Selasa, 15 Desember 2009

B 7583 IW, Pria Single Meminang Sang Waktu (3)


Aku terjaga saat bodyroll bis mulai mereduksi kenyamanan tidur. Jalanan terlihat sepi dan lengang. Aku lirik kanan kiri, untuk tahu ini sudah sampai daerah mana. Jam di ponsel tertera angka 3.20. Ternyata baru sampai Mranggen, kota kecamatan yang berada di jalur Semarang-Purwodadi, wilayah dalam pangkuan Kabupaten Demak.

Tidur kembali…

Kembali tersadar saat goncangan bis makin terasa hebat getarannya. Ini pasti ulah jalan keriting sepanjang Purwodadi-Blora. Kupaksakan diri untuk bangun kembali dan posisi bis menjelang Pasar Wirosari. Kulihat jam selular-ku kembali, 4.17…

Aha… Lumayan. Masih ada harapan. Wirosari-Blora kira-kira satu jam lagi. Tinggal Blora-Sulang (rumah) sekitar 45 menit, kalau beruntung mendapatkan mikro bus yang siap berangkat. Setidaknya, sebelum jam ½ 7 saat dimulainya sholat id, sudah sampai di rumah.

What’s up? Serasa jantungku melompat. Aku bodoh, gerutuku. Bukankah ini masa lebaran, saat bis mini Rembang-Blora biasanya berhenti operasi, karena kru turut memeriahkan dino bodo? Mengapa hal ini tidak selintaspun terpikirkan jauh sebelum perjalananku. Alamak…lunglai kembali betis kaki ini.

Saat itu pula wanita pendamping hidupku menelepon, dan menyalahkanku. Mengapa tidak naik bis Nusantara yang jelas-jelas lewat Sulang? Mengapa momen libur penting malah gambling naik bis.

Duh, serasa aku menghadapi beban berat ini sendirian menerima omelannya.

Mau tak mau, enak tak enak, tiada pilihan lain lagi, selain ngrepoti Bapak. Bergegas kutelepon Bapak.

“Pak, nyuwun tulung. Menawi saged kulo pun jemput wonten Blora” (Pak, minta tolong. Kalau tidak merepotkan, saya minta dijemput di Blora)

“Maafkan aku ya Pak, sudah kau hantar aku menjadi orang dewasa dan mandiri, tapi masih saja merepotkanmu”, bisikku kepada angin yang berhembus dari lubang AC Thermo King Mark IV ini.

Mulai dari sini, kurasakan ada ketidakberesan dalam diri driver. Terlihat kelelahan dan berjuang sekeras tenaga menyingkirkan rasa kantuk. Rokok habis, gantian ngemil. Duduknya pun terlihat gelisah, usrek, dan berkali-kali menggesar letak punggung. Terkadang menggaruk-garuk kepala, sambil bernyanyi-nyanyi sendiri, berharap hormon pembuat kantuk untuk berhenti mengalir. MP3 Player yang disematkan di dua telinganya sesekali dilepas pasang. Sibuk mencari kesibukan sendiri, jauh dari posisi tenang dan concern. 13 jam adalah extreme overtime untuk ukuran manusia beraktivitas. Itulah ciri-ciri mengantuk saat mengemudi, karena aku sendiri pernah mengalaminya.

Cara pegang setirnya pun mulai aneh. Di saat jalan sepi, justru malah mengerem secara mendadak. Terkadang, bertemu dengan kendaraan dari depan, malah minggir dan bis dihentikan, memberi jalan. Padahal lebar jalan masih cukup untuk berpas-pasan. Laju bis semakin tidak konstan. Kadang setengah ngebut, kadang pelan. Tidak ada irama teratur dalam menyimbangkan arah jalannya.

Aku mulai gemetaran. Ah, aku harus mengingatkan dengan mengajaknya mengobrol. Jiwa manusia lebih berharga dibanding waktu.

Belum sampai meng-eksekusi rencanaku, tiba-tiba driver menghentikan kendaraan di tengah areal persawahan di daerah Kunduran, Blora.

“Aku teler berat Mas,” katanya kepada kenek. Mukanya kuyu, matanya sayu dan kelopak matanya menebal, menyiratkan rasa kantuk dan capai yang luar biasa.

Bergegas dia turun tangga dan kenek terlihat membuka pintu bagasi. Tebakanku, sopir numpang tidur di ruang barang penumpang.

Ya sudah…habis sudah harapanku. Justru aku kasihan sama Bapakku, yang sedang berkendara menuju Blora sejauh 25 km untuk menjemput anaknya yang bandel. Jangan-jangan, gara-gara memenuhi request-ku, Bapak sendiri juga tak bisa ikut sholat hari raya. Fiuuhh…was-was, gelisah, khawatir, deg-degan berganti-gantian menggelayut di benakku.

Aku pun turun untuk menghirup udara segara. Tapi…olala…Pak Sopir sedang melakukan jogging, lari-lari kecil mondar mandir di belakang bis. Tak lupa melakukan peregangan otot tangan, pinggang dan kepala. Inikah cara dia mengusir seteru abadi para sopir, yang bernama kantuk?

Tak sampai 10 menit, kembali lagi ke kursi tugasnya. Rupanya trik dan tipsnya mujarab. Meski sifat penyembuhannya hanya sementara, tapi cukup membuatnya fresh dan bugar kembali. Bispun dibawa lari, ngejozz, karena tahu penumpangnya bisa komplain kalau tidak lekas-lekas sampai Cepu sebelum jam sholat id. Nah, gini dong! Style seperti ini disimpan kemana ya, semalem kok tidak dipamerkan?

Dan kembali, ada SMS masuk inbox-ku. Ternyata kabar dari bis I.

Mas, Pak Alan masuk Cepu jam 4. Sampai mana sekarang?

Pengalaman makan asam garam dan senioritas jalanan Pak Alan memang tak bisa dibantah, pujiku.

Tiba di Ngawen, matahari sudah muncul di ufuk timur. Sinar lembayungnya memberi rona cerah wajah bumi, menyambut hari yang diberkahi Pencipta. Kelompok-kelompok kecil muslim muslimah dengan baju religiusitasnya telah terlihat bergelombang menuju masjid terdekat. Ayo, pacu terus Pak bisnya?

Seolah mendengar bisikanku, pedal bis dibejek kembali. Kencang bin banter seolah sirna sikap kalemnya.

Sampai di Blora jam 5.28. Kuhampiri Bapak yang standby di dekat Tugu Pancasila arah ke Rembang. Segera pindah posisi setir, kubawa sekencang-kencangnya ‘pedati Jepang’ ini agar cepat sampai di rumah. Tak banyak obrolan dengan Bapak, dan beliau pun mafhum aku sedang fokus ‘menggunting’ waktu.

Sepanjang perjalanan Blora-Sulang, masjid-masjid di pinggir jalan mulai dijejali para jamaah. Pemandangan ini semakin memicu perburuan waktu, jangan sampai ketinggalan waktu sholat id.

Setelah kuantar Bapak ke rumah masa kecilku, cepat-cepat aku putar arah menuju pondokku sendiri.

Tepat jam 6.10 sampai di rumah, bergegas bersih diri dan siap berangkat ke masjid, karena permaisuri dan bidadari kecilku sudah tak sabar menunggu. Gema takbir sayup berkumandang, pertanda ibadah sholat belum dimulai.

Sepanjang kaki melangkah menuju halaman masjid kampungku, sembari kuputar ulang kisah perjalananku semalam. Aku pun hanya bisa bergumam lirih “Ternyata nasib baik masih berkenan memayungi perjalananku. Meski driver Garuda Mas hanya pria single yang jauh dari kata sempurna, nyatanya mampu menundukkan hati sang waktu, berhasil meminangnya di saat-saat akhir”.


Well done Garuda kebanggaanku…

5 komentar:

  1. Tulisannya hebat. Tidak kusangka, ada novelis dalam diri maniak bis.
    Keren. Lanjut Mas.

    BalasHapus
  2. Mas, waktu lebaran haji kemarin aku juga naik Garuda Mas tgl 24 tapi yang VIP. Mau tanya nih, mas tahu tidak ya sistem shift untuk drivernya Garuda Mas kan cuma 1 driver + 1 kenek dalam 1 bus tidak seperti PO lainnya yang 2 driver + 2 kenek dalam 1 bus ?

    BalasHapus
  3. @John Abdul, terima kasih atas compliment-nya Mas. Blog ini sekedar mengekspresikan perasaan diri sebagai seorang bismania.
    Terima kasih pula atas kunjungannya.

    @Irawan Sukma
    Saya pernah mendapatkan info, untuk sistem rolling drivernya adalah setiap 3X PP, 3X off Mas, demi menjaga vitalitas driver, penyegaran dari rutinitas kerja dan memenej upah yang layak untuk kerja kru bis.

    Terima kasih atas kunjungannya.

    BalasHapus
  4. rupanya ada novelis yang bersama saya saat menunggu start perjalanan dari pol GM Pulogadung pada kamis sore 26 Nov 2009. Pada saat perjananan itu saya menggunakan E7660HB jurusan Pwdd - Sragen dengan harapan agar dapat menjalankan sholat id pada esok harinya. Diperjalanan saya melewati jalur berbeda untuk menghindari kemacetan di cikampek-ciasem, karena dapat kabar dari driver sebelumnya yang duluan berangkat. yaitu menggunakan jalur tol cikampek exit sadang purwakarta menuju ciasem via jalur tengah. waktu itu sampai rumah purwodadi jam 04.30 sehingga masih banyak waktu luang untuk mandi dan sarapan menjelang solat iedul adha 27 Nov 2009.

    BalasHapus
  5. Wah, ngga nyangka ya. Saya sempet foto2 bus di pool GM waktu itu, bisa jadi Mas Eko melihat saya.

    Dan 7583 IW posisi parkirnya adu muka dengan E7660HB. Jadi kita dekat banget ya?

    Monggo gabung di bismania@yahoogroups. com, ajang temu dan bertukar kawruh dunia bus.

    BalasHapus