Selasa, 15 Desember 2009

B 7583 IW, Pria Single Meminang Sang Waktu (2)


“Mas, ayo naik, bis mau diberangkatkan…”, kata kenek armada 83, mengingatkan aku yang lagi asyik liat-liat keadaan pool.

Bis pun berangkat saat jarum jam pendek dan panjang menunjuk angka 3, diiring gerimis yang mulai lirih turun. Driver-nya asing bagiku, bukan Pak Wid atau Pak Haji Warto, namun eks pengemudi bis ekonomi yang statusnya sementara diperbantukan, naik grade membawahi kelas eksekutif. Demikian info dari asisten driver.

Tapi sayang, kesan pertama saat meng-sinkron-kan pedal gas dan kopling sekeluarnya dari pool, kurang selaras. Dan itu jadi indikator, kurang smart dalam menangani karakter mesin OM906LA ini. Berkali- kali over persneling, terasa menghentak. Dan itu belum seberapa dibanding kurang gregetnya dalam mengeksploitasi tenaga Mercy Electric yang kaya power hingga 245 HP ini. Miskin determinasi cara pembawaannya…

Dan itu jadi benar adanya, ketika driver berkeluh kesah kepada sang kenek, kalau dia bagian dari komunitas mercy haters, tidak cocok dengan karakter mesin buatan pabrikan dari negeri Hitler ini. Dan itu wajar, karena bis ekonomi yang biasa menjadi batangannya, mesinnya berlogo huruf “H”. Dan repotnya, sudah tiga minggu tidak nge-line dan baru ini mengemudikan bis jarak jauh kembali. Beda armada, beda body, beda kelas dan beda mesin.

Ya ampun, padahal Garuda Mas menerapkan sistem pengemudi single untuk semua armadanya, setelah mempertimbangkan aspek jarak dan waktu tempuh yang masih dalam batas manusiawi. Konsekuensinya, syarat yang diemban cukup berat, dibutuhkan stamina prima dan kondisi fit pengemudi serta sistem rolling driver yang teratur dan pasti.

Kekhawatiranku seketika muncul. Kuatkah Pak Sopir meladeni musuh yang bernama kantuk, dan bisakah istiqomah dalam memaintain konsentrasi 12 jam penuh, sementara ritme tubuh pengemudi perlu diasah kembali pasca jobless selama beberapa hari?

Tak berselang lama, ringtone-ku menyalak. Sohib komuter dari Cepu yang berada di bis I eksekutif mengirim pesan, Mas, tolong kasih tahu Pak Sopir, jangan lewat pantura. Pak Alan akan ambil jalur Sadang.

Dan memang, perjuangan Pak Alan menuntun bis ini ke jalan yang benar , yakni via jalur tengah, terhitung luar biasa. Seringkali beliau menelepon driver 83 agar mengikuti arah bisnya. Soal service makan bukan di tempat biasanya, Pak Alan berpesan tak usah dipikirkan, nanti driver yang sudah 25 tahun berbakti pada Garuda Mas yang akan pasang badan untuk mengurusnya. Yang penting jaga waktu tempuh demi pelayanan terbaik bagi penumpang. Tapi, advice ini tak digubris driver-ku, tatkala sampai di km 62 tol Cikampek, OH 1525 generasi pertama ini malah ambil jalur Dawuan untuk keluar Jomin.

“Ada penumpang mau beli oleh-oleh tape Pak, saya harus lewat Cikampek”, ngelesnya pada sang senior saat mengontak balik.

Menjelang fly over Jomin, kemacetan sudah terlihat menghadang. Tak dinyana, tanpa basa basi dan terkesan serampangan, muka garang Sang Garuda dihembus asap Euro II dari residu ruang dapur pacu bis Nusantara berkode fisik HS 213.

Ha??? Jangan-jangan ini tandem HS 211, yang menggawangi kode trayek NS-39, pemberangkatan jam 16.00 dari Terminal Pulogadung. Segera aku kirim sms ke teman komuter, wong Kudus, yang kemarin merayuku agar naik bis jurusan Cepu, untuk mencari kebenaran.

“Iyo Mas, HS 213 ini NS 39. Sampeyan naik Garuda Mas yang habis disalip ya? Bye bye…siap-siap ngga kebagian khotbah id”, ledeknya dengan kata-kata.

Ck ck ck…cepat benar bis langgananku ini menyusul.

Tak lama kemudian, OH 1525 langsiran bulan September 2009 itu meliuk-liuk, lincah menari-nari di sela-sela kemacetan. Aku hapal, itulah attitude driver-driver Pak Hans yang selalu diplekotho para penumpang fanatiknya untuk memangkas waktu.

Sementara yang ini tidak. Di saat bis-bis lain ‘merampok’ jalur berlawanan, bis-ku tetap merayap mengikuti antrian. Ikut berjubel dalam kepadatan lalu lintas yang menyemut di mulut jalur pantura. Untuk ukuran bis malam, bis bertrayek Pulogadung-Blora-Cepu ini lambat dan kurang enerjik. Letoy…Jarang ada aksi blong-blongan, manuver ekstrim atau goyangan maut saat membelah jalan. Cukup nilai 6 dari skala 10.


Dan tuah dari kualat pada sesepuh, bis yang ber-seat 28 ini terjebak dalam kubangan kemacetan di ruas Jomin-Ciasem. Perlu dua jam untuk membebaskan diri. Hanya sebentar mengambil jalur lawan mengekor PO Luragung dan PO Warga Baru, namun akhirnya ‘takut’ dan masuk jalur kiri kembali. Sempat ada episode menggelikan ketika bis stag tidak bergerak. Ceritanya driver sudah tak tahan menahan hajat kecil, hingga setir ditinggal ke toilet belakang. Tiba-tiba, lalu lintas bergerak lancar kembali. Asisten driver pun reaktif, cepat tanggap agar tak memacetkan jalan. Dipegangnya lingkar kemudi. Tapi, karena belum terbiasa, bis sempat mati mesin sampai tiga kali. Duh, malunya kalau dilihat PO lain. Hehehe…

Tiba di Rumah Makan Anugrah, Sukra, sudah jam 20.10, molor dua setengah jam dari waktu seharusnya. Rasa optimis menjelma menjadi pesimis, karena aku yakin tak akan bisa mengejar target waktu yang normalnya jam 4 pagi sudah mendarat di kota-nya Pramoedya Ananta Toer. Jarak masih 400 km-an untuk sampai ke Blora, sementara waktu yang tersisa untuk hitung mundur “cuma” 9 jam. Sementara bis produk Adi Putro ini nanti mampir di Pool Kedaung, jalannya pun terkesan ogah-ogahan, sopir tanpa second player, masih ada potensi kemacetan di Losari dan nanti aku masih mencari angkutan Blora-Rembang yang terkenal suka ngetem, ngambek berjalan bila penumpang tidak fullseat.

Hopeless, tiada harapan…Penyesalan datangnya selalu di akhir cerita. Seolah itulah pepatah yang menohok kekeliruan insting-ku saat memilih PO yang akan membawaku pulang berhari raya.

Huh…kurebahkan diri dalam peraduan, menikmati jok empuk Aldilla meski perasaan diri sedang dibalut kekecewaan akibat blunder langkah di awal pembukaan. Zzzz…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar