Rabu, 23 Desember 2009

KE-461, Karena Karina Ingin Dimengerti (2)



Bis bernomor polisi B 7866 VB ini melenggang masuk kota Semarang. Ada satu pemandangan yang benar-benar menyentuh sisi humanis. Di depan SPBU Kaligawe, Pak Sopir menghentikan armadanya, menemui istri tercintanya yang sedari tadi menunggu di pinggir jalan, untuk menukar tas yang penuh pakaian kotor, dibarter dengan bekal pakaian bersih. Bisa jadi, sudah berhari-hari beliau tak pulang ke rumah. Tak banyak kata di antara keduanya, karena sebentar kemudian pengemudi itu kembali ke belakang kemudi karena posisi bis sedikit memacetkan jalan. Mungkin, tak ada kalimat untuk sekedar menanyakan kabar keluarga, kondisi anak-anak atau urusan di rumah karena diburu waktu. Padahal intensitas pertemuan mereka sangat jarang, kalaupun ada hanya singkat. Betapa beratnya profesi seorang pengemudi bis jarak jauh, yang deminya harus rela kehilangan waktu bercengkerama bersama keluarga.

Sedang si istri terlihat tegar dari sorot matanya yang tak pernah lepas menatap raut sang suami, mengantarnya kembali bekerja. Berharap Bapaknya anak-anak diberikan keselamatan selama menjalankan tugas, dan pulang membawa rejeki halal bagi kelangsungan rumah tangganya. Aku terkadang dihadapkan adegan kemanusiaan semacam ini selama menjalani perjalanan mingguan. Bagiku, istri-istri mereka adalah orang-orang hebat, wanita-wanita yang tabah, tak manja dan tak cengeng ditinggal suami bekerja meski dengan resiko tinggi di sekelilingnya, yang tak pernah berkeluh kesah menjalani single parent dalam mendidik dan membesarkan anak, serta pribadi yang mandiri, tak semata bergantung pada suami saat menangani masalah yang ada.

Ya Allah, di balik kerasnya atmosfer jalan raya, Engkau berkenan menyuguhkan realita kehidupan yang penuh makna untuk dihayati.

Tanpa aku sadari, bis terjebak kemacetan sebelum memasuki Jalan Pandanaran. Ternyata jalan pengubung antara Simpang Lima dan Tugu Muda ditutup untuk even Pandanaran Food Festival 2009. Untunglah, Pak Sopir adalah warga Semarang sendiri, sehingga tak susah mencari jalan tembus ke Kalibanteng. Diarahkannya armada berkelas eksekutif ini menyusuri rute Bilangan Mugas-Kaligarang-Simongan-Pamularsih hingga tembus Jalan Siliwangi.

Setelah lapor di check point Krapyak, aku bersiap untuk pembuktian kehebatannya…

Berderet bis lewat saat Karina mulai bergerak perlahan. Tercatat dari depan Shantika Merah, dua bis Ezri Pariwisata, Harta Sanjaya Panorama DX, Shantika Volvo, dan HS 151 Scania. Bis-bis inilah yang kujadikan kelinci percobaan, mana yang akan bisa di”santap”nya.

Perlahan tapi pasti, dengan lincahnya KE-461 menyeruak di dalam keramaian jalan raya, yang dijejali truk-truk angkutan barang. Buah usahanya, berhasil mengasapi mesin Scania HS 151 dan Harta Sanjaya yang terjerembab di barisan kendaraan berat. Wah, Scania tumbang di trek padat. Satu armada Handoyo juga mampu di-overtake. Dan selang tak lama kemudian, Shantika Volvo kelihatan bidang pantatnya. Tak perlu bersusah payah, ditaklukannya. Dengar-dengar Volvo eks Tri Star ini kurang greget larinya. Pantas saja…

Sudah dua mesin ber-cc besar, di atas kapasitas ruang mesin Mercy Intercooler dilumpuhkan, Scania dan Volvo. Lumayan, buat mendonasikan laporan kesaktian Lorena-Karina grup sekarang ini.

Namun, di koridor ringroad Kaliwungu-Brangsong, usia mesin dan karoseri tak bisa bicara bohong. Nafas engine ber-volume 6.000 cc terengah-engah di trek lurus dan sepi kendaraan. Apalagi bunyi riuh rendah gesekan antar material bodi mulai ramai bersahutan di dalam kabin, saat menapak jalanan yang tak seluruhnya rata. Semakin kencang dipacu, semakin menurun kenyamanan di dalamnya. Akhirnya, revenge of HS 151 terjadi, Karina yang semakin uzur dilibas habis, dan dalam hitungan detik bis berkode NS 18 hilang ditelan kegelapan malam.

Seakan-akan bis-bisnya Pak Hans belum puas mempecundangi, beraninya “main keroyokan”. Wah…wah… Armada tua dikerjai anak-anak muda. Di belakang Scania, dilanjut NS 29 Lebakbulus, NS 39 Pulogadung dan NS 28 Ciledug, yang berjalan rapat beriringan. Dan yang bikin hati ini tak terima, cara menyalipnya yang terkesan melecehkan. Sotoy…Lampu dim berulang-ulang dimainkan dengan sorot yang menyilaukan, merenggut secara kasar lajur kiri untuk menyalip, mendiamkan fungsi klakson. Padahal laju Karina juga sedang kencang-kencangnya dan riskan untuk disalip. Namun, rombongan itu secepat kilat tetap memaksa masuk. Yang bikin semakin kesal, saat posisi sejajar, sengaja dibuat mepet bener. Bahkan, ujung luar spion NS 39 nyaris menempel di dinding kaca. Apa bis Cepu-Pulogadung ini akan memberi pelajaran, gara-gara tahu kalau ku-dua-kan. Serrr…deras darahku mengalir menahan kengerian. Dua kendaraan besar adu speed, dengan jarak antar bodi tipis sekali. Apa penumpang di dalam bis Nusantara ngga takut ya? Hehehe…

Setelah sempurna menyalip, ketiga armada yang terdiri dari dua unit OH 1525 dan satu unit K124IB itu semakin melesat, meninggalkan jauh Karina-ku. Hiks…Si Ijo belum mampu mengimbangi…

Mungkin itulah cara PO berlambang nyiur melambai memamerkan hegemoni dan superioritas atas PO lainnya.

Sebenarnya tadi aku berharap, cukup bis-bis Soloensis atau Bumi Mataram yang jadi pengukur tingkat kedigdayan Intercooler Jumbo ini. Tapi nyatanya, justru langsung dihadapkan lawan berat, selevel PO Nusantara. Jadi terasa “tenggelam” lagi prestasi spektakuler yang telah ditunjukkan empat jam sebelumnya.

Jalur Rembang hingga RM Sendang Wungu, Gringsing, bagiku sudah cukup sebagai bahan pembuktian rumor di atas. Selebihnya, sisa perjalanan kugunakan untuk beristirahat, menata stamina karena esoknya mesti beraktivitas seperti biasa.

Esoknya, jam 05.30, bis yang bernama lengkap Ryanta Mitra Karina ini telah mendarat di pos Cikampek untuk keperluan kontrol. Masih cukup waktuku untuk mengejar jam masuk kerja. Apalagi 15 menit kemudian disusul KE-521 Bangkalan-Tanjung Priok. Apa tidak hebat, bis Madura tiba Jakarta saat matahari terbit? Atas perkenan kru, aku diijinkan untuk oper merasakan armada Mercy Electric, selain agar mudah mencapai lokasi ladangku.


Meski raihan hebatnya semalam sempat dicederai kepiwaian bis Muria Raya, namun aku berani ber-milist pers, bahwa selama ini Karina ingin dimengerti. Dan itu dirasakan oleh para pemiliknya. Berkat re-touch tangan dingin Pak GT Surbakti, Lorena-Karina telah bangun dari tiarapnya. Mulai tumbuh kembali fight for competition, sense of passanger needs, memegang prinsip time is priority and speed oriented. Mencoba menghapus “kesalahan” masa lalu, yang membuat pelanggan setia seperti aku sampai lepas dari rengkuhannya.

Never give up, Karina…

5 komentar:

  1. Kayaknya bisa dipake lagi nih buat mudik ke bojonegoro..
    2 bulan lalu coba buat yg ke jakarta, jam 04.40 udah bisa ketemu ama misua di cikarang...
    Mas edhi kapan rencana pake ini lagi..
    kali aja bisa bareng...

    BalasHapus
  2. Wah, perjalanan bersama Karina yang mengesankan juga Mbak Isna, tembus cikarang sebelum matahari terbit...

    Kalau saya sih kapan saja Mbak, lha wong tiap minggu pulang ke Rembang. Hehehe...

    Nah, gantian saya yang nanya, kapan Mbak Isna pulang ke Bojonegoro?

    BalasHapus
  3. Rencananya sih libur taun baru Mas, tgl 28 berangkat dari Cikarang. Awalnya bingung mau naik apa, tp setelah membaca ulasan mas Edhi misua jadi ngiler pengen nyobain :)
    Balik ke Cikarangnya tgl 3, mau nyoba pake Garuda Mas dari Cepu.

    BalasHapus
  4. Lorena & karina masih harus terus dibuktikan pelayananmu & kecepatanmu melebihi PO2 lain seperti jaman kamu jadi Raja dahulu , tak ada 1 PO pun yg mampu adu cepat dgn-mu .. majulah terus Lorena-Karina bangkit lagi seperti dulu ..

    BalasHapus
  5. Yup...harapan yang sama yang sanjungkan untuk Grup Ijo Mas.

    Dulu, semua angkat topi dan mengakui bahwa Lorena adalah Raja Pantura.

    BalasHapus