Jumat, 18 Januari 2013

Rukun Agawe Bubrah (2)

Bergegas kudaki tangga menuju singgasana nomor 55 lewat pintu belakang. Inilah kali kedua aku mempercayakan strata ekonomi untuk mengisi diary trip mingguanku, setelah sebelumnya gagal finish di Pulogadung kala diuji oleh Garuda Mas, setahun silam.


“Ayo, berangkat…berangkat!” seru controller setelah sewanya hampir lengkap, menyisakan dua jok untuk agen Demak dan sepuluh kursi yang didedikasikan untuk wong Semarang.


IMG00147-20130106-1712

17.05


Ritme nafas mesin Mercy era OH King memburu, tersaruk tanggungan berat sasis berikut bodi setara 12 ton, plus total bobot penumpang yang mencapai 3.5 ton. Belum lagi dera untuk memutar kompresor AC sebagai penyumbang kebutuhan udara bersih bagi kelima puluh sembilan penghuni resminya.


Di kawasan Gunung Bedah, bus garapan karoseri Ungaran ini kres dengan NS-47 Pulogadung-Tayu. Disusul kemudian di Daerah Jekulo, bertatap muka dengan Pahala Kencana jurusan Bangilan. Ini sebagai penanda, bahwa jalur Pantura sepanjang pagi, siang, dan sore itu lancar manunggal. Tapi yang demikian bukan jaminan bahwa malamnya status free flow masih terjaga.


Bus hanya melaju pelan, jarum kecepatan imajiner bermain di skala 60-70 km/ jam. Kalah gesit dengan truk-truk ringan pelat P bermuatan cabe yang hendak didropping ke pasar-pasarnya Pak Jokowi.


Drivernya pun sepuh, usia rata-rata sopir bus Wonogiren, selaras dan sepadu dengan performa armada yang dikendalikannya. Miskin fighting spirit, gelora all out ataupun laku mobat-mabit yang diemban. Yang diagungkan adalah kesopanan, ketertiban, safety driving serta style alon-alon asal kelakon. ‘I Love Slow’, demikian slogan yang pas untuk mendeskripsikan kepribadiannya.


Mendekati perempatan Tanjung, Lingkar Kudus, bus pariwisata Sindoro Satrimas 106B pamer kedigdayaan. Tak ketinggalan pula Pahala Kencana K 1594 B, yang dengan kenekatannya merampas jalur arah Purwodadi untuk menerobos lampu merah.


Berdua bukan lawan sepadan. Hehe…


Terminal Jati dicueki, langsung bablas ke jalur orisinal Pantura tanpa merasai derita oleh perbaikan Jembatan Tanggulangin yang telah paripurna.


Di depan SPBU Wonoketingal -- yang belum lama ini jadi TKP kecelakaan OBL Alap-Alap B 7168 PD --, giliran Nusantara dari keluarga CN membabatnya. ‘Smiley New Travego’ yang berjalan kesetanan itu sepertinya didapuk sebagai angkatan pertama Pulogadung. Tak lama berselang, dua Scorpion King Bejeu kompak mengasapinya. Wusss…


Dari arah barat, terlihat NS-52 Pulogadung-Jepara yang tinggal sehasta lagi akan menuntaskan mandatnya.


Sementara itu, penumpang di kanan kiriku tak henti-hentinya bercanda, gojegan, ledek-ledekan, menambah riuh kabin yang disarati penumpang. Sekilas kupandangi wajah-wajah orang dusun ini, dan kutemukan bahwa air muka mereka secara jujur berbicara tentang gambaran hati yang sesungguhnya. Dibalik topeng keceriaan, ada semacam ganjalan berat yang mereka ampu.


“Turun mana nanti, Mas?” tanyaku pada sebelah, yang secara bilangan umur tak beda jauh.
“Pulogadung, Mas.” jawabnya ramah.
“Tujuannya ke mana?”
“Ke Halim, PT xxxx.”


“Perusahaan bidang apa, Mas?” kembali kuselidik, meski itu sekedar basa-basi untuk mengakrabkan diri.


“Anu, Mas, PJTKI”.
“Oh, jadi Mas-Mas ini mau bekerja di luar negeri?”
“Iya, Mas. Rabu besok berangkat ke Arab Saudi. Dikontrak dua tahun kerja di sana, ikut proyek perluasan Masjidil Haram.” bebernya, yang setelah itu kuketahui bahwa dia adalah kepala suku dari keempat temannya.”Dan kemungkinan, kontrak itu bisa diperpanjang lagi.”


“Wah…enak ya, Mas, gajinya lumayan gede.” pancingku.
“Habis gimana, Mas, di rumah tak ada kerjaan, nyari uang palingan cukup untuk hidup sehari-hari.” curhatnya.”Padahal saya sudah punya anak, pasti nanti kebutuhannya juga tidak sedikit.”


“Gimana tadi suasana pamitan sama anak, istri dan keluarga?”
“Ya…yang pasti berat, Mas. Apalagi kata orang kantor, selama dua tahun kemungkinan tak bisa pulang. Hati kecil ini tak tega meninggalkan mereka. Belum dua tahun saya berumah tangga, usia anak juga baru tujuh bulan. Lagi manis-manisnya.” ucapnya seraya menghela nafas.


“Tapi ini semua demi masa depan. Biarlah sekarang saya prihatin dan tirakat dulu, yang penting kebutuhan anak bisa saya cukupi.” imbuhnya dengan tabah nerimo.


So wise…pribadi yang hebat, ruarrr biasa lagi tahan banting.


Dua tahun tak ketemu anak? Hmm…Aku saja hanya mampu memendam rindu bersua dengan bidadari-bidadari kecilku tak lebih dari dua minggu. Aku tak setegar mereka.


“Sido Rukun dua orang…dua orang!”


Anouncement dari kenek menggema saat menapak Terminal Demak membuyarkan lamunanku. Bus berbasis bodi model Comfort itu parkir terjepit di antara armada Bayu Megah dan Haryanto Red Titans.


Lari-lari kecil kembali diperagakan. Tak ada aksi nyetick tipis, late braking, nyendok kanan kiri, membleyer-bleyer pedal gas meminta jalan dalam mencairkan kepadatan lalu-lintas. Mending bersabar, menunggu situasi aman dan lengang saat melakukan prosesi overtaking.


Dan sikap itu kemudian digugat oleh Nusantara HS-174, yang dalam hitungan detik tampak membuntuti, menyejajari, menyalip separuh badan dan kemudian berlenggak-lenggok menghilang dalam keremangan senja di Karangtengah.


Kebutuhan asupan cairan berenergi dipenuhi di Pom Bensin Sayung, beridentitas 44.59503. Tercatat 118 liter untuk memenuhi lambung bahan bakar sebagai bekal gerilya sepanjang malam. Saat hendak berangkat, dimakmumi Sari Mustika berbaju Proteus, yang dimataku ada barang langka yang bertengger di atapnya. Yakni unit AC yang digunakan bermerek Songz.


Lagi tengah gontai berjalan, jatah pion Pak Hans, K 1596 BB, yang menjerembabkannya. Calon jadi lumbung gol ini. *Tepok jidat…


Sein kiri berkedip, dan haluan bus berbelok blusukan ke gang yang tak sebegitu lebar. Dari pelang nama suatu pabrik, ini adalah kawasan industri Gebangsari, Kaligawe. Hendak kemana gerangan?


Sebuah gerbang besi terbuka, yang ternyata akses masuk ke dalam garasi. Roda-roda OH-1518 pun bermanuver di atas lapangan yang becek, berlumpur hitam, ditebari liang-liang menganga dan ditumbuhi rumput liar pada border-nya. Homebase yang kurang terawat, itulah kesimpulanku, setelah menumpang ke toilet dan meminjam mushola untuk menjamak salat Magrib dan Isya, yang kondisi keduanya kotor.


Aku hitung ada 10 armada yang sedang mematung, entah keperluan perpal ataukah stand by. Yang pasti mayoritas bertuliskan ‘Pariwisata’ di kaca depan.


Barangkali inilah refleksi bahwa Sido Rukun perusahaan otobus pada level medioker. Sederhana dalam berbisnis, tak segemebyar PO-PO dari Semenanjung Muria.


Kadang timbul pertanyaan yang jadi slilit dalam pikiran ini, ada apa dengan PO-PO dari ranah Semarang Kota? Sumber Larees, Karya Jaya, Sari Mustika, Adam, dan Sido Rukun, yang telah lusinan tahun malang melintas dan makan asam garam di kosmos per-bus-an tanah Jawa seolah tak berdaya, tenggelam dalam hegemoni dan dominasi kompetitor muda dalam percaturan usaha angkutan darat.


“Penumpang 84 siap, busnya datang!” panggil Mandor Pul kepada penumpang yang sedari tadi menunggu.


Seketika hati ini ditikam kecemburuan, menatap armada dalam balutan Legacy SR-1, H 1584 CA, melenggang masuk markas. Sayang, ‘si VIP’ ini jatah dari Blora/ Purwodadi.


Malam ini aku tak disayang Dewi Fortuna …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar