Minggu, 05 September 2010

Ganjaran Bagi Yang Ngga Neko-Neko (1)



Ini Soal Syahwat, Bung!

Pernah dalam suatu kajian yang kuikuti, Pak Ustadz melontarkan nasihat kebajikan.

“Hikmah puasa bukan semata berlapar-dahaga ria, namun di balik “penderitaan” itu, ada perjuangan akbar untuk diraup maknanya. Yakni pengendalikan hawa nafsu.”

Bisa jadi -- meski dalam kapasitas yang seujung kuku -- godaan hawa nafsu juga tak lelah menari-nari di atas altar “kealiman” seorang busmania sepertiku. Dari detik pertama permulaan Ramadan bergulir hingga pertengahan bulan suci ini, tak jua berhenti merayu “iman” untuk asyik bermasyuk di pangkuannya.

Sebut saja muslihat penjerumus itu “Syahwat Lorena”.

Entah karena alasan apa, mendadak ada dorongan berahi yang kuat dari dalam diri untuk “meminang” Lorena demi melakukan perburuan tempo 12 jam perjalanan Jakarta-Rembang. Ini bukan “perjudian” main-main, karena di ujung sana kupatok deadline berupa zona batas imsakiyah, yang kudu mampu disergapnya.

Sejujurnya, aku sendiri tidak pede saat menampik advice para pakar turing yang menyarankan agar berpikir ulang sebelum melakukan trip bersama Lorena. Dengan indeks prestasi yang menukik tajam, dari grade cumlaude di awal 80-an hingga medio 90-an, lalu menyurut dan sekarang bertahan di angka 2.5 dari skala 4.0, plus omongan miring terhadap reputasinya yang saat ini pas-pasan, sepertinya kok lebay andaikata kubebani kerja praktek bertema “600 km; Seberapa Perkasa Waktu Tempuhmu?”

Namun, lantaran tak nyaman bersengketa panjang dengan hasrat yang menggebu-gebu ini, mau tak mau, aku harus lancang melawan gelombang realita kebenaran yang ada. Aksi tutup kuping dan merem mata pun tak aku tabukan.

“Apa tugas berat ini tidak dilimpahkan ke bus lain, yang lebih mentereng kehandalannya?” sergah akal sehatku, berupaya menyeretku kembali ke jalan yang lurus.

Aku menggeleng. Tak apalah, aku takluk dan “menjual” syahwat rendahan ini ke dalam pelukan Lorena.

Rawamangun, Hari Ke-20 Bulan Ke-8

Tanggal itu adalah simpulan betapa jiwaku ini labil, masih terkungkung paham dilematis, gampang diombang-ambingkan bisikan kanan-kiri, yang kadang tak jelas dari mana sumbernya.

Mulanya, aku tak begitu menghiraukan jikalau nanti “bersetubuh” dengan LE-440, LE-450 ataukah LE-610, terlepas apapun daleman dan busana yang membebatnya. Semenjak setengah langkah meninggalkan ladang pencaharian, diri ini sudah berbulat tekad untuk mengerucutkan Lorena sebagai tambatan.

Namun, berdiri di pelataran terminal, aku pun drop menjadi insan lemah, tak cukup tangguh saat “dikeroyok” pasukan negeri timur. Pukulan tinju bakbikbuk bertubi-tubi dilancarkan Pahala Kencana Denpasar, sekondannya, Jupiter Banyuwangi dan Proteus Malang serta dibombardir jab-jab ringan Akas Asri yang mengenakan sarung cap Dafi Putra. Mereka seakan berkonspirasi tingkat tinggi untuk menjauhkanku dari Lorena LE-450 Banyuwangi, yang siang itu tampil tak kalah ayu, menyembunyikan keuzuran Mercy Intercooler dalam jubah kebesaran Adi Putro, New Marcopolo.

Dan akhirnya aku terkapar, KO, diterjang upper cut telak Ombak Biru Pulau Dewata, B 7689 IZ, yang kembali melabuhkan pilihan hati sekaligus melanggengkan slogan untuk “Say No to Ijo”.




Uh...sekali lagi pemeo “keramik rumah tetangga lebih mengkilap”, mutlak adanya.

“Maafkan aku Ren! Masih saja diri ini diliputi seribu keraguan untuk mengandalkan perjalanan di bawah ketiak sayapmu sebelum ada revolusi besar-besaran di markasmu. Aku mengaku khilaf, kali ini kembali memalingkan kepala dari penghibaanmu…,” aku bersimpuh memohon maaf kepada Tuan Putri Kerajaan Tajur.

Sebagai bentuk penyesalan, kumampatkan tujuh hari kemudian sebagai durasi peruncingan niat dan keyakinan bahwa Jumat depan, Lorena adalah satu-satunya peluncur andalan untuk mengejar waktu sahur di kampung. Aku berikrar, tak mau berkompromi dan tergelitik mengelus “binatang” yang lain lagi. Lorena adalah harga mati.

“Di Indonesia ini cuma ada dua PO, Lorena dan yang lainnya…” aku pun latah, sok-sok-an jadi POmania. Hehehe…

Bukannya aku ngeyel, berani berseberangan dengan koreksi para penggemar bus, bahwa saat ini eman-eman duitnya kalau hanya “dibuang” untuk membayar jasa Lorena.

Kendati kini berkutat dalam pusaran masa suram, namun ada tonggak sejarah yang takkan sanggup kuhapus jejaknya. Enam tahun silam, Lorena adalah satu di antara sekian saksi bisu yang kelak bisa beriwayat tentang rajutan tali asmara antara aku dan istriku, di kala mengecap manisnya “kehidupan asing” sebagai pengantin baru. Meski pertamanya kami berdua gagap menghadapi pola long distance relationship, akan tetapi, setiap kali “Sang Permaisuri” da-da-da-da melepas kepergianku kembali ke ibukota, dari balik dinding kaca bus LE-381 Bojonegoro-Pulogadung (sebelum diubah LE-461), kupandang dan kutemukan sorot mata teduh tegar, raut muka nan tabah ikhlas serta senyum mengembang merefleksikan semangat yang berkobar, bahwa kami memang harus lillahi ta’ala menjalani konsekuensi sebuah keputusan yang tak mudah ini.

Lorena adalah “kereta kencana”ku waktu itu, yang mengantarku memasuki gerbang jagat wira-wiri. Yang selanjutnya mengenalkan lebih mendalam tentang arti cinta dan kepercayaan, beratnya tanggung jawab yang dipikul kepala keluarga, pergumulan eksistensi antar manusia yang begitu masif dan tentu, Lorena adalah “guru spiritual” pertamaku di atas jalan raya. Tak akan lekang dari ingatan tentang keluhurannya dalam membimbingku, menempatkan Pantura sebagai kaca benggala yang mengajarkan moralitas dan hakikat kehidupan, berbahan tingkah polah para penghuninya.

Walaupun kini aku jarang menggandeng tangannya lagi, namun kenangan manis berkimpoi dengan Lorena terprasastikan lestari di lubuk sanubari, hingga tak terasa kami telah “berbuntut” dua.

Jadi, jangan didebat bila aku senantiasa mengucap kalimat sakral “Selalu ada cinta buat Lorena…”.

Sepekan kemudian…

Kupercepat jangkahku dari front row parkiran Pahala Kencana, di sisi barat Terminal Rawamangun, setelah turun melantai dari Metro Mini 03. Aku hanya sempat menoleh, tapi tak sampai menatap detail ragam armadanya. Takut kena goda.

Akas Asri pun kuperlakukan tak jauh beda. Meski sempat kulirik, no…no…apa istimewanya travego usang? Aku mencari pembenaran sendiri agar tak gampang goyah.

Terlihat di depan, “calon kekasih” buruanku. Kutuju dan kuhampiri dua green armada yang sedang berpose di grid keberangkatan. Berderet dari sisi belakang, terbujur MB OH 1521 Celcius yang menggawangi trayek Banyuwangi, LE-450, dan di depannya sosok Setra Adi Putro yang memajang papan jurusan LE-440, Jakarta-Jember.

Yup, sesuai janji, jiwa raga ini sudah madep mantep. Dengan style yakin, kusambangi loket Lorena.

“Masih ada yang kosong, Mas?”
“Banyak Mas. Tujuan mana?”
“Cuma Rembang. Bisa, kan?”
“Boleh, pek go ya harganya...”

Aku mengangguk setuju, tak ada kemauan untuk menego besaran tarif.

“Diikutkan bus yang mana, Mas?”
“Jember Mas, itu sudah mau berangkat…”

Transaksi di pasar resmi itulah pemungkas dari episode kebimbanganku antara mengiyakan atau menidakkan untuk memfasilitasi test case “kehebatan” Lorena di tengah taraf “kesehatannya” yang sedang meriang. Berbarengan itu pula, keabadian ungkapan “Katakan Tidak untuk Si Ijo” yang selama ini kupegang erat, tercederai.

Seberapa lamakah dia menghabiskan masa untuk “mendekatkan” dua kota, Jakarta-Rembang? Termasuk irit ataukah rakus memakan waktu? Luluskah dia menyempurnakan ekspektasiku untuk menikmati acara sahur mesra bersama ibunya anak-anak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar