini kurang mendapat respon positif dari pasar, karena aspek sosio-cultural masyarakat Jawa Tengah bagian timur yang maunya kelihatan begaya saat pulang kampung atau balik ke Jakarta, termasuk pula dalam urusan armada yang akan dinaikinya.

Akhirnya, era mesin depan diakhiri dan digantikan mesin belakang (OH Prima), dilengkapi pendingin udara dan toilet, serta urusan karoseri tetap mempercayakan pihak Morodadi. Livery-nya pun masih gampang diingat sampai sekarang, berupa garis-garis tegas berwarna coklat tua dikombinasikan coklat muda, dengan background warna aurora white. Logo Artha Jaya mirip logo maskapai penerbangan Singapura, SIA.

Inilah era dimulainya bus malam Kudus-an bermesin belakang, produk Eropa dengan fasilitas AC dan toilet, dengan busana dari karoseri berkelas dan corak body mesti goodlooking.

Sohib saya juga menuturkan, dulu, soal attitude, driver-driver Artha Jaya tak kalah pamor bila head to head dengan penguasa jalur Jakarta-Surabaya, PO Lorena. Mereka berani adu kencang, bahkan meladeni setiap aksi penuh kecepatan PO yang melegenda tersebut. Toh, soal mesin dan karoseri tak kalah. Hasilnya, selalu tiba di tempat sebelum matahari terbit, baik saat di Jakarta atau di Rembang. Bahkan kabarnya Artha Jaya cukup disegani di jalan, sebagai raja kecil dari Lasem. Style driver yang suka ngebut pun tak lepas dari “kompor meleduk” para penumpang, yang tak ingin busnnya kalah bersaing dengan bus jarak jauh.

Inilah poin kedua, yang meninggalkan warisan bagi sopir-sopir generasi berikutnya bahwa bus Kudus-an kudu banter dan siap untuk adu kebolehan keterampilan di jalan raya.

Dan tambahan terakhir dari teman saya, PO Artha Jaya adalah PO yang terbaik dalam menjunjung service kepada penumpang. Selain perlengkapan armada berupa bantal dan selimut tebal, diberikan juga snack saat perjalanan. Layanan makan malamnya juga bagus, nikmat dan lengkap. Dan rumah makannya tetap lestari hingga sekarang, dan dipakai sampai saat ini oleh Tri Sumber Urip, yakni RM Kota Sari, Gringsing. Bahkan saat PO Artha Jaya berulang tahun, pada hari H diadakan acara kecil-kecilan, penumpang diberikan jamuan makan “cuma-cuma” dan diseling pembagian doorprize. Mirip acara ultah Nusantara ke-40 di RM Sari Rasa yang saya hadiri dua tahun silam.

Jaringan agennya hingga ke Kota Cepu dan Blora, dengan disediakan kendaraan feeder, mikro bus, yang akan menjemput dan mengantar penumpang. Penumpang cukup terbantu, apalagi saat itu masih jarang angkutan yang beroperasi di jalur Rembang-Blora-Cepu.

Inilah karakter virus ketiga yang akhirnya menjadi standar pelayanan minimal yang selanjutnya dianut PO-PO Kudus-an yang eksis sekarang.

Sayang, kejayaan PO Artha Jaya runtuh di akhir tahun 90-an. Bukan karena missmanagement dan ditinggal pelanggannya, namun tiada generasi penerus Om Bing yang mau melanjutkan usaha PO-nya, di saat Om Bing ingin pensiun menikmati hari tuanya. At last, PO Artha Jaya dijual kepada Tri Sumber Urip, yang ownernya masih punya hubungan saudara dengan Om Bing.

Namun, berkat kesuksesannya, Om Bing (panggilan akrabnya) berhasil menyekolahkan ketiga anaknya di perguruan tinggi di luar negeri. Dan setelah lulus, ketiganya memutuskan tinggal di luar negeri. Sekarang ini, “hanya” bisnis ekspedisi dan bengkel sparepart yang masih dijalankan.

Sekali kali tulisan ini bukan jawaban yang tepat atas pertanyaan “siapa pencipta virus muria”, ini hanya konklusi pribadi berdasar wawancara dengan seorang narasumber, mantan loyalis PO Artha Jaya.


Silahkan kalau ada yang berpendapat beda…

Aik, Secarik Tiket Selarik Makna


Sinaran surya begitu terik membakar bumi pantura saat laju kendaraan roda dua berhenti di areal parkir yang terhampar memanjang di tepi Jalan RA. Kartini, Kota Rembang. Pengendara motor bersegera turun lalu berjalan tergesa-gesa ke arah emperan ruko, menghindar dari sengatan panas pancaroba. Langkah kakinya berakhir di sebuah toko yang dituju.

“Siang Mas. Ke Pulogadung apa Rawamangun sore ini?” sapa seorang gadis berambut ikal dengan tutur lembut, penuh keakraban dan seakan hapal dengan keperluan “tamu agung” yang baru saja datang.
“Rawamangun masih ada, Mbak?” tanya lelaki muda itu dengan peluh yang masih membasahi kulitnya..
“Satu saja kan, Mas?” balasnya kembali.
“Seperti biasa, Mbak.”

Bergegas diraihnya microphone radio repeater di pojok meja kerjanya.

“Mbak Ika…Mbak Ika…”
“Mbak Ika…Kantor Kudus…”
(“Masuk…Masuk…Yang panggil Kudus masuk…”)
“Mbak, Rembang minta satu tujuan Rawamangun untuk hari ini…”
(“Copy…copy…Rembang nomor kursi 9 kode NS 19”)
“Baik Mbak. Terima kasih.”

Diambilnya secarik tiket kosong dari balik laci, ditulis di dalamnya dengan detail nama dan alamat penumpang, tujuan perjalanan, kode armada, posisi seat, jam keberangkatan, serta harga yang telah fix dibandrol.

“Ini tiketnya, Mas. Untuk nomor bus-nya, nanti menjelang berangkat ya, Mas,” seraya menyerahkan selembar bukti transaksi, sesaat setelah pembeli menebusnya dengan sekian rupiah.

Demikian sepenggal cuplikan percakapan antara calon penumpang, Mbak Aik (panggilan akrab gadis tersebut) dan kantor pusat Kudus, yang menggambarkan mata rantai alur proses ticketing bus malam AKAP PO Nusantara. Lewat jasa radio panggil, komunikasi serta kerjasama antara agen daerah dengan main central ticketing terhubung dan terjalin. Baik dalam hal pembelian tiket, booking tempat, penentuan jatah kursi dan pengaturan seat bagi penumpang.

Sudah dua tahun ini, gadis murah senyum yang bernama lengkap Farida Ariani ini menggawangi bagian tiket PO Nusantara chapter Rembang. Bertindak sebagai ujung tombak dalam menjaring calon penumpang. Raut wajah dan warna bicaranya tentu tak asing bagi pelanggan PO terbaik Jawa Tengah 2008, dari seputaran daerah Rembang. Karena dara manis berzodiak aries ini yang setia melayani kebutuhan client-nya dalam mendapatkan tiket perjalanan. Terlebih “kuku pesona” PO yang berlambang pohon nyiur ini sudah tertancap di hati wong Rembang yang hendak bepergian ke Jakarta, Bogor, Bekasi atau Bandung, membuat nama Mbak Aik semakin dikenal luas oleh para pengguna bus.

“Saya terhitung belum lama menjadi agen bus, Mas. Untunglah, Om Eddy (agen pendahulunya-pen) dengan sabar mengajari bagaimana seharusnya mengurusi agen. Sedikit demi sedikit, saya berguru pengalaman darinya. Apalagi ini PO besar dan terpercaya, saya harus menjaga citra dan nama baik Nusantara,” paparnya bijak saat penulis temui di toko benang dan alat rajut dengan tagname “Rahayu”, yang beralamat di Jl. RA Kartini No. 60, sekaligus merangkap sebagai kantor agen PO Nusantara Rembang.

Melihat fenomena aktual, keberadaan kaum hawa mulai menghiasi percaturan bisnis dan deru operasional transportasi darat yang berjuluk bus. Sejumput fakta, agen-agen bis “plat K” di Pulogadung beradu mempersenjatai diri dengan makhluk pujaan laki-laki ini. Kehadiran sosok-sosok manis tersebut seakan memudarkan aura keras dan hawa temperamen kehidupan jalan raya. Apalagi sengitnya persaingan antar pengusaha bis, semakin menuntut pendekatan langsung pada penumpang (customer approaching) dan saling berlomba dalam memberikan service terbaiknya --termasuk urusan ticketing-- sehingga peran srikandi-srikandi terminal ini patut dikedepankan. Berbekal wajah jelita, senyum menggoda, keramahan kata dan kelihaian dalam menebar bujuk rayu, meski tidak signifikan, namun cukup efektif sebagai umpan promosi dan alat marketing dalam menggaet calon penumpang. Bukan rahasia lagi, penumpang lebih mengena, mudah dipengaruhi dan gampang bergeming dari pilihan awal bila yang dihadapi adalah paras-paras nan ayu. Itulah filosofi, keistimewaan dan nilai tambah mengapa wanita lebih prospektif dan menjanjikan sebagai tenaga ticketing.

Tak terkecuali pula sosok Mbak Aik ini. Laksana ikut terbawa tuah perjuangan gerakan emansipasi wanita yang digagas RA. Kartini.

Selepas masuk zona waktu ashar, cewek pribumi Rembang penggemar aneka jajanan bakso ini beranjak menunggangi “motor dinas”nya menuju Terminal Rembang -- tempat pemberhentian bus Nusantara -- yang berjarak 2 km dari kantor agennya. Job desk berikutnya telah menanti, sebagai petugas check in dan boarding bagi penumpang. Di sesi ini, Mbak Aik melayani penukaran tiket yang berstatus booking, menginformasikan kode dan nomor armada sesuai jurusan, mem-verifikasi kupon makan, mengurus paket barang, mengatur penumpang yang hendak naik bus langsiran serta melakukan koordinasi dengan kru yang diperintahkan mengangkut penumpang “titipan” dari Rembang.

Meski terlihat mudah, namun sebenarnya rumit, begitu kompleks dan melelahkan. Apalagi PO Nusantara menerapkan sistem langsiran, hanya armada tujuan Pulogadung, Lebak Bulus dan Rawamangun yang disediakan dedicated bus, di luar tujuan tersebut terpaksa dioper di Terminal Kudus. Persoalan inilah yang terkadang “mengacaukan” para penumpang yang baru pertama kali naik armada Pak Hans.

“Ini sebagian duka menjadi agen Mas. Saat penumpang hendak membeli tiket, sudah saya jelaskan, nanti dioper. Mereka bilang tak masalah. Tapi ketika akan berangkat atau sesampai di Terminal Kudus, mereka bingung. Saya seringkali dikomplain dan dipersalahkan. Padahal kebijakan seperti itu kewenangan kantor, bukan agen. Belum lagi kalau ada kru yang ngga mau mengerti kesulitan agen. Misalkan penumpang terlambat, ada pesanan tiket yang mendadak di-cancel, atau juga saat bus telat diberangkatkan karena repotnya kita ngopeni penumpang ketika sedang ramai. Disangkanya agen ngga becus bekerja,” kenangnya sambil menghela nafas, dan sejurus kemudian rona wajahnya berubah muram, merefleksikan beban berat yang disangga agen.

“Tapi semua ini saya sikapi sebagai resiko kerja Mas. Dukanya tak sebanding dengan sukanya. Banyak arti positifnya juga kok. Saya dapat pengetahuan berbisnis, paham trik menghadapi orang dengan beragam sifat dan karakter, belajar mengelola waktu dan tentu saja, tambah banyak teman. Terlebih kalau ada calon penumpang yang asyik dan enak diajak ngobrol, pergaulan jadi kian luas,” imbuhnya.

Selain itu, hasil yang didapat dari meng-ageni tiket juga lumayan. Saya bersyukur. Beruntung Nusantara punya penggemar fanatik, sehingga kitalah yang dihampiri, bukan yang repot mencari. Justru itu yang jadi tantangan saya, untuk pintar-pintarnya merawat kesetiaan mereka,” pungkasnya dengan air muka tampak berbinar-binar pertanda jiwa penuh rasa optimis, saat mengakhiri obrolan ringan pengisi waktu, karena armada NS 19 yang akan membawa penulis ke Jakarta terlihat melenggang perlahan masuk terminal, sementara Mbak Aik bersiap menata penumpang.

Itulah secuil frame keseharian seorang wanita yang berprofesi sebagai agen bus, dengan “racikan bumbu” suka dan duka. Tak bisa dipungkiri, agen merupakan garda terdepan pengelolaan usaha transportasi bus. Armada model terbaru, mesin dengan teknologi tercanggih, trayek basah, kru-kru yang handal dan total aset perusahaan yang gemerlap hanya akan meaningless, tak akan mampu mencetak keuntungan tanpa peran dan kontribusi nyata dari ticekting. Banyak contoh PO yang rontok karena gagal dalam membina agen. Tidak gampang menunjuk agen, namun dengan mendapatkan agen yang bisa dipercaya, bertanggung jawab serta punya awareness dan rasa memiliki terhadap kelangsungan hidup perusahaan, pundi-pundi uang akan terus mengalir, mengisi neraca surplus kantong-kantong pengusaha bus.

Ingin berjumpa dan berkenalan dengan Mbak Aik? Tentukan perjalanan dari Rembang ke kota-kota besar yang disinggahi trayek PO Nusantara, niscaya Mbak Aik sendiri yang akan melayani urusan tiket Anda.


*The City of Kawista, end of 2009
Dedicated to Mbak Aik, yang telah turut melapangkan jalan mobilitas seorang komuter mingguan..