Minggu, 05 September 2010

Ganjaran Bagi Yang Ngga Neko-Neko (3)


Pinggir dan Tengah Seragam

“Biarlah pemain pertama “kurang bergairah”, whow knows, tandemnya tampil menawan…,” aku meretas asa, saat pendulum waktu berayun di angka 15.38, sesaat sebelum bus meninggalkan RM Taman Sari, Pamanukan.

Belum mencapai 1 mil darat memulai petualangan, sudah bisa ditebak performanya. Setali tiga uang dengan starter-nya. Laksana pewaris tahta, hanya jadi pelanjut tradisi adem ayem, semengalirnya saja, tak punya gen agresor, langka ulah neko-nekonya, very-very polite serta lembek dalam mengelola permainan. Istilah rada kasarnya, berhenti segan, berjalan pun tak mau.

Ya wis…enjoy aja. Biar hambar, masak aku harus menolak citarasa yang disajikan. Kusambung lagi pembicaraan dialogis antara wong abangan ini dengan Kyai Jember itu.

Sementara itu, jauh di depan, terlihat Akas Asri yang baru saja keluar dari kedai Singgalang Raya, Losarang. Bagus, siapa tahu jadi pemacu spirit of race LE-440 ini.

Setelah berhasil menyebelahi, oleh driver coba dikembangkan potensi tenaga 250 HP untuk membenamkan puing-puing kekuatan OH King. Namun, bus berpaspor N 7023 US jauh trengginas. Tak butuh lama, seolah dilecut, makin lama makin menghentak. Imbasnya, Lorena kembali tercecer dari persaingan dan hanya jadi pengamat “pantat” Jeng Asri di kala memamerkan sensualitasnya, meliuk-liuk bak penari ular manggung di mimbar catwalk Pantura.

Meski tak terlalu signifikan, tapi usaha penggawa Akas II tersebut berhasil menarik keluar “kemelimpahruahan” daya dorong OM906LA. Tak ingin kehilangan “sex appeal” nan sintal dan putih mulus, dikuntitnya secara lekat dari jarak yang aman. Tapi sayang, semakin dikejar, justru semakin jauh dan akhirnya hilang di tengah temaram senja Tol Cirebon.

Acung dua jempol. Busnya tukang cuci Bi Marpuah yang kadang nyambi jadi ojeknya Jeng Asri (eh, atau kebalik ya?), Si Budi jejaka Ambulu itu, memang tampil impresif dan memukau.

Deal or No Deal

Di atas beton jalan bebas hambatan Pejagan, saat magrib tiba, terpentaskan adegan drama yang bisa “bersayap” ketika nanti dievaluasi keabsahannya.

“Mas, gantiin dulu, mau berbuka…” kata pramudi kepada asistennya, yang sedang duduk manis di kursi CB, sebagai prolog cerita itu.

Dalam hitungan detik, barter posisi terjadi. Meski seribu satu, adalah hal lumrah terjadi subtisusi jabatan antara sopir ke-1 dan sopir ke-2 saat kondisi keenam ban “berpusing”. Tapi kasus yang satu ini, antara sopir dan kenek?

Aku hanya bisa tersentak, termangu. Speechless….

Di tengah beratnya memanggul profesi sebagai “Sopir Antar Kota Antar Propinsi”, tak mengganjal niat driver tengah ini untuk tetap menjalankan kewajiban menyempurnakan rukun Islam ketiga. Betapa dalam kepatuhan religiusitasnya. Sangat jarang kutemukan para abdi jalanan yang rela “tersiksa”, memelihara haus lapar di balik kemudi.

Dan siapa sih kaum shaimin shaimat yang tak ingin menyegerakan berbuka, di saat lonceng penandanya tiba.

Namun, di tengah tol-nya Bakrie yang belum dilengkapi tempat ngaso, mana mungkin untuk menepikan bus yang dibawanya. Dan alternatifnya, adalah mengkaryakan kru ketiga yang lebih sering leyeh-leyeh sepanjang perjalanan. Tapi…apa iya dibenarkan menyerahkan kedudukan bukan pada yang berkompeten?

Penumpang telah menebus harga, dan berangan pula sepadan dengan pelayanannya. Namun apa yang didapat? Apa tidak membahayakan, lingkar setir dipasrahkan bukan kepada ahlinya?

Di sisi yang lain, perasaan Mas Kenek (mungkin) juga senang hati menerima tongkat estafet ini. Apa iya…sepanjang hayat masih mampu, akan selamanya jadi navigator? Apakah salah berharap pangkat karirnya akan gemilang, dari cuma barisan pendukung, ke depannya berubah jadi garda terdepan operasional sebuah PO? Kalau bukan momen seperti ini, kapan lagi mematangkan keterampilan tangannya.

Ah…deal or no deal. Benar-benar konflik batin untuk menetapkan ukuran kepatutannya. Semoga kenek ini adalah mantan pengemudi, sehingga keselamatan bus tetap terjaga dan terlindungi dari hal yang tidak diinginkan. Hanya doa itu yang kutengadahkan.

Dalam suasana jantung deg-degan, harapanku terkabul. Meski sesekali telat “oper transmisi”, tapi kelihaiannya menyetir lumayan meyakinkan. Tapi, tak lantas sopir utama “cuci tangan”. Sambil menyantap isi “kardus nasi”, beliau acapkali memberikan arahan dan aba-aba, agar pilot dadakan ini tetap melaju di rel yang benar. Buktinya, hingga lampu merah Kota Tegal, anomali pengaplikasian sebuah SOP (Standar Operasional Prosedur) di dunia per-bus-an ini terselenggara dengan safe, aman serta sentosa.

Ganjaran Sebanding

Aku terbangun saat dapur pacu B 7136 XA ini meraung-raung memanjat tanjakan Banyu Putih. Efek kekenyangan takjil, kesejukan angin yang dihembuskan louver Mark IV Thermo King, serta dininabobokan oleh bunyi mesin yang berirama dan beritme monoton, rupanya mengajakku melayang-layang dalam peraduan, mengeksplorasi alam mimpi yang membentang antara Petarukan hingga Alas Roban.

Tetap, tak ada yang spesial. Bus yang disemati sertifikasi ISO 9001:2000 dari UKAS Quality Management dan AJA Registrans ini tetap berderak sepeti biasa. Iming-iming jalan sepi tak juga membuat tertarik Pak Kusir untuk menyantapnya bulat-bulat. Hingga akhirnya…wuss…wuss…Lorena Denpasar minta permisi lewat, saat “mengoyak” emas hitam di ringroad Kaliwungu.

Mungkin karena alasan “ngga sopan ngelunjak” pada seniornya, dia pun menunggu kompatriotnya di check point Krapyak, saat diadakan sidak “pengontrolan”. Di sisa etape, Semarang-Rembang, sama-sama klan OH 1525 itu -- LE-610 dan LE-440 -- jadi teman seiring sepenanggungan. Dengan posisi di depan, New Travego memandu sesepuhnya, Setra Selendang, agar tak perlu kerja keras memelototi jalan. Cukup berkomunikasi lewat bahasa isyarat lampu sein dan hazzard, kondisi jalan bisa terbaca.

Tapi, solidaritas dan laku tepo seliro itu pun terlukai. Setelah melewati pabrik kacang Garuda, Pati, tiba-tiba disorong mobil F1 seri MP-24 McLaren-Mercedes yang menempel di lambung PO Coyo, eksekutif Cirebon-Malang. Secepat kilat, bus adikarya New Armada, Magelang, itu membenamkan duo Lorena yang tengah terlena dalam romantisme berpacaran. Seakan tak mau diremehkan ataukah hilang kesabaran, B 7636 IV segera keluar arena membidik G 1686 AA yang berlari secepat cheetah. Tak diacuhkannya lagi nasib bus yang bangkunya cuma laku separuh ini. Yang tak punya ghirah memeragakan determinasi level tinggi, mempertontonkan nama prestisius sebuah perusahaan otobus, PT Sari Lorena. Dan samar-samar, pandangan kedua armada beda karoseri itu makin tenggelam di kegelapan malam areal tambak Kaliori. Dan Lorena-ku, sendiri lagi…Pantura alone…

Tak lama berselang, aku pun turun di seberang Satlantas Polres Rembang, lokasi tunggu penjemputku. Kurogoh telepon genggam, sekedar ingin memastikan, “Lorena Tiba Pukul Berapa?”. Sebab, sepanjang perjalanan, aku tak mempedulikan soal hour by hour, karena di awal sudah underestimate terhadap kinerja LE-440 ini.

00.25. Jam nol nol lebih 25 menit, dinihari.

00.25 dikurang 12.43. Tak sampai 12 jam??? Ah, yang benar? Mosok bis leuleut punya prestasi yang spektakuler? Bercermin pengalamanku, jarang bus yang bisa menundukkan target waktu.

Kugali penyebabnya…Hmm, apa ya? Oh, pantas. Sepanjang rute yang “didaki”, nyaris tanpa halang rintang yang berarti. H-14, infrastruktur jalan mulai halus rata, bersih dari gangguan, minim bopeng-bopeng, karena memang – siap tidak siap --- dipaksa untuk siaga menampung aliran para pemudik lebaran. Berbekal cruising speed yang cenderung konstan dan stabil, di ceruk kecepatan ekonomis, nyatanya mudah bagi another member of “Keong Stroke” ini menggapai rekor best lap-nya. Inilah buah keuntungan, namanya.

“Kok cepet, Pa? Belum jam satu sudah sampai rumah…,” sambut “menteri keuangan”ku saat membukakan pintu.

Ternyata tak keliru. Versi cepatku sama sepemahaman dengan yang dirasakan pendampingku. Kecepatan boleh lambat, namun LE-440 terhitung tak lambat secara raihan waktu.

Ku-rewind perjalanan dua kali terakhirku selama Ramadan ini.

Dengan Haryanto Avant Garde Madunten, hasilnya menjulang hingga 13 jam lebih. Tentu bukan faktor internal, (siapa yang meragukan Kudus-an’s habit) namun perbaikan jalan Sukamandi dan sekitarnya, serta istirahat tambahan berbuka puasa di rest area Tol Palimanan, berpengaruh banyak meng-extend waktu tempuh.



Pun saat naik Pahala Kencana Denpasar seminggu setelahnya. Dengan gaya ngeblong-nya tak sanggup menembus 12 jam, dikarenakan kemacetan parah di km 30-an Cikarang dan sedikit ketersendatan di Kota Tegal.

Coba compare dengan LE-440 ini. Tanpa ngotot, tanpa bedigasan, tanpa slonang-slonong, tanpa selap selip atau ringkasnya tanpa neko-neko, limit setengah hari Jakarta-Rembang pun bisa ditumbangkannya. Apa tidak hebat?



Konklusinya, tak selamanya bus banter itu identik dan berbanding lurus dengan torehan catatan waktu yang positif. Tak dapat disangkal, aspek keleluasaan, kemulusan dan kelancaran jalan raya adalah kunci di atas segala-galanya.

Slowly or Speedy, just 11-12, a slim difference…

------
Moral of The Lesson buatku pribadi.

“Dik, mengisi hidup ini, berteladanlah pada LE-440. Jauhi berbuat zalim, baik pada dirimu sendiri, lebih-lebih pada sesama. Berjalanlah selaras dengan norma-norma yang telah diundangkan untukmu. Gusti Allah ora sare. Yang Maha Kuasa niscaya berbelas kasih, memberi ganjaran setimpal. Dia akan membukakan jalan bagimu, memudahkanmu melewati onak-duri penghalang, serta meringankan pergeseran langkahmu dalam menggapai cita-cita akhir kehidupanmu, selama kamu tidak berbuat neko-neko.
Camkan sekali lagi, tak perlu neko-neko*!”

*neko-neko : berulah negatif

------

Lorena, don’t you know that I still care for you…

6 komentar:

  1. Bearti alon-alon asal tekane gasik ya mas...

    BalasHapus
  2. Wah...baca seri 1 ampe 3..asyik banget...
    cuman masalah seri dan keunggulan bis agak lieur...soale gak mudeng blas..tapi tidak mengurangi keasyikan jalan cerita...
    nuwun sewu...apa panjenengan masih bolak-balik jakarta - SULANG PP.. dan brp kali / bulan frekwensinya..?
    bisa dapat PENUMPANG TELADAN AWARD ...he..he..
    mbok cerita serba sedikit tentang aktifitas dan bisnis sampean to mas..?? nuwun..

    BalasHapus
  3. mungkin benar juga anggapan, sekenceng apapun kalau jalan nya masih pantura yang sekarang, tidak akan jauh beda sampainya dengan yang santai, karena di depannya ada kemacetan dan tidak hanya satu saja, jadinya jam tempuh kurang lebih sama...

    BalasHapus
  4. Oke mas, tulisan terbaru tak tunggu

    BalasHapus
  5. no need speed but commitment of time. klo kata wong jowo biar lambat asal gak sampe 13 jam... salute to lorena... go green

    BalasHapus
  6. very very good..sangat mengharu biru..mas didik.memang betul mas dalam segala sesuatu itu ada pelajaran yang dapat diraih..tak tunggu cerita lainnya mas.assalamualaikum...

    BalasHapus