Kamis, 21 Oktober 2010

Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(2)


Meski perjalananku kini berlumur noda, namun tak akan kusia-siakan waktu hanya untuk meratapi kesialan hari ini. Kekhilafanku bukan karena kesengajaan, dan semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memaafkan. Aku harus tetep enjoy menjiwai trip sejauh 600 km selama 12-13 jam dengan keceriaan dan sukacita, ibarat pemudik yang kangen akan kampung halaman.

Perlahan tapi pasti, saat bandul jam menunjuk angka 08.05, “Intercooler Jumbo” mulai melindas permukaan aspal tol Jakarta-Cikampek. Tak bisa kupungkiri, soal speed dan greget putaran flywheel-nya, bus ini memang luar biasa. Seolah fardhu ain hukumnya bagi armada-armada pesisir timur Jawa Tengah untuk tampil ofensif tatkala berlaga di panggung Deandels.

Meski aku tak berharap muluk “diorama malam” pantura tersuguhkan pula di siang hari, nyatanya “warna” bus siang ini tetaplah bus malam.

Poin keindahan pertama, ketika beberapa saat beradu kecepatan dengan armada D104 Hino RG milik Doa Ibu, Karangnunggal-Tasik-Jakarta. Dan itulah korban pertama yang ditumbangkannya. Menyusul kemudian Mayasari Bhakti PAC 124 Cikarang-Lebakbulus yang didepaknya sebelum masuk paddock di km. 19 untuk mengisi BBM.

Saat bus berkode trayek XX-039 -- dua bilangan terakhir sama plek dengan langgananku, NS-039 -- bergerak ke timur, acapkali berpas-pasan dengan bus-bus yang “bangun kesiangan”. Tercatat Raya Panorama DX, Pahala Kencana Galaxy, dua Pahala Kencana Proteus, Karina Evolution “vermakan”, OBL Old Travego, ALS Proteus dan sapu jagatnya Soloensis, Gaya Putra.

Sekeluarnya dari SBPU Bekasi Timur, menempel dengan rekat buritan Prima Jasa jurusan Harapan Indah Bekasi-Bandung, B 7962 YL. Namun apa daya, Hino “Semprong Kiri” (istilah Hans SJM) tak kuasa menandingi daya 210 HP dari output OM 366LA. Kemudian, disungkurkannya pula Dedy Jaya Nucleus 3 Cibinong-Pekalongan, Sinar Jaya 18WX, serta MGI Skania Restu Ibu, Bandung-Cibinong.

Kembali, bus-bus malam yang tercecer dari habitatnya terpindai. SAN Celcius, dua Pahala Kencana Marcopolo, Lorena LE-115 Banyuwangi-Lampung, dan Kramat Djati Malang. Sedangkan bus Sumatra-an ”paling pagi” yang bersiap mengarungi wahana Andalas adalah Bengkulu Kito, berkaroseri Galaxy Coach Restu Ibu.

Sedang asyik cuci mata, Mas Kenek undur ke belakang dan kemudian duduk di sebelahku. Aku semakin gemetaran, keringat dingin bergolak untuk dialirkan. Inilah detik-detik krusial penobatanku sebagai sarkawi.

“Mas, pakai tiket apa langsung ke sampeyan?” inisiatifku sebagai mukadimah gelaran acara jual-beli. Siapa tahu, dia membawa tiket dan didapuk selaku agen berjalan, meski itu mustahil karena di luar adat kebiasaan entitas “Plat K”.

Dibarengi senyum sumringah, karyawan berkemeja merah putih itu berujar, “Langsung saya, Mas.”

Kusodorkan selembar uang Rp 100.000,00, sembari aku mengunci tawaran, “Samakan dengan tarif resmi saja, Mas!”

To the point dan mengalah saja, itulah maksudku. Aku tak mau bertele-tele hingga alot dalam negosiasi. Diserahkannya kertas rupiah bergambar ibu-ibu pemetik daun teh sebagai kembalian. Tanpa ada tiket, tanpa kupon breakfast, tanpa payung hukum, tanpa jaminan asuransi keselamatan, serta tanpa legalitas sebagaimana jamaknya penumpang, itulah “barang berharga” yang tak kudapatkan.

“Nanti pas makan ikut saya ya, Mas!” pesannya saat menutup trafficking jahanam ini, diiring sorak-sorai serta gelak tawa sekawanan iblis di pundakku atas kesuksesan misi mereka. Asy*m…

Di luar perkiraanku, bus berkelas eksekutif ini keluar di gate out Karawang Timur untuk mencapai Terminal Klari. Pasalnya, ada satu orang penumpang yang telah mem-booking. Aku bersyukur, bus “berziarah” di tempat yang belum pernah aku jamah. Hitung-hitung pengalaman baru. Meskipun mini, tapi geliat kehidupan terminal ini cukup nyata. Berjejer agen-agen bus ke Jawa dan Sumatra, dihiasi armada Sumber Alam 298201, DMI Evolution, Danau Ranau Indah dan laskar Warga Baru serta Agra Mas yang berjejalan di dalamnya.



Sepulangnya dari Klari, ditutupnya aksi penuntasan etape Jakarta-Cikampek dengan meng-overtake Budiman Tasik-Cikarang.

Di pertigaan Mutiara, Jomin, bus yang konon punya trayek Jakarta-Madiun ini berhenti karena ada isyarat tangan dari pegawai toko oleh-oleh yang merangkap calo jalanan untuk menghadirkan “rezeki nomplok”. Masuklah dua orang penumpang yang statusnya setali tiga uang denganku.

Lumayan hasil seseran kali ini, mungkin itulah risalah kegirangan kru.

Kedigdayaan bus bernomor lambung XX-033 di jalur Cikopo-Pamanukan mencuat karena memang tiada musuh sepadan. Kondisi lalu lintas yang relatif sepi dari kendaraan berat, kian menambah gairah nge-gas drivernya. Apalah arti Sinar Jaya 52VX Air Suspension, teammatenya, Proteus 75S, Dewi Sri G 1415 CE, dua Dedy Jaya bersenjatakan Clurit bikinan Mpu Laksana, Bhineka bodi Celcius, Luragung Jaya berselendang Tri Jaya Union, Handoyo Setra New Armada, serta Damri Bogor-Bumiayu? Tak satupun yang menghalang-rintangi ayunan kaki OH 1521 ini.

10.25, tibalah di pelataran rumah makan terkenal di daerah Pamanukan dan selanjutnya bus diparkir bersebelahan dengan Pahala Kencana Marcopolo, K 1597 B. Inilah yang mencuri perhatianku. Faktanya, Ombak Biru divisi Kudus gerah juga dengan aroma persaingan sengit pemberangkatan pagi Pulogadung. Tak tanggung-tanggung, armada ter-update beremisi Euro 3 dikaryakan menggawangi trayek hingga pelosok Rembang-Lasem-Bangilan. Andai saja tadi aku dapat menangkap bus ini, pasti petang nanti tak perlu repot oper di Kota Kretek.

Kuikuti langkah Mas Kenek menuju ruang yang dikhususkan buat para kru. Tersaji hidangan yang serbaneka dan komplit, tanpa ada amar “Maaf, ambil satu potong!”, dengan bebas dipersilahkan mengambil sekehendak nafsu. Minumnya juga tinggal tunjuk, cukup bilang pramusaji sesuai selera. Sarkawi dimanjakan bak raja diraja. Penumpang non-ilegal kalah layanan segala-galanya.

Jikalau aku menilik satu sisi enaknya jabatan sarkawi, bolehlah aku berseloroh, “rumah makanmu adalah surgaku”. Hehehe…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar