Selasa, 24 Agustus 2010

Ndilalah kok Apes! (1)


“Salut...,” demikian kata sanjungan yang pantas kualamatkan, “Dengan sistem online, proses perpanjangan masa berlaku STNK tak lagi lama, berbelit, menjemukan dan relatif bersih dari ulah calo. Jauh dari prediksiku semula.”

Itulah testimonialku usai mengurus “usia produktif” sepeda motor plat K 28xx WD, di kantor Samsat Pemda Rembang, Hari Sabtu kemarin (21/8). Meski terdaftar di urutan 39 (kok ndilalah* sesuai kode jurusan bus langgananku, NS-39), nyatanya tak sampai 45 menit, rangkaian birokrasi dari meja ke meja tuntas terselesaikan.

“Hmm...baru pukul 09.23. Kini aku menanggung beban, bagaimana membuang waktu dua jam ke depan, di tengah terik mentari Ramadan yang membakar, menanti lonceng jam pulang kerja permaisuriku berdentang? Apa yang mesti kuperbuat?” aku setengah kelabakan.

Sambil mencari ide, kuhela perlahan tungganganku menggeluti aspal jalanan kota tempat gerakan emansipasi wanita yang digagas RA Kartini tumbuh berkembang. Pemandangan pagi menjelang siang itu terlihat ramai serta guyub. Hiruk pikuk warga pesisir timur seakan bergerak dinamis, teratur dan sesuai garis edarnya. Masing-masing menjalankan misi jihad menggedor pintu rezeki agar isinya luruh dari langit.

Saat tapak keempat roda menjejak ujung utara Jalan Kartini, tepatnya di traffic light Tugu Kapal Layar (depan gedung DPRD), kuarahkan setir berbelok ke kiri, menyusuri jalan nasional, Pantura. Maksud hati tak lain ingin “mengembara” menuju daerah Pecinan, Gambiran. Tentu saja bukan untuk berburu sate srepeh, menu favorit keponakan tersayang Bah Do, Koh Hary Intercooler, namun demi menyalurkan hasrat untuk mencumbui eksotisme kota tua yang tersisa di Kota Rembang.

Masih jauh dari dari “obyek wisata” yang kubidik, ketika hendak melintas di depan kantor Satlantas Polres Rembang, sontak indra penglihatan ini terbelalak. Dari sudut mata, tertangkap samar armada PO Nusantara berbaring di dalamnya, dengan papan mencolok NS-19 menempel di kaca depan, menempati ruang yang ditinggalkan Karina Super Eksekutif yang kini telah menghirup udara bebas kembali.

Ada apa gerangan? Mengapa bus bertrayek Daan Mogot-Rawamangun-Lasem terdampar di sana? Pasal berlalu lintas apa yang dicederai?

Mulanya, aku tak mengindahkannya dan meneruskan trip jarak pendek, menikmati “mini Canton”nya Bumi Dampo Awang. Sebuah kawasan yang berhiaskan bangunan bergaya oriental khas etnis Tiongha, dengan tata kelola wilayah yang tersusun apik. Lumayan puas melakukan plesiran domestik, kupungkasi perjalananku di alun-alun Kota Rembang.

Kuberhentikan kendaraanku di bawah pohon nan rindang. Kubuka jendela lebar-lebar agar semilir angin laut leluasa mengusik udara siang nan menyengat kulit. Aku sendiri tak beringsut, tetap duduk di balik kemudi, hanya menyetel kemiringan punggung kursi sembari memundurkan tuas pengatur posisi tempat duduk agar pitch-nya kian longgar.

Surat kabar dengan tiras terbesar di Jawa Timur yang tergeletak di jok belakang, kuraih. Koran “mancaprovinsi” yang tadi kubeli dari kios pinggir jalan, kini kuangkat selaku teman dadakanku. Kucerai-beraikan sub-sub beritanya dengan content berbeda, yakni berita nasional, internasional, sportivo, ekbis, radar Ramadan dan radar Kudus.



Dan prioritas utama, kurenggut suplemen berita lokal ala harian Jawa Pos, Radar Kudus, mengesampingkan lembaran-lembaran yang lain. Kubuka satu per satu halaman di dalamnya, dan ketemu juga apa yang kucari, Radar Rembang.



Headline yang terpampang mewartakan soal perbaikan jalan dan jembatan di sepanjang jalur Pantura Rembang yang akan dihentikan pada H-10. Selesai kubaca, pandangan ini turun pada kolom di bawahnya, karena ada judul yang menggelitik logika. “Berliana Tewas Terserempet Pintu”. Kok bisa, bagaimana ceritanya? Aku membatin.



Kusimak secara seksama “goresan pena” si kuli tinta. Ya Allah…diri ini terperanjat setengah mati, menelaah empat alinea pertama dari berita tersebut.

REMBANG- Seorang bocah di Desa Purworejo, Kecamatan Kaliori, Jumat pagi sekitar pukul 06.45 tewas kecelakaan. Diduga, Berliana Tiara, 8, terhantam pintu bagasi bus yang terbuka. Korban yang juga siswi SD Purworejo meninggal dunia setelah menjalani perawatan di BLUD Dr R Soetrasno Rembang.

Awal kejadian naas itu bermula Berliana Tiara akan berangkat ke sekolah yang diboncengkan kakeknya Sukadi. Namun, sepeda motor bernomor K 5668 FD yang dikendarai tiba-tiba terserempet bus.

Saat kejadian itu, posisi sepeda motor yang ditumpangi korban berada di bahu jalan dan melaju pelan dari arah timur. Tapi dari arah barat melumcur kencang Bus Nusantara K 1562 B yang dikemudikan Kunardi warga Kutoharjo, Kecamatan Pati, Pati. Sopir bus tersebut tidak menyadari kalau pintu mesin dekat bagasi masih terbuka, sehingga menghantam motor korban.

Berliana akhirnya meninggal dunia, sedang sang kakek mengalami luka parah. Sontak saja, kepergian Berliana mengundang derai tangis anggota keluarga yang menunggui perawatan bocah mungil tersebut.


Cukup…cukup…aku tak kuasa melanjutkan membacanya. Gambar raut muka tanpa dosa meregang ajal, tak mampu kutepis dari pelupuk mata. Sungguh tragis nasib yang dialami bocah SD tersebut. Anggapan bahwa trek Rembang adalah “utusan malaikat maut” yang terus berkeliaran menjerat korbannya, kian tak terbantahkan.

Astaghfirullah hal’adzim… aku tersadar dan tercenung sesaat. Jadi masalah pintu mesin dekat bagasi yang menghantarkan NS-19 masuk bui.

Kucoba menelisik deretan kalimat yang mencantumkan nama driver Nusantara tersebut. Kunardi…nama “si pelaku” tersebut.

Tak perlu waktu lama, proses searching file tentang Kunardi di dalam laci otakku muncul di atas display ingatanku.

Pasti dan tak salah lagi…Kunardi yang dimaksud adalah “Mas Kun”, panggilan akrabnya.

Mendadak, memoriku menyurutkan waktu, memutar peristiwa di medio 2000-an. Kisah tentang permulaan perkenalanku dengan Mas Kun.

Kala itu, para pelanggan NS-39 kedatangan “pelayan” baru. Kesan pertamaku saat pertama kali berjumpa dengan Mas Kun, orangnya sungguh tak selaras menyandang profesi driver bus malam. Postur tubuhnya agak kurus dan kecil untuk ukuran pengemudi kendaraan besar. Pembawannya kalem, selalu berpenampilan rapi, resikan, nada bicaranya pun datar dan tak punya pribadi temperamental, sifat negatif yang jamak dimiliki para abdi jalanan.

Namun, jangan ditanya saat mempermainkan lingkar kemudi. Halus, lincah, nyaman, quick respon, visioner serta bertipe speedy adalah sederet catatan positif, yang bagiku bisa digadang-gadang untuk mengangkat derajat Mas Kun menjadi “the legend” nantinya. Bisa jadi, setumpuk alasan inilah “kebintangan” Mas Kun di PO Nusantara terhitung melejit.

Pada tahun pertama bergabung di bawah manajemen Pak Hans, Mas Kun diamanati memegang armada NS-96, Semarang-Malang. Tak berselang lama, pria yang sekarang berumur 36 tahun itu hijrah ke NS-39, Pulogadung-Cepu, jadi tandemnya Pak Mintarso, dengan armada batangan MB OH 1521 berkode HS 133.

Tak sampai dua tahun, pria yang berkewarganegaraan Pati itu promosi, naik grade membesut unit Scania. Dan kabar terkininya, dia dipercaya menjadi penguasa tetap HS 150, sekaligus dipersiapkan pula sebagai pemain cadangan untuk kelas Super Eksekutif, bila ada yang berhalangan tugas.

Sejak menukangi Singa Swedia itulah, intensitas pertemuanku dengannya berkurang drastis. Paling-paling bersua lima menit-an di pool pusat PO Nusantara saat menunggu skuad malam Nusantara diberangkatkan ke Jakarta atau tak sengaja bertatap muka di Terminal Rawamangun.

Terakhir pertemuan dengan Mas Kun terjadi di markas Karanganyar, kurang lebih 6 bulan yang lalu. Yang membikin aku tak bakalan lupa, kala itu dia sempat mengucapkan selamat atas kelahiran putriku yang ke-2 sembari memberikan referensi dokter kandungan, dokter anak dan klinik bersalin yang recommended di Kota Pati. Wajar dia punya wawasan luas soal “begituan”, karena Mas Kun beristrikan seorang perawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota-nya Mbah Roso, Sang Peramal Ulung itu.

Kubaca sekali lagi lebih teliti berita mengagetkan hari ini. Kejadiannya Jumat pagi, berarti bus itu baru mendekam sehari dan kemungkinan, Mas Kun juga ikutan ditahan.

Diri ini tersentil oleh kesimpulan singkat itu dan seketika nurani tergerak untuk berspekulasi datang ke Polres Rembang.

Aku ingin membesuk Mas Kun, sekedar menyampaikan rasa simpati atas nestapa yang menimpanya, demikian tekat yang kunyalakan. Kalau bertemu ya syukur, tidak pun malah aku lebih bersyukur lagi, berarti dia “selamat” dari kungkungan jeruji penjara sebagai tahanan sementara pihak kepolisian.

*ndilalah : suatu kebetulan yang susah dipahami nalar; suatu peristiwa yang terjadi di luar skenario.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar