Kamis, 21 Oktober 2010

Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(1)



Semestinya, aku menuruti kaidah berpikir yang sederhana menyikapi “episode hitam” kisahku kali ini. “Bungkam seribu bahasa, itu saja…,” demikian hasut logikaku. Bukan karena aku pelit berbagi cerita, namun ada semacam kegentaran psikis ketika nanti menghadapi ragam tanggapan di penghujung tulisan yang kutuai dari teman-teman serumpun; busmania.

Andai aku mau, lembar catatan ini lebih aman kulipat rapi lalu kusimpan dalam laci pribadi, terlarang kubeberkan kepada publik. Rahasia negara tak bakal bocor oleh pembobolan. Dan imbasnya, tingkah polah berikut rapor biru-ku sebagai duta anti sarkawi (setidaknya) bagi diri sendiri, citra serta reputasinya lestari terjaga.

Kegetiran nasib sebagai penumpang haram atau kaprahnya dijuluki sarkawi, sudah kapok kupungkasi bersama Tri Sumber Urip. “Ke depannya, aku tak lagi bermain api menjadi sarkawi…”, demikian tekadku kala itu.



Sayangnya, aku bukanlah orang yang pandai berlagak sok suci demi memendam cela. Aku lebih suka blak-blakan menceritakan lika-liku perjalanan, terlepas dampaknya akan mencoreng kapasitasku sebagai busmania. Biarlah, aku sedia dihimpit risikonya. Aku siap menerima sanksi sosial, cibiran sinis, nota protes ataupun tendensi negatif, dan tentu saja, berlapang dada untuk menanggung malu.

Segalanya ini aku niatkan agar kita-kita yang mengaku pencinta bus lebih membuka mata, bahwa di tengah hingar bingar bisnis gelinding ban, bersarang “lintah transportasi” yang terus menghisap darah induk semangnya, yakni operasional PO, sekaligus jadi “pupuk organik”, penyubur sesaat kesejahteraan kru.

Sarkawi, sang “makhluk gaib” yang fenomenal dan penuh kontroversi memang lambang keabadian. Seolah, keberadaannya tak mampu dimatikan oleh kebijakan setegas apapun.

Budaya mudik menjelang akhir pekan, perjalanan Pulogadung – Rembang dengan transit di Kudus yang belum lama kutunaikan adalah refleksi bahwa momok itu terus menebar perangkap sehingga begitu gampangnya insan lemah sekaliber aku berpaling sumpah, cidro ing janji untuk “Say No to Sarkawi”.


“Turun di dalam apa di luar terminal, Mas?” tanya tukang ojek yang mengantarku dari Semper menuju Pulogadung, saat corong knalpot motornya menderu di depan Pulogadung Trade Center (PTC).
“Di dalam saja, Pak!”

Sepengetahuanku, tak ada slot, baik tempat, kesempatan maupun waktu bagi bus Muria-an untuk ngetem di luar terminal. Yang punya “hak” ya bus Cirebon-an, Tegal-an dan Solo-an. Wajar saja, kuperintahkan si penjaja jasa hantaran itu untuk langsung “menusuk jantung” terminal AKAP paling uzur di “lapak”nya Fauzi Wibowo, agar aku lebih leluasa memilih bus.

Dipacunya kuda Nippon berspesies Suzuki Smash, larut dalam lalu lalang kendaraan yang menyemut di salah satu jalan arteri kawasan Jakarta Timur. Matahari telah menyembul sepenggalah dari ufuk timur. Dengan energi terik sebagai tajinya, mencoba menghalau gumpalan awan mendung yang bulan-bulan ini terus merecoki fase kemarau di langit Pulau Jawa.

Saat “taksi roda dua”ku menyerobot traffic light pertemuan exit terminal dan Jalan Raya Bekasi- Pulogadung, dari sisi kiri terlihat sosok yang tak asing lagi bagiku. Sebuah bus berbalur latar “deep purple” yang ngglondhang tengah tergesa-gesa melaju ke arah Cakung, sebab didorong-dorong oleh “lawan main”nya, bus berkode HM 17. Di balik kaca depannya nan bening, terlihat jelas tiga penggawanya, yakni driver beserta asistennya, dan satu lagi “Mbak Agen”, yang sedang sibuk mengkalkulasi pendapatan dari tiket.

Ah, buat apa aku buang-buang waktu ke dalam terminal? Mengapa tak naik bis itu saja? Toh, banyak kursi yang tak berpenghuni. Aku pun berdalih dan jadinya berubah pikiran.

“Pak…Pak…putar arah!” kutepuk bahu Pak Ojek.
“Ada apa, Mas?”
“Kejar bus itu, Pak!” instruksiku sambil jari telunjuk menuding target bidikan.

Setelah melakukan u-turn, dan dengan gesit selap-selip membelah keruwetan lalu lintas akibat banyak angkutan kota yang mangkal, naga-naganya, armada berplat X 1867 AX bisa tersusul, persis di depan pul PO Muncul, Pulogadung.

Aku pun mendarat di samping markas Garuda Mas untuk mengambil jeda, menunggu bus berbodi New Travego Adi Putro versi pertama itu mendekat. Segera kulambaikan tangan, dan direspon oleh pramudinya.

“Kudus kan, Mas?” basa-basiku.
“Ayo, Kudus…Jepara…” balas sang “pemilik bangku CB” sambil membuka gerbang depan.

Kutiti permadani berundak menuju singgasana Alldila. Kuedarkan pandangan sekeliling dan selanjutnya kususuri lorong menuju lokasi di baris ke-6 sebelah kiri. Duh, nyaris kosong melompong, cuma terisi 8 nyawa dari 34 seat yang tersedia. Apa gara-gara arus balik baru saja berlalu, bus-bus ke timur terpercik getahnya, sepi penumpang.

Saat badanku menekan punggung kursi, tiba-tiba aku tersadar, mana “Mbak Agen”? Kuamati lebih jeli ke segenap penjuru, tapi kok nihil. Nah lo…jangan-jangan, waktu di tengah kemacetan, “Si Mbak” turun, lantaran jobdesk-nya telah usai. Kukira dia akan mengawal bus hingga entry Cakung, seperti yang dilakukan ticketing girl busnya Bah Do waktu itu.

Astaghfirullah… benar-benar di luar skenarioku. Roman-romannya, aku kena jerat sarkawi. Pintu transaksi resmi dengan agen praktis tertutup, dan kini, klienku adalah kru. Ceruk kalbuku meradang, meski sejatinya ragaku juga ambigu harus berbuat apa. Mosok aku membalas budi baik Bapak Sopir dengan meminta aku diturunkan kembali demi seutas nilai kejujuran? Aku pengecut, belum punya kegagah-beranian untuk itu.

“Ah, mengapa aku menganulir keputusan untuk turun di dalam terminal? Ya Tuhan, mengapa Engkau jodohkan hamba-Mu dengan situasi yang serba sulit ini?” kesahku.

Mpfuh… nasi sudah menjadi bubur, telur sudah jadi martabak, apel sudah menjadi jus, apalagi yang perlu kusesali. Biarlah, sekarang aku jadi pendosa dan mau tak mau, kudu secara jantan, lahir-batin memikul potensi kesengsaraan jilid II sebagai seorang sarkawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar