Jumat, 21 Juni 2013

Oscar dot Eleven (1)

 

“Ah, sayang! Pengembalian shuttlecock dari Mohammad Ahsan membentur bibir net, sehingga bertambah lagi poin bagi pasangan China, Cai Yun dan Fu Haifeng!”



‘Kicauan’ presenter televisi itu terus nyerocos, seakan pantang lelah mendeskripsikan secara rinci jalannya duel dua ganda putra terbaik dunia di babak perempat final turnamen Badminton Indonesia Open 2013. Berkat suasana gempita yang dicipta oleh tingkah lidahnya, olahraga tepok bulu yang kusimak dari properti milik sebuah agen bus di bilangan Cileunyi tak ubahnya acara nonton live di tribun Istora Senayan. Atmosfer pertandingannya mengena.



“Kini Cai Yun akan melakukan serve…”



Aku pun semakin larut menjiwai elan duo pendekar lapangan hijau kebanggaan bangsa, yang dengan perasan keringat, keterampilan utak-atik taktik dan  permainan ultra offensive mencoba menyungkurkan lawan, berikhtiar merebut kembali supremasi Indonesia di kancah bulu tangkis internasional.



Namun, tiba-tiba…



“Mas, busnya sudah datang!” dengan setengah berteriak, agentkeeper yang sedari tadi mematung di luar membuyarkan kekhusyukanku.



Lhadalah…tanpa kusadari, obyek kotak persegi panjang telah berdiam di depan kios, nyaris memblokir sudut edar pandangan ke arah jalan besar. Arsiran merah menor setengah bodi serasa mencolok bola mata, mengaburkan siluet tiga warna bidang elips yang merefleksikan aura teduh, damai dan beku.



“Langsung naik ya, Mas, kursinya nomor 7!” pandunya sekali lagi, saat aku mulai berkemas, menenteng tas backpacker di atas bahu.



One Hour Ago



“Kang, aya tiket ka Rembang?” tanyaku kala bertandang ke lapak agen bus yang berdiri di tepi jalan raya penghubung Cileunyi-Cibiru.


IMG00824-20130614-1525



IMG00823-20130614-1524




“Rembang…!? Eta sabeulah mana, Mas?” balasnya balik dengan nada kebingungan.



Entah orang ke berapa ‘si akang’ ini, yang not well informed soal kampung halamanku. Dan pada akhirnya harus aku akui tanpa kemunafikan, Rembang memang bukanlah negeri yang masyhur di ‘pulau seberang’. RA. Kartini, sirup kawista, kuliner lontong tuyuhan, sate srepeh, sentra garam, klub bola PSIR -- yang pernah heboh lantaran sejumlah pemain terkena skorsing seumur hidup dari PSSI karena mem-bully wasit --,  serta pemangku kota budaya berjuluk ‘little Canton’, Lasem, yang elok akan perkampungan penduduk bergaya oriental berikut seni kerajinan batik, belumlah cukup untuk menggaungkan dan mengorbitkan nama Rembang agar lebih menasional.



“Kalau ke Surabaya lewat Pantura, pasti lewat Rembang, Kang.”  terangku pendek.



“Bukan Semarang arah Bojonegoro ya?“ selidiknya sekali lagi untuk menepis keraguan. Aku hanya menggeleng pelan.



Diraihnya alat komunikasi, dan sepertinya kantor pusat atau agen lain segera dihubungi.



“Mas, nanti ikut bus Malang ya!” dia pun memberi rekomendasi sembari menutup telepon.



“Jam sabaraha berangkat, Kang?”



“Sore ini agak telat, Mas. Busnya masih perbaikan di Cimahi. Kata kantor, kira-kira jam 6 baru dari Cicaheum.”



Aduh…terus sampai sono pukul berapa, sementara tema huntingku kali ini adalah mencari sosok ‘superhero’, yang berdaulat memerankan tokoh fiktif ‘sun breaker’ saat aku menginjak bumi Dampo Awang esok hari.



“Bisa ikut jurusan Denpasar yang lebih siang, Kang?” aku menego ulang tawarannya, meski berlagak agak ‘bismania’ karena sok tau dengan skedul bus-bus malam dari Bandung ke Jawa.



Mas Agen pun berkutat lagi dengan gadgetnya.



“Ada Mas, nomor 7!” ujarnya dan lantas kusambut dengan hati riang.



“Tiketnya berapa?” kukorek perhitungan ongkos untuk penarifan Cileunyi-Rembang.



Lelaki dengan aksen bicara sunda nan kental itu sibuk meneliti pricelist yang tertera pada katalog terbitan manajemen PO yang memperantarai nafkah hidupnya. Dan naga-naganya, ia kembali gamang.



“Adanya tarif untuk Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Tuban, Babat itu, Mas. Rembang ikut mana ya?”



Oh me…awam lagi dia.



“Lasem saja, Mas. Itu jaraknya tak beda jauh dengan Rembang kok.” pungkasku mengakhiri polemik ‘di manakah Rembang berada?’ yang mengacaukan alam pikirannya. Hehe…



---



Kumasuki gerbang yang menyekat kabin penumpang dengan ruang kerja kru, dan kurebahkan luasan punggung melekat pada beludru jok bikinan Aldilla. Kesan bus eksekutif pun tak terdebatkan saat menilik nuansa interior kamar. Bersih, wangi, lapang, cozy, touching what passanger needs, dan iming-iming logo mickey mouse bobok-bobokan di atas gumpalan awan jelas membingkai nilai kenyamanan.



Kalau pun ada minusnya, tampak bejibun paket yang di-manusia-kan, berhak duduk manis di atas jok di deret belakang. Barangkali, menghisab jumlah sewa yang tak seberapa – terisi kurang lebih hanya separuh dari kapasitas 32 seat -- adanya barang-barang ekspedisi bisa menambal gedenya bea operasional untuk moda jarak jauh di kala musim paceklik.



16.11



Belasan menit lepas dari pukul 4 sore, reguler transporter yang merapatkan bentang Bandung-Denpasar itu menunaikan rukun tripnya. Hiburan audi non visual tersuguhkan berupa alunan tembang-tembang yang pernah hits hasil aransemen grup band yang lahir di gang Potlot, Pancoran, Jakarta Selatan. Siapa lagi kalau bukan SLANK.



Kemacetan langsung menyapa di depan kampus pencetak para aparatur negara, yang pernah bikin geger karena aksi kekerasan siswa senior terhadap juniornya, STPDN Jatinangor. Lembaga pendidikan tetangganya, Universitas Padjajaran, turut menyumbang berkah, dengan penambahan muatan bagasi dari seorang penitip.



Lalu lintas kembali tersendat dan hanya mampu jogging saat menekuni tanjakan Cileles, yang tersambung panjang dengan jalur pendakian Jatiroke. Sementara arus kendaraan yang turun relatif cair. Tampak Bahagia Ikhlas (BAIK) Semarang-Cirebon-Bandung, D 7526 AC, dengan nafas tuanya berusaha melanggengkan jatidiri sebagai PO tahan banting


IMG00830-20130614-1621


dan disusul kemudian dengan kontestan Patas Bandung-Cirebon, Bhinneka. Bus inilah yang membuka cakrawalaku, bahwa Bhinneka Grup punya cabang Bandung, dengan pelat nomor yang disandangnya berletter D, di muka deretan angka/ huruf 7943 AC.



Di Hegarmanah, bertemu muka dengan ‘kawan sekaligus lawan’, Pahala Kencana Denpasar-Bandung. Say hello dan cuap-cuap sebentar diselenggarakan, dan sepertinya juru mudiku cukup intim dengan driver bus beregistrasi N 7540 UA itu.



17.03



Kecamatan Tanjungsari adalah penggalan rute yang sangat merampas waktu. Trek ciut, kontur menanjak, truk yang berjubel, riuhnya pengguna jalan raya, banyak motor bersliweran tanpa kesantunan serta perilaku angkot Cileunyi-Sumedang yang berprinsip negatif ‘suka-suka saya’, membuat kaki kanan-kiri pengemudi giat bekerja, mengolah mode stop and go secara kontinyu.



Dengan tubuh yang kusam lagi kotor, teman sejawatnya berjurusan Malang-Bandung, D 7560 AE, mendekat dari sisi depan di titik Ciromed. Aksi bersulang klakson dan lampu besar diperagakan, sebagai isyarat donga dinonga (saling mendoakan) semoga keselamatan senantiasa menaungi para abdi jalanan.



Ternyata biang keroknya adalah pasar Tanjungsari. Bukan karena aktifitas penjual dan pembeli yang sedang berasyik masyuk dengan gawe transaksi, melainkan kehancuran badan jalan gara-gara ‘komplikasi’ yang diakibatkan oleh kualitas material yang underspec, tonase truk-truk yang melampaui ambang serta anomali cuaca.



Pertanyaan besar kemudian melingkupi diri saat mencium ketidaklaziman. Bus yang  dijuluki ‘Flying Eggs’ ini kembali bertemu dengan kompatriotnya. Masing-masing kres-kresannya di jalur Denpasar, D 7891 AI, yang dikuntit aktor Bojonegoro-Bandung, D 7596 AE. Sesama kru sempat berbincang singkat tatkala ruang kemudi berdampingan, dan dari body language sopir bus dari timur, mereka mewartakan ‘sesuatu’.



“Ada apa dengan kalian, my poolmates?” kesah Kramat Djati yang kunaiki ini membatin.  






 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar