Rabu, 24 November 2010

Berujung Nelangsa (Bagian Ke-1)


15.35

"Harga tiket Pulogadung; Haryanto: 100, Nusantara: 80, Bejeu: 80, Shantika: 85. Bejeu jatah Pati armada A5 (Tante Galaxy)..."

Sepenggal pesan di atas dilempar balik Mas Ferdhi ke gadget-ku, saat aku on the way dari Rembang menuju kota yang tempo doeloe bernama Kadipaten Pesantenan. Dalam pengapnya kabin PO Restu N 7373 UG, aku mencoba mengorek price list ter-update untuk bus-bus VIP jurusan Pati-Pulogadung yang berlaku hari itu. Maklum, dalam acara pulang kampung dua hari sebelumnya, aku dikenai ongkos yang naudzubillah mahalnya, Rp110.000,00, untuk menebus satu kursi di dalam HS 205 berkode trayek NS-43.

"Maaf ya Mas, tiket naik, mau lebaran...” rajuk Mbak Tini, agen Nusantara, memohon pengertianku kala itu.



Ternyata, perkiraanku meleset. Tarif relatif "tenang" tanpa gejolak berarti. Barangkali, hanya arah timur yang terkatrol nilai jualnya.

Minggu sore itu, aku kembali memasrahkan diri kepada jasa Pati Bus Station sebagai titik tolak perjalananku ke Jakarta. “Pengrusakan” jalan Pantura adalah landasan justifikasinya. (Saking geregetannya, aku menyebutnya bukan lagi “perbaikan”, tetapi “pengrusakan”.)

Kubalik lembaran cerita kemarin-kemarin.

Tiga kali berturut-turut meleset menepati absensi kehadiran di tempat kerja, Pahala Kencana “Euro 3” akhirnya kudepak sebagai sandaran. Ironis memang. Meski dibekali "persenjataan" mutakhir, terjangan Ombak Biru selalu mentah, kandas meruntuhkan biang kerok yang bernama proyek “penghancurleburan” properti peninggalan si meneer, Herman Willem Daendels.

Pekan lalu adalah awal pertaruhanku menyusun “peta baru” demi menggapai ibukota sebelum pagi menggantikan fajar. Kunci jawaban yang kutemukan, aku kudu hunting bus-bus yang diamanati juragannya untuk “putar kepala”, yang habitnya beradu cepat menggapai front row angkatan pagi Pulogadung. Dan di sana, Terminal Pati, adalah gudangnya "barang" yang kuincar.

Tak kuacuhkan lagi meski hanya dilayani kelas VIP, bagiku, kecepatan datang sebelum pintu ladang pencaharianku dibuka adalah target yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Yang beruntung sebagai penyambung harapanku waktu itu adalah PO Bejeu. Berdua bersama Mas Eko (BMC Jakarta), kami menjadi saksi bagaimana armada B5 pun keteter dalam upayanya menjadi yang nomor wahid tiba di lapaknya Pak Poniman. Terbilang dua kali terjadi fuel flow failure alias masuk angin, Jupiter Tentrem itu disalip terbitnya matahari saat menggilas Tol Cikampek. Beruntung, mandor Pulogadung “membelokkan kemudi” K 1538 BC, setir tidak diarahkan lewat dalam kota yang kerap dilanda kemacetan, namun nekat menerjang area larangan bagi bus AKAP, yakni exit Cakung. Pleidoinya, bus sudah ditunggu penumpang fanatiknya lantaran kelangkaan armada di Pulogadung.

Meski bersusah payah, dengan bantuan ojek yang kusewa untuk memangkas jarak Cakung-Tanjung Priok, puji syukur, di masa injury time sebelum “teng” jam kerja, aku mampu menekan perangkat finger print di lobi kantor.

Sungguh terlalu...Senin pagi selalu bikin repot!!!

Lolos dari lubang jarum adalah isyarat alam bahwa Bejeu pembawa hoki sekaligus ujung tombak andalanku untuk menaklukkan “bopeng” wajah Pantura.

Dan alasan itu pulalah, tanpa berpikir njlimet, aku membalas SMS owner blog Multiply “Bejeuholic”,

“Kulo dipesenke Bejeu malih nggih, Mas...” (Saya dipesankan Bejeu lagi ya, Mas)

Seturunnya dari bus bumel penghubung Bungurasih-Terboyo, aku pun disambut pentolan BMC Muria Raya itu.



Selanjutnya ngobrol ngalor ngidul menggali kabar dan info teranyar, -- baik yang nyata maupun masih berbau gosip --, serta membahas kasak-kusuk yang memenuhi rongga atmosfer stanplat yang berdiam di jalur Pati-Gabus-Purwodadi.

Sayang, keguyupan di warung Mak Ni mesti berujung setelah “Mas Agen” mendekat dan mempersilahkan aku menaiki busnya.

“Mas, aku pamit dulu...” kalimat perpisahanku pada Mas Ferdhi dan Mas Bayu, yang belum lama datang menyusul.

16.45

Soal armada yang berjodoh denganku, Galaxy hasil garapan Karoseri Tentrem, berkode bodi A5, aku hapal di luar kepala. Mengapa tidak?

Sudah dua kali aku “menyetubuhinya”, dan dua kali itu pula aku mengapresiasi dengan mengabadikan dalam wujud catatan perjalanan. Meski di tulisan terakhir, aku sekedar membagi sekelumit biografi sang drivernya. Siapa lagi kalau Mas Ferry “Johan” Fonda?

http://cintanismara.multiply.com/journal/item/12/Bejeu_Bis_Jepara_Unggulan

http://cintanismara.multiply.com/journal/item/48

Yup, bis berbalurkan background hitam pekat inilah bilik pertemuanku mengenal sosok pengemudi yang aku kagumi. Meski sekarang “diikat” PO Yudha Ekspress, namun kenangan indah merajut persahabatan dengannya di dalam A5 akan senantiasa terpatri di dinding ingatanku.

Terus terang, perjalananku malam itu kurang didukung “penjiwaan” yang pas, karena aku sedang dirundung badmood. Banyaknya urusan yang masih terbengkalai dan tertunda di rumah, membuatku lelah pikiran, fisik dan semangat.

Terlebih sepanjang Pati-Semarang --- terpangkas 30 menit berhenti di Terminal Jati, Kudus --- laju bus kurasakan kurang greget untuk ukuran Muria-an. Menurutku, umur mesin adalah kendalanya. Hanya dibekali enam silinder era Mercy King, member of Black Bus Community hanya tertunduk lesu ketika disalip secara serampangan oleh HS 217 di Klaling dan gagal mengekor secara lekat Muji Jaya Jepara-Bandung di ruas Karanganyar-Trengguli.

Memasuki tol Jatingaleh, aku pun tertidur. Posisi duduk di kursi no. 20 tak mampu membangun frame yang luas untuk memandang eksotisme Pantura. Ketidaknyamanan inilah yang justru menciptakan suasana syahdu untuk menyandarkan letihku di pangkuan Dewi Malam.

Kemesraan kami berdua sempat terganggu saat kaki-kaki yang disangga teknologi suspensi leafspring “membajak” aspal di jalanan Kota Kendal. Berbarengan itu pula, tersuguhkan tayangan di luar kaca berupa lomba speed to speed dengan Ramayana model Setra Adi Putro. Pertarungan selevel tentunya, antara OH 1518 vs OH 1518.

Dan selanjutnya aku hilang kesadaran lagi, sebelum nyala terang lampu-lampu kabin menstimulasi saraf penglihatan untuk membukakan katupnya lebar-lebar.

Jeda istirahat di rumah makan terkadang menjadi pengusik ketenteraman mata ketika badan tengah asyik melepas penat. Huh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar