Rabu, 18 Agustus 2010

Mutiara Yang Hilang Dulu, Jumpa Lagi…(4)


Ready for Show Off


“Gimana Mas, sudah siap perang?” tantang Mas Ferry, sebelum bus beregistrasi K 1555 BC meninggalkan RM Sendang Wungu.

“Ada-ada saja guyonan Mas Ferry. Memang siapa yang mau dilawan?” gumamku. Toh, reputasi dia sebagai driver balap juga tak terbantahkan. Didikan AAPP alias Akademi Angkatan Pagi Pulogadung, gitu lho…Hehehe…

Itulah candaan khas Mas Ferry. Seseorang yang memang spesial di mataku. Karena dalam dirinya terdapat “perkecualian” tentang stereotip seorang sopir bus malam yang selama ini tercetak rapi dalam bingkai pikiranku.

Bus malam yang memprioritaskan kenyamanan, pengemudinya haruslah tiyang sepuh, mriyayeni, selalu jaga image dan pajang wibawa di hadapan penumpang, sosialitas tertutup, berpaham konservatif, berpenampilan formal serta cenderung pendiam.

Namun, Mas Ferry mematahkan semua itu.

Pria kelahiran Jakarta 33 tahun silam ini tak ubahnya anak muda yang gaul, supel, metropolis, gokil, funky, stylish, mletek (melek teknologi), open minded, dan punya idealisme tinggi dalam bercita-cita. Bangku kuliah yang dienyamnya tak mampu memekakkan bisikan nuraninya, yang lebih memilih profesi sebagai abdi jalanan untuk mengaspirasikan kegemarannya duduk di belakang setir.

“Siap, Mas…” kukepal tanganku, tanda bahwa aku merestuinya berjuang maju ke medan laga.

Maaf, Anda-Anda Semua Di Belakang Kami


-- Gringsing – Alas Roban – Batang

Gringsing : 21.15

Awalnya, bus tidak begitu deras melaju. Mungkin, Mas Ferry masih mencari sentuhan handling yang pas dalam mengoptimalkan output varian RK8JSKA sembari membangunkan mood dalam misi menjalankan gerilya malam.

Namun, lambat laun, energi yang telah melimpah ruah hingga berdaya 260 HP sungguh-sungguh termanfaatkan. PO Selamet “Ironman” menjadi hidangan pembuka malam itu.

Adrenalin ini semakin terpompa tatkala PO yang rintisan awalnya ditopang bisnis meubeul dan seni ukiran ini melibas tikungan tajam sebelum memasuki tanjakan Plelen. Lalu lintas dua arah yang padat dibelahnya dengan menyalakkan klakson, meminta keleluasaan jalan.

Sepanjang 35 km antara Gringsing-Batang, tahap warming up dilakukan. Satu persatu, kontestan Pantura Race dipecundangi. Raya Panorama DX, disusul armada Kota Reog, PO Jaya, Bandung Express D7537AB, Mulyo Indah AD1654BA, Sahabat Comfort Semarang-Cirebon, Ramayana Setra Adi Putro, Handoyo Panorama 3 AA1630AA, dan pamungkasnya, Raya berbodi Laksana Comfort.

-- Batang – Pekalongan – Pemalang –Tegal

Gairah malam Modern Travego ala New Armada kian menyengat. Lepas traffic light di depan Polres Batang, memaksimalkan keunggulan dalam tarikan dan ruang yang lebih terbuka, dua kakak senior Yudha Express dari Lereng Muria diasapi. Masing-masing Shantika 1715 dan sejawatnya, Shantika berbalur Grey Colour.

Lari-lari sekuat tenaga, itulah karakter YE25 malam itu. Kurang dari 10 km hingga mendekat palang kereta api lingkar kota Pekalongan, berturut-turut Rosialia Indah kode 240, armada Andalas, PM Toh, Rosalia Indah 213, serta Bandung Express dalam balutan Setra BEC tak kuasa menghadang gelinding roda bus yang dijuragani Pak Haji Agus ini.

“Bendera kuning” dikibarkan, peserta race harus berderet dan mengantri teratur, tersendat oleh kereta api yang hendak pass by. Cocok, Mas Ferry berada di titik puncak gelombang bus malam arah Jakarta. Wadah untuk unjuk gigi terbentang luas di muka.

“Mas, yang bawa Mas Ferry, ya?” tanya Bapak-Bapak sebelahku, yang telah puluhan tahun menjadi komuter dwi mingguan Pati-Indramayu.
“Iya, Pak. Bapak kenal?”
“Saya tahu dia sudah lama, Mas. Sejak dia di Gajah Asri. Bawanya kencang Mas, tipis-tipis kalau nyalip…”

Hmm…ternyata bukan karena aji mumpung ada busmania di kursi penumpang, lantas Mas Ferry memeragakan determinasi tingkat tinggi dalam berlaga di Sirkuit Deandels. Ternyata, memang demikian adanya, sudah bawaan bayi soal gaya balapnya.

Sesudah pintu lintasan dibuka, diseling manuver kanan kiri nan ajib saat injakan gas ditekan dalam-dalam, “korban” keganasan pendatang baru di blantika Pantura terus bergelimpangan. Tak asing dengan corak bodinya, Raya dengan nomor lambung 33, konvoi tiga Bandung Express D7823AA, D7633AC, dan D7568AC, Santoso Setra Tri Sakti, serta lawan yang paling alot, Senja Furnindo Green Hi-Deck K1712AC.

Musuh sepadan kembali didapatkan saat Dahlia Indah AG7155UR beradu speed di daerah Petarukan. Namun, dongeng 1001 malam berulang. Mas Ferry mampu merenggut tahta bus bertrayek Madiun-Solo-Jakarta itu.

Entah sebab apa, banyak bus mengambil jalur dalam kota Pemalang ketimbang lingkar luar. Trio Shantika kembali tertinggal langkahnya di ruas Pemalang-Tegal. Yakni Volvo 105, Si Kuning H1716BG dan Si Merah 110 H1742BG.

Di Suradadi, agresivitas bus berkelas VIP ini semakin menggila. Bus-bus yang dipelorotkan gridnya antara lain Rasa Sayang “Selimut Rindu”, menu yang paling dominan, Bandung Express D7645AA dan D7701AC. (Ternyata BE lumayan eksis juga, kukira kaum minoritas…)

Ditambah lagi Safari karoseri Laksana, Bogor Indah Proteus, dan Ramayana Setra Morodadi, membuat langkah Mas Ferry tersisa selangkah lagi untuk menjadi Raja Pantura.

-- Tegal-Brebes-Pejagan

Tegal : 23.35.

Kemacetan parah akibat dampak “pengobrak-abrikan” jalan nasional di wilayah Kota Tegal seolah tiada berujung.

Melihat Rosalia Indah 108 mengambil jalur alternatif Larangan, bus yang bermarkas di Tahunan, Jepara, ini membuntutinya. Tak lama berbelok, tampak armada GMS sedang mogok.

Ditempelnya secara tipis pantat Pendekar dari Palur tipe Concerto di jalan kelas III yang sempit dan nge-press bila dua armada besar berpas-pasan. Sebelum perempatan Balamoa, YE25 berhasil menumbangkannya.

Selanjutnya menyusuri daerah Banjaran-Talang-Pagongan. Di ruas inilah kisah klimaks perjuangan Mas Ferry terukir. Scania Touring Shantika H 1726 BG dikebirinya secara jantan, bersamaan dengan peng-overtake-an GMS Skania Restu Ibu, di ujung jalan Kapten Sudibyo, Tegal.

Setelah kembali ke jalur Pantura, kedigdayaan tak bosan-bosannya ditunjukkan. Kembali GMS B7511BO, Ramayana Setra, serta Rosalia Indah 299 jadi penghisap asap Euro III yang dihembuskan “tungku pacu” bervolume 8.000 cc ini.

Dan show off berlanjut di etape Brebes-Pejagan. Mangsa yang dilumat secara berurutan adalah Ramayana AA1603AB, Handoyo Clurit, Selamet K1602FA, Bus Pariwisata yang masih kinyis-kinyis, AA1600FW (Efisiensi?), Haryanto B7289IG serta Bayu Megah H1474BY.

Sayang, retina penglihatan ini sudah susah untuk diajak melotot. Sejak berangkat dari Rembang, hingga tengah malam saat menapak teritorial Pejagan, tak semenitpun mata ini terpejam. Padahal, belum puas rasanya menghitung berapa lagi bus malam yang disingkirkan Mas Ferry. Tanpa tersadar, diri ini hilang kesadaran. Zzzz…zzz…zzz…

-- Jatibarang-Pamanukan-Ciasem

“Mas, maaf saya mau persiapan turun…” colek penumpang sebelahku pada sisi window.

Akupun membuka kelopak mata kembali, dan mempersilahkan Bapak tersebut melangkahiku dan selanjutnya pindah ke ruang kemudi dan navigasi, karena tujuan beliau turun Jatibarang.

Lohbener : 02.14

Kutatap pemandangan di luar kaca. Ck ck ck… bus yang berslogan “Majesty of Transportation” sepertinya tidak punya lelah untuk terus mengambil langkah seribu secara kontinyu. Dan sejauh ini, Bapak dua putra yang bernama lengkap Ferry Johan Fonda ini masih mampu menjaga performa speedy-nya.

Seakan tak kenal kenyang melahap buruan, daftar bus-bus yang takluk tak berdaya karena gaya dorongnya kembali memenuhi notes kecilku.

Kramat Djati 7065, GMS Fajar Eksekutif, Damri 3236, medium bus Sari Mustika Prestige, PK Marcopolo Kudus K 1604 B dan K 1597 B (what an amazing night!),



Raya Panorama DX, OBL Jogja-Jakarta AA1661BY, Putera Mulya Wonogiri, Ramayana Seri D, Santoso “S” AA1748AA, Sinar Jaya Proteus Pekalongan, Blue Waves B7482WV, Ezri Wisata G1415AC, Puspa Jaya berlatar ondel-ondel, Jaya berbadan Nucleus, Sumber Alama Panorama DX, Rosalia Indah 327, Putra Remaja “Spiderman”, Garuda Mas “Vini Vidi Vici”, Rosalia Indah 264 dan terakhir sebelum terjerembab kemacetan Ciasem, Harum 6L.

Aku pun takjub dibuatnya. Dulu, sewaktu naik Bejeu-nya, terasa kurang kentara daya gedornya, karena perjalanan ditunaikan pada siang hari dengan rute Pulogadung-Kudus. Ternyata, di habitat semestinya bus malam, yakni sepanjang malam, ibarat permainan bola, YE25 boleh dibilang jadi top scores, membukukan donasi sebagai pencetak gol terbanyak dengan prestasi cleansheet yang nyaris sempurna, tanpa sekalipun pertahanannya dibobol kompetitornya. Rekor memasukkan-kemasukkan (50an – 0). Hehehe…

Mas Ferry pun bergantian shift, menyerahkan lingkar kemudi kepada Mas Imron, pramudi pinggir. Lalu lintas tampak stagnan, tak bisa menghindar dari kepadatan menjelang perbaikan jalan Ciasem.

Pria yang malam itu tampil layaknya mount climber, dengan tutup kepala dan jaket nan tebal, kemudian menyisihkan sebagian waktu istirahatnya dengan duduk di sampingku, melakukan perbincangan singkat penghantar tidur.

Akupun angkat topi, acung jempol, dan meninggikan apresiasi atas pertunjukan 6 jam non stop Mas Ferry tatkala “menggulung” aspal Pantura.

Tak disangka, balasan permintaan maaf meluncur dari lisannya sambil memohon izin untuk kembali meniduri area kandang macan.

“Mas Edhi, saya minta maaf karena tak mampu menyalip satu pun armada Bejeu. Jarak keberangkatan Yudha dan Bejeu dari Kudus terlalu jauh, 1 jam lebih. Berat itu Mas…”

“Hahaha…ada-ada saja Mas Ferry ini. Memang saya mematok target, kehebatan Mas Ferry terbukti jika mampu mendului Bejeu masuk Pulogadung?” redamku untuk mengobati kekecewaannya.

Pulogadung : 06.10.

Setelah berkutat di pusaran traffic jam Ciasem dan terhalang pembangunan Gerbang Tol Cikarang, tepat di depan rekan kerjanya, Yudha Express jurusan Purwodadi-Jakarta K1541BC, YE25 mendarat tak jauh dari lapak Pak Poniman Pulogadung yang saat itu tengah kosong.

Aku pun turun dan tak mau menggangu istirahat lelap Mas Ferry. Biarlah, kendati tak sempat berpamitan, persahabatan ini tak serta merta meluntur kadar kualitasnya. Kita berdua mesti paham akan kepentingan, urusan dan kerepotan masing-masing.

Sesaat sebelum menjauh menuju debarkasi bus kota P-51, kupandang lagi secara seksama bus berwajah legam metallic namun penuh kenangan itu. Sebuah armada yang membawa keberkahan di bawah ufuk timur Ramadhan, menggenapi ekspektasi perjalanan rutin mingguanku kali ini, khususnya ditatanya ruang pertemuan di dalamnya, tempat perjumpaanku dengan mutiara yang dulu hilang, Mas Ferry.



Di genggaman tangan Mas Ferry, PO “kecil” itu menjelma menjadi jawara sesaat jagat Pantura malam itu. Hebat, bukan?

Yudha Express, The Real Majesty of Transportation…

Selamat menjalankan ibadah puasa.

-T a m a t –


4 komentar:

  1. Dear Mas Edhi

    Saya rutin membaca artikel mas edhi. tks buat artikelnya yg slalu ditunggu.

    Arief
    amilia_travel@yahoo.co.id

    BalasHapus
  2. selalu menikmati setiap detil tulisan mas didik...serasa ikut diperjalanan itu sendiri...

    BalasHapus
  3. Terima kasih atas pujiannya...

    Insya Allah, cerita-cerita di perjalanan akan saya share Mas. Semoga dijauhkan dari penyakit block writing...:)

    BalasHapus
  4. mas edi, di tunggu artikel berikutnya..... kerennn...

    BalasHapus