Selasa, 23 Februari 2010

Jejak Pesona H. Karman Amat (1)


Berjodoh dengan Akas
Sesaat setelah turun dari Kereta Argo Muria,

“Sampai mana, Dik?” tanya ibuku di ujung telepon.
“Semarang, Bu. Kira-kira dua jam lagi sampai Pati,”
“Ini istrimu sudah masuk ruang persalinan. Doakan yang terbaik buat semuanya.”

Duh…dada kian bergemuruh, detak jantung berdebar makin kencang menanti saat-saat anak keduaku terlahir.

Ya Allah, haruskah cerita kelahiran Naura terulang. Apakah hamba akan”missed” kembali menemani istri di saat persalinannya. Ya Allah, jika Engkau berkenan, berilah hamba kesempatan. Anugrahkanlah waktu yang memihak pada hamba untuk menunggui pendamping hamba berjuang hidup mati melahirkan jabang bayi ke dunia-Mu ini. Sudah sejauh ini perjalanan hamba dari Jakarta, berikanlah waktu barang sebentar agar anakku “ babar” setelah Bapaknya tiba, pintaku dalam doa nan khusyuk.

Dan sebuah harga mati yang mesti kutebus, aku harus berupaya secepat mungkin mencapai kota-nya peramal nasib nan beken itu, Mbah Roso.

Ingat akan petuah temanku untuk menyewa taksi saja. Tapi dia wanti-wanti, kalau bukan Blue Bird jangan bertaruh dengan taksi abal-abal.

Bergegas ke pelataran parkir Stasiun Tawang, kususuri setiap area tempat taksi Kota Atlas ini mangkal. Nihil, tak satupun terlihat armada milik generasi penerus Prof. Djokosoetono SH ini.

Kupercepat langkah ke pinggir jalan besar, berharap ada “burung biru” melintas. Tiga taksi lewat, tapi semuanya dalam status “reserved”.

Gambling langkah saja ah, naik angkutan kota ke Terboyo, bujuk batinku.

Dalam kepanikan, kunaiki angkutan jurusan Genuk yang kebetulan menurunkan penumpang di dekatku.

“Kalau ada taksi atau nanti lewat pangkalan taksi blue bird, tolong bantu nyetop ya Pak. Saya ada urusan penting, buru-buru mau ke Pati,” mohonku kepada yang mengemudikan angkot tua ini.

Mendekati Terminal Terboyo, ada taksi yang kumaksud berbelok menuju RS Sultan Agung dan angkot merah-ku segera berhenti.

“Pak…Pak…ada penumpang mau ke Pati,” seru Bapak Sopir kepada pengemudi taksi.
“Maaf Pak, ini sudah pesanan pasien rumah sakit.” balasnya lewat kaca pintu Toyota Limo yang setengah terbuka

Ya Allah, inikah sinyal ketidakberpihakan waktu kepadaku.

“Mas, naik bus saja, tapi yang Suroboyo-an. Cepat juga kok kalau masih siang begini. Nanti saya turunkan di pintu keluar Terboyo. Kalau ditanya calo jangan bilang turun Pati, nanti dipaksa naik Lasem-an.”

Aku mengangguk-angguk mendengarkan trik dan tipsnya. Hanya kalimat terima kasih kusanjungkan kepada Bapak paruh bayah ini. Seorang sopir yang murah hati memandu perjalanan sempitku.

“Kemana, Mas?” tanya seorang timer sejurus setelah kakiku turun dari minilet berjenis Suzuki Carry tersebut.
“Tuban…,” jawabku sekenanya. Biarlah aku berdosa karena berbohong, daripada aku aku harus menanggung konsekuensi pahit dinaikin bus bumel Nusantara yang sedang ngetem.

Tak lama, bus bergambar rombongan kabilah arab menunggang onta itu take off, karena disundul slot time bus di belakangnya, PO Ikha Jaya.

Duh, mana bus-bus Jawa Timur-an. Biasanya gampang tertangkap mata wira-wiri di jalanan, ini kok lama sekali. Mana Jayut, Sinar Mandiri, Widji, Indonesia, Restu? Apa kalau ditunggu-tunggu, dia malah lama lewatnya, hatiku mulai meronta ditindih ketidaksabaran.

Sepuluh menit kemudian…tampaklah Akas Patas trayek Semarang-Banyuwangi. Lho, kok malah Akas?

Terus terang, aku kurang tahu reputasi bus Akas di jalur Semarang-Surabaya. Termasuk bus banterkah? Bisa diandalkan memangkas waktu? Atau cuma pelengkap penderita, hanya kaum minoritas dan jadi bulan-bulanan PO yang bersinggungan trayek di jalur ketat ini?

“Boyo…boyo…Tuban…Tuban….,” teriak lantang kenek dari balik pintu depan.

Bagaimana ya, haruskah aku membeli kucing dalam karung? Tapi ingat nasehat sopir angkot tadi, kalau siang bus ngetan banter jalannya.

The Great Bus

Bismillah, semoga bukan bus lelet dan tak banyak ngetem. Aku pun bersandar penuh pada bus bermodel Setra buatan Tri Sakti ini untuk mewujudkan harapanku. Sekilas, kutatap sekujur tubuhnya yang masih mulus, meski terhitung sudah uzur dimakan usia.

Salut, kabinnya OK punya. Bersih, lapang, wangi dan AC mumpuni mengusir hawa terik sore ini. Cukup-cukup terawat. Seat cuma terisi 15 penumpang, dari kapasitas 50-an penumpang.

Pedal gas diinjak perlahan, pelan tapi pasti, makin lama makin dihela di jalan pantura. Lumayan, biar mesin tua, entah generasi OH Prima atau King ini, armada di bawah payung Akas IV ini larinya ngibrit juga. Mesin halus, ngacir dan bisa digeber habis. Dan dari cerita di milist, PO Akas memang jago dan gape ngopeni armada-armada oldish-nya.

Sayangnya, waktu aku membayar ongkos Rp.10.000,00, kondektur tidak memberikan karcis. Hiks, uangku akan ditilep oleh kru? Sudah ah, bukan urusanku. Aku sedang kalut, pikiranku sekarang tertuju pada istriku. Pasti dia juga berharap banyak suaminya akan cepat datang.

Rute Semarang-Kudus begitu mudah dilibasnya, dan hanya perlu waktu tempuh 50 menit. Di Demak, bus Nusantara di depannya berhasil disalip. Tak salah pilih memang aku dipertemukan dengan bus berkelas AC Tarif Biasa ini. Semoga di Terminal Kudus tidak ngetem, mengais-ngais penumpang.

Dan benar adanya. Cuma absen, dan langsung melenggang keluar terminal. Pedagang asongan pun tak sempat menjajakan dagangannya secara bebas. Dan puji syukur, Yang Kuasa mengabulkan asaku.

Tapi tetap saja, hatiku menampik lancarnya perjalanan ini. Masih kurang cepat. Ah..., aku harus meredam dan berdamai dengan kekisruhan alam pikiranku sendiri.

Dari pertama berangkat, bus hanya menaikkan dua penumpang di perempatan Tanjung, Kudus. Selebihnya, roda bus terus berputar tanpa henti. Minim pendapatan memang kalau diukur dari jumlah penumpang.

Lalu lintas di ruas Kudus-Pati begitu padat. Bus pun hanya bisa jalan merayap. Tak jadi apa, jarak sudah semakin dekat.

“Gimana Bu, sudah lahir belum?”, kutelepon kembali ibuku untuk memastikan kondisi istriku.
“Belum, Dik. Sudah bukaan tujuh ini…”

Pasti terkejar…pasti terkejar…Aku memberi semangat pada diri sendiri.

At last, pukul 16.15, aku pun turun di depan KSH (Keluarga Sehat Hospital) Pati, yang terletak persis di pinggir jalan raya. Dan kontribusi PO peninggalan H. Karman Amat ini luar biasa, mampu menyingkat perjalanan akhirku. Hanya memakan waktu 1 jam 20 menit untuk melahap gap 68 km, Semarang-Pati.

Segera berlari menuju lantai III, tempat ruang persalinan berada dan…amazing!!! Momennya bertepatan dengan peak time fase menjelang kelahiran si kecil. Meski akhirnya istriku harus menjalani operasi sectio caesario, gagal setelah dicoba dengan persalinan normal dikarenakan posisi janin yang tidak on position serta bobot bayi yang besar, setidaknya aku sempat memberikan peran, support dan empatiku sebagai pendamping, melecutkan semangat dan menguatkan mental pasanganku saat berjuang terbebas dari masa sulit, menghadirkan buah cinta kami berdua menghirup nafas dunia untuk kali pertama. Aku bangga, pernah merasakan bagaimana mengharu birunya perasaan seorang suami berdiri di sebelah istri ketika menghadapi perang kubro, melahirkan seorang calon insan manusia.

Dan satu yang pasti, nama Akas akan selalu kukenang, bersama busway Pulogadung-Kalideres, ojeg Pasar Senen-Gambir, Kereta Argo Muria dan Angkot Johar-Genuk, yang berjasa besar meloloskan aku dari lubang jarum yang bernama dead zone, mengejar detik-detik kehadiran anak keduaku, menyempurnakan gelar sejati sebagai seorang Bapak bagi duo putri kecilku.

(*Maaf, saya tidak sempat mengambil foto busnya. Semua serba tergesa-gesa. Kalau ada yang menyimpan gambar bus Akas IV model Setra Tri Sakti, ijinkan saya untuk dibagi. Beribu terima kasih atas bantuannya…)

1 komentar:

  1. Subhanalloh Mas Eddy..
    saya begitu hanyut dalam dagdigdug mengejar waktunya dan begitu terharu akhirnya bisa juga Mas Eddy mendampingi istri...

    Oiya meski sudah telat, Selamat atas kelahiran putri keduanya. Semoga menjadi anak sholihah.
    Salam kenal dari tante ^^

    BalasHapus