Jumat, 18 Januari 2013

Rukun Agawe Bubrah (3)

Ruangan berukuran 11 m X 2.5 m penuh sesak oleh penumpang saat bus bernomor polisi H 1609 AA ini melakukan restart. Hembusan semilir AC mulai megap-megap, kurang lagi segar dihirup, seakan tak sanggup meladeni kebutuhan oksigen yang bakal diperebutkan oleh para peneduh di dalamnya.


“Maaf, Mas, mau ambil kursi dulu!” pinta kenek kepada penghuni baris terakhir.


Sebuah jok panjang minus sandaran diangkat dari sela-sela bangku dan kaca belakang. Selanjutnya digelar di depan ralling pintu belakang, disangga besi siku di bawahnya, dan duduk lah dua orang yang tak tercatat dalam manifes jalan.


Tol Kaligawe-Krapyak mempertontonkan laga tak seimbang antara nafas tua melawan darah muda. Letter K gangs; dua Royal Platinum Class dari Pengkol, Jepara, Scania Irizar-Irizan, Selamet New Tavego made in New Armada, Era Trans 065 serta Selamet Black Evobus seolah menyindir realita bahwa PO kampung ternyata jauh lebih ngedap-ngedapi disandingkan dengan PO kota.


Tak mau ketinggalan, laskar kidul-an mengerek bendera kemenangan di turunan Karangmalang. Checkmate yang dilancarkan Mulyo Indah Scorpion King, Ramayana line Jambi, penggawa Demak Ijo, Putra Remaja, dengan jubah Jupiter Li serta Budi Mulya AB 7620 CD membuat Sido Rukun menggulingkan rajanya.


Sebelum aku menutup layar, Muji Jaya Citra Mandiri  CM-010, ‘purple pearl” menyetor lekuk pantatnya, yang merupakan hasil kerajinan tangan-tangan Adi Putro.


Teng…tong…teng…tong…


Sirine persimpangan sebidang rel kereta dengan jalan lama Weleri menyalak dan membuatku terbangun.


“Wah…bisa lelap juga. Kayaknya sensor tubuh sudah mulai nyetel dengan keterbatasan bus jenjang jelata.” aku membatin bersyukur.


Saat palang pintu telah terbuka, dengan tergesa-gesa, dari samping kanan deras melaju GMS New Marcopolo, yang kian menegaskan bahwa bus yang berlogo ‘merpati perdamaian’ ini cuma liliput di tengah gelanggang Pantura.


IMG00150-20130106-1914


Ces…ces…ces…


Daerah sentra penghasil Sarkawi dihampiri. Untung pun teraih, dua penganut paham sarkawiyah dibaiat. Penumpang mulai ngoceh, melempar kritik pedas, karena tiada space lagi selain lorong masih saja menyeser. Tapi tak kurang akal, oleh kru #3, keranjang wadah minuman teh botol dikaryakan sebagai ‘tahta nista’.


Kini kesan sumpek, desak-desakan, ciut, sempit, terkurung dan overload semakin kental. Yang aku bayangkan, andai saja terjadi kondisi tanggap darurat yang mengharuskan penumpang bersegera meninggalkan bus, bakalan horor situasinya di bagian belakang. Pintu tak lagi bisa dibuka, terganjal bangku tambahan, sementara di sisi kanan tak dilengkapi dinding way out. Roof hole pun tak ada,  kaca geser di pintu terkunci mati. Setali tiga uang dengan ketiadaan alat pemecah kaca.


“Ya Allah…semoga aman, selamat dan sentosa hingga tujuan akhir,” doa suci kupanjatkan kepada Yang Maha Esa.


Tiba-tiba kurasakan hawa belakang begitu pengap. Meski pendingin ruangan bekerja baik, tapi mengapa udara yang dihisap menyesakkan dada?


“Pak, itu rokoknya dimatikan!!!” sergah seorang penumpang. Ah,…itu tho sumbernya.


Beruntung bus yang rintisan bisnis awalnya membuka bumel Semarang-Lasem ini tak jauh lagi dari bangunan Rumah Makan Raos Eco, Gringsing, sehingga tak membuat mabuk asapku semakin parah.


“Mas, tiket saya termasuk service makan ngga?” tanyaku pada kenek. Sungguh-sungguh, aku terlupa menanyakan hal tersebut pada agen Pati.


Diperiksanya  selembar kertas berwarna merah jingga non sampul yang baru saja kuserahkan.


IMG00161-20130110-2108


Ngga, Mas.” terangnya singkat.


***


Karena gagal membelah interchange yang cukup padat, Sido Rukun pun terdampar di jalur lama Plelen, yang dinamai buku geografi dengan sebutan Tanjakan Poncowati.  Kinerja OM-366A tertolong oleh sepinya truk-truk angkutan berat sehingga leluasa melenggang. Namun tak ayal, HS-150 berhulu ledak buatan pabrikan negeri Skandinavia sukses mendahuluinya.


Bentang Alas Roban hanya secuil yang bisa kunikmati sebelum tertidur kembali. Itupun mampu menyuguhkan kesaktian Nusantara Premiere Class berserta koleganya, ber-STNK K 1708 BB. Sejumput torehan positif lalu dipahatkan, ketika bersusah payah menang adu sprint dengan angkutan wisata, PO Jaya Mandiri.


Senin, 7 Januari 2013 


00.35


Tangisan anak kecil memecah keheningan, menyiratkan pesan bahwa atmosfir di dalam kabin menuju ambang ketidaknyamanan.


Kubuka mata, dan seketika panorama di sekeliling transporter jurusan Tayu-Pati-Pulo Gadung-Lebak Bulus ini dipenuhi lautan bus yang nyaris tak bergerak. Empat lajur dikangkangi, menciptakan ketersumbatan lalu-lintas di region Petarukan.


Kuabsen satu per satu dari jalur dua arah barat sebagai posisi GPS-ku.  Sisi kiri diisi Shantika Premiere, serta PO Williams eks New Rejeki Baru yang dulu aku naiki, AA 1616 FM.


Samping kanan jauh lebih meriah. Hiba Utama bikinan Tri Sakti, Raya 04, Pahala Kencana Proteus OH-1525, Puspa Jaya ‘Raja Kalajengking’, Santoso AA 1434 AA, Blue Sindoro Satria Mas XBC-1518 dan poolteamnya, 226 berbusana Legacy SR-1, menjejali jalur berlawanan.


Kemudian turut berebutan juga di sana antara lain : Shantika dengan latar abu-abu H 1418 CG, Rajawali Golden Dragon, Haryanto Green Titans 67, Sari Mustika ‘Muria Putra’, Shantika ‘The Style Five Star Bus’, Shantika ‘Panoramic’, Haryanto bekas PO Tridiffa, Kramat Djati Selendang Setra, HS-182, dan sang pencipta ‘Beautiful of Pantura’ dengan sinaran lampu aksesoris yang memukau. Siapa lagi kalau bukan HR-16, dengan ikon lambang Tatto 505.


Akar penyebabnya adalah perbaikan jembatan di ringroad kota Pemalang, sementara kendaraan yang mengarah ke Cirebon tersendat oleh lintasan rel yang malam itu tengah peak hours oleh traffic kereta api.


Rewind kemacetan terjadi lagi di daerah Cimohong, Brebes. Bus-bus pengusung aliran so-fasty driving menembus area kanan, sementara busku taklid buta pada aturan jalan raya. Duo Harapan Jaya dan PO dari Karanganyar, Langsung Jaya, mempraktekkannya.


Tol Pejagan diemohi, dan bus yang tuna fasilitas seperti bantal, selimut, hiburan audio-video, toilet dan kandang macan ini lebih memilih akses Kanci.


Selepas membayar gerbang tol Ciperna, aku terjaga karena kegerahan. Tak terkecuali dengan Bapak-Bapak di sudut belakang, yang resah dan gelisah seraya sibuk melonggarkan ikatan pakaiannya.


 “Duh Gusti…louver AC cuma menghembuskan angin, membawa penderitaan bagi yang duduk di atas kompartemen mesin.” keluhku.


Tak ingin ‘matang terpanggang’, aku pun beringsut ke depan mengingatkan sopir dan beliau merespon dengan menghidupkan kembali switch pengatur freon. Hal-hal seperti ini seringkali disepelekan padahal satu-satunya pemberi nafas kehidupan di ruang tertutup adalah piranti air conditioned.


“Pak, Palimanan masih jauh?” tanya anak muda saat aku akan kembali beranjak ke tempat semula.


Kutoleh kepala, “Sebentar lagi, Mas. Ujung tol ini daerah Palimanan!”, jawabku, sambil mengaborsi niat return to base, menunggu penumpang tersebut turun, untuk kemudian menyuksesi bangku dia secara cuma-cuma.


“Duduk di baris ketiga pasti jauh lebih manusiawi dibanding nangkring di atas tungku bakar.”,  aku tersenyum lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar