Selasa, 03 Desember 2013

Denpasar Noon (2)

10.40


“Sebentar lagi berangkat, Om, tunggu ya!” instruksi seorang sopir ‘mikrolet’ jurusan Batu Bulan - Ubung.


Ah, sudah hampir satu jam menanti keberangkatan si biru ini, tapi tidak ada calon sewa yang dijumput selain aku. Benar-benar merana dunia per-angkot-an di Bali, terefleksikan dari kondisi fisik ‘gerobak Nippon’ yang hendak aku naiki. Kucel, tampil ala kadarnya, dan tak punya jadwal reguler. Bahkan cenderung lebih senang di-charter daripada berdinas sebagai angkutan kota.


IMG_1999


Andaikan terus berdiri di ujung ketidakpastian, sementara aku buta peta, sama saja dengan memelihara resiko tinggi buyarnya itinerary yang telah aku rumuskan saat pra turing.


Dengan langkah gontai, kujauhi Terminal Batu Bulan untuk mencari angkutan pasti pas alias taksi. Lantaran lokasi terminal ini tidak strategis, jauh dari pusat keramaian kota, sehingga jarang sekali ada ‘angkot sedan’ yang melintas.


Sekali lagi, jarak 2 km harus aku tuntasi hingga sampai di perempatan Tohpati.


“Ubung ya, Pak!” pintaku pada sopir taksi yang kebetulan tengah melintas pelan dan aku berhentikan.


“Mari, Om”


“Berapa, Pak?”


“Empat puluh ribu, Om!”


Taksi bercorak biru laut ini lah yang kemudian mengikis dana non budgeter dari agenda keluyuran hemat dan penuh pengiritan. Hehe…


“Ubungnya mana, Om?” tanya Pak Wayan, penggawa Bali Taksi tersebut.


“Jalan Pidada I ya, Pak.”


Kami berdua pun larut dalam perbincangan ringan tentang warna-warni pulau yang pernah dikaryakan sebagai latar shooting film drama percintaan yang dibintangi Julia Roberts, ‘Eat, Pray and Love’. Tentang kehidupan sosial masyarakat Bali, budaya dan adat istiadat, seputar pekerjaan Pak Wayan, persoalan tingginya living cost di Denpasar, serta sinopsis singkat tentang obyek-obyek wisata yang eksotis untuk ditandangi.


“Sudah sampai mana, Mas? Positif kan booking-an tiketnya kemarin?” tanya seseorang di ujung telepon menginterupsi percakapan kami.


“Jadi, Mas, sebentar lagi sampai Pidada. Lokasi agen Surya Bali sebelah mana?”


“Cari saja garasi yang ada bus Restu Mulya, Mas!” pandunya. “Saya masih di Terminal Ubung, nanti saya ke sana!”


Yup…Surya Bali. Dia lah yang akhirnya kusunting sebagai transporter untuk menghantar kepulangan menuju tanah Jawa. Padahal, dia bukanlah target numero uno. Aku prefers menominasikan PO Restu Mulya atau PO Wisata Komodo jurusan Denpasar - Blora sebagai bus pelat DK yang kugadang-gadang untuk digauli.


Sayang seribu sayang…saat aku mengorek ketersediaan kursi sehari sebelumnya, dua-duanya malah menidurkan trayek Blora. Restu Mulya memangkasnya cuma sampai Bojonegoro, sementara Wisata Komodo  tinggal menghidupkan line Purwodadi via Solo.


Tak sulit menemukan GPS Jalan Pidada I karena pengalaman 10 tahun Pak Wayan menjadi driver membuat rute-rute jalan di Pulau Bali sudah ngelothok di dalam katalog memorinya.


Jujur saja, aku dibuat terhenyak dengan sosok kantor Surya Bali. Kok sederhana sekali, tidak segebyar acara pembukaan trayek Denpasar-Jepara dan tidak sementereng tampilan website-nya? Hehe…


IMG_2010


“Saya Mas Bejo, Om, yang tadi telepon!” tiba seorang lak-laki mendekat, berbarengan dengan landing-nya armada Surya Bali, DK 9001 AC, yang baru saja datang dari Jepara.


Kehadiran bus ini membuncitkan optimisku bahwa aku tak akan seapes Yuanito Bayu yang tempo hari dapat barteran New Shantika kala berhasrat berkimpoi dengan Surya Bali.


“Mas, ini tiketnya. Saya pindah ke nomor 4 saja ya, biar nomor 20 saya jual ke yang lain.”


IMG_2047


Aku pun menebus tiket seharga seperempat jeti, sembari minta izin untuk nunut mandi, membersihkan tubuh dari belenggu bau badan yang makin rajin membangun aroma asam dan tidak sedap.


“Mas, saya menunggu di Terminal Ubung saja. Sekalian mau jalan-jalan dulu!”


Aku pamit sementara waktu, toh dua jam adalah tempo yang membosankan mendiam di pul Surya Bali, tanpa ada view yang enak dipandangi.


12.25


Lagi dan lagi, aku niatkan berjalan kaki dari Jalan Pidada menuju Terminal Ubung, melewati bundaran patung pejuang Mayor I Gusti Bagus Sugianyar.


IMG_2016


Dan ternyata, lumayan jauh juga, di luar perkiranku dari hasil ngintip portal google maps. Bikin energi dari output pembakaran makan pagi terkuras habis.


Bus malam pertama yang kutatap lekat adalah Pahala Kencana, DK 9502 IB, Temanggung-Denpasar, saat sedang unloading penumpang di jalan besar menuju arah terminal.


IMG_2018


“Ke mana, Pak…ke mana, Pak?” tanya calo-calo yang menurut pesan Bli Andre, member BMC Bali, dan petuah pakar popok bayi, Papae Intercooler Jr. aka si Wempey, agak kasar dan diwanti-wanti untuk berhati-hati menghadapinya, saat aku menapak mulut terminal yang sekarang di-downgrade menjadi tipe B itu.


IMG_2026


 “Jepara, Surya Bali!”


Mereka kompak beringsut. Dengan password ‘Surya Bali’ rupanya ampuh mengenyahkan mereka dari radius sekelilingku, mirip kata ‘Nusantara’ yang sakti digunakan untuk menaklukkan keseraman Terminal Pulogadung.


Terlihat Akas Asri bumel N 7068 US dan Santoso N 7439 UD bersiap di landasan pacu, menyandang status sebagai sapu jagat angkatan pagi.


IMG_2029 IMG_2028


Sementara bus yang sudah di jalur pemberangkatan dan bersiap taxi  adalah Pahala Kencana line Denpasar-Bandung D 7895 AJ, PO Zena jurusan Surabaya serta OBL Jogja - Mataram AA 1616 E. Diseling beberapa medium bus jurusan Ubung - Gilimanuk, semisal PO Dharma dan PO Megah.


 IMG_2030 IMG_2034 IMG_2040


Di ‘paddock universal’, berjajar rapi armada-armada yang tengah bersiap melanglang buana. Di antaranya Pahala Kencana HT 666 Denpasar-Bogor, Muji Jaya Citra Mandiri CM-015, PO Margahayu dengan bus seken dari Karesidenan Kedu AA 1520 AB, Gunung Harta DK 9176 GH jurusan Lumajang, Gunung harta Evonext bermesin Hino AK8, duo Handoyo;  trayek Surabaya dan Jepara, serta bus bumel Jember-Denpasar, Citra Wisata Mandiri Trans.


IMG_2035 IMG_2036


Sembari menantikan Surya Bali melakukan absensi, aku putari kompleks terminal yang tidak sebegitu besar ini. Menurutku, secara luasan tak beda jauh dengan Terminal Baranangsiang yang diurusi Pemerintah Kota Bogor.


Soal layout, parkiran bus, loket penjualan tiket, area embarkasi/ debarkasi penumpang, bangunan kantor, kios-kios pedagang, ruang tunggu, tak ada yang spesial.


IMG_2044 IMG_2081


Hanya gapura, ornamen pagar serta pura kecil yang menjadikan terminal ini punya aura magis dan sakral. Apalagi saat melihat  seorang ibu dengan putri kecilnya yang mengenakan pakaian adat Bali menunaikan persembahyangan dan setelahnya menaruh sesajian di taman.


IMG_2055


 And show goes on…satu demi satu, pemain malam mulai menampakkan diri, menjajakan jasanya masing-masing.


Pita selamat datang Terminal Ubung digunting oleh Wisata Komodo jurusan Purwokerto. Diekori kemudian oleh PO Sedya Mulya, dengan baju kebesaran Old Legacy.


IMG_2050


Si Ijo dari Tabanan, menyetor dua pasukan untuk mengempur area Jawa Tengah serta DIY. Model Setra DK 9147 GH untuk wilayah Semarang, sedang pasar Jogja digawangi DK 9161 GH, berbusana Marcopolo Adi Putro.


IMG_2056


Lalu, kapling tanah di bawah pohon beringin dikangkangi ‘si kuning langsat’ dari klan Kudus. Jurusan Jepara dipercayakan pada K 1684 AB serta K 1683 AB sebagai jatah Purwodadi. Dugaanku, K 1683 AB beserta kres-kresannya yang telah mengusik trayek Blora yang dikelola Restu Mulya dan Wisata Komodo, sehingga mereka mundur teratur dan mengisinya pas musim panen semata.


IMG_2059


Salah satu armada sebatang kara di jalur Denpasar, PO Tami Jaya, AB 7561 AS, turut mendonasikan aroma bau solar di pelataran terminal.


IMG_2060


Tak ketinggalan Karya Jaya dengan apparel berpola Ventura menyusup lewat area belakang, bersamaan dengan hadirnya Dahlia Indah bermesin Nissan CB, yang dikuntit oleh Gajah Temanggung, AA 1500 GY, jurusan Semarang. Sementara Kramat Djati, B 7533 PV, maupun Safari Dharma Raya model Phoenix LX jahitan Tri Sakti juga tengah warming up, hendak menempuh ‘penerbangan jarak jauh’ ke Jakarta Raya.


IMG_2077


13.40.


Tet…tet…


Pucuk dicinta ulam pun tiba. Obyek yang kuharap-harap laun namun pasti memamerkan batang hidungnya, seraya menyuarakan irama klakson yang bersandi.


Berbarengan melenggang di panggung terminal, dua armada Surya Bali, DK 9001 AC, serta DK 9002 AC, dan selanjutnya terparkir mengapit Dahlia Indah kelas ekonomi AG 7511 UR di jalur 16.


IMG_2043


 IMG_2083


“Om, ikut bis 02 ya!” jelas Mas Bejo saat mengawal dua propertinya itu.


 IMG_2089


Sebelum ngejogrok di hot seat, aku telisik armada dengan kode garasi ‘SB02’. Meski babar di Pulau Dewata, nyatanya ‘Muria taste’ begitu kental melingkupi.


Ada pernak-pernak yang mengindikasikan demikian. Pertama adalah stiker JTC, Jepara Trail Club, di kaca belakang. Kemudian tulisan TEPOS yang menempel di spion dalam, semacam nama geng anak muda kota ukir. Dan tentu saja, sajian acara televisi berupa pertunjukkan dangdut tarkam yang menampilkan artis lokal Jepara dari Orkes Melayu Camelia dan Metro, seperti Evis Renata, Eva Aquilla, Ayu Lestari, dan Anis Nuraida.



IMG_2066


 IMG_2106

Akankah soal habit dan tabiat di jalanan akan seperti gembong Muria line barat yang kerap memanaskan etape yang menghubungkan jalan pantai utara dengan ibukota republik tercinta?


Let’s see…


 

5 komentar:

  1. ini teknik pembuatan catatan perjalanan yg sangat amat tertata .

    BalasHapus
  2. Mantap Mass, Sampek merinding bacanyaa

    BalasHapus
  3. Mantap Mass, Sampek merinding bacanyaa

    BalasHapus
  4. Saya orang Bali berdomisili di Jimbaran. Belum pernah sekalipun ke terminal Ubung. Selain jarak tempuhnya yang jauh, bisa mencapai 2 jam dengan taxi, alasan lainnya adalah sudah ngeri duluan membayangkan ketemu para calonya... hehe pilih terbang yang bandaranya hanya berjarak 15 menit perjalanan taxi.


    BalasHapus