Rabu, 12 Januari 2011

“Budi Kecil” Itu Berkelahi dengan Waktu (Bagian Ke-3)


Pukul setengah enam teng, “juru selamat”ku mengunci pintu terminal. Pasalnya dialah bus paling akhir yang angkat roda dari stanplat Pati.

Kabin penuh sesak, bahkan lorong pemisah konfigurasi seat 2-2 dijadikan lapak dadakan oleh penghuni non bangku. Tak usah menggugat fitur kenyamanan, toh seisi bus juga mafhum jika sore itu sedang ramai, sehingga tak ada yang melemparkan nota protes ke kru. Masing-masing meredam egosentrisnya, menjunjung aspek toleransi dan tepo seliro, bahwa tiap penumpang punya kepentingan yang sama, semuanya ingin sampai di ladangnya esok hari.

Di tengah rinai yang kian menipis, armada dengan registrasi penerbangan K 1405 H melenggang meninggalkan Tugu Bumi Mina Tani, Kota Pati, yang oleh putriku disebut “patung ikan mandi”. Setelah sarana transporter kudapat, kini apa salahnya aku menantang Si Budi. Mampukah dia berkelit dari momok molornya waktu tempuh, ekses dari kerusakan dan perbaikan jalan Pantura?

Semoga...

Kuamati interior hasil tempaan penggawa Morodadi Prima. Atap, lantai, kaca, dinding, gordyn, bagasi atas serta reclining seat “Hai” masih terjaga kebersihan, kerapian serta fungsinya. Dari tempat dudukku di kursi nomor 13, sedapat mungkin kulirik panel dashboardnya.

Oh, XBC-1518/59 tho? Memang sekilas mirip kepunyaan MB OH 1526, tetapi berkaca pada temuan telingaku soal raungan mesinnya, aku yakin, bus ini mencangkok “cc kecil ” di atas chasisnya.

Si “Budi Kecil” dong? Demikian imajiku menjulukinya.

Saat tapak ban berpusing di seputaran “Mangga Besar”nya Pati, lampu sein dinyalakan, lingkar kemudi diputar ke kanan. Ternyata, bus singgah dulu ke pool di daerah Margorejo. Selama ini, bagiku, rumah Budi ini laksana menara gading, yang dipandang wah dari luar tetapi tak bisa dijamah. Kini, tanda tanya besar tentang “apa sih isi kandungannya” bakal tunai terjawab?

Saat gerbang utama dibuka, terlihat populasi truk yang cukup mendominasi, baik light truck, heavy duty atau yang bertonase besar, seperti truk gandeng dan tronton. Baru di pojok utara, ada sekitar 6-7 armada Budi Jaya yang sedang berdinas “menjaga gawang”. Menurutku, ini sih garasi bus menumpang di pangkalan truk? Hehehe...

Bisa jadi, core bussiness perusahaan yang berkantor pusat di Jl. Bulumanis No. 160 adalah angkutan ekspedisi barang, sedang usaha perusahaan otobus adalah side job. Pantas saja, Budi Jaya terkesan kurang serius menggarap pasar penumpang Pati-Jakarta.

Soal lari dan determinasi bus dengan chanel Tayu-Pati-Pulogadung-Lebakbulus ini, bolehlah aku nilai lumayan greget serta trengginas meski memiliki keterbatasan tenaga. Syak wasangkaku, golongan darah drivernya pastilah serumpun dengan kusir-kusir bus Kudus-an yang lain. Meski semburan tungkunya “redup” dan lebih cocok untuk narik wisata, nyatanya pedal gas tak pernah malu-malu diinjak dalam-dalam. Kaki pengemudi tetaplah AKAP style...

Menjelang kawasan industri PT Pura, hujan kembali menggeliat dengan derasnya. Lalu lintas tersendat, ekornya panjang mengular, kemacetan kedua arah begitu parah seakan ingin menguji tingkat kesabaran pengguna jalan. Saat terjebak, secara bersamaan diblong secara tak santun dari kedua sisi. Dari kanan, oleh KE-461 Bojonegoro serta dari kiri, pelakunya PO Widji Lestari, Terboyo-Bungurasih. Aku hanya bersaksi, betapa agresifnya kedua bus itu menggempur barisan kendaraan yang rapat, bahkan permainan gila Setra Adi Putro B 7676 XA sungguh-sungguh membelalakkan mataku. Tanpa ampun, the family of Ijoers menepikan kendaraan berlawanan, saat membangun jalur bagi dirinya sendiri. Walhasil, Budi Jaya tertinggal jauh.

Lantaran ringroad Kudus sedang tahap peninggian badan jalan dan potensi stuck juga tinggi, bus diarahkan lewat kota, beriringan dengan Bandung Ekspress Lasem-Bandung D 7690 AA.

Hanya mampir sebentar di Terminal Jati, Kudus, untuk keperluan lapor, bus memulai reli panjangnya, membuka front peperangan, berkelahi dengan sabetan pedang sang waktu.

Kondisi cuaca di luar yang gelap, gerimis, berangin diseling kilatan petir, rupanya mengkontaminasi atmosfer di dalam bilik penumpang. Suasana senyap dan mati tak beranjak pergi, lantaran penumpang malah asyik dengan sikap diamnya masing-masing. Mungkin, kelelahan tengah mendera mereka setelah menikmati liburan, sedangkan rutinitas menjemput rezeki telah menantinya esok pagi.

Beruntung, kru menyadari hal ini. Perangkat audio-video dinyalakan, dan kami disuguhi pentas budaya rakyat berupa kethoprak humor lokal Pati. Gelak tawa dan senyum riang muncul tak tertahankan menyaksikan dagelan yang diaktori Kang Mogol dan Kang Thukul, yang duetnya kompak bak komedian Cak Kirun versus Cak Bagio. (Mungkin Mas Aneez lebih tahu detail grup kesenian ini!). Dengan gaya banyolan yang khas, tema obrolan yang sarat sindiran sosial, dan lelucon cerdasnya benar-benar mengocok perut seisi bus, seakan inilah panggung hiburan berjalan.

Di ruas Demak-Semarang, bus yang berlogo copas lambang maskapai penerbangan plat merah, Garuda Indonesia Airways, hanya sanggup membuntuti Setra Adi Putro OH -1525 HS 200 sebelum ditelantarkan dan selanjutnya dipecundangi Haryanto OH-1525 “The Ocean” B 7889 IG di Tol Jatingaleh. Kekalahan yang wajar, mengingat varian mesin tidak apple to apple untuk dikomparasikan.

Selepas Krapyak, Si Budi Kecil mulai berlari-lari, berjibaku meredam guliran waktu. Meski helaan nafasnya “pendek-pendek”, namun kaki-kakinya gigih dan tak kenal letih untuk melesat, saat cambuk pengemudi disalurkan ke pedal akselerator.

Di Mangkang, slow but sure, berhasil memecah telor kebuntuan, saat menggasak Raya “29” berjersey Panorama DX, sebelum dilibas PK limolas sewale yang dinaiki Mas Aam. Berikutnya di Kendal, PO tetangganya disingkirkan, yakni Senja Furnindo “Flying Squash”.

Menginjak aspal Brangsong, Kendal, tindakan balasan dilakukan oleh Smiling Face ini. Dengan sekali hentakan, Ombak Biru “Sirip Hiu” Bandung dilengserkan, sembari melancangi Ramayana seri B, AA 1637 AB.

Namun, kiprahnya terhenti sesaat karena outlet Sari Rasa, Jenarsari, sebagai singgahan wajibnya telah menunggu. Rumah makan yang selepas isyak seolah menjelma menjadi garasi PO Nusantara.

Kendati grade-nya medioker, namun dalam hal memanjakan urusan “nutrisi” penumpang, PO yang bersaudara dengan Bus Wisata Budi Jaya, Semarang, ini tak kalah kelas dengan perusahaan sejenis yang lebih mapan. Bahkan menurutku, plafon kupon makannya sedikit di atas Nusantara. Soal takaran menu, baik lauk, sayur serta minuman nyaris sama. Yang jadi pembeda, Budi Jaya menghidangkan kudapan pencuci mulut berupa buah pisang. Ini yang tidak kutemui pada service makan armada berkode HS dan CN.

Yup…berani memberikan pelayanan yang beda!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar