Kamis, 25 Maret 2010

Gajah Sprinter, Jago-nya Sprint (2)


Aku lebih suka menyebut Rawamangun sebagai showroom mesin bus dan karoseri, bukan semata terminal belaka. Di areal yang luasnya tak lebih dari 1 ha ini, sudah adatnya owner-owner PO menerjunkan armada-armada terbaiknya untuk merebut pasar. Wadah aktualisasi imperium bisnis para bigboss dengan memamerkan bus-bus nomor wahid, menampakkan gengsi dan mengejawantahkan hegemoni serta superioritasnya atas perusahaan otobus yang lain.

Demikian pula Jumat sore itu.

Pasukan malam north beach disekondani tiga armada Pahala Kencana; Setra with new livery for Blitar, Jupiter B 7914 IW Banyuwangi dan Setra Butterfly Bojonegoro.

50-an meter di depannya…ugh, sial. Kramat Djati cuma menugaskan Setra Adi Putro untuk dinas ke Malang. Mungkin dewi fortuna sedang ke salon merias diri, hingga tak mendengar permintaan lelaki pemujanya. Hiks…

Di sampingnya berdiri kekuatan kavaleri, Gajah OBL Denpasar. Sedangkan garda terdepan diisi Green Jacket, LE-420 Malang.

Sedangkan yang siap sedia sebagai pejuang yang akan menjelajah bumi Andalas masing-masing New Giri Indah, Kurnia Aceh-Jakarta, LE-236 RS Evolution dan bus ¾ PO Arya Prima.

Dari semua armada yang sedang “pasang kuda-kuda”, tentulah Gajah OBL yang menarik hati dan menyolok mataku. Mengapa?


Tentu saja postur tubuhnya. Berbasis model Setra yang menanggalkan “selendang”nya, yang jamak disebut model Sprinter, dengan kaca samping nan lebar dan posisi tempat duduk yang tinggi, kabin mengusung theme hi-deck, masterpiece buatan Adi Putro ini ibarat ”aquarium” yang mempertontonkan isi dalemannya.

Kudekati dan kutatap lebih lekat salah satu ”pion” Pak Hendro Darmoyuwono ini. Wah…mantap nian, eklusif. Sepengetahuanku, tidak banyak populasi Sprinter di tanah Jawa. Yang pernah tercatat dalam memoriku, hanya satu unit Senja Furnindo yang dipakai “Si Kuning” dan beberapa armada PO Efisiensi.

Dan menurut analisis seni marketingku yang dangkal, mengapa Adi Putro Wira Sejati menamai Sprinter -- yang kalau diartikan “atlet lari cepat” -- untuk memberi gambaran dan citra kepada khalayak bahwa karakter bus yang membebat unit chasisnya dengan baju Sprinter adalah bus yang mampu berlari cepat, bus yang nyepeed jalannya.

Bisa jadi ada benarnya kalau mengambil contoh sepak terjang ”Si Kuning” Lebakbulus-Jepara yang cukup disegani koleganya dari sesama warga Muria. Meski bermodal mesin tua, tapi sanggup meladeni tenaga-tenaga muda.

Pelan-pelan kulihat nomor polisinya…B 7168 XT. Weih, great!!!

Seketika itu pula teringat obrolan dengan Mas Wahyu, komuter Denpasar-Jakarta dan chating-an dengan Penjaja Kompor BBG 3 kg, Si Rayyan, bahwa ”XT” ini masyhur dikenal sebagai bus banter di kerajaan Safari Dharma Raya, mengalahkan Scania Van Hool B 7168 IB, MAN Van Hool B 7168 VK, XBC-1518 Automatic B 7168 MS, OH-1525 B 7168 BK maupun yang kemarin ”disewa” Mas Himawan, Hino RK8 B 7168 IZ. Tentu hal ini tak lepas dari pramudi batangannya, yakni Pak Yongki dan Pak Tessy. Jangan-jangan, inikah bus dimaksud?

Dari luar kaca, tampak petugas agen mulai membagikan snack yang pertanda bus siap take off.

Bismillah…kucontreng bus ini saja untuk mengantarku pulang ke Rembang. Setengah tahun yang lalu pernah menjajal V-engine B 7168 MK, apa salahnya mencoba Gajah yang lain.

Dengan setengah berlari, bergegas kutuju loket No. 10.

“Pak, bisa turun Rembang?” tanyaku pada seseorang berbusana batik biru colourmark OBL yang berdiri tak jauh di depan loket.
“Tanya ke dalam saja, Mas”, jawabnya menggantung.

Seorang wanita muda tampak sibuk menghitung setoran ketika aku sampai di meja loket.

“Rembang bisa naik, Mbak? Kena berapa?” aku pun nyerocos takut ketinggalan kereta …eh…bus.

Dia hanya diam, dan sesaat menoleh pada wanita di sebelahnya.

“Rembang itu mana? Dikasih tarif berapa?” bisiknya, tapi aku mampu mencuri dengar pertanyaannya.

Ya ampun Mbak…mentang-mentang kota kecil ngga dikenal ya? Kalau Mbak pernah belajar sejarah pahlawan RA Kartini, pasti nama Rembang akan harum di ingatan. Motor penggerak emansipasi wanita itu pernah menjadi ibu negara Kabupaten Rembang jaman doeloe. Bahkan, kalau Mbak mau ikut pergi bersamaku, nanti aku antar ke makam beliau yang lokasinya tak jauh dari rumahku, gumamku.

Sejurus kemudian,

“165 Mas,”
“Ngga boleh 150 Mbak?”
“Ngga Mas, segitu harganya”

Ya bagaimana lagi, posisi tawarku memang kalah. Meski lebih mahal dibanding Kramat Djati maupun Malino Putra, tapi setidaknya masih dibawah harga tiket Pahala Kencana, yang dipatok 180 ribu untuk tujuan Rembang bila numpang bis timur-an.

“Siapa yang bawa, Mbak?” tanyaku kembali.
“Itu Mas, Pak Yongki…”, sambil menunjuk laki-laki berperawakan besar yang tadi aku tanya.

Oh itu tho namanya Pak Yongki, yang dijuluki “The Legend”.

Yes…pas busnya, pas driver-nya…

1 komentar:

  1. O....jadi bisa ya mas,,turun rembang ikut mobil denpasar atau malang atau apapun yg lewat rembang...
    aku seringnya dari rawamangun nyari yg ke rembang, padahal pengennya berangkat cepat tp nunggu bisnya sampe jam 4 sore..
    ada gak yg jadwalnya jam 10 pagi gitu..biar sampe rembangnya gak terlalu larut..??

    BalasHapus