Kamis, 14 Maret 2013

Kuhapus Merahmu Untukku! (1)

Ngga zaman punya pacar satu saja


Ngga zaman pacaran harus setia


Ngga zaman cewe itu harus ngalah


Ngga zaman cewe selalu di bawah 


Hingar bingar audio sound system membahana ke awang-awang. Alunan irama remix dengan tempo nge-beat menyelarasi kelincahan jari-jari keyboardist menekan tut-tut mainannya. Vokal seksi lagi genit dua biduanita larut menjiwai lirik-lirik nakal yang dilantunkan. Ditingkahi goyang nan aduhai di atas panggung, temaram mendung perlahan terkikis hangatnya mentari.


DSC00435


Meski hobi bermusik, eksotisme suasana seperti itu tak membuatku kepincut untuk merapat ke venue outdoor yang lagi disewa pabrikan pengolah tembakau untuk kegiatan promo. Aku tetap terpaku pada bangku halte stanplat bus, duduk menyendiri. Kukhidmati acara “menunggu sesuatu” dengan masyuk membaca esai-esai ringan yang terunduh lewat gadget lawas.


“Rokoknya, Om!” mendadak suara lembut seorang dara menyapa membran telinga. Setengah terkejut, kutolehkan kepala dan sekilas menatap binar mata nan menggoda.


“Tidak, Mbak, terima kasih!” tepisku menolak tawarannya.


“Ayo dong, Om, beli satu…” bujuknya sekali lagi dengan gesture mengiba.


“Maaf, Mbak, saya tidak merokok!”


Dengan raut keruh oleh kekecewaan, wanita belia itu beranjak pergi, bermigrasi dari lelaki satu ke lelaki lain demi mengejar  target penjualan yang dibebankan pada pundaknya. “Pemandangan pilu” itu seketika membuatku terenyuh dan selanjutnya mengutuk diri sendiri.


IMG00395-20130219-1646







“Ya Allah…mengapa aku tak berbelas kasihan padanya. Meski aku bukanlah golongan ahli hisap, semestinya aku meluluskan rayuannya. Hati gadis itu pastilah senang melihat belasan rokok yang diampu tangannya berangsur susut. Ah, aku terlalu egois, pelit, kurang sosialis dan miskin empati pada sesama!” sesalku. “Cuma seginikah kualitasku sebagai bangsa manusia?” 


“Mas, bus Priok sudah masuk!” panggil Bapak Agen membuyarkan lamunanku.


Ya ampun…dari mana datangnya makhluk merah ini, tahu-tahu sudah terparkir di depan kios tempatku bertransaksi sebelumnya.


IMG00396-20130219-1646

“Nomornya 5106,” ujarnya, seraya menuliskan angka tersebut di atas “tiket darurat” yang aku pegang.”Nanti ini ditukar sama yang asli di atas ya, Mas!” imbuhnya dengan nada memerintah.


Kupandang cowl sudut depan kiri, lokasi di mana PO ini biasa mencantumkan nomor penciri armada. 5106, itulah yang terpampang si sana. Fix, inilah transporter-ku.


***


45 Menit Sebelumnya


“Bapak, Agra Mas ke Tanjung Priok masih ada kursi kosong?” tanyaku pada shopkeeper sebuah biro perjalanan sekaligus agen PO universal di dalam kompleks Terminal Banyumanik.


IMG00381-20130219-1615







“Sebentar ya, Mas, saya menghubungi kru dulu.”


Hmm…harganya berapa, Pak?” selidikku agar tak terjebak membeli kucing dalam karung.


“115 plus makan.”


Pas, tidak lebih dan tidak kurang, sesuai informasi tripfare yang kukorek dari Pemangku Wilayah Tingkir, Mas Doni Prast.


“Kalau ada saya pesan satu, Pak!”


Bergegas si Bapak memungut handphone yang tergeletak di atas meja, dan menelepon seseorang. Meski berdiri agak jauh dari posisiku, sayup-sayup terdengar pembicaraannya.


“Priok masih ada?”


“x!#%^%&??!@”


“Apa? Baru isi 15? Aku ambil satu ya!”


 “x!#%^%&??!@”


“Tiketnya sama aku apa kamu?”


“x!#%^%&??!@”


“Oke, jadi sama kamu saja ya.”


Laki-laki yang secara fase sudah masuk paruh baya itu kemudian mengambil secarik kertas non formal sebagai bukti booking, sambil melengkapi kolom nama, alamat, destinasi, hari dan tanggal keberangkatan, serta nominal tarif yang ditetapkan.


“Ini tanda pemesanannya, Mas, kira-kira setengah lima busnya sampai sini!” pungkasnya menutup pasar sore.


***


16.35


“Banyak yang kosong, Mas, silahkan duduk di mana saja!” instruksi kenek saat aku mulai melantai.


Sejurus kemudian, Agra Mas mengembangkan layar, meninggalkan sub terminal dengan grade Tipe C, menyusul pelayaran kameradnya, BM-002.


Bus hanya mengangkut 17 sewa -- termasuk tambahan aku dan anak muda yang hendak menuju Pademangan -- sehingga kabin terkesan melompong. Dua plus satu kursi di deret ke-8 bisa aku kangkangi karena yang lain menumpuk di front rows.


Kini aku mencoba berkalkulasi serta berspekulasi. Bila Muria-an tinggal landas dari Semarang sekitar setengah sembilan dan tiba jam enam esok hari, secara logika, si Merah ini bisa menyingkat waktu 3-4 jam-an saat mencapai ibukota, di muka kedatangan gerombolan Nusantara cs.


Hmm…Kalau begini modusnya, inilah saatnya aku mengukir prestasi gemilang, memecahkan rekor paling pagi mencumbui ladang pencaharian. Meski klan Wonogiren tak sebanter entitas pelat K, tapi aku yakin, pasti bisa!!!


Gen Hino spesies RG yang sess dan ngeri-ngeri sedap tersembul tatkala mengacak-acak jalur berlawanan di pertigaan Sukun. Orientasinya adalah nyolong start, berpacu dengan countdown timer traffic light menyala hijau.


Pun saat menyungkurkan Tunggal Dara Putera bermodelkan Skania jurusan Purwantoro-Jakarta di Turunan Jatingaleh, dan dipertegas ketika melibas PO Puspa Jaya BE 2372 W line Lampung.


IMG00392-20130219-1642







Tak usahlah kecepatannya disandingkan dengan gaya injak gas ala Pak Ali Kantong feat Abah David, penggawa HR-47. Kuasa mengungguli konco-konco kidul-an kuanggap show off  ke-superioritas-an yang sepadan untuk disombongkan.


Di Krapyak, kupotret sosok bus yang (berdasar klaim Koh Hary) paling memanjakan penumpang, khususnya yang bermodalkan lambaian tangan di pinggir jalan. AE 7061 UB, tjap dua segitiga merah. (Hehe…) Take off dari mana dan jam berapakah hingga Jatimer yang satu ini sudah menapak wilayah Semarang?


Usia driver yang sepuh dan agak temperamen tak menghalangi skillnya untuk tampil menyala-nyala. Patas Semarang-Cirebon, Coyo, G 1489 AA, diasapi di tengah kerumunan lalu lintas oleh momen bubaran kerja.


“Nyawamu serep to, Mbak, wani-wanine mungsuh bus malem!” umpatnya saat berondongan klakson tak digubris seorang cewek biker. (Nyawamu double, Mbak, berani-beraninya melawan bus malam)


Petugas retribusi Terminal Mangkang dibiarkan menganggur, karena besutannya langsung bablas, melipir ke Lingkar Kaliwungu. Di jalur pengurai sepanjang 8,1 km ini, berpas-pasan dengan Pahala Kencana Evonext jurusan Bangilan, salah satu akademia pagi Pulogadung.


Semangat juang tinggi tak jua mengendur. AKAP yang terdaftar di Kantor Samsat Bekasi Kota ini benar-benar merajai kelompok terbang bus malam pertama yang heading to the west.


Langsung Jaya, AD 1480 AF, dilempar dari persaingan di atas permukaan trek Bugangin. Dan kemudian spot Patebon merekam scene saat menghempaskan PO Coyo bergaun Prestige bikinan Tri Sakti.


Hah!!! Tiba-tiba aku teringat sesuatu! Aku ini kan belum ber-KTP (Kartu Tanda Penumpang) legal. Mengapa tidak ada gerak-gerik atau gelagat dari ajudan sopir untuk membarter “tiket palsuku”?


Hmm…apa gara-gara kelupaan, dan nanti akan diserahkan sesaat sebelum memasuki rumah makan? Toh, dulu sewaktu mengencani Tunggal Dara Putera, “tiket asli” pun diberikan setelah bus mengangkat jangkar. Barangkali ini hanya beda masalah timing saja.


Tapi…apa arti ucapan “Jadi, tiket sama kamu saja ya!” yang dilafalkan agen Banyumanik saat menelepon kru?


“Jangan-jangan…jangan-jangan!” aku dirambati keraguan tentang status halalku.


“Oh, no…kamu kudu tetap positive thinking!” wejang sisi nurani walaupun beragam pertanyaan bergelayut di benakku.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar