Kamis, 21 Oktober 2010

Sumpah! Jadi Sarkawi Itu Bukan Mauku…(3)



Hingga sesuap nasi terakhir yang tersisa, benar-benar kurasai legitnya fasilitas “wah” yang diperuntukkan bagi sarkawi. Bayang-bayang sindrom “tak selamanya sarkawi itu indah” kian menjauh dari anganku.

Tapi...

Dunia berubah drastis saat Mas Kenek menemuiku.

“Mas, sehabis makan, Mas jalan ke depan ya. Sampai ujung, terus belok kiri. Di situ ada toko, Mas menunggu bus di sana! Yang penting ngga kelihatan dari sini...”

Deg, aku hampir tersedak ditampar kata-katanya. Apa-apaan ini? Inikah awal derita “si benalu kutu kupret” itu?

Dengan langkah gontai, kususuri jalan tanah yang kering dan berdebu. Enam tahun sudah aku menjalani komuter mingguan, dan baru kali ini aku dijerembabkan oleh tindakan bodohku sendiri.

Kulewati segerombolan neng geulis bermake-up menor, menenteng tape recorder dan speaker yang di-casing-i box kayu, hendak menjual suara emasnya pada bus-bus yang keluar dari rumah makan.

Sungguh, harkat dan martabatku jatuh berkaca diri pada mereka. Begitu terhormat dan mulianya para pengamen tembang karaoke itu. Di tengah sengatan surya yang membakar, tak kenal malas menjemput setetes rezeki dengan “amalan” yang benar. Sedangkan aku, kini dihina-dinakan jagat alam sebagai budak sarkawi.

Tak sampai lima menit, “Smiling Face” Royal Coach E itu muncul dan menghampiriku. Tatapan tajam para penumpang yang lain menyorotku nanar saat menginjak tangga. Tengsin aku dibuatnya!

Saat duduk kembali, tiba-tiba dari balik gorden yang mempartisi bangku penumpang dan kandang macan, nongol dua orang yang tadi naik dari Cikampek. Oalah, begini trik untuk mengelabui petugas. Main kucing-kucingan. Enakan mereka berdua tetap di atas bus, sementara aku tersiksa, berjalan hampir 100 m.

“Ya Allah, cukup sekali ini saja, jangan tambahkan deritaku dengan derita-derita yang lain...” pintaku mesti aku pesimis doa itu bakal terkabul. Aku dekil dan itu jadi penghalang diluluskannya permohonanku.

Bus kembali “meroket”, tak meninggalkan speedy habit seperti di intermediete pertama. Namun, itu tak menciptakan daya tarik buatku lagi. Hatiku menyenandungkan kidung gundah gulana, nuraniku berbalut keresahan, sehingga kurasakan perjalanan ini begitu panjang, menjemukan dan lama.

Kuhapus eksotisme pantura yang membentang antara Widasari hingga Suradadi dengan metode pejam mata sepulas-pulasnya. Saat kelopak indra penghilatan terbelalak kembali, raja siang mulai tergelincir dari zona waktu ashar dan di belahan utara, perairan Laut Jawa terlihat teduh tenang, serasa menyejukkan jiwaku yang sedang tandus gersang dicakar kuku-kuku jahat setan sarkawi.

Back to the track, di seberang, kusaksikan konvoi Laskar Dewata, Lorena LE-613 dibuntuti secara ketat dua Marcopolo Pahala Kencana. Kira-kira mana yang duluan menjejak Jakarta, The Green Legend or Blue Waves?

Di bawah tugu perbatasan Tegal-Pemalang, berhenti bigbus bertuliskan Gading Mas. (Semoga tak salah lihat). Yang jelas, bus dengan papan trayek Solo-Wonogiri ini masuk perbendaharaan baru nama PO yang kukenal. Berangkat dari manakah gerangan bus ini? Jakarta, Bandung, Cirebon ataukah Tegal?

Predikat predator terus identik melekat pada bus yang telah merekrut sekitar 600-an followers di grup Facebook ini. Buruan yang dimangsanya sepanjang Pemalang hingga Batang berupa Dedy Jaya Kampung Melayu-Pekalongan serta duo Coyo, masing-masing berpaspor G 1639 AA dan G 1666 AA.

Ternyata oh ternyata… mitos sarkawi pembawa sial ada benarnya juga. Dan Alas Roban merupakan padang pembalasan atas dosa-dosa manusia.

Baru saja menyusuri rute lama yang penuh kelokan dan turunan tajam, tiba-tiba…prittt..pritt…peluit sangkakala berbunyi nyaring. Seseorang dari korps baju coklat yang berdiri di pinggir jalan berhasil mengerem laju bus.

Bergegas, Mas Kenek keluar dan sepertinya berdua menjunjung tinggi semboyan “TST=Tahu Sama Tahu”. Tanpa banyak cing-cong, diselipkannya selembar duit yang nominalnya tak seberapa, tapi sukses membopengkan wajah salah satu lembaga penegak hukum di Republik ini.

Belum tuntas melahap beberapa tikungan ekstrem di wilayah wingit yang diampu Kerajaan Batang ini…

Pritt…pritt…suara tengik itu terdengar riuh untuk kedua kalinya. Dari arah berlawanan, dua orang dengan pangkat di lengan yang sedang berboncengan berusaha menyetopnya. Ck…ck…ck…rajin-rajin sekali kerja mereka di sini.

“Sudah Pak, sama yang belakang!!!” ngotot Pak Sopir setelah membuka jendela geser, sambil terus berjalan perlahan.

Bukannya berlalu, sepeda motor dinas itu berbalik haluan dan menyuruh “bus bandel” ini untuk menepi.

Dan refrain “lagu lama” diputar lagi. Sekian puluh ribu melayang, terbang ke saku oknum aparat yang lebih senang “dilayani masyarakat” ketimbang melayani masyarakat itu. (No offense lho, ya…)

Deritaku menjalar dan sekarang dirasakan juga oleh kru. Secara beruntun, sebagian hasil praktik sarkawi mesti dihibahkan kepada pihak ketiga yang kewenangannya sama sekali tak pernah menyentuh urusan pelanggaran etika menjadi penumpang umum ini .

Ulah sarkawi yang patut dipersalahkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar