Jumat, 18 Januari 2013

Rukun Agawe Bubrah (1)

Jenuh…Jemu…Boring Total…Bosan…Sumpek…Muak…Enek…Pening…Stres tingkat dewa…


Ungkapan-ungkapan yang membahasakan ekspresi kekesalan itu sepertinya cocok untuk melukiskan perasaanku menyikapi amalan wira-wiri mingguan. Adalah lumrah lagi kodrati, menyusur jarak 1.200 km pulang pergi di akhir pekan selama hampir delapan tahun, semakin lama semakin mendatangkan monotonitas nan akut. Naik bus bukan lagi barang yang wah untuk dinikmati, bukan sesuatu yang menghadirkan sukacita dan riang gembira, bukan pula upacara sakral yang perlu lestari dikeramatkan.


Setiap kali punggung ini bersetubuh dengan sandaran kursi, kaki terjulur mencari tempat berlabuh nan nyaman, dan kemudian terdengar raungan pedal akselerasi yang mengisyaratkan perintah go, diri ini rasanya tak betah berdiam lama dalam sejuknya hawa kabin bus. Pengin, pengin dan pengin untuk selekas mungkin sampai ke destinasi akhir. Momok yang terbayang adalah handicap sepanjang jalan yang harus dihadapi, yang kian hari malah meningkat takaran siksanya.


Jalanan rusak, proyek perbaikan jalan dan jembatan yang tak berujung, kesemrawutan lalu lintas, truk-truk yang merayap kepenatan diangkuti tonase berlebihan, sepeda motor yang makin menyemut, lebar jalur nan terbatas – hingga tak mampu mengimbangi pertambahan populasi roda empat, aktivitas pasar tumpah dan pasar modern, perilaku unsafe pengguna jalan, kualitas jalan yang buruk, potensi kemacetan di sana-sini, panjang ruas tol yang hanya sejengkal, cuaca tak menentu, insiden dan kecelakaan, serta kendaraan mogok adalah deretan konstanta pendongkrak kian mahalnya harga binatang yang bernama kelancaran, akhir-akhir ini.


Dampaknya, waktu tempuh tambah menjulang, fisik kudu ekstra afiat, dan hati mesti tebal mental berdamai dengan kejengkelan dan kekecewaan selama mengaspali medan Pantura.


Kerunyaman itulah yang selama setengah tahun ini benar-benar membungkam keliaranku untuk mencari pengalaman dan sensasi anyar, dengan mencari korban ‘PO-PO baru’. Aku acapkali takluk diri dan terbuai dalam zona nyaman yang disajikan langgananku, NS-39 untuk pulang ngetan, atau HR-66/67 untuk balik ngulon. Tinggal nyemplak, dinina-bobokkan alunan musik koplo, dihembusi semilir angin pendingin udara, persetan dengan ragam scene di jalanan, dan selanjutnya tidur nyenyak…tahu-tahu esok sudah sampai tujuan.


Kurva rutinitas yang cenderung datar, satu nada satu irama, dengan setting serta alur ceritanya yang sama identik, lama lama membikin diri ini ogah-ogahan menggelutinya.


‘Lebih baik menyalakan lilin daripada menyalahkan kegelapan’.


Quote pencerahan itu sungguh-sungguh menginisiasi untuk memodifikasi warna perjalanan mingguanku. Aku tak boleh kalah melawan kejenuhan. Lantaran turing ini bukan sekadar keinginan, melainkan kebutuhan. Demikian tekad yang kutinggikan.


Sabtu siang, 5 Januari 2013


“Mas Didik, besok pulang?” tanya Bu Tin, agen PO Haryanto, lewat media pesawat telepon.
“Iya, Bu, seperti biasa.” jawabku.
“Aduh…saya kira ngga pulang, Mas. Bangku nomor 3 sudah saya jual.” ujarnya setengah kelabakan. “Ini tinggal satu, nomor 11. Gimana?”
“Hmm…terima kasih, Bu, lain waktu saja ya.” pungkasku.


Tentu bukan masalah hot seat yang terlepas sehingga aku urung menggunakan jasa armada Pak Kaji Haryanto. Ini sedang bicara soal bagaimana me-menej kebosanan.


“Benar nih, Pa, ngga pesan tiket balik?” protes istriku. “Nanti bla…bla….bla….”.
“Serius, Ma. Aku mau beli dadakan di Pati,” kilahku.”Berangkat seperti biasa kok, jam setengah tiga, ngga sampai memotong jatah waktu buat keluarga. Ngga usah repot nganter sampai Rembang, nanti aku pakai bis mini dari Sulang saja.”


Dengan roman merajuk, aku berharap permaisuri meng-acc permintaan. Meski terlihat berat, anggukan kepala kudapat. Yes…


Minggu, 6 Januari 2013


14.35


“Gara-gara tiket dari Sulang habis, jadinya kita nyari di Pati. Kalau ngga dapat, terus gimana ya?” lirih kudengar kesah empat atau lima orang di atas bus engkel penghubung Rembang-Blora.


“Blaik…kukira ini minggu sepi setelah liburan sekolah dan tahun baru. Seat kok sold out?” aku terperanjat. Mereka rupanya senasib denganku, memilih take off dari Terminal Pati, meski alasan mengapa mesti go show dari sono, pastilah tidak seragam.


Handicap satu menghadang. Tiket bus ternyata masih langka. Aku keliru timing.


“Bos…dari pagi Juwana macet. Suroboyo-an pada lewat Jaken.” remind seorang pengamen kepada kondektur Jaya Utama, moda yang aku estafeti dari Rembang menuju Bumi Mina Tani.


“Walah, macet apalagi? Bukannya pengecoran jalan sudah selesai?” aku kembali terkaget-kaget.


Aral kedua menghalang.


Segera ku-BBM Mas Iwan Madurip untuk menanyakan kondisi ter-update dunia perpenumpangan di Kota Pati. Jawaban mengambang yang kudapat “Aku ngga tahu, Mas, sepi atau ramai. Aku libur”.


Semakin tidak jelas!


Untunglah, AC Tarif Biasa yang di-ngadimin-i Koh Hary Intercooler di grup FB itu memaksakan diri lewat jalan Daendels. Dan ulah nekatnya dengan menganeksasi bahu jalan di sisi arus berlawanan lumayan membabat luasan kemacetan.


Ampun…kemacetan berarak panjang, kira-kira 4 km menjelang dan sesudah Jembatan Juwana. Spot baru ini adalah titik geser kemacetan pasca ‘pengoperasian kembali’ buku jalan antara Juwana-Kaliori.


Namun tetap saja, 30 menit masa yang berharga terbuang percuma, membuatku cemas tak terkira, gusar tak dapat menangkap slottime pemberangkatan bus malam dari Terminal Sleko.


16.38

“Masih ada bangku, Mas? Jurusan manapun tak masalah!” kukorek ketersediaan itu pada agen Bejeu, setiba di stanplat yang berlokasi di seberang pemancar radio Harbos FM.
“Dari kemarin sudah habis, Mas”.


Uh…kugeser badan ke loket sebelah, yang memajang armada high grade untuk melayani kelas ekonomi, Hino keluaran terbaru dengan jersey Jetbus, beregistrasi B 7003 UGA.


“Beli berapa, Mas?” tanya Mas Agen pada pengantri di depanku.
“Empat, Mas”.
“Pas, kebetulan ini tinggal empat lagi”.


Aku pun gigit jari, ludes pula tiket Garuda Mas.


“Selamet…Selamet… Bulus masih satu, PG ada dua…” lantang awu-awu berbaju non formil menjajakan dagangan.


Ngga dulu, ah.


“Masih ada, Mas?” aku mengiba pada penjaga lapak PO Bayu Megah.
“Penuh.Sebenarnya ada CD, Mas.”
“Ok, saya beli, Mas” segera kusambar tawarannya dengan tak sabar.
“Iya, tapi nunggu sopirnya. Dia lagi makan. Kalau boleh dijual, nanti buat Mas.” redamnya.”Tunggu saja di sini!”


5 menit…10 menit…tak ada kepastian. Sementara waktu kian menghimpit, mengingat jam 5 teng mulai memasuki injury time ‘tutupnya’ terminal, sementara aku belum menunaikan kewajiban salat Asar dan belum berhasil mengais secarik tiket. Menit berikutnya, berita itu datang.


“Sopir bawa anaknya, Mas!”


Alamak, mengapa mesti menunggu lama untuk mendapat ‘warta ranaduka’?


“Mau Sido Rukun, Mas!” rayu seorang broker yang nguping kegagalan transaksiku.


Yo wis lah, buat apa pilih-pilih, sedapatnya bus sudah merupakan anugerah terindah yang kumiliki sore ini.


Dengan semangat 45, aku pun diantarkan menemui petugas tiket PO Sido Rukun.


“Tinggal nomor 55, 58 dan 59. Pilih saja! Tiket 90 ribu.”


Segera kubayar saja tanpa banyak tanya. Yang kutahu, dari lembaran sket, itu adalah deretan bangku terbelakang.


Entah tergolong murah atau mahal, aku tak ingin sambat dan tidak mau peduli. Toh, dari kabar teman-teman komuterku, hari itu tiket eksekutif masih bercokol di angka 150 ribu.


“Busnya di ujung timur, Mas!” instruksinya seraya menyerahkan selembar duit ceban sebagai uang kembalian.


IMG00142-20130106-1640

Tidak ada komentar:

Posting Komentar