Rabu, 04 Desember 2013

Denpasar Noon (5)

Dominasi artefak peninggalan mendiang Karman Amat begitu mengakar di tlatah Blambangan. Akas lagi, Akas lagi. Begitulah deskripsinya.


Kali ini N 7086 UR yang mendudukkan diri jadi teman seperjalanan. Bus berkelas bumel itu lincah menari-nari, tak acuh terhadap nasib para penumpang yang terlihat berjejal berdiri di dalamnya, terontang-anting dalam ketidaknyamanan.


Surya Bali pun seakan sadar diri, menyalipnya lewat open play bakalan susah.  Just follow me if you cann’t overtaking, itulah paham aliran yang diterapkan sepanjang menggeluti ruas Landangan.


Sedang enak-enaknya didikte oleh bus yang berhomebase di Kota Probolinggo, seolah-olah tak perlu jarum navigasi untuk menentukan arah pelayaran, menikmati keringanan menjadi seorang makmum, sekonyong-konyong bus jurusan Madura itu menghentikan laju sejadi-jadinya alias ngerem paku. Asap putih seketika mengepul memenuhi ruang spackbor, mengindikasikan masifnya gaya gesek antara telapak ban dengan permukaan aspal.


Aku pun terperanjat dan serta merta menutup mata, membayangkan busku akan menubruk bodi belakang anggota keluarga Akas I itu karena jarak yang begitu dekat. Penumpang yang masih melek secara refleks berteriak histeris. Tapi tidak demikian dalam kalkulasi sang pilot yang sudah terbiasa menghadapai situasi tanggap darurat seperti itu.


Dengan dingin, lingkar setir dikibas-kibaskan ke sudut kanan. Hasilnya, haluan SB02 bisa berkelit dari serudukan sesama bus, meski sesudahnya harus keluar dari lintasan, dan mencakar-cakar jalan tanah hingga debu-debu bertebaran.


Andaikan saja ada kendaraan dari arah berlawanan, pasti hal terburuk berpotensi terjadi.


Saat itulah kami melihat pasutri terkapar di tengah jalan, pasca terjungkal dari atas motor. Itulah yang membuat Akas habis-habisan menurunkan lajunya, dan melupakan bahwa ada ‘jemaah’ yang tengah lekat di belakangnya. “Nyaris…nyaris…!” aku berkeluh sambil mengelus dada.


Aktivitas agrobisnis terlihat menggeliat saat memasuki kawasan PG Pandje yang kini sedang menikmati musim giling. Truk-truk pengangkut tebu hilir mudik, demikian juga jajaran gerbong lori merayapi rel di pinggir jalan, menggendong ratusan ton batang tumbuhan penghasil gula pasir itu. Cerobong asap dari mesin penggilingan tak kenal jeda memuntahkan residu hitam untuk menggelapi kanvas awang-awang.


20.05


Setelah memungkasi jalan-jalan arteri Kota Situbondo, itulah kali pertama sosok saudara tua, Surya Bali, DK 9001 AC, terlacak oleh radar. Nah, terkejar juga akhirnya…


Hampir saja, bus yang kunaiki kuasa menyalipnya sebelum Kramat Djati dari arah depan berkode Oscar -- yang menandakan bagian dari divisi Bandung -- mengurungkan niatnya.


Kini, duo Denpasar jadi raja dan ratu malam itu. Poros jalan Situbondo-Besuki jadi wahana berpesta, meneguhkan arogansi sebagai penguasa jalan, melambungkan determinasi serta ketrengginasan pusingan roda, mempertontonkan bagaimana bahasa komunikasi lewat rekayasa kedipan lampu bisa membangun chemistry antar keduanya.


Safari Dharma Raya, AA 1515 DN, terkena sengatnya saat dilampaui secara berbarengan, meski untuk itu terpaksa menyapu laju tiga armada pariwisata Dali Mas untuk menepikan separuh badannya. Dan setelahnya, Akas N 7431 US juga merasakan hal sama yang dialami oleh OBL Temanggung itu.


20.40


Langkah – langkah eksplosif itu padam ketika rest area Puritama memposisikan diri sebagai pitstop yang harus disinggahi bila tak ingin terkena black flag dari petinggi kantor.


Keduanya kemudian berparkir pararel di halaman rumah makan, mempersilahkan provider PO Surya Bali dalam urusan gala dinner untuk menyelenggarakan jamuannya.


Dan credit poin aku catatkan kembali dalam diary perjalananku. Di Puritama tak ada yang namanya sifat pelit dalam memanjakan lambung pengunjung. Benar-benar prasmanan dalam artian yang sebenar-benarnya prasmanan. Silahkan ambil sepuasnya, no limit, tanpa diawasi ‘algojo-algojo’ yang demen menyentil penumpang usil dengan kalimat “Maaf, ambil satu potong !”


Bahkan, baru kali ini juga aku merasakan layanan makan malam bus berstrata eksekutif paling bejibun lauk-pauknya. Sepiring nasi dan sayur sop aku tambahi dengan telur pedas, ikan goreng, kering tahu dan mie goreng, plus buah semangka sebagai desert-nya.


DSC_0035


Beda jauh dengan service rumah makan sepanjang pesisir kulon yang mayoritas menganut paham minimalis. Hehe… 


Ada something yang membuatku prihatin sekaligus tumbuh simpati saat hendak menggugurkan dua di antara lima salat wajib di mihrab mushola yang terletak di pojok depan. OBL Van Hool B 7168 IB dan OBL Evolution DR 7186 AA terlentang tak berdaya, terjangkit penyakit ‘storing on the road’. Menilik serbuk halus tanah yang menempel di sekujur tubuh, ceceran oli di atas rumput serta kap mesin yang menganga lebar-lebar, sepertinya cedera yang dialami spesies-spesies Gajah Kebayoran berkategori berat dan butuh waktu yang lama untuk penyembuhannya.


22.05


Bulan sabit menghadirkan keremangan di atas kawasan Pasir Putih. Dia seolah menjadi saksi bisu kisah akur dan rukunnya dua armada milik I Ketut Nik Suryana ini. “Koyo mimi lan mintuno”, demikian kata pepatah jawa, atau “di mana ada Indomaret, di situ ada Alfamart” dalam kalimat olok-olokannya,  untuk melukiskan keintimannya.


IMG_2071

Arus lalu lintas mulai sepi dan menyurut. Di tengah monotonitas yang mulai melanda, hadir hiburan ketika momen tatap muka dengan kloter bus malam yang mengarah ke Pulau Dewata terpampang kembali di layar kaca. OBL Jakarta berarmor Sprinter memunculkan perawakannnya di Kota Kecamatan Besuki, diikuti kemudian oleh Restu Mulya jurusan Tulungagung-Denpasar serta Rasa Sayang “Mantika”.


Rasa kantuk tak dapat lagi kuredam. Tidur malam sebelumnya yang hanya berdurasi dua jam, itupun dengan kualitas bobok ayam, membuat mataku mulai kedororan untuk melek setidaknya sampai Kota Probolinggo.


Ada hasrat terpendam untuk melihat siaran langsung pandangan mata akan gigantisnya kawasan PLTU Paiton, yang konon menciptakan suasana langit malam nan metropolis lewat keindahan gemerlap lampu-lampu yang menyelimutinya. Beruntung lah aku, meski dengan kekuatan 5 watt, bola retinaku masih sanggup menyapukan pandangannya ke sosok pembangkit listrik yang  sanggup memasok kebutuhan energi listrik di Jawa - Bali itu.


PO Setiawan line Madura - Denpasar adalah bus terakhir yang bisa kuidentifikasi, sebelum aku terkulai dalam lelapnya peraduan.


Zzz…zzz…zzz…


02.10


Tiba-tiba aku melonjak dari nyamannya sleeping beauty. Sensor badanku berbunyi, mengabarkan pesan bahwa aku tertidur terlalu lama, dan me-warning kekhawatiran akan kebablasan melampaui tempat turun semestinya, lantaran aku gelap untuk meng-update posisi secara realtime.


Yang aku bingungkan, mengapa jalan yang dilewati bus bersuspensi angin ini berukuran mini? Hanya dua lajur, itupun ikal bergelombang, ingkar dari model umum jalan Pantura? Untuk bersimpangan dengan kendaraan lain pun tak cukup, kudu ada yang mengalah turun ke gravel. Sementara pemandangan kanan kiri hanyalah areal perladangan yang sangat luas.


Dan “scene menjemukan” itu belum lah usai. Di luar beningnya kaca depan, masih saja ter-expose double muffler saudara kembarnya, DK 9001 AC. Wah…lengket, kaya perangko. Hehe…


IMG_2008

Tapi…daerah manakah ini? Jalan alternatif kah?


“SMP 01 Parengan”


Sebuah bangunan sekolah itu menolongku dalam penentuan titik koordinat sekarang. Parengan, satu nama yang tak asing bagiku gara-gara jasa obyek wisata pemandian air panas Prataan, yang dipangku Kecamatan Parengan, Kabupaten Tuban, pernah aku anjangsanai.


http://didiksalambanu.wordpress.com/2009/07/06/prataan-mandi-sauna-di-tengah-belantara/


Dan semakin jelas terkelupas selubungnya, Surya Bali memangkas rute perjalanan Surabaya-Rembang memanfaatkan jalan pintas Babat-Bojonegoro-Jatirogo-Sale-Pamotan-Clangapan, yang kondisinya tak seramai jalan utama nasional.


Determinasi masih lestari terjaga, passion masih menyala-nyala, dan daya gedor masih diagungkan. Lengangnya lalu-lintas, hanya sesekali menyalip truk-truk tebu yang hendak mengirim muatannya ke PG Rendeng atau PG Trangkil, seakan menghalalkan status larangan untuk memacu kecepatan di atas ambang aman yang disyaratkan jalan kelas III.


Pahala Kencana Jetbus Nano-Nano K 1713 B pun didongkel di Jatirogo sebelum aksi “teman makan teman” diperagakan saat melayang di atas petak Pamotan - Jape. Dan ending of story-nya, SB 01 pun dengan tragis dipelorotkan posisinya sebagai imam, tanpa alasan yang syar’i. Hehe…


SB 02 memang luar biasa, bukan?


IMG_2072


03.35


“Pak, Taman Kartini depan nggih!” pintaku kepada ‘sang jenderal lapangan’ yang masih panggah menduduki kursi istananya, saat garis finish maya yang ditarik lurus dari gerbang kantor Pak Salim, Bupati Rembang, paripurna terpijak oleh keenam roda berlabel Agate seri HF 660 itu.


Inggih, siap Mas!”


***


Benarkah anggapan Bli Galih, pemuda Bali yang kujumpai di Bandara Ngurah Rai, bahwa perjalananku ini wujud orang iseng dan kurang kerjaan?


Hmm…ada satu aib rahasia yang tidak aku beberkan padanya. Andai saja kuceritai, pastilah dia akan menertawakan sekaligus mencibir.


Terus terang…aku mengidap aerophobia. Ngeri terbang.


Aku tidak pernah lagi terbang, dan selalu mengindari bepergian dengan benda transportasi yang bernama pesawat terbang.


Adalah Lion Air JT-775 yang berkontribusi nyata terhadap penyakit mental yang aneh bin confusing ini. Sembilan tahun silam, dalam gulitanya malam, Boeing MD-82 nekat mengangkasa dalam cuaca ekstrim; hujan deras, mendung pekat, hawa berangin dan kilatan petir yang liar menyambar-nyambar.


Keempatnya berkonspirasi atas terjadinya guncangan-guncangan hebat di dalam kabin pesawat sepanjang melakoni rute Cengkareng - Yogyakarta.  Burung besi itu tak ubahnya roller coaster yang mengocok-ngocok nyali dan meruntuhkan keberanian diri, dan selanjutnya menyemai kecemasan dan kepanikan yang luar biadab. Rasa panas dingin, meradang, dan mencekam ruang-ruang fantasi, membayangkan hanya setipis bilah rambut batas antara hidup dan mati. Itulah salah satu nightmare yang menimbulkan efek traumatis yang mendalam.


Beruntung ada nama-nama Surya Bali, Wisata Komodo, Restu Mulya, Gunung Harta, Trans Sarbagita, dan tentu saja soul yang bernama bismania.


IMG_2061


IMG_2045 IMG_2006




IMG_2082IMG_1982

Mereka kujadikan iming-iming, kusandangkan sebagai kado kemenangan tatkala berhasil men-terapi ketakutan naik pesawat terbang, dengan melegislasi acara “Fly to Denpasar” sebagai fear factor pertama yang kudu dijinakkan .


And finally…mission acomplished,  kendatipun belum bisa sepenuhnya mengobati koreng berjuluk aerophobia yang hampir satu dekade membenalu alam imajiku.

2 komentar:

  1. sukaaa bangeet sama Postingannya,gaya bahasanya semuanya suka suka,maklum dalem lagi belajar Nulis dan kebetulan Bismania juga heheh tapi saya cewe ,well cuek aja namanya juga Hoby

    BalasHapus
  2. saya masih bingung nih Om mau pake gaya bahasa yang bagaimana, sementara sih baru bikin 1 postingan itupun amburadu,sementara ini pake gaya bahasa yan slengekan dan campur-campur hehee

    BalasHapus