Kamis, 25 Maret 2010

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (1)


Friday is freeday…

Jumat, selain diagungkan sebagai hari raya mingguan umat Islam, bagiku pun tak ubahnya holy day-nya komuter lintas region. Betapa tidak? Setelah lima hari bergelut mengayunkan “alat bajak dan cangkul” mengolah sumber pencaharian, meneteskan buraian keringat demi menjemput jatah rejeki, meninggalkan anak istri nun jauh di sono guna menutup lubang-lubang kebutuhan rumah tangga, mengendapkan sementara waktu kebahagiaan melewati hari bercengkerama bersama keluarga, datangnya hari Jumat tentulah terasa istimewa.

Bayangan tawa ceria putriku karena esok bapaknya pulang, imajiku akan senyum manis nan menggoda pendamping hidupku ketika menyemai kembali benih-benih kemesraan sesaat sebelum kami berdua melampiaskan kerinduan, momen pertemuan dengan orang tua, handai taulan dan sanak kadang yang tersebar di pelosok kampung, serta bersua teman seperjalanan sepenanggungan, bagiku harga yang tak ternilai dibanding lelah didera buslag dan sekian rupiah yang “tercecer” di jalan.

Terlebih bagi seorang bismania sekaligus komuter sepertiku, perjalanan jarak jauh dengan bus bukan lagi ajang mengekspresikan kegilaan serta mencari sensasi dan esensi dari kotak raksasa beroda enam, bukan lagi “wisata aspal” mencumbui eksotisme lanskap malam di jalan pantura, namun hukum pengikatnya telah bergeser dari sunnah muakkadah menjadi fardhu ain. Bila tidak ditunaikan, akan ditimpakan dosa dan kesalahan besar. Hehehe…

Demi setumpuk alasan itulah, selama aku diberikan kesehatan dan vitalitas, kelonggaran beban pekerjaan, dan kemampuan finansial, alam Jakarta akan selalu ku-blacklist dari agenda menikmati holiday di akhir pekan.

Tak terkecuali hari Jumat, 19 Maret 2010 silam.

Awal mulanya, aku tak berencana pulang mengingat Rabu baru saja tiba di ibukota setelah mengecap manisnya Harpitnas (Hari Kejepit Nasional) pada Senin sebelumnya. Di-pressure pula oleh isi SMS dari istri yang kuterima Jumat pagi, yang bernada wanti-wanti agar aku tak memaksakan diri untuk pulang ngetan. Aku mesti ingat badan ingat uban, karena umur dan fisik makin digerogoti gulir perputaran jaman. Apalagi saat balik ke tanah kelahiran Si Pitung pada Selasa malam, berdua dengan sohib komuterku berduet duduk di balik kemudi kendaraan varian MPV-nya Suzuki. Tiga hari rasanya belum cukup untuk memulihkan stamina seperti sedia kala. Dan satu lagi alasan klasik, weekend ini sudah memasuki slottime tanggal tua. Jadi, kalau pun pulang, apa yang mau dibawa? Duh..duh...elegi seorang kuli pelabuhan.

Sampai menjelang sholat Jumat, aku pun masih berketetapan untuk patuh pada nasehat sayang dan petuah bijak ibunya anak-anak.

Tapi entah sebab apa, tiba-tiba setan menghampiri dan menggodaku saat duduk terpekur mendengarkan khotbah imam Masjid Jakarta Islamic Center (JIC). Sekompi seteru abadi manusia itu menghembuskan penyakit hati yang bernama ”dilematika kulosis”. Argumenku yang telah mantap menumpang istirahat di kota metropolis dikaji ulang, digugat kevaliditasnya, digoyang mosi tak percaya, dan lembaran surat keputusannya pun bersiap akan dirobek-robek oleh tangan jahatnya hingga aku tak concern dengan content ceramah Jumat.

Ah dasar, meski kawasan eks-lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Kramat Tunggak, telah disulap menjadi bangunan dan lingkungan agamis, rupanya iblis-iblis laknat itu tak serta merta enyah dan masih banyak yang bersemayam di sini.

Pergulatan batinku demikian hebatnya berdebat. Antara ”meng-iya-kan” atau ”men-tidak-an” untuk pulang kampung. Teringat slogan di bak belakang truk yang sempat kubaca tempo hari, ”Pulang Malu Tak Pulang Rindu” seakan menohok kebimbanganku. Hidup memang dilematis.

Pulang saja ah...tiba-tiba saja pikiran sehat melabrak pendirianku semula. “Duit bisa dicari, kesepian dan kesendirian tak bisa terobati”, begitu dalih shahih sisi kalbuku sebagai api penyalanya.

Dan tipikalku, selalu percaya dan taklid buta dengan kata hati kecilku. Apapun itu dan dalam hal apapun. Karena kuanggap itulah pancaran bimbingan Yang Kuasa dalam menuntun ayunan langkahku.

Usai beribadah, kuurungkan niat kembali ke kantor. Workload-ku sudah menipis dan tak bersifat urgen karena aku berupaya mengkondisikan agar Jumat adalah hari bebas dan santai. Setang motor matic-ku kuarahkan ke kost-an, bersiap diri untuk packing berbekalan mudik di luar lebaran.

Berhubung plan dadakan, on the spot aja, begitulah mauku. Tak ada preferensi untuk naik PO tertentu, karena (maaf) aku bukan PO Mania, jadi kenyataan apapun di lapangan dihadapi saja nanti. Meski aku sendiri berharap baik budi dewi keberuntungan agar memayungi nasibku dijodohkan dengan armada Marcopolo Kramat Djati.

(Sah-sah saja kan aku nge-vote “The Flying Eggs” meski kalau ditanya “why”, aku pasti tak bisa menjawabnya dengan exact? Hehehe…Namanya juga impian, terwujud ya syukur, tidak pun tak akan membuatku ngambek, patah arang terus ngga jadi pulang)

Dengan mengambil rute Islamic Center-Semper-Plumpang-Utan Kayu-Rawamangun, dengan berestafet naik angkutan dalam kota meliputi KWK 07-Metromini 41-PPD P43-Metromini 49, pukul 14.25 sampailah telapak kaki ini mencium terminal favoritku.

1 komentar:

  1. Terminal rawamangun ...
    wah...aku juga sering nongkrong di situ e..mas..

    BalasHapus