Rabu, 02 Oktober 2013

Tentang Hijau; Layu, Menguning, Royo-Royo Kemudian (1)

Tak Segampang Yang Dikira


16.10


“Habis, Mas!”


Epilog ringkas yang menyuratkan kata maaf itu jelas-jelas menohok upaya taking profit. Dua penjaja jasa PO Agra Mas tak punya daulat untuk mengaspirasi aksi spekulasiku, yang berprakarsa tergabung dalam kloter awal bus malam yang mengarah ke ibukota.


“Lagi liburan sekolah, Mas, susah kalau beli dadakan begini!” tandas mereka mencari dalih.


Bukannya aku tidak well informed soal almanak pendidikan, tapi rasa optimis yang berlebihan bahwa ‘masak cuma mengais secarik tiket kagak bisa dapat’ akhirnya jadi bumerang yang mencelakai diri. Bayang-bayang esok pagi bakal semringah saat melakukan absensi kedatangan di lobi kantor kian lamat-lamat. Rapor kedisiplinan yang selama dua atau tiga bulan terakhir selalu berwarna merah, dipastikan tak jua beringsut ke level biru. Entah berapa nominal rupiah yang telah terbuang percuma lantaran tunjangan transport terkena getahnya. Belum lagi trust dari atasan terhadap kondite kerja sebagai anak buah, bisa-bisa terjun bebas.


Akhir-akhir ini, langganan sekaligus andalanku -- serdadu-serdadu tempur Ngembal Kulon --  terkapar tak berdaya hingga akhirnya bertekuk lutut ditebas bilah pedang musuh yang berjuluk jalan Pantura. Berkhianat kepercayaan kepada PO tetangganya, Black Bus Community, pun setali tiga uang. Mencoba dengan usaha tangan dan kaki sendiri menggenjot tunggangan pelat hitam untuk menyungkurkan keramatnya warisan Gubjen Daendels, hasilnya sami mawon.


Medan Pantura bak mengadegankan aktor antagonis. Momok jahat, angkuh dan congkak, yang lagi merajuk men-takabur-kan peran vital yang diembannya. Ia seolah ngamuk, enggan lagi bersikap sebagai tuan rumah yang baik dan ramah terhadap para tetamunya. Dan tak seorang pun bisa menjawab secara eksak, termasuk para pemangku kebijakan republik tercinta, kapan silang-sengkarut tingkat nasional ini bakalan end.      


Hanya keteguhan hati ini yang masih bisa di-stabilo. Aku bergeming, tak beranjak untuk menggadaikan sel plasma yang bernama buslover yang berdenyut kencang di dalam pembuluh nadi. Sejauh ini, ‘akidah’ nyeleneh ini masih murni terjaga, tidak terbujuk untuk mempermak diri menjadi bismania penyembah kereta atau penghamba pesawat udara.


“Armada Jaya Perkasa yang siap berangkat ada, Mas?” tanyaku pada penjaga kios di pojok terminal, setelah moda berdarah Serang itu terpindai radar tergolong angkatan gasik.


“Kemarin ‘Armada’ datang jam 12 malam, Mas. Saya tidak yakin, sore ini bisa tepat waktu.” ujar dia pesimistis. ”Pantura sedang macet-macetnya, Mas, beberapa hari ini bus-bus dari Jakarta selalu telat masuk Solo!” imbuhnya informatif.


“Ini penumpang Gunung Harta dan Shantika kemungkinan baru bisa berangkat jam 11 nanti. Kramat Djati jurusan Bogor juga begitu, perkiraan jam 9 baru sampai sini, molor, tidak seperti biasanya!” ungkap ‘agen universal’ ini welo-welo.


Nah, lo…


“Masih tersedia tiket Putera Mulya, Gunung Mulia atau Tunggal Daya, Mas?” dengan roman ke-tidakputus-asaan, aku terus bergerilya mencungkil sisa-sisa kursi dari lapak satu ke lapak lainnya.


“Info dari kantor, sampai tengah hari tadi jarang sekali armada yang sudah kembali ke pul Wonogiri, Mas! Kita belum berani jual tiket!” ungkap satu di antaranya.


Ruarrr biasa memang polah North Beach Country Road kali ini. Tingkahnya sukses mengkreasi kegonjang-ganjingan dunia bus malam; mengacau-balaukan time departure/ arrival, membuyarkan hitungan-hitungan waktu tempuh, mem-black out modernnya sistem dan tata kelola PO-PO yang menghamparkan pendaringan di bawah ketiak Pantura, serta memperangkap para calon penumpang dalam ketidakmenentuan tentang eksekusi rundown acara yang telah mereka rumuskan sebelumnya.


“Asli Prima yang lagi parkir di depan itu gimana, Mas?” selidikku seraya menggaruk-garuk kepala, setelah menatap moda A 7553 KC dengan kode bodi E26 line Semarang-Merak yang tengah nyantai menyendiri di emplasemen.


IMG00937-20130623-1649


“Sudah penuh juga, Mas!” balasnya.


Tobat


“Mbak, yang duluan berangkat dan tiketnya masih ada, bus apa ya?” tanyaku memelas pada perempuan muda pengampu gerai yang berlokasi di dekat pintu masuk Pasar Banyumanik. Dialah agen yang terakhir kali aku sambati.


“Ada Safari, Mas!” bebernya. “Berangkat setengah tujuh.”


Wew…aku semestinya girang bukan kepalang mendengar kabar gembira yang demikian. Namun, seketika itu pula tercipta kericuhan di alam pikiran disodori opsi standar ganda alias ambigu. Di satu sisi, angkutan umum itu bisa didapuk sebagai dewa penolong, sementara di sisi yang lain, lubuk nurani meronta, belum siap mental dan psikis andai diperjalankan oleh bus berklasifikasi ‘unidentified object’ lantaran keawamanku tentang perangai dan tabiatnya.


“Benar jam segitu, Mbak? Saya dapat berita, bus-bus Solo pada terlambat sore ini,” timpalku untuk mengorek lagi kevalidan tawarannya.


“Betul kok, Mas. Yang lain berangkat dari Solo atau Wonogiri, ini langsung dari garasi Salatiga!”  ungkapnya pasti. “Misalkan tidak ada armada, biasanya pakai cadangan bus Solo-Semarang yang standby.”


Tanpa pikir panjang, jelimet dan bertele-tele, segera kupesan bangku nomor 41 dari empat bangku yang masih unsold, yang menurut sketsa kelas Patas VIP, nangkring di depan pintu belakang mepet window.


Sementara itu, kabut misteri tentang track record Safari selaku ‘pemain malam’ terus saja menggelapi labirin otakku. Boleh dibilang, nol kecil nilai pengetahuan dan brand awareness terhadapnya. Justru yang sedikit kuakrabi adalah sosok AC Luxury-nya yang kini menghegemoni tampuk Semarang-Solo dan menjadikan PO-PO lain ibarat semut kecil di hadapannya. Kira-kira, bagaimana bentuk dan rupa layanannya? Apakah akan sederajat dengan ‘bus siang’nya?


Kubunuh penantian waktu dua jam ke depan dengan mondok di warung angkringan dekat tem-tem-an taksi. Jauh di seberang jalan pada samping toko waralaba, sedang terbujur kaku Madjoe Utama, yang tempo hari mengalami brake failure sehingga menghantam barisan barrier yang membelah turunan Jalan Perintis Kemerdekaan.


Secara iseng, kudata kavaleri-kavaleri ranah Wonogiren yang melintas, apakah sahih sedang terjadi chaos seperti yang dikabarkan Mas Agen tadi?


Dan memang fakta tak terbantahkan. Di luar adatnya, tercatat hanya segilintir yang melakukan ‘cap jempol’, masing-masing barisan sempalan Giri Indah yang diwakili BM-012, BM-020, BM-015 dan BM-011, lalu PO Purwo Widodo menyumbang satu asetnya berbusana Prestige garapan Tri Sakti. Selanjutnya dua properti milik Gunung Mulia serta Langsung Jaya urun sebiji siluet hewan jaguar.


Sambil terus berkutat dengan keypad gadget lawas, kucolek teman-teman maya komunitas busmania, dan satu di antaranya adalah Mas Doni Prast yang ternyata tengah on broad di BM-012. Menurut penuturan sohib PJKA itu, hanya Agra Mas yang bisa berkelit dari siksa Pantura sehingga jam take off-nya boleh dibilang zero tolerance.


Andaikan bisa leles selembar tiket PO yang pernah memecahkan rekor abal-abal sebagai bus paling isuk menapak negeri Pak Jokowi, tentulah aku bisa tersenyum lebar dan tak perlu sirik dengan kenyamanan yang diperoleh Mas Doni sore itu.


Ah, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.


Dan kelangkaan ‘bidak-bidak’ penghubung antarpropinsi kian kentara hingga seruan magrib dikumandangkan. Hanya dua konsestan lagi yang mendaftarkan diri. Yakni Handoyo Setra New Armada dan Timbul Jaya ‘Dwi Saputra’, AD 1422 AG.


Pemandangan aneh yang bikin meradang calon penumpang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar