Jumat, 21 Juni 2013

Oscar dot Eleven (2)

Armada berbasis desain Jetbus non HD garapan tangan-tangan Adi Putro Wirasejati ini melanjutkan karirnya, seraya menata mental dan mengatur ritme sebelum mengakrabi lintasan berbahaya, Cadas Pangeran.


Pertemuan dengan PO Goodwill berlabel ‘Muslim’ di Cigendel, yang kata Mas Lurah Hans
Rindu Madura termasuk jajaran bumel sess, seakan mendudukkan bus yang menjumput rezeki di koridor Bandung-Cirebon-Semarang itu sebagai penjaga portal yang mempersilahkan para tamu untuk menjelajah teritorial kekuasaannya.


Sebenarnya inilah modusku lebih memilih bus agak gasik dari Cileunyi dan kudu merogoh kocek setara 156ribu. Aku belum pernah menyaksikan spot Cadas Pangeran di bawah sorot sinar mentari. Cerita keindahan dan pesona yang disajikan alam Sumedang selatan, khususnya hawa angker dan wingit kawasan ini, jangan hanya didengar semata tapi harus aku monumenkan melalui indera tubuh sendiri.


Sahih adanya! Ruas jalan sempit yang menempel di bibir jurang yang menganga, dipayungi rimbun dahan pohon pinus yang menjulang di sisi bukit, dan jauh di bawah sana mengalir deras air kali Cipeles, menghadirkan daya magis dan panorama yang sejuk serta menyegarkan retina mata. The Beauty of Indonesia!




IMG00841-20130614-1734


Konon, dasar sungai itulah yang menelan ratusan korban saat pembangunan jalan ini, akibat beban kerja sistem rodi di zaman pemerintahan Herman Willem Daendels. Para pekerja diperbudak untuk menatah bebatuan di bukit terjal dengan kedalaman jurang mencapai 500 m, tanpa kompensasi logistik yang memadai.


Tanpa kesulitan berarti, Hinomaru varian R 260 ini melibas setiap tikungan semi cilukba dan turunan tajam. Sempat terjadi  refleks ngerem paku, gara-gara ulah sepeda motor yang urakan, menyalip di chicane blind spot, sementara dari arah berlawanan sedang kepayahan truk besar lagi memanjat punggung bukit.


Dan saat memperhatikan lebih detail kontruksi ruas Cadas Pangeran dari balik kaca, ada yang membuatku terperanjat sekaligus bergidik. Ternyata lajur yang mengarah ke Bandung menggantung  (elevated) di birai lembah nan sangat dalam, ditopang pilar-pilar penyangga yang tertanam di bawahnya. Luar biasa dan sanjung apresiasi bagi siapapun yang telah membangun jalan dengan kerumitan tingkat dewa ini.


Ketika menapak area Ciherang, setelah melahap sebuah kelokan 90ยบ, terlihat salah satu entitas bus malam yang membuntuti. Dialah Pahala Kencana OH 1525, yang busananya berpola New Marcopolo namun mengalami rombakan pada lampu dan fasia depan, mengikuti tren model Jetbus.


Lagi dan lagi, bodi bongsor berGVW 15 ton ini terhuyung saat medannya di Pasanggrahan direnggut secara paksa oleh angkutan Mitsubishi Canter yang ngeblong paksa kendaraan di depannya lantaran ditempel seterunya di trayek yang sama. Rasanya, meaningless dan buang-buang duit saja dengan spanduk-spanduk yang berisi slogan keselamatan dan etika berlalu lintas yang ditebar Kepolisian Resor Sumedang di sepanjang jalan, tanpa dibarengi law enforcement yang tegas bagi pelanggarnya.


Setelah melewati homebase PO Medal Sekarwangi, flow lalin kembali memadat.


Tarahu…tarahu…tarahu Pak…tarahu Bu


Seorang penjaja tahu dipersilahkan kru untuk mengasong jualannya di dalam bus. Karena berbelas iba sebab tak satupun penumpang yang merespon rayuannya, kupanggil Bapak itu. Teringat akan pesan bijak, ‘lebih baik membeli sesuatu meski tidak kita butuhkan, daripada memberi uang pada peminta-minta. Setidaknya pedagang itu punya semangat kerja dan tidak menistakan diri menjadi pengemis.’


“Beli sepuluh ribu ya, Pak!”


Dan sekeranjang kecil penganan khas dusun Mbak Rossa dengan bonus cabe yang super pedas pun berpindah tangan.


Finally, you show the magnificient of intercity night bus…


Skill dan jam terbang pramudi mulai terbuka selubungnya. Dengan sedikit radikal, tak kenal gentar, laju Bhinneka yang berdesain Legacy Legalight jurusan Bandung-Cirebon berhasil kena dropshort menyilang di ruas jalan Pangeran Kornel yang tengah ramai.


Applause for it!


18.15


Di bunderan Alam Sari, bus berbelok kiri menyusuri jalan kecil dan sepertinya menghindari jalur utama yang melewati pusat kota Kabupaten Sumedang.


Rumah Makan Sari Rasa mendiam di sisi kanan jalan. Sebuah rest area yang jadi rujukan Kramat Djati Bojonegoro melunasi kewajibannya menghidangkan makan malam gratis bagi penumpang. Ternyata, lain ladang lain belalang, lain jurusan lain pelayanan, melihat moda yang bersekutu dengan bus wisata Pakar Utama ini tak punya gelagat berhenti di Sari Rasa, dan langsung bablas mengarah ke Jalan Cimalaka.


Semburat senja telah terkikis kegelapan malam, terik cahaya siang telah pudar sengatnya. Dibuai kenyamanan piranti air suspension, terkulai oleh kelelahan perjalanan Tanjung Priok-Cileunyi serta keharusan membayar utang kurang tidur pada malam sebelumnya, mau tak mau aku kudu mempercepat jam biologis untuk beristirahat.


Pasar Legok adalah region terakhir sebelum aku disekap lelap dalam peraduan.


20.33


Palimaman, simpul tarung antara jalur Jakarta-Cirebon dengan jalur Bandung-Cirebon.


Dengan lembut gemulai, Flying Eggs menyusuri kota kecamatan tempat pabrik Indocement Plant-9 menancapkan kuku-kuku kapitalisnya. Pusingan roda tak bisa digolongkan pada level ngebut, tidak pula dikategorikan nge-slow. ‘Velocity Pasti Pas’, demikian aku menyebutnya.


Tollfare entry gate Plumbon 2 yang ekuivalen dengan nominal Rp2.500,00 merupakan biaya administrasi yang dibebankan pihak pengelola jalan tol bagi siapapun yang ingin menebus harga sirkuit Palikanci. Belum cukup waktu untuk mengunggah performa di jalan bebas hambatan, bus diarahkan exit Ciperna. Ada dua klien tambahan yang mesti dipungut di agen Terminal Harjamukti, Cirebon.


Babak sengit justru terjadi di pintu keluar terminal dengan peringkat keseraman mencapai bintang lima itu. Tanpa dinyana, dari sisi kiri muncul Langsung Jaya ‘Pandan Arum’ dan kemudian memotong jalur. Dengan wajah innocent, kemudian mengais-ngais penumpang dengan posisi menghalang busku. Berondongan vokal klakson tak digubris, tembakan lampu dim tak diacuhkan.


Tett…tett…dari sebelah kiri, menyerbu dengan deras Lorena Jember. LE-440 itu kemudian ngacir, seakan menyalakan api kompor LPG 3 kg agar pemain-pemain Pantura di belakangnya segera mengejar.


Setelah beringsut dari hadangan bus yang di-capil-kan oleh Samsat Kabupaten Karanganyar itu, Kramat Djati kerkode O.11 alias Oscar dot Eleven ini menghela kecepatannya. Kerja piston yang sedari tadi cuma nyante sekarang mulai diforsir. Dari kejauhan, buritan Euroliner aset Ibu Eka Sari itu sungguh mengundang nafsu, dengan irama flip flop kombinasi lampu rem dan sein yang genit menggoda.


Sungguh sayang, hanya utopia belaka menggembungkan asa bahwa OH 1626 itu bakal ‘menghunuskan pedang’ seperti era kejayaannya di tahun 90-an, yang dipemeokan ‘semakin dikejar semakin jauh, semakin didekati semakin lari’. Entah mengapa saat menggeluti flyover Pegambiran, sepak terjangnya mulai kedodoran dan akhirnya B 7586 XA itu mengerek bendera putih, menghibahkan ruang selapang-lapangnya agar disalip.


Huu…penonton kecewa. L


Adegan seru sempat juga terekam saat Ramayana AA 1651 AB mulai terdeteksi di daerah Gebang. Perjuangan bus yang bertangsi di Muntilan dalam mencerai-beraikan konvoi truk berat membuat jagoanku kewalahan meladeni polahnya.


Sampai datang masa di mana permukaan trek lurus, panjang dan sepi, lapang menghampar. Si Telur Terbang mulai kuasa menyusul. Hampir setengah bodi terlampaui, tiba-tiba Sang Pemanah nge-riting kiri lalu menepi.


“Ah, ujung busur panahnya sudah tumpul tuh!” cibirku karena sekali lagi kandas memperoleh hiburan ‘Opera van Tura’, ketika menanti makan malam yang tak kunjung tersaji.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar