Minggu, 05 September 2010

Ganjaran Bagi Yang Ngga Neko-Neko (2)


Sabar Tiada Berbatas

Tak sampai 15 menit dari start pemberangkatan pada jam 12.43, LE-440 mulai menggilas Tol Wiyoto Wiyono. Setelah mendaki entry gate Pedati, jalan layang terlihat ramai lancar.

“Ini kesempatan untuk show off sesungguhnya...” harapku.

Sedikit demi sedikit, pedal gas dibejek driver pinggir dan secara perlahan mengangkat derajat kecepatannya. 30...40...50...terus-terus, aku bersorak menyemangatinya. 60...70…ayo, terus!!! Lho…lho???

Ahhh...aku meremas rambut. Tak ada lagi gelagat injakan kaki untuk menambah kucuran solar. Cuma mentok di angka 70+1 km/jam.

Pun mirip saat menyusuri Tol Cikampek. Jarum speedometer malas untuk bergeser dari range 60-70. Sesekali saja menembus 80 km/jam saat mendahului pengguna jalan yang lain, sesudahnya, arah tapak roda berpulang ke lajur 2 atau 3, dan kembali ke selera asal, eco-speed.

Tanpa ampun, mendekati “gerbang tol baru” Cikarang, Centrium “Buruk Rupa” B 7494 WB memuntahkan residu bahan bakarnya untuk dihirup hidung Mercy Electric lansiran 2004 ini. Tak selang lama, gantian skuad Madura-an yang lain, Haryanto B 7589 IG membuatnya terjengkang. Bahkan, tanpa sopan, langsung “melipat” jalan produk 263 ini sebelum masuk SPBU km 39. Gila, Laskar Sakera ngacir, sementara tungganganku malah melakukan ritual “sai”, lari-lari kecil.

Tiba-tiba..sliutt…bus sedikit oleh ke kanan. Haaa??? Jelas terlihat Pak Sopir didera kantuk yang luar biasa. Matanya kuyu dan mukanya sedikit pucat, sambil tangan kirinya terus memukul-mukul tengkuknya.

“Ngantuk ya, Pak?” tanyaku, yang bersinggasana 1B.
“Eh…iya. Aneh Mas, setiap lewat tol antara Cikarang-Karawang, kok jadi gampang ngantuk ya?” jawabnya agak kaget. “Tapi, kalau sudah sadar gini, lha terus ilang begitu saja…”
“Jangan-jangan ya saking pelannya ini yang membuat engkau mengantuk, Pak?” selorohku.

Menjelang exit Cikampek hingga seputaran Jomin, hujan mengguyur dengan lebatnya, seakan meniadakan kemarau di peredaran tahun shio macan ini. Jarak pandang terbatas, tak kuat menerobos jarak 50 m. Denyut putaran roda bus pun semakin melemah.

Kemungkinan, serangan titik-titik air yang impulsif itu jadi causa prima kecelakaan beruntun yang melibatkan lima kendaraan di daerah Jomin, masing-masing antara pick up, avanza, grand max, truk trailer serta bus Dedy Jaya. Keuntungan fisik menentukan kadar kerusakaan. Bus dan truk hanya lecet di bumper depan, avanza dan grand max ringsek, sementara mobil box terguling. Meski terhitung accident frontal, tapi tak sampai memacetkan jalan.






Mengaspal ruas Kopo-Pamanukan yang relatif lengang, derap langkah properti Ibu Eka Sari ini seolah tak ada greget dan kurang stamina. Jangankan mempertontonkan naluri membunuh aktor “The Legend”, memanfaatkan keunggulan postur dan tenaga pun tak ditampakkannya. Beberapa light truk berdaya 120-135 PS malah dengan enteng mengasapinya. Pokok-e alon-alon waton kelakon, kelewat sabar dan selalu “istiqomah” mengekang kecepatan jelajah di kisaran 65 km/jam. Masih beruntung, tak menganut aliran “gigi 8” atau netralisme.

Mengurai arus lalu lintas, pun setitahnya. Ada kesempatan ya nyalip, tidak ada pun tak pernah memaksa meminta jalan pada yang lain. Kalem, melow, nuwani, mlaku thimik-thimik, taat aturan, serta tak banyak tingkah alias tak neko-neko.

Kurang cocok dengan budaya dan karakterku sebagai warga Muria Raya. Hehehe…

Tapi, justru di situlah letak tantangan, “How I can find where is the beauty of this bus?”

Belum juga memulai pencarian “keindahan” bus berkonfigurasi 30 seat ini, Kopral “Blue Marcopolo” yang tadi menendangnya di tol Cikampek, mencampakkannya kembali di depan RM Sari Wijaya Rasa.

Pufh…aku hanya menghela napas. “Biar bermodal kaki-kaki modern OH 1525, rasanya masih kekar punyamu yang dulu, Ren, saat mengampu generasi OH1113.”

Bersanding dengan Kyai

“Tujuannya mana, Pak?” tanyaku pada seorang bapak (mungkin tepatnya malah kakek) di sebelahku, untuk mengalihkan fokus dari pemandangan yang menjemukan.

“Jember, Mas. Lha Sampeyan ini turun mana?” balasnya dengan pitch yang agak susah dicerna. Maklum, beliau sudah cukup sepuh.
“Rembang, Pak…”
“Rembangnya mana?” beliau terus mencecar pertanyaan.
“Sulang” jawabku sambil berbisik “Palingan beliau juga tidak tahu kota “Sulang” itu persisnya di mana.”
“Hahaha…,” tunggu...tunggu, mengapa beliau malah tertawa, dan sejurus kemudian berujar, “Sampeyan itu wong ndeso, Mas.”

Asem ik…Bukannya memungkiri kalau aku ini orang dusun, tapi please deh, mbok yao jangan diverbalkan gitu deh, Pak. Sudah busnya “memprihatinkan” begini, masih saja diri ini dihina dina sebagai wong ndeso. Kurang apa biru dukaku ini?

“Bapak kok tahu Sulang itu ndeso?” aku masih habis tak mengerti, penasaran.
“Lha gimana ngga tahu, biar saya lahir di Jember, tapi alm. kakek dan nenek saya kan asalnya dari Lasem. Jadi saya ya sedikit paham soal Rembang…”

Wow…bukan hal aneh bin ajaib. Aku pun terdiam, tak menyanggah lagi.

Berawal dari “olok-olok” kecil inilah, kami berdua kian akrab. Aku pun berusaha mengorek tentang siapa sosok dirinya, sampai akhirnya terbuka “selimutnya”. Beliau adalah salah satu pengasuh Pondok Pesantren As-Shidiqy Putri Jember. Wajar saja, dari gaya bicaranya, keilmuwan agama yang mendalam serta guyonan cerdasnya khas kyai NU, aku menduga pasti beliau seorang ulama kharismatik di sono.

Berbekal aji mumpung, mumpung berdampingan dengan seorang kyai, banyak hal-hal yang kutanyakan terkait ajaran Islam, khususon ilmu fiqh. Mulai polemik jumlah rakaat salat tarawih, tata cara bersuci dan salat shubuh di atas bus, masalah jamak taqdim dan jamak takhir ketika safar dan lain sebagainya.

Beliau pun bermurah budi dan secara gamblang membeberkan semuanya, memberikan pencerahan pada santri anyar tanpa kopiah ini. Hehehe…

Tak cuma itu, beliau juga membagi cerita dan pengalaman me-manage pondok pesantren dan sekolah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah) yang dikelolanya. Bagaimana mengasuh 500-an santriwatinya, mencari sumber pendanaan bagi operasional kegiatan belajar mengajar hingga mengajari anak didiknya berwirausaha di dalam lingkungan pesantren.

Meski telingaku sedikit terganggu dengan logat Banyuwangi-an yang kental, tetapi enak juga menyimak penjelasan beliau yang runut saat bertutur. Serasa mendapat tambahan ganjaran pahala, “itikaf” di atas bus, seraya mendapat tausiyah dari narasumber yang mumpuni.

Keramat seorang ulama memang luar biasa. Di tengah pelayaran bahtera LE-440 yang membikin bete, di tangan beliau, kebosanan ini dikreasikan menjadi sesuatu yang menyenangkan, dihadirkannya keberkahan waktu dan (insya Allah) forum empat mata ini akan berkacamata ibadah.

Menurutku, beliaulah the beauty of this bus, oase di tengah tandusnya gurun Pantai Utara Jawa hari itu.

1 komentar: