Selasa, 08 Desember 2009

Malino Putra, Tiada Taring Yang Tak Retak (1)




Hugh…

Baru dua hari menjejakkan telapak kaki di ibukota sejak hari Kamis kemarin (19/11), rasanya seperti sewindu ngga pulang mudik. Bosan dan jenuh dengan ritme Jakarta yang ternyata masih “itu-itu saja”…

Ah, peduli amat dengan badan yang didera kecapaian setelah perjalanan 600 km sebelumnya. Hari Jumat ini mesti balik lagi ke Rembang. Working mood-ku belum pulih pasca menjalani cuti panjang. Lagian, masih ada sedikit hutang urusan yang mesti ditunaikan di kampung, meski sebenarnya masih bisa ditunda. “Never put off till tomorrow what you can do today”, seolah aku mencari pembenaran diri sendiri atas keputusan yang aku buat.

Selepas sholat Jumat, segera kutinggalkan “ladang” yang selama ini mendekatkan rejeki bagiku.

“Maaf ya Kang Ladang, aku belum bergairah menggarapmu kembali. Esok aku akan kembali dengan gairah dan semangat yang baru,” kataku saat tiga jemariku menyusup ke dalam piranti finger print yang terpasang di ruang lobi kantor.

1 jam kemudian…

Kupercepat langkahku setelah turun dari tangga berbahan plat bordes Metromini 46, karena rinai gemiris mulai turun tipis membasahi bumi. Bis bermesin Isuzu 100 PS dengan tubuh bopeng-bopeng ini yang mengantarku hingga ke depan mulut gerbang Terminal Rawamangun, sebagai titik keberangkatanku mulih ngetan.

Memang, dari awal tak ada keinginan nantinya naik bis apa. Akhir-akhir ini, aku prefer go show aja. Entahlah, rasanya pergi “tanpa tiket di tangan” memberikan tantangan, harapan, sensasi dan kepuasan tersendiri dibanding sistem booking. Kalau aku analogikan, go show di terminal tak ubahnya acara cari jodoh Take Me Out. Anggap saja bis-bis itu wanita cantik yang sedang menawarkan cinta, tinggal kita sebagai sang arjuna memantapkan hati, hendak ke mana melesatkan busur panah asmara yang kita punya. (Hehehe…keliru beranalogi ya?)

Di lapak Pahala Kencana, terlihat dua armada, Jupiter Banyuwangi dan Setra Blitar. Hmm…malas ah, harga susah digoyang. Maklum, cuma bermodalkan kantong tipis.

Seratus langkah ke depan, tampak di lajur 3 berjajar Lorena Blitar, Rosin Ekonomi dan Harapan Jaya. Hmm…kok cuma ini penampakan Si Ijo, mana LE 44…, LE 41…, LE 42… atau KS 420?

Menggeser ke blok nomor 2, ada CV Pelangi dan berderet dua armada Super Eksekutif Rosalia Indah di belakangnya. Ah, tak ada yang lewat pantura timur Semarang.

Pindah lagi ke line 1. Berturut-turut dari depan Sinar Jaya Wonosobo, Kramat Djati Malang, dan Malino Putra Malang.

Tidak banyak pilihan armada memang. Dan sepertinya, suasana terminal yang terletak di Jalan Perserikatan No. I lengang. Mungkin para penumpang menahan diri bepergian, mengingat minggu depan adalah libur lebaran haji.

“Mas, mulih Rembang yo. Ayo jajalen Shantika anyarku (High deck, maksudnya)!”, kurasakan seseorang menepuk pundak. (Mas, pulang Rembang kan? Ayo coba Shantika terbaru)

“Eh, sampeyan Mas. Waduh, bismu mangkat jam pitu, kesuwen aku olehe ngenteni,”
jawabku sambil mengingat-ingat, bahwa dia adalah Mas Lilik, staff ticketing Shantika. (Eh, kamu Mas. Aduh, bisnya berangkat jam tujuh. Kelamaan kalau menunggu)

“Mas, naik Kramat aja ya. Ini mau berangkat. Sudah, aku kasih harga 150, eksekutif dapat snack dan makan. Repot lho kalau naik Malino, kalau ada apa-apa di jalan, bisnya cuma satu”, tiba-tiba agen Kramat Djati menyela pembicaraan, dan berusaha mempengaruhiku. Sepertinya dia nguping obrolan barusan.

“Maaf Pak, saya pikir-pikir dulu,” dengan halus kutolak tawarannya.

(Sorry Bos, netralisme adalah momok terbesar dalam perjalananku…)

“Mas, gelem taknyangke Malino,” Mas Lilik membuka pembicaraan lagi setelah agen Kramat Djati menjauh. (Mas, mau aku negokan tiket Malino)

Batinku berbisik dan setengah memaksa, “Sudahlah, naik bis ini saja, belum pernah dinaiki kan? Ayolah, kesempatan datangnya cuma sekali. Tak apalah bukan yang Galaxy EXL, bis ini juga menarik hati kok. Masak mau ke Pulogadung, NS 39 lagi, NS 39 lagi. Bismania macam apa pula kau ini!!!”, imbuhnya dengan nada mengejek.

“Yo wislah, mengalah, aku naik Malino saja…”, palu vonis akhirnya kuketuk.

Dan berkat bantuan Mas Lilik pula, akhirnya deal di harga Rp.140.000,00 untuk tujuan Rembang.

Aku mesti kompromistis. Cita-citaku mengecap Galaxy EXL sampai detik ini belum kesampaian. Tak apalah, mendapatkan Malino Putra lawas, berplatform MB OH 1521 berbalut busana Tentrem Setra Inspiro. Livery-nya bukan ombak biru khas Malino Putra, melainkan sticker printing bergambarkan sekawanan spesies hewan buas berjenis Singa Afrika (Panthera Leo; latin). Ditambah lampu beam model mata burung hantu, menjadikan bis ini kelihatan garang…


Kesan pertama saat menilai interiornya…Duh, langit-langit sudah kusam. Jok Alldila-nya pun mulai memudar warnanya. TV pun asal ada, hanya LCD kecil, itupun selalu terlipat selama perjalanan. Apalagi konfigurasi seat 8 baris, terasa sempit. (Namanya juga menjajal “kembang perawan”, pastilah sempit, pikirku menghibur diri…


Namun, nilai plusnya disediakan ruang muktamar ahli hisap yang dilengkapi dispenser di kompartemen belakang. …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar